Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hawasi
Jakarta: Poliyama Widyapustaka, 2003
101 HAW i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Situmeang, John
Abstrak :
Tulisan ini membahas isu keadilan. Keadilan membawa manfaat dan nikmat bagi masyarakat dan manusia pada umumnya. Sebaliknya ketidak-adilan bahwa kesangsaraan dan permusuhan. Semula dikenali empat penyebab ketidak-adilan yaitu scarcity of resources, egoisme yang berlebihan, conflict of interest, dan oppression.
Jakarta: The Ary Suta Center, 2023
330 ASCSM 63 (2023)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Gaudensia Diana K. F.
Abstrak :
Seiring perkembangan arus informasi-komunikasi, gerakan reformasi, dan tuntutan transparansi di segala bidang, perhatian HAM - hak dasar manusia yang secara alamiah melekat pada diri manusia yang tanpa (hal) itu manusia tidak dapat hidup secara wajar sebagai manusia, hak yang dimiliki manusia karena ia manusia kian mengemuka dan intens. Pemerintah yang sedang berkuasa didesak untuk secara transparan dalam melaksanakan kebijakannya dan menghormati HAM secara benar proporsional, demikian pula bagi TNI. Sayangnya, disaat melaksanakan tugas pokoknya sering muncul tudingan bahwa TNI telah melanggar HAM. Karena itu penegakan HAM - termaktub dalam Pancasila, Pembukaan UUD 1945, Sapta Marga, Sumpah Prajurit, 8 Wajib TNI - menjadi sangat urgen dan mendesak untuk diwujudnyatakan pertama-tama demi memulihkan citra dan kredibilitas TNI sebagai institusi berwibawa, yang pada akhirnya demi terlaksananya tugas pokok TNI. Berkaitan dengan penegakan HAM yang menjadi kewajiban prajurit, maka kajian etika yang paling mungkin diterapkan - dalam situasi khas tugas dan karakteristik dasar prajurit adalah etika yang bersifat mutlak, perintah yang tidak dapat ditawar-tawar dari Immanuel Kant, yaitu doktrin imperatif kategoris. Kant menegaskan bahwa kewajiban - misalnya menegakkan HAM - bersifat mutlak, tanpa dapat ditolak, berdasarkan keharusan obyektif dan bukan paksaan, berlaku bagi siapa saja, tak syarat, tanpa kekecualian, secara niscaya. Dalam hal ini Kant membuat beberapa terobosan, a.l: pertama, bahwa martabat manusia wajib dijunjung tinggi dan diperlakukan serentak sebagai tujuan pada dirinya sendiri. Dengan mengacu pada doktrin imperatif kategoris, prajurit di samping melaksanakan tugasnya juga berkewajiban menghormati HAM. Musuh yang sudah menyerah dan secara nyata tidak mempunyai kemampuan lagi untuk mengadakan perlawanan harus diperlakukan menurut aturan yang berlaku (misalnya Hukum Humaniter, Konvensi Jenewa, Bertempur secara Benar). Kedua, etika diasalkan dan ditujukan pada kehendak bebas manusia yang berbudi. Prajurit sudah seharusnya secara otonom, bukan karena perintah, atau keharusan lain di luar dirinya untuk menegakkan HAM. Ia dengan sendirinya menyadari bahwa usahanya untuk menegakkan HAM berasal dari dirinya, dalam kesadaran sebagai manusia yang berbudi, manusia yang mempunyai hati nurani untuk menghormati orang lain sebagai mana layaknya ia sebagai manusia. Ketiga, Kant memberikan pandangan kewajiban moral yang bersifat mutlak dengan ciri murni dan apriori. Dalam hal ini prajurit mutlak harus menegakkan HAM di mana ia bertugas dan berada. Siapa pun prajurit yang bersangkutan, apa pun pangkat dan jabatannya, keharusannya untuk menghormati HAM selalu berlaku, di mana-mana dan tanpa terkecuali. Tentu tidaklah mudah untuk menegakkan HAM sesuai dengan doktrin imperatif kategoris dari Kant ini. Kesulitan pertama muncul ketika perintah yang bersifat imperatif kategoris ini dalam pelaksanaannya justru cenderung menjadi imperatif hipotetis. Penegakan HAM oleh prajurit bukanlah karena pribadi otonomnya sebagai manusia sungguh menyadari pentingnya menegakkan HAM, tetapi semata-mata karena di samping tugasnya ia juga diperintah untuk menegakkan HAM. Di samping itu imperatif kategoris dari Kant ini bersifat keras dan kaku. Kewajiban - bahwa saya, selaku prajurit, memang harus menegakkan HAM - lantas menjadi tolok ukur nilai moral suatu tindakan, bukan misalnya kebahagiaan, kepuasan diri, ketenangan batin karena berhasil menghargai HAM orang lain. Kendati sulit untuk dilaksanakan bukanlah berarti doktrin imperatif kategoris ini tidak dapat dilaksanakan karena betapa baiknya dan luhurnya jika prajurit menegakkan HAM berdasarkan kesadaran pribadinya yang otonom bahwa HAM harus ditegakkannya, dalam situasi dan kondisi yang bagaimana pun, di mana-mana dan kapan pun, bukan karena alasan lain yang berada di luar dirinya. Salah satu caranya adalah dengan terus menerus memberdayakan hati nurani, bahwa norma terpenting yang harus dipegangnya adalah martabat manusia.Dengan demikian diharapkan penegakan HAM bukanlah dirasakan sebagai sesuatu yang mengganjal tugas pokoknya, tetapi justru mengarahkan pada keberhasilan tugas pokok secara optimal. Bukan pula sesuatu yang berada di luar dirinya sehingga harus dicecoki, diajari, dipaksakan supaya dimengerti dan dilaksanakan, tetapi ada dalam dirinya, dalam kesadaran hati nuraninya bahwa HAM memang sudah sepantasnya ditegakkan.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004
T11606
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Albertus Harsawibawa
Abstrak :
Tesis ini berusaha untuk mendapatkan pemahaman yang utuh dan mendalam atas pemikiran Estetika Kant. Oleh sebab itu ia harus berbicara tentang latar belakang pemikiran Estetika Kant yang meliputi pemikiran urnurn Kant di dalam filsafat kritisnya, dan juga Sejarah Estetika pra-Kant. Dengan menggunakan filsafat kritisnya sebagai latar belakang, maka pemikiran Estetika Kant dipandang sebagai usaha untuk menjembatani "jurang" antara "keniscayaan alam" -- hasil pemikiran Critique of Pure Reason, dan "kebebasan" -- hasil Critique of Practical Reason. Jadi, keindah.an analog dengan keniscyaan alam, dan sublim analog dengan kebebasan. Sedangkan seni dan genius nienunjukkan analogi kerjasama antara alam dan kebebasan dalam menghasilkan suatu bal. Dengan menggunakan Sejarah Estetika sebagai latar belakang, pemikiran Estetika Kant menjadi kulminasi dari permasalahan-permasalahan Estetika pra-Kant, terutama permasalahan Estetika yang dimunculkan oleh para filsuf Inggris. Unsur penyatu di dalam pemikiran Estetika Kant itu adalah "judgment". Secara garis besar pokok-pokok permasalahan di dalam pemikiran Estetika Kant dapat dibagi menjadi dua, yaitu: (1) permasalahan keindahan dan sublim, dan (2) permasalahan seni dan genius. Pembahasan permasalahan keindahan dan sublim di.mulai dengan menggunakan sarana judgment of taste, dan judgment of taste itu sendiri diterangkannya dengan menggunakan momen-momen seperti yang terdapat di dalam Critique of Pure Reason. Menurut Kant, terdapat 4 momen judgment of taste, dan mereka disebut "momen-momen keindahan". Keindahan dan sublim merupakan objek-objek yang menghasilkan peristiwa estetis. Keduanya memiliki perbedaan yang mendasar, yaitu: keindahan bersifat sangat teratur, sedangkan sublim bersifat sangat tidak teratur -- sublim kemudian dibedakan menjadi sublim yang matematis dan sublim yang dinamis. Setelah keindahan dan sublim adalah permasalahan seni dan genius. Maksud kedudukan seni dan genius di dalam "Deduksi Aesthetic Judgment" adalah bahwa, pertama-tama, genius di dalam seni menunjukkan peran atau sumbangan alam dalam "peristiwa keindahan" di dalam seni. Kedua, "seni" dalam arti Kantian adalah bukan objek khusus yang hadir di hadapan kita; "seni" dalam arti Kantian adalah semacam "proses", ia adalah suatu "gangguan" di satu atau dua pancaindera kita! "Proses permainan" itu terjadi di dalam dunia supersensible. Hal ini membuktikan keberadaan dunia supersensible. Kembali lagi pada persoalan genius di atas; hanya seorang genius saja yang dapat membuat atau berbuat hal seperti itu.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Frandy Antoniwijaya
Abstrak :
Sebuah pemikiran mengenai kepemilikan atas diri sendiri, atau sebuah terminologi yang sering digunakan yaitu Self-Ownership merupakan sebuah konsep yang dapat dilacak secara historis. Sebuah pemikiran konseptual mengenai kepemilikan atas diri sendiri merupakan sebuah konsep yang seringkali dikaitkan dengan sebuah konsep keadilan. Hal ini, mengundang sebuah pertanyaan yang mendasar mengenai justifikasi epistemologis dari sebuah akar konseptual konsep Self-Ownership dan identifikasi epistemologis tersebut adalah konsep imperatif kategoris Immanuel Kant dengan segenap konsep pendukungnya. ...... A thought of Self-Ownership, or a frequently used terminology of Self-Ownership is a historically traceable concept. A conceptual concept of Self-Ownership is a concept often associated with a concept of justice. This invites a fundamental question of the epistemological justification of a conceptual root of the concept of Self-Ownership and the epistemology identification of it is the concept of Immanuel Kant Imperative Category and its whole supporting concept.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Embun Kenyowati Ekosiwi
Abstrak :
Tesis ini, dengan mendapat inspirasi dan acuan utama dari buku Andrew Bowie, Aesthetics and Subjectivity (1990) bermaksud mencari pengetahuan dari agar mendapatkan pemahaman tentang konsep Subyektivitas dalam Seni pada pemikiran Immanuel Kant, Hegel dan Nietzsche, yang termasuk dalam masa Idealisme Jerman dan awal Romantisisme. Subyektivitas yang dimaksud adalah Subyektivitas metafisis maupun Epistemologis. Yang dimaksud subyektivitas metafisis adalah manusia, melalui kesadarannya, yang mengalami seni (pencipta maupun penikmat). Yang dimaksud subyektivitas epistemologis adalah manusia melalui putusannya, sebagai ukuran kebenaran dalam seni. (Adorno 1984). Subyektivitas pada pemikiran Kant adalah permasalahan keberadaan manusia sebagai keberadaan yang otonom (Otonomous Being) dalam berhadapan dengan dunia di luarnya (alam). Bagaimana status kesadaran (self-consciousness) dalam berhadapan dengan dunia luar. Status kesadaran ini menentukan bentuk-bentuk cara mengetahui (forms of cognition). Bagaimana subyektivitas dapat menjadi landasan bagi keberadaannya sendiri, bagaimana subyektivitas dapat membentuk obyektivitas yang dapat dipertahankan tanpa mendasarkan pada asumsi akan adanya obyektivitas yang mendahului. (Bowie 1990: 15). Pada Kant, subyektivitas dalam seni adalah subyektivitas universal (intersubyektif universal), ketika seseorang menyukai sesuatu obyek (alam dan karya seni) tanpa pamrih (disinteresred). Sikap tanpa pamrih pada Kant berarti rasa suka yang menimbulkan kesenangan (pleasure), tidak terkait pada eksistensi obyek. Subyektivitas pada pemikiran Hegel adalah permasalahan identitas subyek dan obyek yang sama dalam Rah absolut. Ini dikarenakan bahwa proses berpikir dan proses realitas (dunia) adalah identik. Proses ini menampakan dirt pada seni (Bowie : 1990, 116). Proses ini ditampilkan melalui refleksi, Kesadaran suatu subyek, tanpa kehadiran kesadaran lain akan tetap berada dalam keadaan tidak ada refleksi dan tidak akan mencapai refleksi sadar. (Bowie 1990 : 118). Kesadaran Aku sangat tergantung pada obyektifikasi Aku. Subyektivitas dalam pemikiran Nietsche adalah permasalahan kesadaran sebagai pertahanan diri (self preservation). (Bowie: 1990, 208). Subyek, si Alat, adalah konstruksi pikiran, tidak berbeda statusnya dengan 'materi', 'benda', 'angka', maka adalah suatu fiksi regulatif Sintesa menjadi subyek ini dan efek sintesa dari luar sebagai obyek merupakan manifestasi 'kehendak untuk berkuasa' yang terjadi terhadap satu sama lain. (Bowie 1990: 247). Subyektivitas tidak dapat menjadi landasan kebenaran, meskipun keberadaan subyek serdiri tak dapat ditolak. Subyektivitas dalam seni pada Immanuel Kant yang terdapat dalam teorinya tentang selera, adalah subyektivitas universal ketika seorang menyukai obyek tanpa pamrih. Sikap tanpa pamrih berarti rasa suka yang menimbulkan kesenangan tidak terkait dengan eksistentensi obyek. Dengan demikian bersifat a priori. Obyek yang disukai dengan cara demikian disebut indah. Dan yang indah adalah yang tanpa konsep disukai secara universal. Pada Hegel subyektivitas dalam Seni adalah proses perwujudan 'The Ideal dalam bentuk materi yang tercerap secara inderawi (sensuous material) melalui refleksi. Karena pada Hegel proses obyektivikasi Subyek (kesadaran) adalah melalui negasi dan terjadi secara terus menerus. Pada Nietzsche subyektivitas dalam Seni menampakkan diri dalam perwujudan fisiologis pada subyek individual, dan memuncak pada kehendak untuk berkuasa. Perbandingan di antara ketiganya adalah sebagai berikut : 1. Subyek pada Kant adalah subyek transendental. yaitu kesadaran yang memiliki kategeri-kategori yang ikut membentuk realitas. 2. Subyek pada Hegel adalah keberadaan yang asali yang selalu berada dalam keadaan bergerak menuju obyek. 3. Subyek pada Nietzsche adalah merupakan fiksi yang dibentuk oleh pikiran, namun memiliki manifestasi yang nyata pada tubuh yang merupakan perwujudan dari kehendak untuk berkuasa Subyektivitas dalam seni pada Kant adalah persoalan keabsahan putusan (judgment) terhadap yang indah, Putusan yang indah hanya menyangkut subyek yang membuat putusan dan bersifat subyektif , menyangkut perasaan. Subyektivitas dalam seni pada Hegel adalah seni sebagai perwujudan yang Ideal yang berada pada jiwa subyektif. Sedangkan subyektivitas dalam seni Dada Nietzsche adalah .merupakan kehendak yang memanifestasi dalam ketubuhan kits sebagai usaha untuk mempertahankan diri dalam keberadaan sebagai manusia. Tanggapan terhadap subyektivitas, muncul melalui argumentasi Bowie, mengacu Habermas, bahwa pokok persoalan modernitas dilihat oleh postmodemisme sebagai permasalahan subyektivitas.Persoalan estetika modern juga bukan masalah keindahan lagi meiainkan masalah subyektivitas. Subyektivitas dalam seni pada Kant mendapat pembelaan dari Gadamer, bahwa putusan tentang seni juga menyangkut pengetahuan yang berbeda dengan pengetahuan kognitif dan pengetahuan moral, namun tetap :nenyampaikan pengetahuan sebagai transmisi kebenaran. Namun Adorno mengkritik bahwa subyektivitas yang mengklaim validitas universal dan tanpa konsep adalah tidak rnungkin. Validitas universal demikian, mengandaikan adanya konsep. Subyektivitas dalam seni pada Hegel, seolah berusaha mengatasi subyektivitas dalam seni pada Kant, tetapi sesungguhnya kembali ke dalam subyektivitas karena Idealisme mengklaim bahwa apa yang subyektif adalah obyektif, menurut Heidegger, Subyektivitas dalam seni pada Nietzsche, sesungguhnya bukan merupakan persoalan estetika, tetapi lebih persoalan metafisika, karena seni dikembalikan pada kehendak sebagai dorongan mendasar yang ada pada manusia. Tanggapan penulis mengenai masalah subyektivitas adalah bahwa subyektivitas merupakan persoalan yang dapat dipertahankan sejauh dapat dikompromikan dengan pandangan-pandangan lain, baik pandangan yang mendukung maupun yang menolak. Maka subyektivitas adalah titik tolak ,yang mencukupi dan sah bagi dunia seni. Salah satu argumentasi lagi adalah bahwa ilmu pengetahuan yang memperoleh landasan dari positivisme pun pada akhirnya mempertanyakan obyektivitasnya sendiri, terutama pada ilmu-ilmu manusia dan budaya, karena faktor subyektivitaslah yang sesungguhnya dapat memunculkan obyektivitas.
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T1626
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library