Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 13 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Supriatna Djalimun
Abstrak :
Program Pengembangan Kecamatan adalah suatu program yang. bertujuan untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kemampuan kelembagaan masyarakat dan aparat melalui pemberian modal usaha untuk pengembangan kegiatan usaha produktif maupun pembangunan prasarana dan sarana yang mendukung ekonomi perdesaan, dimana masyarakat perdesaan diberikan kebebasan dart keleluasaan di dalam penentuan kegiatan yang akan dilaksanakan atas dasar kesepakatan dalam musyawarah kelompok. Hal ini merupakan wujud dari pemberdayaan masyarakat, karena masyarakat sendirilah yang akan melaksanakan program kegiatan maupun pelestariannya. Kecamatan Prafi merupakan 1 (satu) dad 17 (tujuh belas) kecamatan di Kabupaten Manokwari yang sejak tahun 1999/2000 menjadi sasaran kegiatan PPK. Sehubungan dengan itu yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah : bagaimarta implementasi pelaksanaan PPK di Kecamatan Prafi serta sejauh mana Program Pengembangan Kecamatan dapat menumbuhkan iklim demokratis. Sedangkan secara umum yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah untuk menggambarkan implementasi pelaksanaan PPK di Kecamatan Prafi serta untuk mengetahui sejauh mana Program Pengembangan Kecamatan dapat menumbuhkan iklim demokratis. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Adapun teknik pengumpulan datanya melalui studi kepustakaan, wawancara dan observasi. Informan dalam penelitian ini adalah mereka yang terlibat langsung dengan PPK di Kabupaten Manokwari maupun di Kecamatan Prafi dengan jumlah informan sebanyak 11 orang yang terdiri dari Tim Koordinasi PPK Kabupaten I Kepala Kantor Pembangunan Masyarakat Desa Kabupaten Manokwari, Kansultan Manajemen Kabupaten Manokwari, Fasilitator Kecamatan, Tokoh Masyarakat, Tokoh Perempuan dan Anggota Kelompok pria dan wanita. Dari hasil pengamatan di lapangan serta wawancara dengan informan dapat disimpulkan bahwa melalui PPK telah dapat mengubah sistem perencanaan pembangunan yang selama ini lebih bersifat "Top Down" menjadi "Bottom up", program ini sendiri memberikan peluang kepada masyarakat untuk berperan secara aktif dan memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk menentukan kegiatannya secara demokratis, masyarakat lokal telah dapat menerima dan memahami dengan cukup baik tentang PPK di Kecamatan Prafi. Demikian pula halnya dengan keterlibatan masyarakat lokal pada umumnya cukup baik. Disamping itu masyarakat telah dapat mengembangkan kegiatan usaha dengan memanfaatkan bantuan dana yang diterima melalui PPK untuk kegiataan ekonomi produktif, namun keterlibatan perempuan khususnya dari masyarakat asli dalam pertemuan masih kurang karena masih kuatnya pengaruh adat dan budaya mereka, Keterlibatan masyarakat dalam PPK ini lebih banyak didominasi oleh masyarakat pendatang dari pada masyarakat asli. Selain itu dalam proses perencanaan program melalui tahapan penggalian gagasan dapat berjalan dengan baik dan mencerminkan suasana atau iklim yang demokratis dimana pada saat musyawarah untuk menentukan kegiatan yang akan dilaksanakan terjadi adu argumentasi antar masyarakat namun semuanya dapat berjalan dengan baik demi kepentingan bersama. Saran yang disampaikan agar pelaksanaan Program Pengembangan Kecamatan ini dapat memberdayakan masyarakat lokal guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat antara lain : dalam sosialisasi PPK melibatkan Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama dan Kepala Suku, diperlukan pendekatan budaya kepada masyarakat asli khususnya kaum perempuan, pelaksanaan PPK berdasarkan PTO Nasional perlu disesuaikan dengan kondisi geografis dan budaya masyarakat, memberikan motivasi dan dorongan melalui pemberian pelatihan keterampilan, melibatkan pihak ketiga untuk turut serta membantu masyarakat pedesaan untuk memasarkan hasil usahanya keluar daerah, agar lebih mengutamakan masyarakat asli yang terlibat dalam PPK, perlu dukungan sarana jalan dan penyediaan jaringan pipa air bersih.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T1313
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Desmaniar
Abstrak :
Kemiskinan merupakan permasalahan yang klasik dan sulit untuk diberantas secara tuntas. Apalagi dengan kondisi negara Indonesia seperti sekarang ini, permasalahan demi permasalahan muncul silih berganti, ditandai dengan adanya krisis moneter yang melanda dunia dan berimbas kepada Indonesia dan mencapai klimaknya pada awal tahun 1998. Kemiskinan dikalangan rakyat bukan semakin berkurang tetapi semakin bertambah. Begitu juga dengan kemiskinan yang ada di Propinsi Riau. Dari 12.777 Desa yang ada di Propinsi Riau, 555 Desa dikategorikan tertinggal, dimana sebagai sasaran penelitian adalah Desa Basilam Baru yang ada di Kota Dumai. Hal tersebut terlihat dari 80 responden 92,5 % berada dibawah garis kemiskinan. Desa Basilam Baru berada di lingkungan perusahaan besar, baik itu swasta nasional seperti PT.Caltex Pacific Indonesia maupun Pertamina (Pertambangan Minyak Nasional), serta adanya perguruan tinggi didekat lokasi desa tersebut justru desa Basilam Baru dikategorikan desa miskin. Tidak adanya kebijakan yang terencana dengan baik menyebabkan tidak adanya peningkatan kesejahteraan di desa Basilam Baru. Hal tersebut dapat dilihat dari tidak adanya perhatian yang sungguh-sungguh terhadap kehidupan masyarakat di desa Basilam Baru selama ini sehingga desa tersebut luput dari sentuhan pembangunan. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberi gambaran tentang kondisi kemiskinan sejumlah keluarga di desa Basilam Baru dan mengetahui apa faktor penyebab kemiskinan tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif dengan jenis data kuantitatif dan kualitatif. Adapun responden disini adalah 80 KK yang ada di desa Basilam Baru. Penelitian dilakukan dengan menggunakan konsep pemikiran kemiskinan dari segi struktur dan kultur. Dari segi struktur mengacu kepada pendapat Elizabeth Wickenden tentang kesejahteraan sosial yang meliputi perundang-undangan, program, manfaat dan pelayanan yang menjamin atau memperkuat penyediaan untuk memenuhi kebutuhan sosial yang mendasar bagi kesejahteraan penduduk. Berdasarkan hal tersebut diatas, apa saja program pemerintah yang sudah dilakukan untuk membantu orang miskin di desa Basilam Baru melalui akses terhadap pelayanan publik atau keberadaan infra struktur berupa sarana dan prasarana seperti pendidikan, air bersih, penerangan, kesehatan dan transportasi. Sedangkan dari segi kultur mengacu kepada kerangka Kluckhohn yang didasarkan pada masalah dasar kehidupan manusia meliputi, hakekat hidup manusia, hakekat karya manusia, hakekat dari kedudukan dalam ruang dan waktu, hakekat dari hubungan manusia dengan alam sekitar dan hakekat dari hubungan manusia dengan manusia. Adapun faktor kultural tidak begitu berpengaruh terhadap penyebab kemiskinan dikarenakan jawaban yang diberikan menurut kerangka Kluckhohn tidak memperlihatkan jawaban yang negatif. Dari hasil penelitian yang didapat bahwa faktor penyebab kemiskinan masyarakat di Basilam Baru adalab berasal dari luar diri mereka atau struktur yang sudah begitu lama membelenggu mereka. Hal ini terlihat dari jawaban responden dan dibenarkan oleh informan atau nara sumber yang peneliti temui di lapangan, juga diperkuat oleh pengamatan langsung ke lapangan yang peneliti lakukan. Tidak adanya kebijakan Pemerintah yang benar-benar menyentuh atau tidak didasarkan pada keinginan dari bawah (bottom up planning). Oleh karena itu disarankan agar kebijakan Pemerintah diadakan untuk memperhatikan keberadaan infrastruktur untuk membuka keterisolasian daerah tersebut.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T2144
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tubagus Rismunandar Ruhijt
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data, menganalisis dan membahas tentang visi, misi, sasaran dan strategi yang sesuai dengan pembangunan transmigrasi pasca reformasi. Jenis penelitian ini adalah penelitian kasus. Untuk mendapatkan data yang diperlukan diambil sampel responden dari Para ahli yang berkaitan dengan pelaksanaan transmigrasi sebanyak 5 orang yang terdiri Kepala Biro Perencanaan Departemen Transmigrasi dan PPH, Kepala Bagian Rencana Departemen Transmigrasi dan PPH, Staf Ahli Menteri Departemen Transmigrasi dan PPH, Kepala Puslitbang Departemen Transmigrasi dan PPH, dan Kepala Pusat Data dan Ieformasi Departemen Transmigrasi dan PPH. Data dikumpulkan melalul angket dan wawancara. Data yang terkumpul diolah dengan Analysis Hirearchy Process dan analisis SWOT. Teknik analisis data dibantu dengan menggunakan program Expert Choice. Berdasarkan hasil analisis data maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Faktor-faktor yang menunjang terhadap keberhasilan pelaksanaan program transmigrasi adalah; sumberdaya manusia, lahan yang tersedia,krisis ekonomi, persepsi masyarakat tentang transmigrasi, kerjasama dengan pihak swasta, otonomi daerah, lembaga ekonomi, dan globalisasi. 2. Kendala-kendala dalam pelaksanaan pembangunan transmigrasi adalah persepsi yang negatif dari masyarakat tentang transmigrasi, citra negatif pembangunan transmigrasi, persepsi dunia internasional yang salah tentang transmigrasi, kelestarian iingkungan, bencana alam, perubahan sumber dana, dan kurangnya koordinasi lintas sektor. 3. Visi yang paling sesuai untuk pembangunan transmigrasi pada masa pasca reformasi adalah visi nomor I yang berbunyi "Pembangunan Transmigrasi Merupakan Tulang Punggung bagi Upaya Pemerataan dan Peningkatan Pembangunan Daerah yang mampu mendukung Konsolidasi Kekuatan sinergi dan seluruh potensi pembangunan nasional agar Indonesia dapat menjadi Negara Industri Maju di Tabun 2020" 4. Prioritas misi yang diperoleh berdasarkan hasil penelitian adalah sebagai berikut : a. Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat dalam Arti Seluas-Iuasnya di Daerah Transmigrasi (Misi 1 dengan nilai 0,252) b. Modernisasi Pertanian di Daerah Pedesaan Melalui Pengintegrasian Pendekatan Agribisnis dalam Kegiatan Usaha (Misi 3 dengan nilai 0,0129) c. Pembinaan dan Pengembangan Kegiatan Usaha di Wilayah Pengembangan Transmigrasi Melalui Pengintegrasian dan Pengintensifan Kegiatan Usaha (Misi 2 dengan nilai 0,102) d. Peningkatan Kesempatan Kerja dan Pembukaan Peluang Berusaha di Wilayah Pengembangan Transmigrasi (Misi 4 dengan nilai 0,089) e. Peningkatan Pendayagunaan Potensi Sektor Swasta (Non Pemerintah) bagi Pembangunan Transmigrasi (Misi 5 dengan nilai 0,083) 5. Prioritas sasaran yang diperoleh dari hasil penelitian adalah sebagai berikut : a. Mengembangkan Pusat Pertumbuhan Baru dan Mendukung Peningkatan Pusat Pertumbuhan yang Sedang Berkembang (Sasaran 3 dengan nilai 0,096). b. Meningkatkan Proses Integrasi Masyarakat dan Akulturasi Budaya Bangsa (Sasaran 2 dengan nilai 0,066). c. Meningkatkan Pendapatan Transmigrasi (Sasaran 1 dengan nilai 0,052). d. Meningkatkan Kesejahteraan Ekonomi dan Sosial Penduduk Lokal Melalaui Pola Usaha Transmigrasi (Sasaran 4 dengan nilai 0,038). 6. Adapun strategi-strategi yang ditemukan untuk peningkatan keberhasilan transmigrasi adalah strategi SO yaitu meningkatkan peluang (opportunity) untuk memanfaatkan kekuatan (strength) yang ada. 7. Pada pelaksanaan transmigrasi di PIR Trans Tania Selatan masih ada yang belum sesuai dengan misi tersebut. Hal ini ditandai oleh belum sepenuhnya melaksanakan modernisasi pertanian melalui pengintegrasian pendekatan agribisnis dalam kegiatan usaha dan juga kerjasama dengan lembaga-lembaga ekonomi yang ada beium dilembagakan secara maksimal. Kemudian pembinaan dan pengembangan kegiatan usaha di wilayah pengembangan transmigrasi melalui pengintegrasian dan pengintensifan kegiatan usaha di Tania Selatan belum lagi dikembangkan. Dan belum mengarahkan dalam peningkatan kesempatan kerja dan pembukaan peluang berusaha di wilayah pengembangan transmigrasi. 8. PIR Trans Tania Selatan telah dilakukan kerjasama dengan pihak swasta namun ada kerjasama yang melembaga dengan lembaga-lembaga ekonomi masyarakat seperti KUD atau koperasi lainnya sehingga penyaluran hasil usaha petani masih dikuasai pihak tertentu saja sehingga harga yang diharapkan belum memenuhi harapan petani. 9. Pola transmigrasi disesuaikan dengan potensi daerah. Pada PIR Tania Selatan sasaran belum dapat terlaksana. Hal ini terlihat dari jenis tanaman yang ditanam hanya kelapa sawit, padahal di daerah Tania Selatan juga sangat cocok dengan tanaman lain seperti coklat. 10. Keterkaitan antara kegiatan ekonomi di daerah transmigrasi dengan pembangunan daerah sekitarnya perlu dikembangkan dalam rangka pertumbuhan perekonomian rakyat yang bersemangat swadaya. Sasaran ini belum sepenuhnya terlaksana pada PIR Tania Selatan, sebab pelaksanaan transmigrasi masih tergantung kepada sumber dana yang disesuaikan pemerintah. 11. Otonomi daerah pada transmigrasi PIR Tania Selatan masih dikelola oleh pusat dan belum dikelola oleh Pemda setempat, jadi otonomi transmigrasi di Tania Selatan belum terlaksana. 12. Peningkatan koordinasi lintas sektor dan lintas subsektor transmigrasi sejak dari perencanaan , pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dalam pengembangan wilayah pembangunan transmigrasi. Koordinasi ini di Tania Selatan belum sepenuhnya terlaksana dengan baik. Hal ini terlihat belum padunya kerjasama antara badan-badan yang terlibat dalam organisasi transmigrasi dengan lembaga-lembaga penunjang transmigrasi. 13. Kesenjangan analisa Iingkungan ekstemal antara Top Down dengan Bottom Up yaitu adanya otonomi daerah menjadikan peluang yang dapat Iebih dioptimalkan bagi pemerintah daerah. 14. Kesenjangan analisa internal antara Top Down dengan Bottom Up, Pernda akan Iebih optimal karena membangun di daerah sendiri, perubahan organisasi dilihat dengan Iebih positif oleh Pemda karena otonomi Iebih banyak, namun kualitas SDM dan pengelolaan transmigrasi di daerah menjadi kendala. 15. Kesenjangan alternatif strategi yang ditemukan menurut Top Down dan Bottom Up adalah sebagai berikut : a) Kesenjangan pada startegi SO (Strength - Opportunity) yaitu tidak berbeda antara Top Down dengan Bottom Up, dimana strateginya adalah memanfaatkan lembaga ekonomi, penyesuaian dengan potensi daerah dan kerjasama antara pusat dan daerah. b) Kesenjangan pada strategi ST (Strength -- Threats) yaitu strategi Top Down cenderung mengarah pada penyesuaian dengan keragaman wilayah, sedangkan Bottom Up cenderung mengarah pada pelaksanaan transmigrasi dengan otonomi daerah yang disesuaikan dengan potensi daerah masing-masing. c) Kesenjangan pada strategi WO (Weaknesses - Opportunity) yaitu menurut Top Down dan Bottom Up tidak begitu berbeda, hanya saja Bottom Up (Pemda) cenderung mengarah pada pelaksanaan transmigrasi melalui otonomi daerah. d) Kesenjangan pada strategi WT (Weaknesses - Threats) yaitu menurut Top Down mengarahkan strategi WT kepada perbaikan citra transmigrasi pada dunia luar dan pembukaan lapangan kerja, sedangkan menurut Bottom Up, cenderung mengarah kepada peningkatan pelestarian lingkungan dan mempertimbangkan bencana alam. Berdasarkan kesimpulan di atas, maka dapat disarankan sebagai berikut: 1. Perlu adanya pendmpatan transmigran yang berorientasi agribisnis dengan diversifikasi pola usaha. Dalam kaitan ini diupayakan untuk dikerjasamakan dengan pihak investor. 2. Perlunya mengintegrasikan daerah pemukiman transmigrasi dengan desa setempat. 3. Pola transmigrasi hendaknya disesuaikan dengan potensi daerah. 4. Pilihan komoditas yang dikembangkan di setiap wilayah seyogyanya mengacu pada keunggulan komparatif wilayah dan peluang pasar, baik pasar lokal, regional, maupun international. 5. Pembangunan kawasan transmigrasi sebaiknya diarahkan ke wilayah¬wilayah yang penduduknya masih relatif jarang dan masih membutuhkan tambahan penduduk, baik untuk memenuhi permintaan tenaga kerja maupun untuk pengembangan wilayah. 6. Keterkaitan antara kegiatan ekonomi di daerah transmigrasi dengan pembangunan daerah sekitarnya perlu dikembangkan dalam rangka pertumbuhan perekonomian rakyat yang bersemangat swadaya. 7. Pengembangan wilayah pembangunan transmigrasi hendaknya dilakukan secara seksama dengan memperhatikan keragaman antara wilayah serta keunikan wilayah tertentu, khususnya potensi sumber daya, agroekologi, selaras dan seimbang. 8. Pembangunan wilayah pengembangan transmigrasi sebaiknya ditekankan pada peningkatan pendapatan rumah tangga transmigran wilayah, sehingga keseimbangan pendapatan dan taraf hidup rumah tangga antar wilayah dapat diperkecil. 9. Karena minimnya sumber dana APBN diupayakan menarik investor baik investor dalam negeri maupun asing. 10. Perlu meningkatkan peran lembaga ekonomi khususnya yang ada pada wilayah transmigrasi. 11. Sistem perencanaan sebaiknya berorientasi memanfaatkan otonomi daerah. 12. Perlu peningkatan koordinasi lintas sektor dan lintas subsektor transmigrasi sejak dari perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dalam pengembangan wilayah pembangunan transmigrasi. 13. Perlu usaha - usaha informasi untuk memberi citra pada dunia luar bahwa program transmigrasi justru membangun dan melestarikan Iingkungan hidup (hutan tropis) dan pembinaan sumberdaya manusia. 14. Perlu adanya penyiapan informasi tentang peluang kerja dan kesempatan berusaha di daerah tujuan transmigrasi, terutama di sektor ekonomi sekunder dan tertier. 15. Perlu adanya usaha pengembangan sistem informasi antar daerah tujuan transmigrasi (peluang kerja dan kegiatan usaha yang tersedia) dengan daerah sasaran pengarahan sebagai sumber talon transmigran atau penduduk yang berminat.
Depok: Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ali Wafa
Abstrak :
Keberadaan social capital dalam kelompok-kelompok sosial akan dipengaruhi oleh struktur sosial yang ada. Kelompok-kelompok sosial yang mampu memanfaatkan struktur sosial dalam setiap kegiatannya maka kegiatan tersebut dapat berjalan dengan lancar. Sementara kelompok yang tidak dapat memanfaatkan keberadaan struktur sosial tersebut maka kegiatan yang dilakukan tidak dapat berjalan lancar. Dengan demikian keberadaan social capital haruslah berada di dalam struktur sosial yang ada. Tesis ini memfokuskan perhatian pada keberadaan social capital dalam suatu kelompok sosial yang diwakili dua jenis kelompok yaitu Kelompok Tani "Mardi Utomo" dan Kelompok PKK. Pembagian kedua kelompok ini didasarkan pada model pembentukan kelompok, dimana Kelompok Tani "Mardi Utomo" merupakan kelompok yang dibentuk oleh seluruh anggota (bottom up) sedangkan kelompok PKK merupakan kelompok yang dibentuk oleh pemerintah (top down). Penelitian ini bersifat kualitatif agar mampu mengungkap secara mendetail mengenai keberadaan social capital pada kedua kelompok tersebut. Dengan demikian akan memahami pola pikir dan tindakan mereka dalam setiap kegiatan yang dilakukan di kelompoknya. Untuk mengungkap hal tersebut, peneliti mengumpulkan data melalui beberapa cara yaitu; studi dokumentasi, observasi, dan wawancara mendalam. Yang menjadi fokus awal dari penelitian ini bagaimana kelompok sosial tersebut mampu memanfaatkan struktur sosial yang ada dalam setiap kegiatannya. Sehingga kegiatan yang dilakukan mendapat dukungan dari seluruh anggota. Kegiatan yang mendapat dukungan anggota dapat berjalan dengan lancar sementara yang tidak mendapat dukungan tidak dapat berjalan. Tindakan yang seperti ini dilakukan terus menerus sehingga diantara anggota timbul perasaan saling percaya. Perasaan saling percaya inilah yang menyebabkan kegiatan dapat berjalan lancar. Dengan menggunakan kerangka Coleman yang mengemukakan bahwa aspek-aspek struktur sosial dapat digunakan oleh aktor sebagai sumberdaya untuk mencapai kepentingannya maka tesis ini berusaha menjawab kebenaran kerangka konsep tersebut melalui penelitian di Desa Bakalan, Kecamatan Jumapolo, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Struktur sosial Jawa yang ada di Desa Bakalan sangat membantu keberadaan social capital di dalam kelompok. Adanya perbedaan status akan menentukan peran masing-masing orang. Orang yang berlatar belakang priyayi akan disegani di desa terlebih kalau yang bersangkutan memiliki umur tua, berjenis kelamin laki-laki, dan memiliki pendidikan tinggi, yang bersangkutan akan mudah menduduki jabatan baik formal maupun informal di desanya. Begitu juga dengan Kelompok Tani "Mardi Utomo" yang menjadi ketua adalah seorang priyayi yang memiliki pengaruh di kelompok karena faktor status yang dimiliki tersebut. Sedangkan kelompok PKK, di dalam memilih seorang ketua tidak memperhatikan faktor status karena jabatan ketua PKK merupakan jabatan yang diperoleh karena jabatan suami yang menjabat kepala desa. Berjalannya kegiatan di Kelompok "Mardi Utomo" karena adanya trust yang kuat diantara anggota, trust yang ada didukung pula oleh pengalaman sosial, ketetanggaan, dan harapan dari anggota. Trust bersama-sama dengan faktor penyangga yang lain seperti tujuan kelompok sosial, pekerjaan sebagai petani, dan adanya mekanisme kontrol sosial yang efektif menyebabkan social capital Kelompok Tani "Mardi Utomo" dapat berjalan. Disisi lain, pada kelompok PKK semua kegiatan yang ada ditentukan oleh pengurus, sehingga pengurus tidak mengerti keinginan dan kemampuan anggota yang sebenarnya, akibatnya banyak kegiatan yang tidak sesuai dengan struktur sosial Jawa yang berlaku. Tindakan yang dilakukan oleh pengurus tersebut akan berpengaruh pada tingkat trust antar anggota, begitu juga dengan mekanisme kontrol sosial yang ada, tidak dapat berjalan efektif. Kendala yang berasal dari intern pengurus tersebut juga dipengaruhi oleh kendala lain yang bersifat organisatoris seperti jumlah anggota yang mencakup seluruh desa, dan tujuan yang masih abstrak. Kendala-kendala yang ada tersebut menjadikan faktor-faktor penyangga social capital berjalan tidak efektif. Tesis ini dalam kesimpulannya menegaskan kembali apa yang dikemukakan oleh Coleman bahwa struktur sosial dapat mempermudah social capital merupakan sesuatu hal yang harus ada. Disini berarti, keberadaan social capital harus berada di dalam struktur sosial yang ada Hal ini sekaligus merupakan implikasi teoritis dari temuan di lapangan yang diwakili oleh dua kelompok sosial. Di akhir tulisan, ada beberapa rekomendasi yang dimaksudkan agar keberadaan gotong royong sebagai salah satu bentuk social capital tidak hilang karena adanya program pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Salah satu rekomendasi yang memuat hal tersebut adalah peraturan desa (perdes) yang harus dirumuskan secara bersama-sama antara pemeriritahan desa dengan kelompok-kelompok sosial yang ada, hal ini juga menunjukkan adanya sinergi antara kelompok-kelompok sosial dengan pemerintah desa. Adanya peraturan desa (perdes) yang mengatur gotong royong secara tegas dengan melibatkan kelompok-kelompok sosial maka keberadaan gotong royong dapat dipertahankan meskipun ada berbagai program pembangunan yang berpotensi mematikan gotong royong.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T9738
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sigit Indra Prianto
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2009
S5283
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sigit Indra Prianto
Abstrak :
Abstract. The subsidy program of cooking oil for underprivileged households in Depok Municipality consists of two liters cooking oil per each underprivileged household with subsidy value of IDR 2.500 per liter. This research is qualitative, descriptive, and interpretive. The purpose of this research is to describe the problems which emerged in the implementation stage of cooking oil subsidy program in Depok Municipality. The result of this research shows that Depok Municipality encountered disparity problem of subsidy allocation with the amount of underprivileged household targets. Moreover, the other problems included technical and managerial aspects which were faced by local government in Depok Municipality. These problems also influenced the effectiveness of the program implementation.
LSM Masyarakat Transparansi Indonesia, 2010
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
I Nengah Tri Sumadana
Abstrak :
Apabila kita mengamati proses pelaksanaan pembangunan di desa Karama, maka kita dapat melihat adanya beberapa karakteristik pembangunan desa yang kurang memperhatikan pengembangan aspek sosial kultural masyarakat setempat antara lain seperti kebijakan, strategi dan program pembangunan desa yang cenderung top down planning daripada bottom up planning, pembangunan desa lebih mengutamakan pembangunan ekonomi dan politik tanpa memberi posisi yang sepadan bagi pengembangan aspek sosial kultural masyarakat setempat, pembangunan desa cenderung mengadopsi pola-pola perilaku manajemen pembangunan dari negara maju dan kurang memberikan peluang bagi adanya akulturasi terhadap nilai-nilai kultural lokal ke dalam proses pembangunan bahkan ingin langsung menggeser nilai-nilai tersebut dengan memaksakan masuknya nilai-nilai baru. Hal ini menyebabkan timbulnya perbenturan nilai-nilai, antara nilai kultural lokal dan nilai modernisasi yang terkandung dalam pembangunan dan masyarakat Karama pun kemudian terperangkap dalam sejumlah pilihan yaitu antara meninggalkan nilai-nilai lama, menerima nilai-nilai baru atau melakukan akulturasi nilai-nilai sendiri dengan nilai-nilai baru yang terkandung dalam pembangunan desa. Dampak lebih jauh adalah adanya kesenjangan antara antusiasme masyarakat saat melibatkan diri dalam berbagai arena sosial kultural dengan antusiasme saat pelaksanaan pembangunan desa. Dalam arena kehidupan sosial kultural seperti pada acara perkawinan, kematian, peringatan hari-hari besar agama, kenaikan Haji dan lain-lain, masyarakat desa Karama sangat aktif terlibat dan menunjukkan kebersamaan dan kesatuan mereka sebagai sebuah komunitas. Dan hal seperti itu tidak dapat kita saksikan dalam kegiatan-kegiatan pembangunan desa. Dengan demikian, masyarakat desa Karama pada dasarya memiliki sejumlah nilai-nilai kultural lokal yang aktif menuntun mereka dalam berucap, bersikap dan bertindak sebagaimana yang seharusnya dalam kehidupan sosial kulturalnya. Mengingat keberhasilan pembangunan bukan hanya ditentukan oleh modal, teknologi dan ilmu pengetahuan tetapi juga faktor manusianya dan manusia dalam melakukan aktivitasnya digerakkan oleh serangkaian nilai-nilai yang tumbuh di dalam benak dan pikirannya yang diperolehnya dari kultur di mana dia tumbuh dewasa. Untuk memahami nilai-nilai yang terkandung dalam kultur masyarakat Karama sebagai bagian dari komunitas Mandar, maka kita perlu memahami institusi-institusi sosial yang ada dalam kehidupan masyarakat Karama. Dalam penelitian ini, Penulis membatasi diri untuk meneliti institusi kekerabatan dan perkawinan adat Mandar di desa Karama. Dari pengkajian terhadap institusi tersebut, penulis mencoba menggali dan menguraikan nilai-nilai kultural yang terkandung didalamnya dan menganalisa peranan yang dapat dimainkan oleh nilai-nilai tersebut dalam proses pembangunan desa. Untuk memahami sistem sosial kultural tersebut, penelitian ini menggunakan pendekatan Kualitatif dengan metode etnogafi. Penelitian ini melibatkan aktivitas belajar mengenai dunia orang yang telah belajar melihat, mendengar, berbicara, berpikir, dan bertindak dengan cara-cara yang berbeda. Peneliti tidak hanya mempelajari masyarakat, lebih dari itu peneliti belajar dari masyarakat. Melalui pengamatan terlibat dan wawancara mendalam, struktur analisa disusun dari hal yang dikatakan orang, dari cara orang bertindak, dan dari berbagai artefak yang digunakan orang. Dan penelitian selama ini, Penulis menemukan sejumlah nilai-nilai kultural yang aktif menuntun masyarakat dalam setiap hubungan sosialnya. Nilai-nilai tersebut adalah (1) nilai siri' yang berarti malu, harga diri, martabat, dan tanggung jawab, (2) nilai dippakaraya yang mengkonsepsikan pernyataan hormat, (3) nilai siarioi mengkonsepsikan keharmonisan dalam setiap hubungan sosial, dan (4) sirondorondoi yang mengkonsepsikan solidaritas sosial yang kuat. Nilai-nilai tersebut memainkan sejumlah peranan dalam arena sosial mereka sehari-hari dan apabila nilai-nilai tersebut diakulturasi dan diadaptasi ke dalam pembangunan desa, diyakini akan dapat berperan positif bagi proses pembangunan di desa Karama.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T7703
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
A.M. Sasanti
Abstrak :
Program IDT adalah salah satu pogram pembangunan yang berorientasi pada usaha pemberdayaan kemampuan masyarakat yang bertujuan untuk menumbuhkan dan memperkuat kemampuan masyarakat miskin dalam meningkatkan taraf hidupnya dengan membuka dan mengembangkan berbagai usaha ekonomis produktif yang sesuai dengan kemampuannya. Orientasi program ini mengarah kepada kemandirian dan otonomi masyarakat dalam mengembangkan usahanya melalui kelompok. Di dalam kelompok tersebut diharapkan mereka dapat menghidupkan modal-modal sosial yang telah dimilikinya guna mengembangkan modal usaha yang telah diberikan. Hal tersebut sesuai dengan paradigma pembangunan yang berpusat pada rakyat atau juga dapat dikatakan pembangunan yang berorientasi pada "bottom up policy". Tulisan ini mempelajari aspek pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin lewat bantuan modal usaha yang telah diberikan oleh Pemerintah Daerah Khusus ibukota Jakarta melalui program Impres Desa Tertinggal Non Regular In Gub di kelurahan Paseban Kecamatan Senen Jakarta Pusat dengan unit analisanya yaitu individu-individu penerima bantuan modal usaha yang tergabung didalam kelompok usaha yang` dinamakan pokmas (kelompok masyarakat). Konsep teoritik utama yang mendasari penelitian ini adalah konsep pemberdayaan (empowerment) yang menekankan pada kemandirian, kemampuan dan potensi masyarakat pelaksana program. Dalam proses ini kelompok masyarakat (pokmas) diberi "power" untuk dapat menggunakan potensi dirinya dalam mengembangkan modal usaha yang diberikan. Mereka dipacu, diberi motivasi melalui pendampingan yang intensif, dibina dan dididik untuk keluar dari lilitan kemiskinan. Berbagai modal sosial yang mereka miliki digunakan secara intensif dalam bentuk kerja sama yang sehat, kreatif dan berorientasi pada peningkatan kesejahteraan. Dengan menggunakan metode kualitatif, penelitian menitikberatkan pada dua kelompok masyarakat pelaksana program yakni kelompok masyarakat yang berhasil dan kelompok masyarakat yang tidak berhasil. Indikatornya adalah perubahan gaya hidup periode sebelum program dan sesudah dlaksanakannya program. Dari wawancara dan pengamatan secara intensif dan terus menerus terhadap kegiatan kedua kelompok ini diperoleh kesimpulan bahwa masyarakat dapat memberdayakan dirinya apabla diberi kesempatan yang luas untuk mengembangkan potensinya. Program pembangunan direkomendasikan agar tidak lagi bersifat "top down policy", tetapi sudah harus bersifat "bottom up policy".
2000
T7716
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wiena Maryna Julia Susanti
Abstrak :
Inovasi dari bawah yang bersifat kolaboratif diharapkan dapat mengatasi keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki sektor publik serta meluasnya cakupan isu dan kompleksitas masalah yang dihadapi. Tesis ini membahas proses difusi inovasi Sekolah Siaga Kependudukan di Kabupaten Sukabumi dengan menggunakan Teori Difusi Inovasi Everett.M. Rogers. Lima dimensi kolaborasi dari Thomson digunakan untuk menggambarkan proses kolaborasi antar mitra dalam seluruh tahapan proses difusi inovasi program ini. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan strategi penelitian studi kasus, hasil penelitian mengungkapkan bahwa difusi inovasi Sekolah Siaga Kependudukan di Sukabumi berlangsung sesuai dengan tahapan proses inovasi dalam organisasi menurut Rogers dan bahwa perencanaan konsep inovasi yang matang diperlukan untuk mendukung kelancaran pelaksanaan keseluruhan proses difusi inovasi tersebut. ...... Collaborative bottom-up innovation is expected to overcome the limitations of the public sector and the widespread coverage of issues and the complexity of the problems they faced. This thesis describes the diffusion of innovation process of Sekolah Siaga Kependudukan in Sukabumi using Everett. M Roger?s Diffusion of Innovation Theory. Five dimensions of collaboration from Thomson is used to describe the process of collaboration among partners in all phases of the diffusion of innovation process of this program. Using a qualitative approach with case study research strategy, this research reveals that the diffusion of innovation process of Sekolah Siaga Kependudukan in Kabupaten Sukabumi is taking place in accordance with Rogers stages of the innovation process in the organization and that there should be a well prepared concept of innovation planning to support the overall implementation process of diffusion of innovation.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
T46681
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marvel Okky Putera
Abstrak :
Skripsi ini menganalisis tentang pembentukan kebijakan British Exit oleh Partai Konservatif di Inggris pada tahun 201 melalui pembentukan Manifesto Partai Konservatif tahun 2015 dengan mengangkat isu-isu yang berkembang di Inggris mulai 2013 hingga 2015. Pertanyaan penelitian dalam skripsi ini adalah ‘Mengapa mekanisme bottom up dalam pembentukan kebijakan British Exit (2016) sebagai kebijakan proteksionis digunakan oleh Pemerintahan Konservatif Inggris?’ Teori riding the wave yang dikemukakan oleh Ansolabehere dan Iyengar (1994) digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian tersebut. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan data sekunder. Dari tiga temuan dalam penelitian ini memperlihatkan bahwa pengangkatan isu-isu proteksionis yang dilakukan oleh Partai Konservatif mendorong pembentukan kebijakan keluarnya Inggris dari Uni Eropa atau British Exit. Pengangkatan isu-isu proteksionis yang dilakukan oleh Partai Konservatif memperlihatkan langkah pragmatis Partai Konservatif dalam mendapatkan dukungan masyarakat. ......This undergraduate thesis analyses the formation of British Exit policy by the Conservative Party in the United Kingdom in 2016 through the formation of the 2015 Manifesto of the Conservative Party, which used the issues from 2013 to 2015. The research question of this thesis is 'Why did the British Conservative Government employ the bottom-up mechanism in the formation of the British Exit (2016) policy as its protectionist policy?’ Ansolabehere and Iyengar’s (1994) riding the wave theory is used in this study in finding the answers of this research question. This study employed the qualitative method using the secondary data. The three findings of this study show that the adoption of these protectionist issues by the Conservative Party supported the formation of British-Exit policy from the European Union. This can be understood as the pragmatic step of the Conservative Party in gaining public support.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>