Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 15 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Being Fadarudin
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1998
S48986
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
La Ode Dirman
Abstrak :
Konsep penting yang menjadi dasar prespektif dalam penelitian ini adalah adaptasi,yaitu bagaimana orang Bajo-Berese mengatur hidupnya sebagai pemukim menetap di wilayah pesisir Holimombo sejak akhir tahun 50-an sampai sekarang. Untuk menjelaskan permasalahan ini digunakan pendekatan ekologi budaya yang dikembangkan Julian Steward (1955) yang karakterisitk metodologisnya adalah historis, komparatif dan holisitik. Holistik memandang bahwa elemen-elemen budaya saling ketergantungan, namun secara spesifik memusatkan perhatian pada inti kebudayaan mencakup pola-pola sosial,kepercayaan dan politik, karena sangat berkaitan aspek teknologi eksploitasi. Adapun konsep adaptasi mengacu pada konsep Emillio Moran (1979) dan Bennet (1974). Hasil penelitian menunjukan bahwa Orang Bajo Berese dalam kehidupannya sebagai pemukim menetap di wilayah pesisir Holimombo secara umum adaptif. Sedangkan yang tidak adaptif adalah indvidu-individu yang melakukan pengembaraan untuk menetap di wilayah pesisir lainnya dan tidak kembali lagi. indikator keberhasilan adaptasi terlihat; (1) meningkatnya populasi mereka yang tercatat dalam kurun tujuh tahun terakhir yaitu tahun 1990-1991 berjumlah 189 orang sedangkan tahun 1996-1997 meningkat 332 orang ; (2) semakin meningkatnya income perkapita yang terlihat dari tingkat pengeluaran, baik untuk konsumsi langsung rumah tangga, pakaian, perumahan maupun pemilikan alat tangkap;(3) kesehatan meningkat yang terlihat dari tingginya tingkat lahir-hidup bayi yakni usia 0-5 tercatat 31 % dari jumlah penduduk Bajo Berese, sedangkan tingkat kematian karena faktor usia lanjut yang dalam lima tahun terakhir ini terdapat empat orang;(4) Pengembangan cara hidup sebagai strategi adaptasi sosial maupun fisik seperti;(a)perkawinan dengan cia-cia namun tetap mempertahankan untuk tetap tinggal dipemukiman mereka;(b) mempertahankan perdagangan barter dengan penduduk cia-cia meskipun berkembangnya ekonomi uang;(c) adanya pemimpin formal orang Bajo dalam struktur pemerintahan desa Holimombo;(d) adopsi teknologi motorisasi sehingga konsep kearifan bahwa laut milik bersama cenderung berubah persepsi mereka bahwa laut menjadi milik orang yang bermodal;(e) kepercayaan akan hukuman supernatural masih berakar dalam kehidupan mereka, tampak dari pantangan-pantangan yang harus dilakukan mulai saat kehamilam, sunatan, dalam kehidupan rumah tangga khususnya berkaitan dengan, berhasil tidaknya memperoleh rejeki di laut maupun ancaman kecelakaan di laut;(f) semakin menghargai pendidikan;(g) Kerja bakti desa atau memberi upah pada penduduk Holdmombo;(i) dalam lima tahun terakhir ini, telah menjalin hubungan dagang dengan perusahaan-perusahaan di kota Bau-Bau, khususnya penjualan sirip hiu, tuna, lola dan japing-japing. Akhirnya mempertahankan adat menetap sesudah kawin untuk tetap hidup di pemukiman mereka adalah sebagai strategi mempertahankan keutuhan komunitas mereka. Tetapi juga sebagai strategi mengatasi semakin sulitnya memperoleh hasil laut utamanya dalam hal tenaga manusia sebagai hal yang mutlak dalam rangka menambah produktifitas tenaga kerja, dimana jumlah anak adalah sangat diperlukan sebagai aset ekonomi keluarga Bajo Berese.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kinayung Syafira Aratuza
Abstrak :
Penelitian ini ingin mengungkap proses adaptasi arsitektur vernakular suku Bajo di desa Mola Kepulauan Wakatobi dalam mengahadapi modernitas. Suku Bajo adalah suku yang kehidupannya tidak pernah jauh dari laut, bergerak, bekerja dan tinggal di atas perahu, namun saat ini sebagian besar suku Bajo telah bermukim di pesisir pantai, hal ini terjadi karena pemerintah yang sejak dulu ingin membawa suku bajo ke daratan agar memiliki identitas dan teritori yang jelas. Perpindahan suku Bajo dari laut ke darat menyebabkan mereka terpaksa beradaptasi dengan lingkungan baru yang akhirnya menciptakan pemaknaan baru dalam kehidupan suku Bajo. Meskipun memiliki rumpun dan etnis yang sama, perkembangan tiap suku Bajo ditiap daerah pastilah memiliki cara tersendiri, yang membedakan adalah cara masyarakat beradaptasi dan memaknai rumah, sehingga rumah suku Bajo Mola merupakan salah satu objek yang mengalami proses adaptasi, perpindahan, dan perubahan. Tujuan penelitian ini adalah unuk mengetahui sejarah perkembangan arsitektur vernakular Suku Bajo di Desa Mola dan proses adaptasinya dalam menghadapi modernitas. serta melihat perubahan apa yang terjadi pada proses adaptasi tersebut terhadap kebudayaan dan identitas asli suku Bajo di Desa Mola. Penelitian dilakukan di Pemukiman Suku Bajo desa Mola Kepulauan Wakatobi. Metode penelitian yang digunakan adalah interpretasi historis dengan dua proses, pertama menganalisis bukti yang tertinggal untuk menghasilkan fakta dan kedua melakukan interpretasi sejarah, peneliti menggunakan 3 tahap dalam proses adaptasi yaitu inception, implementation, dan disposal, sebagai alat untuk menganalisa suku Bajo Mola. Penelitian ini membuktikan bahwa Suku Bajo Mola dalam menghadapi kehidupan modern tidak lantas menghilangkan atau mengganti aspek kehidupan terdahulu mereka dengan yang baru, namun mereka beradaptasi, menyesuaikan diri dengan tetap menjaga hal- hal yang penting untuk mereka yaitu kehidupan yang tetap berorientasi kepada lautan. ......This study aims to reveal the process of adapting the vernacular architecture of the Bajo tribe in Mola village, Wakatobi Islands in the face of modernity. The Bajo tribe is a tribe whose life is never far from the sea, moves, works and lives on boats, but now most of the Bajo tribe have settled on the coast, this is because the government has always wanted to bring the Bajo tribe to the mainland in order to have a clear identity and territory. The movement of the Bajo tribe from sea to land forced them to adapt to a new environment which eventually created a new meaning in the life of the Bajo tribe. Even though they have the same family and ethnicity, the development of each Bajo tribe in each area must have its own way, the difference is the way the community adapts and interprets the house, so that the Bajo Mola house is one of the objects that undergo a process of adaptation, displacement, and change. The purpose of this study was to determine the history of the development of Bajo vernacular architecture in Mola Village and its adaptation process in the face of modernity. and see what changes have occurred in the adaptation process to the culture and original identity of the Bajo tribe in Mola Village. The research was conducted in the Bajo Tribe Settlement, Mola Village, Wakatobi Islands. The research method used is historical interpretation with two processes, firstly analyzing the remaining evidence to produce facts and secondly performing historical interpretation, the researcher uses 3 stages in the adaptation process, namely inception, implementation, and disposal, as a tool to analyze the Bajo Mola tribe. This research proves that the Bajo Mola Tribe in dealing with modern life does not necessarily eliminate or replace aspects of their previous life with new ones, but they adapt, adjust while maintaining the things that are important to them, namely life that remains oriented to the ocean.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitriawati
Abstrak :
ABSTRAK
Pengaruh Islam Terhadap Tradisi Suku Bajo Pulau Bungin-Sumbawa, Nusa Tenggara Barat Penelitian ini menjelaskan tentang pengaruh Islam terhadap limaTradisi Suku Bajo Bungin yang menunjukkan Islam berakulturasi dengan tradisi Suku Bajo Bungin. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan kualitatif penelitian lapangan: wawancara, partisipasi langsung participant obeserve , observasi, kepustakaan. Temuan dari penelitian ini adalah bahwa Islam memiliki beberapa peran dan pengaruh dalam tradisi Bajo Bungin. Peran dan pengaruh tersebut berada pada masing-masing titik bagian seperti pohon, Islam menjadi akar dasar pembentuk tradisi, pengokoh seperti batang, menjadi inti seperti sistem jaringan pohon, menjadi kanopi pada sebuah tradisi, dan ranting pada sebuah tradisi. Hal ini menjadi sebuah rangkaian besar dalam siklus kehidupan manusia Bajo Bungin yang berkelanjutan. Kata kunci: Islam, Bajo, Bungin, tradisi, akulturasi.
ABSTRACT
The Effect of Islam Against Tradition Bajo Bungin 39 s Sumbawa Island, West Nusa Tenggara. This research explain about the Islamic influence towards five tradition of Bajo Bungin tribe which shows that acculturated with the tribe rsquo s tradition. This research used qualitative method with the field research approach, interview, direct participant, observation, and library research. The finding shows that Islam has some roles and influence in Bajo Bungin tribe tradition. The roles and influences were on each part that illustrated like a tree. Islam become the basic root in forming the tradition, strengthen like the stem, became the core like a tree system, became the canopy on tradition and branches of tradition. It became a big system in sustainable human life cycle of Bajo Bungin trib.Keywords Islam, Bajo, Bungin, tradition,acculturation.
2017
S68401
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Center for Policy Research of Education and Culture,
306 CUM
Majalah, Jurnal, Buletin  Universitas Indonesia Library
cover
Hartono
Abstrak :
ABSTRAK
Pulau Kera awalnya sebagai pulau yang tidak berpenghuni, kemudian pada tahun 1911 datang orang Bajo yang terkenal sebagai pelaut. Walaupun dalam keterbatasan mulai dari akses air bersih, listrik, pendidikan, pelayanan kantor pemerintah yang belum diperoleh, tidak mampu menggoyahkan masyarakat untuk tetap bertahan di pulau ini. Orang Baju menetap dan bertahan karena keindahan pantai dan kekayaan lautnya. Mereka sebagian besar bermatapencaharian sebagai nelayan dengan kehidupan sosial yang sederhana. Kedekatan emosional masyarakat Bajo dengan sumberdaya laut memunculkan tradisi mamia kadialo. Tradisi mamia kadialo berupa pengelompokan orang ketika ikut melaut jangka waktu tertentu dan perahu yang digunakan. Ada tiga kelompok tradisi, yaitu palilibu, bapongka, dan sasakai. Hal ini merupakan perilaku yang positif yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya laut untuk tetap hidup harmonis menjaga kelestarian lingkungan.
Denpasar: Balai Pelestarian Nilai Budaya Bali, 2017
902 JPSNT 24:1 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Chandra Nuraini
Abstrak :
This paper1 deals with the phonology and the lexicology of the Indonesian Bajo language and more specifically with the dialect or variant that can be heard all around the Flores Sea in Kangean, South-East Sulawesi, Sumbawa, and Flores. The phonological survey focuses on vowel lengthening, gemination, pre-nasalized phonemes, and sandhi. The second part of this paper proposes an insight into Bajo lexicology, restricted to nominal and verbal derivation.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2010
909 UI-WACANA 12:2 (2010)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Yahya
Abstrak :
Tesis ini pertama-tama beranjak dari pendapat Roedjito, Harper, Staveren dan den Hartog yang mengemukakan bahwa bagi masyarakat pedesaan faktor ekonomi dan keadaan lingkungan geografis merupakan faktor kunci yang menentukan status gizi mereka. Dalam kata lain, apabila kedua faktor tersebut tidak menunjang, maka warga komunitas bersangkutan terutama bayi-balita sebagai kelompok rentan gizi akan lebih banyak yang menderita kekurangan gizi. Pendapat mereka itu, didasarkan pada kenyataan bahwa masyarakat pedesaan memperoleh dan memenuhi kebutuhan makanannya melalui jalur pembelian dan dengan cara memproduksi langsung dari lingkungan alamnya. Apabila asumsi ahli gizi tersebut dikontekstualisasikan dengan keadaan kehidupan masyarakat nelayan Bajo, maka dapat dikatakan bahwa bayi-balita Orang Baja akan lebih banyak yang menderita kekurangan gizi dibandingkan dengan yang keadaan gizinya normal. Dikatakan demikian, sebab Orang Baja yang mata pencaharian utamanya sebagai nelayan tidak berbeda keadaan sosial ekonominya dengan nelayan lainnya yang berada di Indonesia; yakni lebih miskin dari petani dan pengrajin. Keadaan itu tentu saja menyebabkan daya belinya terhadap beragam jenis bahan makanan relatif terbatas. Hal itu kemudian tidak ditunjang oleh keadaan lingkungan geografis mereka. Sebab mereka membangun pemukiman mereka di pesisir pantai di atas permukaan taut; karena itu, mereka tidak dapat melakukan kegiatan bercocok tanam bahan makanan di sekitar rumah mereka dan juga tidak dapat melakukan kegiatan beternak. Dengan keadaan sosial ekonomi dan lingkungan geografis yang demikian itu, menyebabkan mereka sangat sulit menghadirkan makanan empat sehat lima sempurna di rumah mereka. Akan tetapi, sungguhpun keadaan ekonomi dan lingkungan geografis orang Bajo tampaknya tidak menunjang pemenuhan kebutuhan gizi mereka terutama kebutuhan gizi bayi-balita namun pada kenyataannyalebih banyak bayi-balita yang keadaan gizinya normal. Ini berarti bahwa sebagian besar orang Bajo telah berhasil mengantisipasi kendala ekonomi dan ekologis yang dihadapinya, terutama dalam hal pemenuhan kebutuhan makanan bayi-balita mereka. Kemampuan antisipatif tersebut termanifestasikan pada kebiasaan makan yang dikembangkannya. Berdasar dari uraian itulah, maka tesis ini mengkaji mengenai kebiasaan makan orang Baja, terutama kebiasaan makan ibu dan bayi-balita. dengan mengkaji kebiasaan makan ibu dan bayi-balita arang Baja tersebut, maka dapat diungkapkan mengenai kontribusi kebiasaan makan terhadap adanya sebagian bayi-balita yang keadaan gizinya normal dan sebagian lainnya yang keadaan gizinya kurang. Upaya untuk mengungkap kebiasaan makan tersebut, dilakukan penelitian lapangan selama kurang lebih enam bulan lamanya. Pengumpulan data di lapangan dilakukan dengan survey dan dengan pengamatan terlibat dan wawancara mendalam. Penelitian survey dilakukan dalam rangka mendapatkan data-data dasar yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Sedangkan pengamatan terlibat dan wawancara mendalam dilakukan dalam rangka mendapatkan informasi yang lebih komprehensif berkenaan dengan masalah yang diteliti. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingginya angka bayi-balita yang keadaan gizinya normal disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya: (i) kehadiran juragang yang selain berperan sebagai pihak yang menadah dan mendistribusikan basil tangkapan nelayan, juga selalu siaga memberikan bantuan pinjaman kepada nelayan yang memerlukan bantuannya; (ii) adanya kebiasaan saling memberi bahan makanan (reciprocity) di antara Para nelayan, khususnya sayur-sayuran dan ikan; (iii) pengolahan ikan dilakukan dengan Cara yang beragam dan salah satu di antaranya yang tidak melalui proses perapian. Variasi pengolahan ikan yang demikian itu, selain dapat merangsang selera makan setiap individu juga kondusif untuk memenuhi kebutuhan protein. Demikian juga ikan yang diolah tanpa melalui proses perapian selain mempunyai kandungan protein yang tinggi juga mengandung vitamin A, C, dan D; (iv) umumnya keluarga prang Bajo tidak membedakan antara orang dewasa dan anak-anak dalam hal pendistribusian makanan. Konsekuensinya adalah memungkinkan bagi setiap anggota keluarga, terutama anak-anak, mendapatkan porsi makanan yang dibutuhkannya; (v) ibu hamil dan menyusui mengkonsumsi makanan yang lebih banyak dan lebih bervariasi dibandingkan dengan ketika is tidak dalam keadaan hamil dan menyusui; (vi) semua ibu menyusui yang kondisi kesehatannya baik senantiasa memberikan ASI kepada bayi-balitanya hingga berusia antara 1 s.d 3 tahun; dan (vii) umumnya bayi-balita mendapatkan makanan tambahan sejak berumur antara 3 s.d. 6 bulan. Jenis makanan tambahan yang diberikan adalah disesuaikan dengan usia bayi-balita; yakni dimulai dengan makanan lunak dan kemudian makanan semi-padat serta akhirnya disamakan dengan makanan orang dewasa. Sementara itu, bagi bayi-balita yang keadaan gizinya kurang dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya (i) semasa bayi-balita itu masih dikandung ibunya menderita penyakit tertentu; (ii) ibu menyusui menderita penyakit tertentu sehingga is tidak dapat memberi ASI kepada bayibalitanya secara konsisten dan juga tidak dapat merawat bayi-balitanya secara baik; (iii) bayi-balita itu sendiri yang menderita penyakit tertentu, seperti penyakit balakiangi, doko ana', dan kasiwiang. Janis penyakit itu ditanggapi oleh orang Bajo sebagai penyakit yang hanya dapat disembuhkan oleh praktisi medis tradisional, dan proses penyembuhan itu dilakukan dengan memantangkan kepada penderita mengkonsumsi jenis makanan tertentu; dan (iv) bayibalita kurang mendapatkan perhatian dan perawatan, terutama dalam hal pemberian makanan. Ini terjadi di antaranya disebabkan oleh besarnya jumlah anak, ibu itu sendiri yang menangani semua urusan rumahtangganya, dan ibu itu bersikap mesa bodoh terhadap bayi balitanya.
Depok: Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indriati Permanasari
Abstrak :
Pariwisata merupakan industri yang berperan dalam perekonomian suatu negara. termasuk penciptaan lapangan kerja. Oleh karena itu, banyak negara bertujuan untuk meningkatkan industri pariwisata yang dimiliki. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi intensi wisatawan untuk mengunjungi kembali suatu destinasi. Hipotesis diuji secara empiris dengan mengambil sampel 250 wisatawan nusantara dan Labuan Bajo sebagai objek penelitian. Hasil dari penelitian ini mengungkapkan bahwa beberapa destination attributes berpengaruh terhadap experience quality wisatawan, baik secara positif maupun negatif. Selain itu, beberapa dimensi dari experience quality memiliki pengaruh signifikan terhadap trip satisfaction, di mana hal ini berkorelasi positif dengan intention to revisit wisatawan. Model penelitian mengeksplorasi hubungan tersebut dengan menggunakan pendekatan Partial Least Squares Structural Equation Modeling (PLS-SEM). Temuan penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai proses pengambilan keputusan wisatawan untuk mengunjungi kembali sebuah destinasi, dalam konteks pariwisata di negara berkembang, yaitu Indonesia. ......Tourism has long been known for its potential contribution to a countrys economy, including job creation. Therefore, many countries are aiming to develop and grow their tourism industry. This study aims to analyse factors that influenced travellers intention to revisit a destination. The hypotheses were empirically tested with samples of 250 Indonesian tourists and Labuan Bajo as the object analysed. The findings revealed that various destination attributes influenced the travellers experience quality, either positively or negatively. Furthermore, some dimensions of the travellers experience quality have a significant effect on the travellers trip satisfaction and subsequently, it positively correlates with their intention to revisit the destination. The research model explored the relationship by using a Partial Least Squares Structural Equation Modeling (PLS-SEM) approach. The research findings hopefully offer key insights into the process of traveller decision making upon whether to revisit a destination, in the context of tourism in an emerging market, namely Indonesia.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Local wisdom was believed as a significant potency for some ethnics in Indonesia to sustain living in the coastal areas. Bugis and Baja people were known as two ethnics among others who get used to live in the coastal areas, sailing across the ocean, and lived outside their traditional habitats. On the other hand some coastal development policies, new introduced coastal activities, or natural hazards tend to change the environmental conditions of their settlement. These could disturb the existence of their settlements in the coastal areas. Based on, private research on coastal settlement since 2002, this paper described the role of tradition, adaptation, or transformation strategy of Bugis and Baja community to survive living in Jakarta, East Nusa Tenggara and West Nusa Tenggara islands and coastal settlements. Unsupported by information and awareness on new discoveries, improve interpretation on sustainable living, and relevant government interventions, local wisdom could support them to survive but not sufficient to improve the coastal community resilience on coastal disaster and ensure the sustainability of their settlements in the coastal areas.
Jurnal Teknologi, Vol. 21 (4) Desember 2007 : 281-294, 2007
JUTE-21-4-Des2007-281
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>