Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 24 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Suwirta
"ABSTRAK
Tesis ini berusaha untuk menjelaskan adanya perbedaan dan persamaan pandangan antara surat kabar Merdeka di Jakarta dengan Kedaulatan Rakjat di Yogyakarta, dalam menanggapi kejadian dan persoalan yang dinilai penting pada masa revolusi di Indonesia. Dengan mengkaji dan menginterpretasi terhadap kolom tajuk rencana, catatan pojok, dan karikatur yang disajikan oleh kedua surat kabar itu -- dimana ketiga variable itu biasanya dianggap sebagai visi dan jatidiri sebuah pers --studi ini menunjukkan bahwa dalam menanggapi masalah strategi perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan RI dan masalah Persetujuan Linggarjati, surat kabar Merdeka dan Kedaulatan Rakjat ternyata memiliki ""suara"" yang berbeda. Sedangkan dalam menanggapi masalah berdirinya Negara Indonesia Timur dan Negara Pasundan, kedua surat kabar itu, tentu saja, memiliki pandangan yang sama yaitu menentang dan mengecamnya sebagai tindakan akan mengganggu keutuhan kemerdekaan RI.
Apa yang disuarakan oleh surat kabar Merdeka di Jakarta dan Kedaulatan Rakjat di Yogyakarta itu, bagaimanapun, tidak bisa dilepaskan dari pandangan, sikap, dan pendirian para redaktur peri. sebagai pengelola surat kabar yang bersangkutan. Dalam hal ini maka pandangan dan sikap Pemimpin Umum dan P'mimpin Redaksi surat kabar Merdeka, yaitu B.M. Diah dan R.M. Winarno; serta pandangan dan sikap Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi surat kabar Kedaulatan Rakjat, yaitu Bramono dan Soemantoro pada masa awal revolusi perlu diperhatikan. Pandangan dan sikap mereka selama revolusi indonesia, sesungguhnya sangat diwarnai oleh latar belakang pendidikan, usia, agama, sosial, orientasi ideologi, kepentingan politik, dan pengalaman mereka masing-masing.
Ketika para redaktur pers dihadapkan pada masalah politik penting pada masa awal revolusi, yaitu apakah usaha mempertahankan kemerdekaan Indonesia itu akan dilakukan dengan cara ""bertempoer"" atau ""beroending"", pro-kontra terhadap masalah itu melanda kalangan pers juga. Tidak terkecuali dengan surat kabar Merdeka di Jakarta dan Kedaulatan Rakjat di Yogyakarta. Adalah menarik bahwa kedua surat kabar itu memiliki ""suara"" yang berbeda dalam menanggapi masalah menentukan strategi untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia itu. Dalam hal ini faktor keadaan dan tempat di mana kedua surat kabar itu diterbitkan, selain faktor orientasi ideologi-politik tentunya, merupakan salah satu penyebab dari adanya perbedaan pandangan, sikap, dan pendirian para redaktur persnya. Sebagai redaktur pers yang tinggal di Jakarta dan menyaksikan secara langsung kekuatan tentara Sekutu (Inggris) dan Belanda) yang menduduki daerah itu di satu sisi, serta melihat masih lemahnya pemerintah dan tentara Indonesia di sisi lain, maka surat kabar Merdeka (dalam hal ini B.M. Diah dan R.M. Hinarno) berpandangan bahwa politik diplomasi itu sangat penting untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sebaliknya dengan para redaktur pers yang tinggal di kota pedalaman, seperti surat kabar Kedaulatan Rakjat di Yogyakarta, yang tidak merasakan kehadiran tentara Sekutu dan menyaksikan gelora semangat dari badan-badan perjuangan yang ada, maka jalan pertempuran dalam mempertahankan kemerdekaan RI itu merupakan keharusan. Pandangan dan sikap Soemantoro, sebagai Pemimpin Redaksi surat kabar Kedaulatan Rakjat, yang dekat dengan tokoh-tokoh politik oposisi yang bergabung dalam organisasi Persatuan
Perjuangan (PP), menyebabkan surat kabar itu berpandangan
sangat kritis dan bersikap menentang politik diplomasinya pemerintah.
Dalam menanggapi masalah Perundingan Linggarjati, surat
kabar Merdeka dan Kedaulatan Rakjat juga memiliki ?suara? yang
berbeda. Dalam hal ini faktor kepentingan politik, merupakan
salah satu penyebab dari adanya perbedaan pandangan dan sikap
kedua surat kabar itu. Keterlibatan B.H. Diah (Pemimpin Umum
surat Rabar Merdeka) dalam pergumulan politik di Parlemen KNIP
dan kedekatannya dengan tokoh-tokoh politik oposisi yang
bergabung dalam kubu Benteng Republik (BR), menyebabkan surat
kabar Merdeka yang dikelolanya itu bersikap sangat kritis dan
menentang kebijaksanaan politik pemerintah yang mau menerima
hasil-hasil Perundingan Linggarjati. Sebaliknya dengan surat
kabar Kedaulatan Rakjat di Yogyakarta. Akibat tekanan yang
dilakukan pemerintah terhadap Pemimpin Redaksinya, Soemantoro,
yang selalu menentang politik diplomasi; dan masuknya Hadikin
Wonohito yang moderat menggantikan kedudukan Bramono sebagai
Pemimpin Umum. menyebabkan surat kabar Kedaulatan Rakjat
bersikap mendukung kebijaksanaan politik pemerintah dan
menerima hasil-hasil Perundingan Linggarjati.
Secara umum, kehidupan pers pada masa revolusi Indonesia,
bagaimanapun, memiliki dinamikanya yang khas. Sebagai
institusi sosial yang lahir di tengah-tengah perubahan sosial
yang cepat, pers mampu menyajikan berita (news) dan memberikan
pandangan-pandangan (views) yang sangat bebas. Dengan demikian
sikap pro-kontra, simpati-antipati, dan moderat-radikal yang
ditunjukkan pers pada masa revolusi itu merupakan sesuatu yang
wajar, sebagai manifestasi dari nilai-nilai dan semangat
kemerdekaan. Kebebasan pers pada masa revolusi Indonesia juga
nampak dari bentuk bahasa dan gayawacana (mode of discourse)
yang digunakan. Pers acapkali menggunakan bahasa yang bersifat
tegas, terus terang, emosional, dan bahkan kasar kepada pihak-
pihak yang dipandang sebagai lawan. Dalam hal ini kepada pihak
Belanda dan kepada orang-orang Indonesia yang mau bekerjasana
dengan Belanda -- seperti nampak dalam menanggapi masalah
berdirinya Negara Indonesia Timur dan Negara Pasundan -- pers
Indonesia nengecam dan menyerangnya dengan bahasa yang kasar
dan emosional. Kepada pihak pemerintah RI sendiri, pers
Indonesia juga sering bersikap kritis apabila pihak yang
pertama itu, dalam pandangan pers, kebijaksanaan politiknya
dinilai tidak sejalan dengan nilai-nilai dan semangat kemerdekaan,
Pertumbuhan pers pada masa revolusi selain didorong oleh
pemerintah RI juga didukung oleh masyarakat. Pemerintah RI
sangat berkepentingan dengan keberadaan dan pertumbuhan pers
itu untuk menunjukkan kepada masyarakat dunia, terutama tentara
Sekutu yang menjadi pemenang dalam Perang Dunia II, bahwa dalam
revolusi Indonesia juga terdapat unsur-unsur kehidupan yang
demokratis. Adanya parlemen, partai-partai politik, dan pers
yang bebas dan mandiri, bagaimanapun, dipandang sebagai ciri
dari sebuah negara nasional yang demokratis. Karena itu
penerintah RI selain mendorong pertumbuhan pers, membiarkan
juga kebebasan pers di Indonesia. Menghadapi suara-suara pers
yang kritis dan oposisional kepada pemerintah, misalnya, pihak
terakhir itu bersikap cukup demokratis, yaitu membiarkannya
sepanjang tidak mengganggu keamanan dan ketertiban. Namun
dalam perkembangan selanjutnya, kekebasan pers pada masa
revolusi itu bukannya tanpa restriksi. Terhadap pers yang
bersikap kritis dan oposisional itu, dengan dalih membahayakan
keselamatan negara dan menggangu ketertiban masyarakat,
pemerintah RI akhirnya melakukan tekanan-tekanan juga kepada
pers. Tekanan yang dilakukan pemerintah RI terhadap pers itu
tidak dalam bentuk penbredeilan -- karena tindakan seperti itu
dianggap tidak demokratis -- melainkan dengan penahanan atau
penangkapan terhadap Pemimpin Umun atau Pemimpin Redaksi
sebagai orang yang paling bertanggung jawab dalam memberikan
warna pada suara dan visi Surat kabar yang bersangkutan.
Sesungguhnya, dengan tindakan pemerintah yang seperti itu sudah
cukup bagi pers yang semula bersikap kritis dan oposisional
kepada pemerintah, berubah menjadi pers yang bersikap moderat
dan akomodatif, sebagaimana ditunjukkan pada kasus surat kabar
Kedaulatan Rakjat di Yogyakarta pada masa revolusi Indonesia."
1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meyer, Thomas
Jakarta: Friedrich-Ebert-Stiftung, 2000
303.4 MEY dt
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Jimly Asshiddiqie, 1956-
Malang: Setara Press , 2015
342.025 98 JIM k
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: LIPI Press, 2008
320.84 MOD
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Sachedina, Abdulaziz
Jakarta: Serambi Ilmu, 2001
297.28 SAC k
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
S7686
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jimly Asshiddiqie, 1956-
Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan. Mahkamah Konstitusi, 2008
342.02 JIM m
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Girsang, Sarifah Juita
"Tesis ini membahas kemenangan partai Congress pada Pemilu Lok Sabha India tahun 2004. Faktor-faktor internal dan eksternal yang menyebabkan partai Congress menang pada Pemilu India 2004 akan dijelaskan dalam penelitian ini. Pemilu India 2004 ini, sebelumnya telah diprediksi akan dimenangkan oleh partai BJP, partai yang sedang memerintah India sejak tahun 1999-2004. Sementara partai Congress, partai yang pernah menguasai India sejak tahun 1950-an hingga 1980-an, diprediksi tidak akan muncul lagi untuk memerintah India.
Teori yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah teori partai politik oleh Alen Ware, teori dinansti politik oleh G. Mosca dan Stephen Hess, serta teori koalisi pra-pemilu oleh Sona Nadenichek. Ketiga teori ini menjadi teori inti penelitian ini. Sementara teori kepemimpinan oleh Weber dan Selligman, teori budaya politik oleh Almond dan Verba, serta teori marketing politik oleh Marshment merupakan teori pendukung. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Data-data diperoleh dari buku-buku, jurnal-jurnal, artikel-artikel, internet serta wawancara dengan Niraja Jaya Gopal dan Sanjay Kumar.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kemenangan partai Congress pada Pemilu Lok Sabha India Tahun 2004 merupakan perpaduan dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal diantaranya, pertama krisis kepemimpinan dalam partai Congress dapat diatasi ketika Sonia Gandhi menjadi ketua partai Congress. Kedua, partai Congress menawarkan pemerintahan yang bersifat inklusif dengan slogan kampanye Aam Aadmi atau orang awam menjelang Pemilu 2004. Ketiga, berbeda dengan kebijakan pada Pemilu 1999, partai Congress berhasil membangun koalisi pra-pemilu dengan 18 partai regional lainnya pada Pemilu 2004. Faktor eksternal diantaranya, pertama perubahan perilaku pemilih India dari pemilih yang tradisional menjadi pemilih yang berorientasikan isu atau lebih rasional. Kedua, kebijakan-kebijakan di bawah pemerintahan BJP sebagian besar bersifat eksklusif.
Temuan penelitian diantaranya adalah perubahan strategi pemilu partai Congress yang menerapkan pembangunan koalisi pra-pemilu dengan partai-partai regional lainnya. Kebijakan-kebijakan partai BJP yang eksklusif ternyata tidak berhasil. Dinasti politik sangat berpengaruh dalam perpolitikan India. Implikasi teoritis untuk teori partai politik Alen Ware terbukti dalam penelitian ini. Teori dinasti politik G. Mosca dan Stephen Hess juga terbukti dalam penelitian ini. Untuk teori koalisi pra-pemilu Golder, yaitu koalisi prapemilu umumnya terjadi di negara dengan sistem pemiludisproposrionalitas dan multipartai, terbukti. Akan tetapi, pendapat Golder untuk perundingan pembagian jabatan-jabatan dan penetapan kebijakan-kebijakan koalisi sebelum pemilu, tidak ditemukan dalam penelitian ini. Prakteknya, perundingan pembagian jabatanjabatan menteri dan pembentukan kebijakan-kebijakan koalisi dilakukan setelah hasil pemilu diketahui.

The purpose of this thesis is to investigate the victory of Congress party in the 2004 Indian Lok Sabha Election. The internal and external factors that led the Congress party in winning the 2004 India's election will be described in this research. The 2004 India's election had previously been predicted to be won by the BJP party, a party which had been ruling India since the year 1999-2004. While the Congress party, the party that once ruled India from the 1950s to the 1980s, was predicted not to rule India anymore.
The theory applied in this research is based on the political party theory by Alen Ware, political dynasty theory by G. Mosca and Stephen Hess, as well as, the pre-election coalition theory by Sona Nadenichek. The third theory becomes the ground theory of this research. This research is also supported by the leadership theory by Weber and Selligman, political culture theory by Almond and Verba, and the theory of political marketing by Marshment. This research is conducted by implementing qualitative methods. The data are obtained from books, journals, articles, internet, as well as, interviews with Niraja Jaya Gopal and Sanjay Kumar.
The results of this research indicate that the victory of Congress Party in the Indian 2004 Lok Sabha Election is a combination of internal and external factors. The internal factors range from; first, a crisis of leadership in the Congress Party was successfully overcome when Sonia Gandhi was the head of the Party. Second, Congress Party offered an inclusive governmental with its campaign slogan 'Aam Aadmi' or common people towards the 2004 election. Third, in contrast to the policy in the 1999 election, Congress Party managed to build a pre-election coalition with 18 other regional parties in the 2004 election. A change of behavior in India's voters from traditional voters to an issue-oriented or more rational voter becomes one of the external factors of the victory of Congress Party in 2004. Second, the policy under the BJP's governmental is mostly exclusive.
The results of this research provide evidence of a change in the election strategy executed by the Congress party. This party applied a pre-election coalition development with other regional parties. The exclusive policies implemented by BJP party did not work accordingly. Political dynasty has a great influence in India's politic. The theoretical implication of Alen Ware's political party theory is proved right in this research, as well as the theory of political dynasties by G. Mosca and Stephen Hess. The theory of pre-election coalition by Golder that generally occurs in countries with multiparty electoral systems is also proved right. However, the opinion of Golder to negotiate the sharing of positions and the stipulation of the coalition policies prior to the election, are not found in this research. In fact, the negotiation for sharing positions of ministers and the establishment of the coalition policies were executed after the result of the election came out.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2012
T30994
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>