Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Eko Tri Nugroho
"Meningkatnya kompleksitas dan interkonektivitas dalam globalisasi membuat pengembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) sangat berkembang
pesat. Perkembangan teknologi ini menimbulkan berbagai macam aspek, diantaranya memberikan suatu kemudahan bagi penggunanya. Dan menimbulkan
budaya baru dalam kehidupan sehari-hari. Implementasi TIK tidak hanya membuat TIK menjadi bernilai sangat strategis.
Seiring dengan kemajuan teknologi tersebut, dalam pemanfaatan teknologi untuk mencegah dan menanggulangi perbuatan melawan hukum dan
perlindungan terhadap keamanan nasional terus ditingkatkan. Pemanfaatan teknologi ini dapat bersifat langsung (interception) dan tidak langsung (the use of data). Yang dimaksud dengan pemanfaatan teknologi yang bersifat langsungyaitu
dengan melakukan intersepsi atau saat ini lebih dikenal dengan istilah Lawful Intercept (LI). Yang dapat diartikan sebagai suatu proses intersepsi yang dibenarkan dalam kaca mata hukum.
Lawful Interception (LI) mempresentasikan regulasi berpayung hukum atas otorisasi penyelidikan jalur komunikasi pada operator penyelenggara
layanan telekomunikasi untuk tujuan penegakan hukum, menjaga kepentingan keamanan negara serta untuk menangkal upaya terorisme global. Hal ini berarti, intersepsi pada kanal komunikasi baik berupa penyadapan jalur komunikasi
layanan suara, sms, ataupun dalam bentuk komunikasi data seperti browsing, chating, email bisa dilakukan secara legal bila jalur-jalur tersebut terindikasi menjadi sarana untuk melakukan suatu tindakan pelanggaran hukum, mengancam keamanan negara serta menjadi media untuk aksi teroris. LI telah menjadi isu penting bagi negara-negara maju seperti Uni Eropa, USA, Australia, dan sejumlah negara Asia untuk diimplementasikan sesuai kebutuhan dari negara-negara bersangkutan......The increase in the complexity and interconnectivity in the globalization made the development of Information and Communication Technology (ICT) developing
very fast. The development of this technology caused various aspect sorts, among them to give an ease for his user. And caused the new culture in the everyday life.
The ICT implementation didn't only make ICT become valuable very strategic.Together with the progress of this technology, in the utilization of technology to prevent and deal with the action against the law and the protection towards the
national security continued to be increased. The utilization of this technology could be direct (interception) and indirectly (the use of the data). That was meant with the utilization of technology that was direct that is with interception or at this time more was known with the Lawful Intercept (LI) term. That could be interpreted as a process interception that was justified in the legal aspect.Lawful Interception (LI) presented the law of regulation on authorization of lines of communication investigation to the organizing operator of the
telecommunications service for the aim of law enforcement, maintained the interests of the security of the country as well as to ward off global terrorism efforts. This was significant, interception on communication canal took the form
of the tapping of lines of communication of the voice service, sms, or in the form of data communication like browsing, chatting, the email could be carried out in a legal manner when the lines is indicated became means of carrying out aviolation action of the law, threatened the security of the country as well as to the media for the terrorist's action. LI became important rumors for advanced country like the European Union, the USA, Australia, and several Asian countries to implement in accordance with the requirement from relevant countries."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nurjannah
"Penyadapan dalam aspek penegakan hukum menjadi hal krusial karena berkaitan pembatasan hak asasi manusia terutama kebebasan pribadi (privacy right). Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif besifat preskriptif, mengenai pengaturan kewenangan penyadapan KPK yang disesuaikan dengan menggunakan the international principles of the application of human rights in communication surveillance. Fokus peneltian ini adalah mengkaji bagaimana Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 70/PUU-XVII/2019 mengakomodir prinsip-prinsip perlindungan terhadap hak asasi manusia serta perbandingannya dengan lembaga anti kprupsi di berbagai negara seperi Malaysia, Hongkong dan Australia. Berdasarkan hal tersebut, permasalahan yangdibahas dalam penelitian ini adalah: (1) apakah pengaturan kewenangan penyadapan oleh KPK dalam Perubahan Kedua UU KPK sudah sesuai dengan konsep hak asasi manusia dalam hal perlindungan hak atas privasi terhadap subjek sadap KPK; dan (2) bagaimana dengan konsep konsep ideal regulasi kewenangan penyadapan KPK berdasarkan perspektif hak asasi manusia. Pengumupulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dengan studi pustaka dan pengumpulan data primer dilakukan dengan permintaan wawancara dengan pihak terkait sedangkan data sekunder dari laporan, jurnal, buku dan peraturan perundang-undangan. Penelitian ini berkesimpulan bahwa dalam Perubahan Kedua UU KPK udah lebih maju dibandingkan dengan regulasi sebelumnya, dengan indikasi dari aspek legalitas karena sudah diatur dalam undang-undang dengan menambahkan ketentuan-ketetntuan baru mengenai penyadapan. Akan tetapi, hak privasi dalam penegakan hukum dapat dilakukan pembatasannya melalui peraturan setingkat undang-undang, sedangkan muatan materi dalam UU Nomor 19 tahun 2019 masih belum memadai sehingga tetap berpotensi terjadi pelanggaran hak asasi manusia. Pengaturan penyadapan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 juga belum memenuhi prinsip-prinsip internasional mengenai perlindungan hak asasi manusia. Hal ini berarti Indonesia perlu memperbaiki undang-undangnya dengan menambahkan beberapa pasal atau membuat undang-undang khusus mengenai penyadapan agar dapat sepenuhnya mematuhi prinsip-prinsip internasional tentang hak asasi manusia dalam tindakan pengawasan elektronik.
......Interception in the aspect of law enforcement is crucial because it is related to the limitation of human rights, especially personal freedom (privacy right). This research is a prescriptive normative juridical research, regarding the regulation of the KPK's wiretapping authority in regard to the international principles of the application of human rights in communication surveillance. The focus of this research is to examine how Law Number 19 of 2019 after the Constitutional Court Decision (MK) No. 70/PUU-XVII/2019 accommodates the principles of protection of human rights and its comparison with anti-corruption institutions in various countries such as Malaysia, Hong Kong and Australia. Due to this, the problems discussed in this research are: (1) whether the regulation of the KPK's wiretapping authority in the Second Amendment to the KPK Law is in accordance with the concept of human rights in terms of protecting the right to privacy of the KPK's tapping subjects; and (2) what is the ideal concept of the KPK's regulation of wiretapping authority based on a human rights perspective?. Data collection used in this research is secondary data obtained by literature study and primary data collection is carried out by requesting interviews with relevant parties while secondary data from reports, journals, books and laws and regulations. This research concludes that the Second Amendment to the KPK Law is already more advanced than the previous regulation in term of interception, with an indication of the legality aspect because it has been regulated in law by adding new provisions. However, the right to privacy in law enforcement can be limited through regulations, at the level of law, while the material content in Law Number 19 of 2019 is still inadequate so that there is still the potential for human rights violations. The authority of interception regulated in Law No. 19/2019 also does not meet the international principles regarding the protection of human rights. It means that Indonesia needs to improve its law by adding several articles or creating a special law on wiretapping in order to fully comply with international principles on human rights in electronic surveillance."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ginting, Alfredo Elias
"Indonesia adalah negara yang menempatkan hukum sebagai panglima sebagaimana diamanahkan oleh UUD 1945, oleh karena itu Republik Indonesia memahami mengenai pentingnya penegakan hukum. Penegakan hukum memiliki banyak aspek dan sistem untuk menjalankan fungsinya, salah satunya penegakan hukum pidana yang dilakukan dalam sistem peradilan hukum pidana. Kejaksaan RI sebagai salah satu lembaga penegak hukum di Indonesia memiliki tugas dan kewenangan dalam melakukan penuntutan, eksekusi putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, serta penyidikan tindak pidana tertentu sebagaimana diatur dalam Undang – Undang. Dalam menjalankan fungsi dan kewenangannya tersebut terkadang dibutuhkan metode diluar dari cara - cara yang biasa digunakan, yang salah satunya adalah cara – cara intelijen termasuk penyadapan. Pengaturan intelijen penegakan hukum terutama cara – cara penyadapan masih rancu dalam peraturan perundang – undangan di Indonesia, sehingga terjadi perdebatan dan diperlukan analisis yang dalam untuk menjawab permasalahan ini. Ada baiknya jika pengaturan cara – cara intelijen termasuk penyadapan diatur dalam suatu produk hukum Undang – Undang.

Indonesia is a country that put law as its guide as mandated by UUD 1945. Because of that reason Indonesia understands the importance of law enforcement. Law inforcement in Indonesia have many aspects and systems, one of them is the inforcement of criminal law. Indonesia’s prosecutor office as one of the law enforcement agency, has the duty and authority to prosecute, execute court rulings, and investigate certain crime according to law. In order to do it’s duty and authority, sometimes Indonesia’s prosecutors have to do things beyond the general methods, and one of those methods is intelligence, which include interception. Indonesian law hasn’t fully regulated law enforcement and interception yet, which resulted in uncertainty in the uses of the methods. It would be better if the government make a law that regulates law enforcement intelligence and interception."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daffa Muhammad Hilmi
"Penelitian ini bertujuan untuk meneliti lebih lanjut bagaimana penerapan ketentuan intersepsi dan pemaksaan mendarat dalam Pasal 3 bis Konvensi Chicago oleh Indonesia, Belarusia, dan Inggris, baik dalam ketentuan hukum nasional masing-masing negara maupun dalam penanganan kasus intersepsi oleh ketiga negara tersebut. Penelitian ini juga bertujuan untuk membandingkan penerapan ketentuan intersepsi pada ketiga negara tersebut, khususnya dari segi alasan intersepsi dan penanganan pesawat setelah pemaksaan mendarat.
Pasal 3 bis Konvensi Chicago memperbolehkan setiap negara untuk mengintersepsi dan memaksa mendarat pesawat udara sipil yang melintas wilayahnya tanpa membahayakan keselamatan penerbangan ataupun menggunakan senjata. Selain itu, kedua tindakan tersebut hanya boleh dilakukan atas dua alasan: pelanggaran kedaulatan wilayah udara dan penyalahgunaan penerbangan sipil. Walaupun ICAO melengkapi ketentuan tersebut dengan standar dan rekomendasi tata cara teknis intersepsi dalam Annex 2 dan Manual Intersepsi ICAO, ketentuan hukum internasional belum mengatur penanganan pesawat udara sipil pasca pemaksaan mendarat secara merinci. Selain itu, ketentuan hukum internasional juga belum mendefinisikan maksud penyalahgunaan penerbangan sipil sebagai alasan intersepsi dan pemaksaan mendarat.
Indonesia, Belarusia, dan Inggris memiliki ketentuan hukum nasional tersendiri untuk mengatur tindakan intersepsi dan pemaksaan mendarat, mulai dari alasan dan tata cara intersepsi hingga penanganan pesawat udara yang dipaksa mendarat. Mengingat ketentuan hukum internasional belum mendefinisikan maksud penyalahgunaan penerbangan sipil serta belum mengatur penanganan pesawat udara pasca pemaksaan mendarat, setiap negara menetapkan kedua hal tersebut dengan ketentuan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Selain itu, perbedaan lainnya juga terlihat dari seberapa merinci peraturan tersebut dan seberapa selaras ketentuan tersebut dengan ketentuan Konvensi Chicago.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Indonesia, Belarusia, dan Inggris melaksanakan intersepsi dan pemaksaan mendarat menurut ketentuan hukum nasionalnya masing-masing. Pada akhirnya pula, keselarasan negara dalam menangani tindakan intersepsi dengan ketentuan Pasal 3 bis Konvensi Chicago dipengaruhi keselarasan ketentuan hukum nasional mengenai intersepsi dengan ketentuan Pasal 3 bis itu sendiri.
......The following research was established to further investigate on how Indonesia, Belarus, and the United Kingdom apply Article 3 bis of the Chicago Convention regarding civil aircraft interception and forced landing on their national laws and on how each state handle interception cases in their respective countries. The following research was also aimed to compare the application of civil aircraft interception provisions on the following three countries, especially regarding the reason of interception and handling of aircraft post-forced landing.
Article 3 bis of the Chicago Convention allows every state to intercept a civil aircraft flying through the concerned state’s territory and force its landing without endangering aviation safety and by refraining from using weapons. Both of those actions are only permitted under two reasons: violation of airspace sovereignty and misuse of civil aviation. Although ICAO supplement the following provision with their standards and recommendation regarding the technical procedures of aircraft interception on Annex 2 and ICAO’s Interception Manual, international law provisions have yet to regulate the handling of forced landed aircraft in detail. Furthermore, international law provisions have also yet to further define misuse of civil aviation as grounds for aircraft interception and forced landing.
Indonesia, Belarus, and the United Kingdom each have their own perspective national regulations regarding civil aircraft interception and its forced landing, ranging from grounds of interception and its procedures to handling of forced landed aircraft. Considering international law provisions have yet to further define misuse of civil aviation and regulate the handling of forced landed aircraft, each state has different regulations regarding both matters. Other differences of each national regulations are from how detailed its regulations are and how consistent its national regulations with the Chicago Convention.
To conclude, Indonesia, Belarus, and the United Kingdom handles civil aircraft interception and its forced landing in accordance with their respective national regulations. This further shows that how consistent a state’s handling of interception cases with Article 3 bis of the Chicago Convention are influenced by how consistent its national regulations on interception with the provisions of Article 3 bis itself."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library