Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rasikh Fuadi
Abstrak :
ABSTRAK
Teater, yang bermain di tataran praktis, didiskriminasi dan dianggap sekadar sebagai budak dari bahasa, wujud dari filsafat yang logosentris, yang bermain di tataran teoretis. Ia dinilai tidak memiliki kemampuan untuk berkontribusi dalam tataran teoretis. Dengan memperkenalkan Theatre of Cruelty, sebuah konsep yang mengacuhkan gap tataran antara teater dengan filsafat, Antonin Artaud melakukan perjuangan melawan bahasa. Dengan mengacuhkan gap tersebut, Artaud membuktikan beberapa hal. Pertama, ia membuktikan bahwa bahasa sudah tidak lagi relevan dengan menggunakan act dari tubuh yang spontan dan mistis sebagai poros utama kinerja teater dalam proses being. Kedua, ia membuktikan bahwa teater tidak lagi perpanjangan dari sastra dan teks, juga tidak lagi mimesis maupun representasi dari realitas, tetapi menjadi sebuah proses penyembuhan atau being melalui tubuh. Ketiga, ia membuktikan bahwa teater, dengan mengomunikasikan katarsis tubuh, meniadakan konsep jarak panggung dan penonton. Perjuangan Antonin Artaud membawa semangat baru dalam seni teater ? sebuah semangat untuk lepas dari perbudakan bahasa.
ABSTRACT
Theatre, which works in the area of practice, has been discriminated and seen as a mere slave of language, in which logocentric philosophy, which works in the area of theory, takes form. It is considered having no capability to contribute in the theoretical area. By introducing Theatre of Cruelty, a concept which ignores the areal gap between theatre and philosophy, Antonin Artaud struggled to resist against language. By ignoring such gap, Artaud proved some points of argument. First, he proved that language has no longer been relevant by using act from the spontaneous and mystic body as the heart of how theatre works in its process of being. Second, he proved that theatre has no longer been either continuation of literature and text or mimesis, as well as representation, of reality, but a process of healing or being in the medium of the body. Third, he proved that theatre, by communicating the catharsis of the body, eliminating the fourth wall which separates the spectators from the actors. Antonin Artaud?s struggle brought a new spirit in the art of theatre ? a spirit to break free from the strings language pulls to control it.
2016
S63813
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Allen, Carleton Kemp, Sir
London: Stevens & Sons Limited, 1958
340.11 ALL a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Gandes Rasyida
Abstrak :
ABSTRAK
Penulisan ini disusun dalam upaya menjelaskan pemanfaatan media sosial Facebook sebagai sarana reaksi sosial informal atas fenomena pengunggahan foto penganiayaan hewan oleh pelaku. Reaksi sosial informal yang disampaikan oleh masyarakat untuk menanggapi postingan pelaku melalui kolom komentar akan dijelaskan dengan menggunakan teori Labeling oleh Howard S. Becker. Pelaku pengunggah foto penganiayaan hewan ke akun media sosialnya tersebut di label oleh masyarakat sebagai penyimpang. Indikator penyimpangan tersebut dinilai berdasarkan tipe-tipe penyimpangan Becker, yaitu, tuduhan palsu Falsely Accused , penyimpangan murni Pure Deviance , konformis Conforming , dan penyimpangan rahasia Secret Deviance .
ABSTRACT
This study aims to explain societal reaction against animal abuse expressed through Facebook. Utilizes Howard S. Becker 39 s Labelling Theory to explain the use of social media as a mechanism of social control. Users who uploaded pictures of themselves abusing animals are labelled as deviants. There are four indicators of deviance used for this research Falsely Accused, Pure Deviance, Conforming, and Secret Deviance. Based on those parameters, this research concludes that the acts of cruelty against animals which are uploaded to Facebook can be defined as deviance.
2017
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Monica Ayu Sudiro
Abstrak :
Tulisan ini membahas mengenai tindakan animal cruelty yang terjadi pada konten kekerasan di media sosial dalam perspektif green criminology. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bentuk animal cruelty dan tujuan pelaku melakukan animal cruelty. Berdasarkan data yang didapatkan dari artikel berita dan film dokumenter Narasi, dari tahun 2019 sampai dengan 2022 ditemukan 12 kasus konten kekerasan terhadap hewan yang diunggah di media sosial. Media sosial ini mencakup Instagram, Facebook, Youtube, dan Telegram. Dalam kasus-kasus tersebut, hewan yang menjadi korban adalah spesies kucing, biawak, owa, dan monyet. Dari hasil analisis ditunjukan bahwa, motivasi pelaku untuk melakukan kekerasan dan mengunggah konten kekerasan pada umumnya adalah untuk memerankan sadisme non-spesifik, menghibur orang lain, mengontrol hewan, dan memenuhi prasangka terhadap suatu spesies.  Disini hubungan yang dimiliki oleh manusia dengan hewan merupakan hubungan yang bersifat utilitarian, dominionistic, dan negativistic. Pelaku pembuat konten kekerasan di media sosial disini tergolong sebagai pelaku animal harm traditional criminal dan stress offender. Hal ini dapat dikatakan demikian karena pelaku pembuat konten kekerasan pada umumnya melihat hewan sebagai suatu objek yang dapat dan layak untuk disiksa demi memberikan keuntungan maupun kesenangan bagi manusia. Lebih lanjut, media sosial memiliki peran dalam kasus kekerasan terhadap hewan dengan menjadi fasilitator konten kekerasan terhadap hewan dengan memberikan tempat untuk mengunggah konten dan mempertemukannya dengan penonton. ......This article discusses animal cruelty in violent content on social media through a green criminology perspective. This research aims to know the type of animal that becomes the victim of animal cruelty content and the purpose of the perpetrators. Based on data obtained from news articles and the Narasi documentary film, from 2019 to 2022, 12 cases of animal violence content were found uploaded on social media. These social media include Instagram, Facebook, Youtube, and Telegram. In these cases, the animals that became victims were cats, monitor lizards, gibbons, and monkeys. From the results of the analysis, it is shown that, the common motivation for animal cruelty in this case is to act out non-specific sadism, entertain others, to gain control of animals, and fulfill prejudices against a certain species. In this case the relationship that human and animal have is a relationship that based on utilitarian, dominionistic, and negativistic value. The perpetrators of violent content creation on social media are classified as animal harm, traditional criminal, and animal harm stress offenders. The perpetrator here seems to commit animal cruelty to gain benefits in both material and non-material forms. They see animals as creatures that are not equal to humans and deserve to be hurt. Furthermore, social media has a role in animal cruelty by becoming a facilitator. Social media, in this case, has provided a place for the perpetrator to upload dan distribute animal cruelty content to the audience.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library