Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Febrini Agasani
Abstrak :
Latar belakang: Hemofilia merupakan salah satu penyakit kronik yang dapat memengaruhi kualitas hidup. Penilaian kualitas hidup merupakan indikator keberhasilan terapi, dasar pengembangan strategi pengobatan dan penilaian pelayanan kesehatan. Belum ada data mengenai kualitas hidup anak dengan hemofilia di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo RSCM. Tujuan: Mengetahui prevalens, gangguan kualitas hidup, kesesuaian kualitas hidup berdasarkan laporan anak dan laporan orangtua serta pengaruh faktor sosiodemografis dan faktor medis terhadap kualitas hidup anak hemofilia di RSCM. Metode: Penelitian potong lintang dilakukan pada pasien hemofilia usia 5-18 tahun di Poliklinik Hematologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM selama bulan September-Desember 2016. Pengisian kuesioner PedsQLTM 4.0 modul generik dilakukan dengan metode wawancara. Faktor-faktor risiko yang dianggap berpengaruh dianalisis secara multivariat. Hasil: Gangguan kualitas hidup 52,9 rerata 64,37 11,75 menurut laporan anak dan 60,8 rerata 64,37 13,87 menurut laporan orangtua dari total 102 anak hemofilia. Dimensi yang paling terganggu adalah dimensi fisik menurut kelompok 5-7 tahun, sedangkan menurut kelompok 8-18 tahun adalah dimensi fisik dan sekolah. Terdapat ketidaksesuaian antara laporan kualitas hidup anak dan orangtua pada kelompok usia 5-7 tahun. Kekakuan sendi merupakan faktor risiko terjadinya gangguan kualitas hidup menurut laporan anak p=0,005, RP 4,335, IK 95 1,550-12,126 dan orangtua p=0,04, RP 2,902, IK 95 1,052-8,007. Simpulan: Terdapat 52,9 laporan anak dan 60,8 laporan orangtua anak hemofilia yang kualitas hidupnya terganggu. Kekakuan sendi merupakan faktor yang paling memengaruhi kualitas hidup anak dengan hemofilia. Untuk menilai kualitas hidup anak usia 5-7 tahun diperlukan laporan anak dan orangtuanya, sedangkan untuk anak usia 8-18 tahun cukup laporan anak atau orangtua saja.
Background Hemophilia is a chronic disease that can affect quality of life QoL . Assessment of QoL is an indicator of therapeutic success, base for development of the treatment strategy, and assessment of health services. There are no data for QoL of children with hemophilia in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital CMH. Aim To evaluate the prevalence, QoL, congruence of QoL based on self report and parents proxy report as well as the influence of sociodemographic and medical factors on the QoL of children with hemophilia in CMH. Method A cross sectional study was conducted in patients with hemophilia aged 5 18 years old who visited the outpatient clinic of Pediatric Hematology Division of CMH from September to December 2016. Data questionnaire PedsQLTM 4.0 generic scale were collected by interviewing children and their parents. Risk factors were analyzed with multivariate analysis. Result From a total of 102 children with hemophilia, there were 52.9 self report and 60.8 parent proxy report of children with impairment of QoL with mean score 64.37 11.75 and 64.37 13.87, respectively. The most impaired dimension were the physical dimension for age group 5 7 years whereas for age group 8 18 years, there was impairment on the physical and school dimensions. There is a discrepancy report the QoL of children and parents in the age group 5 7 years. Joint stiffness is a risk factor for impaired QoL according to the self report p 0.005, PR 4.335, 95 CI 1.550 to 12.126 and parent proxy report p 0.04, PR 2.902, 95 CI 1.052 to 8.007. Conclusion There were 52.9 self report and 60.8 parent proxy report of children with hemophilia who had impaired QoL. Joint stiffness is a factor that mostly affect the QoL of children with hemophilia. Assessment of QoL for children aged 5 7 years required reports from both children and parents, while for aged 8 18 years required either child report or the parents report alone.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yuniasti Evitasari
Abstrak :
Latar belakang: Hemofilia merupakan gangguan perdarahan yang bersifat herediter yang disebabkan oleh kekurangan faktor VIII. Pada kadar faktor koagulasi yang sama dapat menunjukkan karakteristik klinis yang berbeda. Tujuan: Mengidentifikasi karakteristik klinis, penggunaan faktor VIII, dan komplikasi pada anak hemofilia A. Metode: Penelitian kohort retrospektif pada anak le;18 tahun. Data diambil dari rekam medis Januari 2014 ndash; Juni 2016 meliputi data usia awitan perdarahan sendi, usia saat didiagnosis, kekerapan perdarahan, lokasi perdarahan, penggunaan faktor VIII, dan komplikasi yang dialami. Hasil: Terdapat 109 subjek anak lelaki terdiri dari 2,8 subjek hemofilia A ringan, 27,5 hemofilia A sedang, dan 69,7 hemofilia A berat. Perdarahan paling sering ditemukan pada sendi 60,6 terutama pada lutut 37,2 . Anak hemofilia A berat menunjukkan usia awitan perdarahan sendi yang lebih dini median 12,5 4 - 120 bulan , kekerapan perdarahan sendi yang lebih sering median 8 1-44 kali/tahun , menggunakan konsentrat faktor VIII yang lebih banyak median 712 131 - 1913 IU/kg/tahun . Komplikasi yang ditemukan adalah hemofilik artropati dan sinovitis 46,8 , terbentuknya inhibitor faktor VIII 7,3 , anemia akibat perdarahan 2,6 , pseudotumor 0,9 , dan fraktur 0,9 . Terdapat 15,5 subjek hemofilia A berat yang menunjukkan karakteristik klinis yang lebih ringan. Simpulan: Usia awitan perdarahan sendi berhubungan dengan kekerapan perdarahan sendi, kebutuhan faktor VIII, dan artropati. Artropati dan sinovitis merupakan komplikasi yang paling banyak ditemukan. ......Background: Hemophilia A is a congenital bleeding disorder caused by deficiency of factor VIII. Phenotypic differences between patients with hemophilia is well known from clinical practice. Aim: To identify clinical characteristics, factor VIII usage for on demand therapy, and complications of children with hemophilia A. Method: A retrospective cohort study on children aged le 18 years. Data was obtained from medical record January 2014 ndash June 2016 including age of diagnosis, age of first joint bleed, number of bleeding, site of bleeding, treatment requirement, and complications. Result: We found a total of 109 boys with hemophilia A consisted of 2.8 mild, 27.5 moderate, and 69.7 severe hemophilia. The most common bleeding was hemarthrosis 60.6 of the knee 37.2 . Severe hemophilia children showed earlier age of first joint bleed median 12,5 4 to 120 months , higher number of joint bleeds median 8 1 44 times year , and higher consumptions of clotting factor median 712 131 to 1913 IU kg year compared to mild and moderate hemophilia. Complications commonly found in severe hemophilia were haemophilic arthropathy and sinovitis 46.8 , followed by factor VIII inhibitors 7.3 , anaemia due to bleeding 2.6 , pseudotumour 0.9 , and fracture 0.9 . This study showed that 15.5 of patients with severe hemophilia A have mild clinical characteristics. Conclusion: The onset of joint bleeding is related with number of joint bleeds, treatment requirement, and arthropathy and may serve as an indicator of clinical phenotype.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T55602
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Rosariah Ayu
Abstrak :
Latar belakang: Perdarahan sendi berulang merupakan morbiditas utama pada pasien hemofilia karena dapat menimbulkan artropati hemofilik yang menyebabkan keterbatasan gerak dan disabilitas sehingga menurunkan kualitas hidup. Penelitian bertujuan mengetahui korelasi pemeriksaan klinis sendi, penilaian aktivitas fungsional dan kualitas hidup pada anak hemofilia. Metode: Penelitian dengan desain potong lintang di RSCM pada Agustus−November 2022 pada anak 4−16 tahun, hemofilia A atau B derajat sedang atau berat yang mengalami perdarahan sendi berulang. Penelitian dilakukan dengan menilai HJHS, PedHALshort serta Haemo-QoL dan mencari korelasi skor HJHS dengan skor PedHALshort dan Haemo-QoL. Hasil: Sebanyak 95 subyek hemofilia, dengan hemofilia A (77,3%) dan 70,1% hemofilia berat. Skor HJHS median 4 (1−9), skor PedHALshort median 74,5 (62,73-89,09), skor Haemo-QoL mean (SD) 74,51 (15,58). Skor HJHS berkorelasi negatif sedang dengan PedHALshort (r= -0,462, p< 0,0001), skor HJHS berkorelasi sedang dengan Haemo-QoL (r= 0,469, p< 0,001). Simpulan: Semakin tinggi skor HJHS menunjukkan adanya kerusakan pada sendi maka semakin rendah skor PedHALshort dan semakin tinggi skor Haemo-QoL yang menunjukkan semakin terganggu aktivitas fungsional serta kualitas hidupnya. ......Background: Recurrent joint bleeding is the major morbidity in patient with hemophilia that can cause hemophilic arthropathy causes limitation of daily activities, disability, and reducing quality of life. Research objective are to determine the relationship between the clinical evaluation of joints, the assessment of functional activity determined and assessment of the quality of life with HJHS, so we can diagnose arthropathy, prevent disability and better management. Methods: Study with cross-sectional design at RSCM on August-November 2022, children aged 4-16, with moderate or severe hemophilia A and B with recurrent joint bleeding. The study was conducted by assessing HJHS, PedHALshort and Haemo-QoL, determine the relationship between HJHS with PedHALshort and Haemo-QoL score. Result: A total of 95 hemophilia subjects, with hemophilia A (77.3%) and 70.1% severe hemophilia. HJHS median score 4 (1-9), PedHALshort median score 74.5 (62.73-89.09), Haemo-QoL mean (SD) 74.51 (15.58). The HJHS score had a moderate negative correlation with PedHALshort (r= -0.462, p<0.0001), the HJHS score had a moderate correlation with Haemo-QoL (r= 0.469, p<0.001). Conclusion: The higher of HJHS score indicates a joint disorder, the lower of PedHALshort and the higher of Haemo-QoL indicates the more impaired functional activity and poorer quality of life.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rina Rakhmawati
Abstrak :
ABSTRAK Darah adalah jaringan tubuh yang sangat vital bagi kehidupan. Hampir seluruh tubuh manusia dialiri oleh darah melalui pembuluh darah. Kehilangan darah dalam jumlah yang cukup banyak dapat membahayakan jiwa seseorang. Kehilangan darah dapat dipicu bila terjadi luka pada tubuh seseorang. Untuk mencegah kehilangan darah dalam jumlah banyak, tubuh memiliki faktor pembeku darah yang membantu dalam proses pembekuan darah. Kekurangan faktor pembeku darah dalam tubuh dapat mengakibatkan penderitanya mengalami perdarahan terus menerus. Kelainan darah seperti ini dikenal dengan hemofilia. Hemofilia adalah salah satu penyakit genetik yang sering di temui di Indonesia, selain thalassemia dan sindroma down (Femina, No.35/XXX, 2002). Satu-satunya pengobatan yang dapat dijalani penderita hemofilia adalah dengan melakukan transfusi plasma (darah) seumur hidup. Penderita hemofilia sebagian besar adalah laki-laki. Berbagai aktivitas fisik yang berat dan memicu terjadinya perdarahan sebaiknya dihindari oleh penderita hemofilia. Penyakit hemofilia ini membuat penderitanya merasa dibatasi aktivitas fisiknya. Keterbatasan fisik ini dapat menimbulkan stres pada penderitanya. Selain itu menurut Kelley (1999) di masyarakat terdapat anggapan bahwa penderita adalah seseorang yang rapuh. Sedangkan menurut Parsons (dalam Sarwono, 1997) pada umumnya kepribadian yang diharapkan dari laki-laki berdasarkan norma baku yang berlaku dimana pun adalah dominan, mandiri, kompetitif, dan asertif. Didukung oleh penelitian Lerner, Orlos, dan Knapp (dalam Atwater, 1983) yang menyebutkan bahwa pria lebih cenderung menekankan kompetensi fisik atau apa yang dapat mereka lakukan dengan tubuh mereka agar dapat memberikan dampak yang bermakna bagi lingkungan. Anggapan masyarakat dan keterbatasan fisik yang dimiliki ini tentunya dapat mengganggu perasaan penderita hemofilia. Selain masalah keterbatasan fisik, masalah lain yang mungkin mengganggu penderita hemofilia adalah pengobatan yang harus dijalaninya seumur hidup. Selain itu berbagai masalah juga akan muncul seperti memenuhi tuntutan tugas perkembangan dewasa muda, seperti mandiri, mencari keija, dan menikah serta membentuk keluarga. Berbagai masalah yang dihadapi penderita hemofllia, terutama penderita hemofilia usia dewasa dapat menimbulkan tekanan bagi mereka. Bila tekanan tersebut melebihi kemampuan yang dimiliki individu, maka menurut Lazarus (1976) individu tersebut dapat mengalami stres. Salah satu usaha coping stres yang dapat dilakukan adalah mencari dukungan sosial. Dukungan sosial dapat berbentuk dukungan emosional, harga diri, instrumental, informasi, dan dukungan jaringan. Dukungan sosial dapat diterima seseorang dari keluarga, teman dekat, tenaga profesional, maupun dari organisasi dimana individu itu tergabung. Penelitian ini ingin melihat bagaimana gambaran stres, coping, dan dukungan sosial pada penderita hemofilia dalam menghadapi penyakit hemofilia yang diderita seumur hidup ini. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Sedangkan metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dan observasi. Hasil dari penelitian yang diperoleh adalah reaksi awal ketika ketiga penderita didiagnosis memiliki penyakit hemofilia adalah menerima. Masalahmasalah yang dihadapi ketiga penderita adalah masalah biaya, pekerjaan, dan berkeluarga. Ketika responden mengatasi masalah-masalah tersebut secara berbeda-beda, tergantung pada sumber daya yang dimilikinya. Ada responden yang mengatasinya dengan strategi problem-focused coping atau dengan emotion focused coping. Ketiga responden mengatasi masalah biaya dengan strategi problem focused coping. Masalah pekeijaan oleh responden NO dan AF diatasi dengan strategi problem focused coping. Sedangkan responden AG mengatasinya dengan strategi emotion focused coping. Untuk masalah berkeluarga ketiga responden mengatasinya dengan strategi emotion focused coping. Bentuk dukungan yang diharapkan oleh penderita hemofilia adalah dukungan instrumental, harga diri, dukungan informasi dan emosional. Dukungan tersebut diharapkan diterima dari keluarga, teman, tenaga medis dan pemerintah.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
S3204
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novianti Santoso
Abstrak :
Analisis gelombang bekuan dapat mengevaluasi profil reaksi pembentukan bekuan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis gelombang bekuan ini didapatkan dari pemeriksaan masa tromboplastin parsial teraktivasi (APTT) tanpa menambah biaya pemeriksaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola gelombang bekuan dan mengetahui nilai max velocity (Min1), max acceleration (Min2), dan max deceleration (Max2) pada pasien hemostasis normal dan hemofilia; serta mengetahui korelasi antara parameter tersebut dengan aktivitas F.VIII/F.IX. Penelitian dilakukan dengan desain potong lintang menggunakan 160 sampel pasien hemostasis normal dan 145 sampel pasien hemofilia di Laboratorium Pusat Departemen Patologi Klinik RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo yang berlangsung pada bulan Agustus-Desember 2019. Pada penelitian ini didapatkan titik awal koagulasi pada pasien normal adalah ±30-40 detik dengan fase prekoagulasi pendek dan slope yang lebih curam. Pada pasien hemofilia didapatkan fase prekoagulasi yang lebih panjang dan slope yang lebih landai dengan titik awal koagulasi yang lebih panjang dan bervariasi. Nilai median Min1, Min2, dan Max2 dewasa hemostasis normal didapatkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan pasien anak. Nilai Min1, Min2, dan Max2 pada pasien hemofilia A dan B juga didapatkan nilai yang lebih rendah dibandingkan pasien hemostasis normal dan didapatkan perbedaan yang bermakna antara parameter Min1, Min2, dan Max2 pada pasien hemostasis normal dengan pasien hemofilia. Korelasi antara parameter Min1, Min2, dan Max2 dengan aktivitas F.VIII didapatkan korelasi sedang (p<0,001), dan Analisis gelombang bekuan dapat bermanfaat untuk skrining pasien hemofilia di fasilitas kesehatan yang memiliki keterbatasan pemeriksan F.VIII dan memberikan gambaran yang lebih lanjut terhadap pasien hemofilia A berat yang memiliki aktivitas F.VIII <1% dan pasien hemofilia A yang dengan atau tanpa inhibitor.
Clot waveform analysis can be used to evaluate clot formation profile both qualitatively and quantitatively. This waveform may be obtained from activated partial thrombolpastin time (APTT) assay without additional cost. This study aims to determine the clot wave pattern as well as the value of max velocity (Min1), max acceleration (Min2), and max deceleration (Max2) in patients with normal hemostasis and hemophilia; and to determine the correlation between these parameters with F.VIII/F.IX activities. The study was conducted with a cross-sectional design using 160 samples of normal hemostasis patients and 145 samples of hemophilia patients in the Central Laboratory of the Department of Clinical Pathology of Dr. Cipto Mangunkusumo National Hospital which takes place in August-December 2019. In this study, the starting point of coagulation in normal patients is ± 30-40 seconds with shorter precocagulation phase and steeper slope. In hemophilia patients, longer precoagulation phase and flatter slope was seen with longer and more variable starting point for coagulation. The min1, min2, and max2 value of adult with normal hemostasis are higher than that of children. The min1, min2 and max2 value of hemophilia A and B are also lower than the patients with normal hemostasis. There is a significant difference between min1, min2, and max2 parameters of patients with normal hemostasis and hemophilia patients. Moderate correlation was found between Min1, Min2, and Max2 parameters with F.VIII activity (p <0.001). Clot wave analysis is a very useful tool for screening hemophilia patients in health facilities with limited F.VIII examination and may provides much detailed information of severe hemophilia A patients who have F.VIII activity <1% as well as hemophilia A patients with or without inhibitors.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Djajadiman Gatot
Abstrak :
ABSTRAK
Infeksi HIV dapat terjadi melalui hubungan seksual, pemakaian alat-alat kedokteran yang tercemar, pemakaian komponen darah yang telah terpapar HIV ataupun secara transplasental dari ibu yang terinfeksi HIV.

Pada anak, umumnya infeksi ini terjadi melalui transfusi komponen darah, terutama mereka yang secara terus menerus memerlukannya karena menderita penyakit tertentu seperti hemofilia atau thalassemia.

Tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui proporsi infeksi HIV pada anak yang telah menerima transfusi komponen darah berulang, khususnya penderita hemofilia dan thalassemia.

Selama periode satu tahun (Sept 92- Sept 93) telah diteliti serum dari 40 penderita hemofilia dan 40 penderita thalassemia mayor, terhadap infeksi HIV dengan metoda ELISA.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak satupun dari para penderita tersebut yang telah terpapar HIV.
ABSTRACT
Human immunodeficiency virus infection can occur via direct bloodstream inoculation from blood or blood products or infected needles, through sexual contact and transplacentally from an infected mother.

In children, the major mode of transmission of HIV is from transfusion of blood or blood products, especially those who require repeated and regular transfusion because of their specific illness.

The purpose of this study is to investigate the proportion of HIV infection in children with hemophilia and thalassemia who had received repeated blood or blood product transfusions. During a period of 12 months (Sept. 92 - Sept. 93) sera from 40 children with hemophilia and 40 children with thalassemia were tested against HIV infection using ELISA method.

Result of this study showing no HIV infection could be detected in all children.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1994
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Safitri
Abstrak :
Indonesian Hemophilia Society (IHS) merupakan organisasi advokasi hemofilia yang tergabung sebagai anggota di World Federation of Hemophilia (WFH). IHS harus bertransformasi agar menciptakan nilai tambah lebih besar bagi penyandang hemofilia di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis transformasi untuk mencapai tujuan organisasi tersebut dengan kerangka four levers of control. Penelitian menggunakan metode studi kasus dengan melakukan wawancara dengan Pengurus Pusat dan donatur, menyebarkan kuesioner kepada Pengurus Cabang dan Anggota organisasi, serta menganalisis dokumen organisasi. Berdasarkan hasil penelitian, visi dan misi disempurnakan agar dapat menjadi belief system yang dapat mendukung pengendalian manajemen. Selain itu, penelitian ini juga menemukan bahwa organisasi IHS harus menjadi lebih formal serta dikelola secara profesional dan akuntabel agar memperoleh dukungan pemangku kepentingan dan meningkatkan kesejahteraan pasien hemofilia. Oleh sebab itu, IHS harus menyusun rencana untuk mentransformasi organisasi dengan memfokuskan pada analisis sumber daya dan pembuatan standar prosedur untuk memenuhi ekspektasi pemangku kepentingan. Untuk memantau keberhasilan strategi tersebut, IHS dapat menggunakan diagnostic control system dengan empat perspektif dalam kerangka balanced scorecard. ......The Indonesian Hemophilia Society (IHS) is a hemophilia advocacy organization and a national member organization of the World Federation of Hemophilia (WFH). IHS must transform to create greater added value for people with hemophilia in Indonesia. This study aims to analyze the transformation to achieve the organization's goals with the framework of four levers of control. The research uses the case study method by conducting interviews with the National Chapter managers and donors, distributing questionnaires to Regional Chapter managers and organization members, and analyzing organizational documents. Based on the research results, the vision and mission are refined to become a belief system that can support management control. In addition, this study also finds that for IHS to receive stakeholder support and improve hemophilia patient’s welfare, IHS must become more formal and be managed professionally and accountably. Therefore, IHS must develop a plan to transform the organization by focusing on resource analysis and creating standard procedures to meet stakeholder expectations. To monitor the success of this strategy, IHS can use a diagnostic control system with four perspectives in the balanced scorecard.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nisrina Siti Zahra
Abstrak :
Latar belakang: Hemofilia merupakan penyakit kronis yang dapat memengaruhi aspek psikososial penderitanya. Gangguan psikososial yang mungkin dialami adalah gangguan tidur serta gangguan emosi dan perilaku. Penelitian ini bertujuan untuk menilai gangguan tidur, gangguan emosi dan perilaku, dan hubungan keduanya pada pasien anak dengan Hemofilia. Metode: Penelitian potong lintang dilakukan pada pasien anak dengan hemofilia di poli hematologi anak RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dari November 2022-Januari 2023. Penilaian gangguan tidur dilakukan melalui kuesioner the Sleep Disturbance Scale for Children (SDSC) berbahasa Indonesia. sedangkan gangguan emosi dan perilaku dinilai berdasarkan kuesioner Pediatric Symptom Checklist-17 (PSC-17) berbahasa Indonesia, Analisis hubungan antara keduanya dinilai melalui uji Fisher. Hasil: Terdapat 43 pasien anak laki-laki dengan hemofilia dalam periode penelitian. Gangguan tidur terdapat pada 19/43 (44,2%). Gangguan emosi dan perilaku terdapat 5/43 (11,6%). Hubungan gangguan tidur dengan gangguan emosi perilaku menunjukkan nilai p sebesar 0,387 (Hasil uji Fisher). Kesimpulan: Hubungan gangguan tidur dengan gangguan emosi dan perilaku pada pasien anak dengan hemofilia tidak dapat disimpulkan. ......Introduction: Hemophilia is a chronic disease that can affect the psychosocial aspects of sufferers. Psychosocial disorders that may be experienced are sleep disturbances and so emotional and behavioral disorders. This study aims to assess sleep disturbances, emotional and behavioral disorders, and the relationship between the two in pediatric patients with Hemophilia. Method: This cross-sectional study involved pediatric patients with hemophilia at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Assessment of sleep disturbances was carried out through the Sleep Disturbance Scale for Children (SDSC) questionnaire, while emotional and behavioral disorders were assessed using the Pediatric Symptom Checklist-17 questionnaire (PSC-17). Those questionnaires had already validated in Indonesian. The analysis of the relationship between the two was assessed through Fisher's test. Result: There were 43 male pediatric patients with hemophilia in this study. It showed that 19/43 (44.2%) of pediatric patients with hemophilia experienced sleep disturbances. In addition, there were 5/43 (11.6%) of patients who had emotional and behavioral disorders. Fisher's test results showed p value=0.387. Conclusion: Thus, the relationship between sleep disturbances and emotional and behavioral disturbances in pediatric patients with hemophilia can not be concluded.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library