Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hustiati
Bandung: Mandar Maju, 1990
346.04 HUS a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Leon, Hector S. De
Manila : Rex Book Store, 1979
346.04 LEO t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Gunawan
Jakarta: Indonesia Legal Aid and Human Rights Association (PBHI), 2007
341.7 RIG
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Theodorus Sardjito
"Dalam tesis ini saya ingin menunjukkan bahwa hukum tertulis tentang sewa tanah beserta pelaksanaannya adalah sebagai perwujudan nilai-nilai budaya kolonialisme Belanda yang menekankan pada kapitalisme dan penguasaan pasar dunia, yang dijalankan sesuai dengan keadaan setempat di residentie Banyumas. Hukum tertulis tentang sewa tanah tersebut mengatur mengenai penyewaan tanah milik pribumi oleh non-pribumi.
Kajian tentang hal tersebut di atas dibatasi pada tiga hal yaitu: (1) pengaturan penyewaan tanah, (2) wilayah berlakunya pengaturan tersebut, dan (3) masa berlakunya. Adanya penyewaan tanah milik pribumi oleh non-pribumi sebagaimana diatur oleh ordonansi-ordonansi yang berdasarkan pada Agrarische Wet (Undang-undang Agraria tahun 1570) yang keberlakuannya dipaksakan sesuai dengan kepentingan kolonial Belanda, maka yang menjadi pusat perhatian dalam tesis ini adalah :
1.1. pengaturan sewa tanah serta latar belakangnya;
1.2. hubungan antara penguasa Belanda dan pribumi, pengusaha non-pribumi yang menyewa tanah dan penduduk pribumi yang menyewakan tanah;
1.3. akibat yang timbul di bidang pertanian penduduk pribumi dan reaksi yang dilakukan penduduk pribumi terhadap praktek penyewaan tanah.
Masalah pertama menyangkut analisa tentang peraturan sewa tanah yang diatur dalam Agrarische Wet dan perubahan-perubahan yang terdapat dalam ordonansi tentang sewa tanah. Mengingat Agrarische Wet merupakan satu kesatuan yang berisikan pengaturan tentang sewa tanah dan hak-hak lainnya atas tanah, maka kajian mengenai masalah ini dilakukan sejalan dengan pembahasan yang dilakukan oleh para anggota parlemen Belanda pada saat pembentukan undang-undang tersebut. Mengenai perubahan-perubahan yang terdapat dalam ordonansi sewa tanah, dalam kajian ini dipusatkan pada penelusuran faktor-faktor yang mengakibatkan perubahan-perubahan yang terdapat dalam ordonansi tersebut. Dalam hal ini kajian dilakukan secara umum yang menyangkut pelaksanaan sewa tanah di Jawa dan Madura. Mengenai masalah kedua dan ketiga, perhatian sepenuhnya dicurahkan kepada wilayah penelitian residentie Banyumas, Jawa Tengah.
Residentie Banyumas merupakan salah satu wilayah berlakunya pengaturan sewa tanah yang saya pilih, berdasarkan alasan bahwa hampir dalam setiap laporan pemerintah Belanda mengenai pelaksanaan sewa tanah, wilayah tersebut kurang mendapat perhatian, dalam arti tidak begitu banyak masalah di mata pemerintah Belanda. Pada hal pada tahun 1882, dalam regerings almanak tercatat 11 perusahaan di bidang tembakau (nicotiana tabacum) yang menyewa tanah dari kaum pribumi. Pada tahun 1883, jumlah perusahaan yang menyewa tanah dari kaum pribumi menyusut menjadi tujuh perusahaan. Pada tahun-tahun berikutnya, jumlah perusahaan, baik di bidang tembakau, gula dan tarum (indigofera tinctoria), tidak melebihi 11 perusahaan. Hal tersebut menarik perhatian saya, dalam arti apakah memang benar-benar tidak terdapat masalah ataukah terdapat masalah tetapi tidak dipandang penting oleh pemerintah Belanda. Pada hal apabila dikaji lebih teliti, pengaturan sewa tanah sebagaimana diatur dalam hukum tertulis ciptaan pemerintah Belanda, merupakan suatu unsur kebudayaan asing yang diterapkan pada masyarakat pribumi residentie Banyumas. Hal ini berarti bahwa hal tersebut sedikit banyak akan menimbulkan masalah dalam arti pertama, penyesuaian unsur kebudayaan yang asing tersebut dengan nilai-nilai budaya setempat. Kedua, timbulnya dampak dari penerapan unsur-unsur asing tersebut."
Depok: Universitas Indonesia, 1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jefri Adriansyah
"Di Indonesia, program reforma agraria telah diselenggarakan sejak tahun 1960 melalui Undang-Undang Pokok Agraria. Meski demikian, gerakan reforma agraria terlihat semakin masif sejak 2015 setelah pemerintah mengeluarkan program pendaftaran tanah sistematis lengkap. Studi ini mengkaji pengaruh perubahan status kepemilikan tanah terhadap produktivitas rumah tangga usaha tani padi di Indonesia, meskipun pengamatan terkait hak atas tanah dilakukan sebelum adanya program reforma agraria secara masif pada tahun 2015. Menggunakan metode two periode difference-in-differences (DID), penelitian ini menganalisis status kepemilikan tanah 686 rumah tangga usaha tani padi dalam survei longitudinal IFLS gelombang keempat (2007) dan kelima (2014). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan dalam produktivitas usaha tani padi akibat perubahan status kepemilikan lahan dari weak land ownership menjadi strong land ownership atau legal pada rumah tangga petani padi di Indonesia. Setidaknya ada empat alasan yang diindikasikan menjadi penjelasan, pertama, kurang berkembangnya pasar tenaga kerja pertanian di Indonesia; kedua, pasar kredit usaha tani padi rendah; ketiga, lambatnya mekanisasi pertanian padi di Indonesia; dan keempat, transferabilitas aset tanah. Oleh karena itu, pemerintah setidaknya perlu meningkatkan aksesibilitas kredit formal dan mengintervensi langsung faktor produksi pertanian dengan memberikan hibah dan subsidi berupa bibit padi berkualitas, mekanisasi alat pertanian, dan perbaikan sarana irigasi.
......In Indonesia, the agrarian reform program has been organized since 1960 through Basic Agrarian Law Act. Nonetheless, agrarian reform movement looks more massive since 2015 after the government issue a complete systematic land registration program. This study examines the effect of changes in land ownership status on household productivity of rice farming in Indonesia, although the observations regarding land titling were held prior to the existence of the massive program of agrarian reform in 2015. Using the two-period difference-difference (DiD), this study analyzed the land ownership status of 686 rice farming households in the IFLS longitudinal survey in the fourth (2007) and fifth (2014) waves. The results show that there is no significant difference in the productivity of rice farming due to changes in land ownership status from weak land ownerhisp to strong or legal land ownership in rice farming households in Indonesia. There are at least four reasons that are indicated to be explanations, first, the underdeveloped agricultural labor market in Indonesia; second, the credit market for rice farming is low; third, the slow mechanization of paddy farming in Indonesia; and fourth, transferability of land assets. Therefore, the government at least needs to increase the accessibility of formal credit access and intervene directly in agricultural production factors by providing grants and subsidies in the form of quality rice seeds, agricultural mechanization tools, and improving irrigation facilities."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisinis Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Amirul Subekan
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk memahami aspek ekonomi politik dalam pelaksanaan reforma agraria dan perhutanan sosial di Indonesia secara kualitatif dengan metode deskriptif-analisis, tinjauan literatur dan didukung dengan wawancara intensif. Reforma agraria merupakan agenda penting di masa pemerintahan Joko Widodo karena tercantum dalam Nawacita, untuk mencapai pemerataan ekonomi. Akan tetapi pasang surut dalam proses pelaksanaanya membuat program ini menjadi terhambat terlebih konflik agraria yang seharusnya berkurang dengan adanya reforma agraria dan perhutanan sosial RAPS ini justru semakin bertambah setiap tahunnya. Tujuan untuk melakukan pemerataan ekonomi ini dihambat dai faktor internal para pelaksana reforma agraria dan perhutanan sosial RAPS. Lemahnya koordinasi dan perbedaan tingkat kepentingan antara tujuan negara dengan para pelaku pelaksanaan reforma agraria dan perhutanan sosial RAPS membuat program ini berjalan masih jauh dari harapan meskipun sudah menunjukkan progress yang cukup baik. Warisan buruk pemerintahan sebelum-sebelumnya juga berpengaruh dalam pelaksanaan saat ini. Dalam Penelitian, penulis membahas sisi sejarah dan ekonomi politik reforma agraria dan perhutanan sosial RAPS dari pasca kemerdekaan hingga pemerintahan Presiden Joko Widodo 2014-2019.

ABSTRACT
The purpose of this study is to understand the political economics of Indonesian agrarian reform and social forestry. Analysis was conducted qualitatively with descriptive analytic method, literature review, and supported with intensive interview. Agrarian reform is an important agenda of Joko Widodo rsquo s administration as it is included in Nawacita with the purpose to achieve equality in economic development. However, the ebbs and flows in its implementation process undermine the program. Moreover, the agrarian conflict ndash which is supposed to be decreasing as a result of implementing agrarian and social forestry reform RAPS ndash is increasing annually. The process in achieving the goal of achieving equality in the economic development has been furthermore undermined by internal factors of those in charge of implementing the agrarian and social forestry reform RAPS. Despite of having showed good progress, weak coordination and different interests between the state and the actors involved in the RAPS continue to be the core problems that undermine the success of the program. Inheritances of bad practices from previous governments also play a role in present day implementation. In this study, the writer analyzes the historical and political economy side of the RAPS from the post independence era to the era of Joko Widodos administration 2014 2019. "
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Gafuraningtyas
"Dalam upaya mengatasi ketimpangan kepemilikan tanah, dilakukan program reforma agraria yang mencakup penataan aset dan penataan akses. Selanjutnya, untuk meningkatkan efektivitas program reforma agraria, diintegrasikan model penataan aset dan penataan akses di lokasi yang sama. Sebagai percontohan, implementasi Kampung Reforma Agraria (KRA) pertama diwujudkan di Desa Mekarsari, Kecamatan Panimbang, Kabupaten Pandeglang dengan membagikan tanah kepada 225 subjek. Namun, setelah lima tahun pelaksanaan reforma agraria berjalan, masih ada sejumlah subjek yang belum menempati lokasi KRA. Hal tersebut mengindikasikan adanya keengganan sebagian subjek untuk tinggal di lokasi yang sudah ditetapkan. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis profil dan karakteristik tempat tinggal subjek Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) yang belum menempati tanah yang sudah diberikan di KRA dan pengaruh kedua hal tersebut terhadap preferensi spasial mereka terkait kebijakan Reforma Agraria. Dengan mewawancarai sejumlah 23 subjek TORA yang belum menempati lokasi TORA dalam kondisi belum melakukan peralihan hak atas tanahnya, diketahui bahwa sebesar 52,5% menyatakan ingin berpindah ke KRA sedangkan 47.5% sisanya tidak ingin menempati tanahnya di KRA. Berdasarkan analisis karakteristik fisik tempat tinggal subjek TORA, jarak fisik dari tempat tinggal subjek saat ini ke KRA dan tingkat kerawanan banjir tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap preferensi mereka. Preferensi spasial subjek untuk memilih antara tempat tinggalnya saat ini atau lokasi barunya di KRA cenderung dipengaruhi oleh karakteristik non fisik tempat tinggalnya dan juga status hukum tanahnya yang dimiliki saat ini. Subjek yang sudah memiliki tanah dan tinggal dengan satu KK dalam satu rumah cenderung memilih menetap di lokasi yang sudah ditempatinya sejak lama karena adanya keterikatan dengan tempat tinggalnya. Sedangkan subjek yang saat ini berstatus menumpang dan yang tinggal dengan lebih dari satu KK dalam satu rumah cenderung memilih untuk menempati tanahnya di KRA karena perasaan tidak nyaman akan keterbatasan kontrol terhadap ruang dalam huniannya.
......An agrarian reform program encompassing asset and access arrangement was implemented to address the inequality in land ownership. Furthermore, asset and access arrangements are integrated in the same location to increase the effectiveness of the agrarian reform program. The first Kampung Reforma Agraria (KRA) implemented the pilot project in Mekarsari Village, Panimbang District, Pandeglang Regency, by distributing land to 225 subjects. However, after five years of implementing agrarian reform, some subjects still have not occupied KRA locations. This condition indicates the reluctance of some subjects to live in the designated location. This research aims to analyze the profile and characteristics of the residences of Land Objects of Agrarian Reform (TORA) subjects who have not yet occupied the land granted in the KRA and how these two factors influence their spatial preferences regarding agrarian reform policies. By interviewing 23 TORA subjects who had yet to occupy the TORA location and transfer their land rights, the results show that 52.5% wanted to move to KRA. In contrast, 47.5% did not want to occupy their land in KRA. Based on the analysis of the physical characteristics of TORA subjects' residences, the physical distance from the subjects' current residence to the KRA and the level of flood vulnerability did not exert a significant influence on their preferences. The non-physical characteristics of their residences, as well as the legal status of the land they currently own, appear to influence the spatial preferences of the subjects in choosing between their current residence and a new location in the KRA. Subjects who already own land and live with one family in one house tend to opt to settle in the location they have occupied for a long time due to their attachment to their current residence. In contrast, subjects with boarding status who live with more than one family member in one house tend to choose to occupy their land in the KRA, driven by their discomfort with the limited control over space in their current residence."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heri Purwanto
"Penelitian ini membahas tentang perjuangan Pembaruan Agraria yang dilakukan oleh Serikat Petani Indonesia pada 1998-2011. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan strategi gerakan petani dalam memperjuangkan pembaruan agraria di Indonesia. Penelitian ini berupaya memaparkan kaitan perjuangan pembaruan agraria yang dilakukan oleh gerakan petani dan diangkatnya kembali agenda pembaruan agraria dalam panggung politik nasional. Lebih dalam lagi, penelitian ini akan memaparkan strategi Serikat Petani Indonesia (SPI) dalam memperjuangkan pembaruan agraria.
Pertanyaan pokok yang diangkat dalam penelitian ini adalah, Bagaimana perjuangan Serikat Petani Indonesia untuk mendesakkan isu pembaruan agraria sebagaimana yang diamanatkan oleh UU PA, dalam agenda politik nasional ? Sub pertanyaan yang akan dijawab yakni, pertama, bagaimana Serikat Petani Indonesia (SPI) muncul dan berkembang menjadi organisasi tani? Kedua, bagaimana perjuangan agraria Serikat Petani Indonesia (SPI) di tingkat lokal ? Ketiga, Bagaimana strategi Serikat Petani Indonesia (SPI) memperjuangkan pembaruan agraria dalam arena politik nasional ?.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dan mengunkan metode deskriptif analitis untuk menganalisis data-data yang diperoleh. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka, pengumpulan dokumen serta wawancara mendalam dengan lima informan, aktifis Sintesa, Ketua Umum SPI, pakar agraria, anggota SPI, serta aktifis CNDS.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perjuangan agraria SPI ditingkat lokal dilakukan dengan mengutamakan kekuatan massa untuk menduduki lahan dan melakukan aksi massa. Pada tahun 2011, SPI telah berhasil menguasai dan merebut kembali lahan-lahan bagi petani seluas 47.270 hektar, dan telah menjadi lahan produktif yang menghidupi dan meningkatkan perekonomian keluarga petani. Sementara 247.477 hektar lainnya dalam tahap reklaiming/okupasi. Untuk menggalang dukungan ditingkat lokal, SPI membangun aliansi dengan organisasi tani, buruh, nelayan, mahasiswa serta LSM. Kaukus politik di Sumatera Utara yang dibangun dengan partai politik tidak efektif untuk mendesakkan tuntutan jangka panjang SPI. Perjuangan agraria di tingkat lokal sesekali diikuti oleh tindakan politik anggota SPI merebut kekuasaan tingkat Desa. Sebagaimana di Sukabumi, anggota SPI di desa Sirna Jaya berhasil merebut jabatan Kepala Desa.
Di tingkat nasional perjuangan SPI ditujukan untuk mendesak negara untuk menjalankan UU No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UU PA). Konferensi Nasional Pembaruan Agraria untuk Perlindungan dan Pemenuhan Hak Asasi Petani, yang diadakan oleh SPI bersama dengan organisasi gerakan agraria lainnya diangap menjadi tonggak kebangkitan isu pembaruan agraria. Dengan melibatkan kerjasama dengan Komnas Ham, pembaruan agraria kembali diangkat menjadi isu nasional, sebagai bagian dari Hak Ekosob.
Diangkatnya kembali agenda politik agraria didorong oleh dua faktor, pertama, menguatnya desakan dari organisasi tani dan penggiat gerakan agraria. Kedua, intervensi Bank Dunia dalam mendorong liberalisasi hukum pertanahan melalui BPN dan Bappenas. Strategi Serikat Petani Indonesia untuk menentang relasi kekuasaan yang menindas, dilakukan untuk menghadapi berbagai bentuk kekuasaan di berbagai ruang dan tingkatan.
......This research discusses the Indonesia Peasant Union struggle for Agrarian Reform in Indonesia period 1998-2011. The purpose of this study was to describe the strategy of peasant movement struggle for agrarian reform in Indonesia. This study describe the relationship between agrarian reform struggle carried out by peasant movement, and the rising of agrarian reform agenda in the national arena. Further, this study will describe the strategy of Indonesian Peasant Union (SPI) to fight for agrarian reform.
The research question in this study are, How does the struggle of Indonesian Peasant Union press the agrarian reform issue as mandated by Basic Agrarian Law, to national political agenda? Sub-questions to be answered is, first, how the Indonesian Peasant Union (SPI) appeared and developed into a peasants organization? Secondly, how the agrarian struggle of Indonesian Peasant Union (SPI) at the local level? Third, How does the strategy of Indonesian Peasant Union (SPI) to fight for agrarian reform in the national political arena?
This study used a qualitative approach, and used descriptive analytic method to analyze the data obtained. Data collected from literature study, documents and indepth interviews with five informants, Sintesa activist, Chairman of the SPI, agrarian expert, a member of SPI, and CNDS activists.
These results indicate that the agrarian struggle of SPI at the local level, done by emphasizing the mass strength to occupy the land and mass action. In 2011, SPI has managed to control and reclaim the land of 47.270 hectares to peasants, and has been a productive area that supports family peasants and boost the economy. While the other 247.477 hectares in the stage of reclaiming/occupation process. To build support at the local level, SPI build alliances with peasant organizations, workers, fishermen, students and NGOs. Political caucuses in North Sumatra, which built with political party was no effective to push for long-term demands of SPI. Agrarian struggle at the local level sometimes followed by political action of SPI member to seize power at village level. As in Sukabumi, a member of SPI in the village of Sirna Jaya won the mayor position in the village level election.
At the national level aimed at the struggle SPI urge the state to implementing the Basic Agrarian Law No. 5/1960. National Conference on Agrarian Reform to Protection and Full fill of Peasant Rights, organized by SPI along with other agrarian movement organizations perceived to be a milestone in the rise of agrarian reform issues. By involving cooperation with Komnas Ham, agrarian reform again became a national issue, as part of Ecosoc rights.
The rising of agrarian political agenda is driven by two factors, first, strong pressure from peasant organizations and the agrarian movement activists. Second, the World Bank intervention in promoting the liberalization land act. through the BPN and Bappenas. Indonesia Peasant Union strategy against the oppressive power relations, undertaken to deal with various forms of power in the various spaces and levels."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
T30891
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library