Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bambang Tri Susilo
Abstrak :
Latar Belakang : Tebal ramus mandibula merupakan salah satu faktor penting yang harus diperhatikan saat melakukan Bilateral Sagittal Split Osteotomy BSSO . Fraktur unvaforable atau bad split dapat terjadi saat melakukan BSSO apabila ramus mandibula tipis. Data antropometri tentang tebal ramus mandibula masih belum banyak diteliti. Data antropometri tentang tebal ramus mandibula bisa dipakai sebagai acuan jika akan melakukan BSSO. Tujuan : untuk mengetahui tebal ramus mandibula berdasarkan CBCT Scan sebagai acuan tindakan BSSO. Metode : Subjek penelitian ini terdiri dari 61 sampel data DICOM CBCT Scan yang kemudian dilakukan reorientasi dalam 3 bidang dan dilakukan pengukuran pada tebal ramus mandibula menggunakan software Osirix LXIV. Hasil : Didapatkan rata-rata tebal ramus mandibula pada laki-laki 8.049 1.205 mm dan pada perempuan 8.463 1.358 mm. Pada kelompok usia 18-30 tahun didapatkan rata-rata tebal ramus mandibula 8.087 1.29 mm, kelompok usia 31-40 tahun 8.176 1.49 mm, kelompok usia 41-50 tahun 8.742 1.04 mm. Kesimpulan : Berdasarkan CBCT Scan, secara statistik tidak terdapat perbedaan yang bermakna tebal ramus mandibula pada jenis kelamin laki-laki dan perempuan maupun pada kelompok usia.
Backgorund: Ramus mandibular thickness is one of the most important factor that has to be concerned when performing Bilateral Sagittal Split Osteotomy BSSO . Unfavorable fracture or bad split could happen when performing BSSO if the ramus mandible thickness is thin. There only a few regarding antropometric data about thickness of mandibular ramus. Objective: To measure thickness of mandibular ramus based on CBCT Scan as a reference when performing BSSO. Methods: Subject of this research consist of 61 data sample DICOM CBCT Scan which reoriented in three planes and measuring thickness of the ramus mandible using Osirix LXIV. Result: Mean thickness of the ramus mandible for male is 8.049 1.205 mm and female 8.463 1.358 mm. In group age of 18 30 mean thickness of the ramus mandible is 8.087 1.29 mm, group age 31 40 is 8.176 1.49 mm, group age 41 50 is 8.742 1.04 mm. Conclusion: Based on CBCT Scan there are no difference statistically between thickness of ramus mandible in male and female, and group of age.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Hartanto Wahyu Prasetyo
Abstrak :
Latar Belakang: Prognati mandibula merupakan kasus maloklusi skeletal yang dapat ditemukan dengan fekuensi 15-23% dari seluruh populasi orang di asia tenggara. Koreksi terhadap kondisi ini dapat dilakukan secara bedah ortognatik mandibular setback dengan teknik Bilateral Sagital Split Osteotomy (BSSO). Penelitian telah mengkategorikan bahwa tindakan mandibular setback sebagai prosedur dengan stabilitas paling rendah di antara prosedur bedah ortognatik lainnya. Namun demikian bebrapa penelitian menyatakan bahwa hasil pasca operasinya masih dapat dikatakan stabil dengan kategori tertentu. Tujuan: Mengetahui perbedaan relaps pada varian kategori besaran mandibular setback pasca tindakan tersebut dengan teknik BSSO saja dan BSSO dengan prosedur bedah ortognatik tambahan pada maksila pada pasien-pasien prognati mandibula. Material dan Metode: Rekam medis dan radiograf sefalometri pasien pre operasi, pasca operasi dan H+6 bulan pasca operasi BSSO dan BSSO dengan prosedur bedah ortognatik tambahan pada maksila selama periode tahun 2001 sampai 2017 dari divisi Bedah Mulut dan Divisi Ortodonti R.S. Cipto Mangunkusumo, Jakarta dikumpulkan dan didapatkan 16 sampel sesuai kriteria inklusi. Hubungan antar variabel dievaluasi dengan Uji Fishers Exact pada Chi Square dan Uji hipotesis dengan Mann-Whitney U Test Kesimpulan: Tidak ditemukan perbedaan bermakna bermakna antara relaps pada mandibular setback sedang, dan besar pada kelompok BSSO dan BSSO dengan Prosedur bedah ortognatik tambahan pada maksila (Le Fort I). Dari analisis yang dilakukan terdapat kemiripan dengan penelitian sebelumnya yaitu lebih dari 50% sampel terjadi relaps pasca operasi lebih dari 2mm.
Background: Mandibular prognathism has the frequency among 15% to 23% of the entire population of southeast Asian people. Correction of such malocclusion can be done by performing mandibular setback using Bilateral Sagital Split Osteotomy (BSSO) method. Few research has categorized that setback mandibular as procedure with the low rate of stability among other orthognathic surgery procedures. However, this has become the method of choice until now. Objective: To observe significant difference among post operative relapse on each small, moderate, and large mandibular setback after BSSO and BSSO combined with adjunct orthognathic surgery procedures on the maxilla in patients with mandibular prognathism. Materials and Methods: Patients medical records including cephalometric radiographs preoperative, postoperative, and 6 months after BSSO and BSSO with adjunct orthognathic surgery procedures in the maxilla during year 2001 to 2017 gained from Oral Surgery Division and Orthodontics Division of Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta was collected. Based on inclusion criteria, 16 samples was observed. Data correlation was analyzed using Fishers Exact test in Chi Square and hypothesis was evaluated using Mann-Whitney U Test Conclusion: There is no significant difference was found in term of relapse on each small, moderate, and large mandibular setback in BSSO group and BSSO with adjunct orthognathic surgery procedures in the maxilla (Le Fort I). This study tend to have similarity as the past studies stated in term of more than 50% with post operative relaps more than 2mm
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yus Arlika Putra Wibawa
Abstrak :
Latar Belakang: Deviasi atau ketidakseimbangan proporsi fasial serta hubungan gigigeligi yang menggangu fungsi, estetika dan profil wajah. Bedah ortognatik bertujuan memperbaiki ketidakharmonisan dan estetika wajah bekerjasama dengan perawatan ortodonti. Sagital split osteotomy merupakan reposisi segmen mandibula yang dilakukan secara bilateral. Perubahan posisi kondilus mandibula serta stabilitas skeletal pada pasien BSSO mempengaruhi asimetri kondilus mandibula yang dikaitkan dengan adanya resiko terjadinya TMD.

Tujuan: Mengetahui perbedaan kondilus mandibula pada pasien pra bedah dan pasca bedah BSSO di Divisi Bedah Mulut dan Maksilofasial RSCM, Jakarta dengan perhitungan indeks simetri dan asimetri kondilus mandibula. Material dan Metode: Penelitian retrospektif melalui radiografik panoramik pra bedah, pasca bedah dan 1 tahun pasca bedah BSSO prosedur setback mandibula di Divisi Bedah Mulut dan Maksillofasial, RSCM, Januari 2001 hingga Desember 2017 sesuai kriteria inklusi dan eksklusi dan didapatkan 16 sampel. Setiap sampel dilakukan pengukuran pada radiografi panoramiknya dengan menggunakan teknik Habets dan teknik Kjellberg.

Hasil Penelitian: Haasil uji Repeated ANOVA, didapatkan hasil kemaknaan p = 0.389 maka p>0.05 pada indeks asimetri Habets pada saat pra bedah, pasca bedah dan 1 tahun pasca bedah,. Sedangkan uji Repeated ANOVA kelompok indeks simetri Kjellberg, didapatkan hasil kemaknaan p = 0.297 maka p>0.05 pada indeks asimetri Kjellberg pada saat pra bedah, pasca bedah dan 1 tahun pasca bedah.

Kesimpulan: Hasil penelitian indeks asimetri Habets dan indeks simetri Kjellberg menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan pada hasil pengukuran simetri dan asimetri mandibula. Orientasi kodilus terhadap fossa glenoid dan manuver posisi kondilus merupakan langkah terpenting yang harus dilakukan dalam BSSO.sehingga tujuan pokok BSSO yaitu perbaikan fungsi, estetik dan stabilitas dapat tercapai. ......Background: Deviations or imbalances in facial proportions and occlusions that interfere with facial function, aesthetics and profile. Orthognathic surgery aims to correct the disharmony and facial aesthetics in collaboration with orthodontic treatment. Sagittal split osteotomy is repositioning of the bilateral mandible segment. Changes in mandibular condyle position and bone stability in BSSO affect mandibular condyle asymmetry related to TMD risk.

Objective: To determine the differences in mandibular condyle in pre-surgical and postBSSO patients in the Oral and Maxillofacial Surgery Division, RSCM, by calculating the symmetry index and asymmetry of the mandibular condyle.

Materials and Methods: Retrospective studies through preoperative, postoperative and 1 year post-BSSO mandibular setback procedures panoramic radiographs in the Oral and Maxillofacial Surgery Division, RSCM, January 2001 to December 2017 according to inclusion and exclusion criteria and obtained 16 samples. Each sample was measured on its panoramic radiography using the Habets technique and the Kjellberg technique.

Result: The results of repeated ANOVA test obtained significance p = 0.389 then p> 0.05 in the Habet asymmetry index during pre-surgery, post-surgery and 1 year post-surgery. Whereas the Repeated ANOVA test from the Kjellberg symmetry index group, the result of significance was p = 0.297, then p> 0.05 on the Kjellberg asymmetry index during presurgery, post-surgery and 1 year post-surgery.

Conclusion: The results of the Habets asymmetry index and the Kjellberg symmetry index showed no significant differences in the results of measurements of mandibular symmetry and asymmetry. Condyle orientation to the glenoid fossa and condyle position maneuver are the most important steps that must be done in BSSO. So that the main objectives of BSSO are improvement of function, aesthetics and stability can be achieved.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library