Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Djoti Atmodjo
"Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 38 tahun 1991 tentang Unit Swadana dan Tata Cara Pengelolaan Keuangannya dilaksanakan pembentukan Rumah Sakit Unit Swadana. Pembentukan RS Unit Swadana merupakan kebijaksanaan dalam rangka mendukung sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang berimbang dan dinamis, serta dalam rangka usaha deregulasi dan debirokratisasi, yang bertujuan mengatasi kelemahan yang ada pada struktur anggaran saat ini yang belum mampu menyediakan anggaran rutin secara cukup.
Sebagai Unit Swadana, RSUP Dr.Kariadi dapat menggunakan secara langsung penerimaan fungsionalnya, yang dalam pelaksanaannya disusun melalui Daftar Rencana Kegiatan (DRK).
Dalam upaya meningkatkan penerimaan fungsional dilakukan kajian terhadap masalah piutang yang terutama terjadi pada pasien rawat inap bayar sendiri.
Dari penelitian yang meliputi 20.887 pasien rawat inap, 15.021 (71,92%) orang merupakan pasien rawat inap bayar sendiri yang sebagian besar (14.166 orang/94,31 %) dirawat di kelas III (A dan B).
Piutang sebesar Rp. 538.068.726,00 disebabkan oleh 24,21% pasien rawat inap bayar sendiri. Beberapa faktor yang mempunyai hubungan yang sangat signifikan (p < 0,001) menimbulkan terjadinya piutang adalah kelas perawatan, cara pulang dan lama perawatan.
Agar cost recovery (55,77%) dapat lebih ditingkatkan, diperlukan upaya upaya memperkecil nilai piutang yang terjadi saat pasien meninggalkan rumah sakit. Salah satu upaya adalah mengurangi risiko terjadinya piutang pada pasien yang pulang di luar jam dinas. Karena adanya keterbatasan tenaga administrasi di Instalasi Rawat Inap, bagi pasien yang meninggalkan rumah sakit di luar jam dinas belum dibuat perincian biaya perawatannya oleh petugas administrasi Instalasi Rawat Inap, Berdasarkan rata-rata pendapatan pasien menurut kelas perawatan, dapat dipertimbangkan pembayaran uang panjar sebesar rata-rata pendapatan tersebut.

ABSTRACT
Study of Account Receivable Self Pay Inpatients Problem at Kariadi Hospital in 1995/1996Based on President Decision No. 3811991 about Swadana Unit and order of Budgeting Management is carried out a Swadana Unit Hospital forming. A forming of Swadana Unit Hospital is a policy to carry on a balance and dynamic State Budgeting System, and in achieving deregulation and debereaucratisation which aims to overcome a weakness of budgeting structure which have not been able to serve an enough routine budgeting at the present time.
As the Swadana Unit, RSUP Dr. Kariadi is able to use functional receivable directly, which primarily happened in self pay inpatients.
From the 20.887 inpatients research, there are 15.021 (71,92%) self pay inpatients which the greater part (14.166 person/94,31%) is cured in the 3rd class (A and B).
The amount of the account receivable, Rp. 538.726,00 is caused by 24,21% self pay inpatient. Many factors which have a meaningful significant relation (p<0,001) to make an account receivable are the nursing class, the way of leaving the hospital and the time of the treatment.
In order to be able to make higher cost recovery (55,77%), is needed an effort to minimize the account receivable amount when the patient left the hospital. One of the attempt is to minimize the risk of the account receivable of the patients who left the hospital during the time work off. Because of the less administration officers, the inpatient Installation administration officer has no time to be able to make a patient treatment cost calculation. Based on the average of the patient income, it could be considered of paying earnest money as much as the income average."
Depok: Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irma Binarso
"Penyediaan obat untuk pelayanan kesehatan pasien di Rumah Sakit merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Kemajuan tingkat sosio ekonomi masyarakat menyebabkan tuntutan mutu layanan kesehatan yang lebih baik dengan akibat biaya yang diperlukan Rumah Sakit meningkat, dimana biaya obat merupakan komponen biaya yang paling besar.
Kemajuan ilmu pengetahuan dibidang Kedokteran menyebabkan munculnya sub-sub spesialis, sehingga jenis obat yang harus disediakan oleh Rumah Sakit semakin banyak. Besarnya biaya serta banyaknya jenis obat yang harus disediakan memerlukan pengendalian persediaan obat yang baik agar terjamin tersedianya obat dengan jumlah, jenis dan mutu yang tepat.
Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran besarnya nilai investasi, jumlah pemakaian dan indeks kritis persediaan obat di Irna A dalam upaya pengendalian persediaan.
Analisis ABC dan analisis indeks kritis ABC dilakukan dengan mengurutkan dan mengelompokkan obat yang dipakai di Irna A periode April 1995 - Maret 1996, berdasarkan nilai investasi, nilai pemakaian dan nilai kritis yang didapatkan dari hasil kuesioner dokter spesialis bedah, bedah syaraf, penyakit jantung dan mata; kemudian dihitung indeks kritis masing-masing obat sehingga didapatkan kelompok A dengan indeks kritis tinggi, kelompok B dengan indeks kritis sedang dan kelompok C dengan indeks kritis rendah.
Dari analisis ABC didapatkan hasil bahwa kelompok A yang memerlukan investasi paling tinggi yaitu (70,75 % dari seluruh biaya) terdiri dari 6,33 % jenis obat, kelompok B menelan biaya 20,21 % terdiri dari 7,67 % jenis obat dan kelompok C hanya membutuhkan 9,04 % biaya investasi ternyata merupakan 86 % dari semua jenis obat.
Dari analisis indeks kritis ABC bila dilihat dari kritis tidaknya obat terhadap pelayanan pasien ternyata obat dengan nilai investasi rendah dapat mempunyai indeks kritis tinggi dan sebaliknya.
Hasil analisis indeks kritis ABC digunakan untuk pengendalian persediaan, yang berbeda untuk kelompok A, B dan C.
Disarankan dalam menyusun formularium obat rumah sakit, penentuan jenis obat dipertimbangkan kritis tidaknya obat untuk pelayanan pasien dengan melibatkan dokter spesialis pengguna, dan program komputer yang ada dilengkapi dengan analisis ABC untuk pengendalian kuantitatif ; disamping itu diperlukan pula perbaikan pada rangkaian kegiatan manajemen persediaan.

Drug Inventory Control with Abc Critical Index Analysis in Irna A RSUP Dr. Kariadi Semarang From April 1995 To March 1996Drug providing for health service in hospital is something unbreakable union. Social - economic statues development demands better quality health service that increase hospital costs where drug cost is the biggest component.
Science improvement in medicine make the new sub-specialist and the more drug items must be providing in hospital as consequently. This condition needs a good drug controlling to guarantee the right amount, items, and quality as well.
The purpose of this research is to know the value of investation, the amount of usage and the critical index drug stocks in Irna A in order to control the stocks. ABC analysis and ABC critical index analysis are done by sorting and grouping drug used in Irna A from April 1995 to March 1996, bases on the investation value, usage value, and critical value that got from the result of questionnaire of surgeon, neuro surgeon, cardiologist and ophthalmologist.
Then by counting each critical index item, we get group A with high critical index, group B with moderate critical index and group C with low critical index.
As a result of ABC analysis, we get that the group A needs a highest investation cost (70,75 % of all costs) consist of 6,33 % drug items, group B spends 20,21 % consist of 7,67 % drug items and group C needs only 9,04 % but consist 86 % of all drugs. The ABC critical index analysis show us that drug with low investation can cause high critical index and high investation has low index.
As suggestion, to make a formularium, drug item decision is considered to its criticism to health service involving specialist as their users, and ABC analysis computerized program. to control the quality, beside their improvement of inventory management.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1996
T1081
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Katharina Kartini
"ABSTRAK
Rumah sakit dalam menyelenggarakan kegiatan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat secara efektif dan efisien perlu ditunjang dengan pengadaan sarana-sarana antara lain penyediaan alat-alat baik untuk pengobatan, penunjang diagnosa maupun membantu penyembuhan pasien. Peralatan yang dibutuhkan diantaranya adalah peralatan yang berteknologi tinggi dan disebut dengan peralatan medis canggih. Investasi peralatan medis canggih jelas akan melibatkan penyediaan dana yang relatif besar. Sedangkan utilisasi yang rendah akan menyulitkan dalam pembiayaannya.
Penelitian ini dilakukan untuk mendapat gambaran tentang persentase utilisasi USG Mata dan Operating Microscope terhadap kapasitas alat dan kemampuan pembiayaannya dengan pendapatan yang diperoleh dari pasien sebagai hasil dari utilisasi alat-alat tersebut.
Analisa Cost Recovery dilakukan dengan membandingkan pendapatan alat terhadap biaya pemeliharaan, biaya operasional dan biaya penyusutan/depresiasi pada tahun yang sama.
Hasil penelitian ini memberikan gambaran bahwa utilisasi USG Mata masih sangat rendah (3,4% pada tahun I dan 3,9% pada tahun II), maka dipandang perlu untuk dilakukan upaya pemasaran dan kerja sama dengan rumah sakit lain. Sedangkan utilisasi Operating Microscope juga belum optimal (33,5 % pada tahun I dan 31,3 % pada tahun II).
Walaupun pendapatan baik dari USG Mata maupun Operating Microscope belum mampu menutup semua pembiayaan masingmasing, namun penyediaan alat-alat tersebut dinilai layak.

ABSTRACT
Assessment Of Utilization About Investment of Sophisticated Medical Equipment For Providing Health Care (Production) and For Giving Support in Dr. Kariadi Hospital on Equipment Acquisition In The Fiscal Year 1993/1994. Hospital, in its activities to provide healthcare service for the need of the society properly, effectively and efficiently, needs to be supported by acquisition of equipment such as the availability of instruments both for treatment, to support diagnosis and to help the healing process of the patients.
Among the necessary equipments, there are high technology equipments and are called sophisticated medical equipments. Obviously, investment in sophisticated medical equipment will involve the availability of fund in relatively large amount. Whereas the low utilization will cause difficulties in its funding.
This study was performed to obtain a picture about the percentage of utilization of Ophthalmic USG and Ophthalmic Operating Microscope in comparison with its capacity ; and the hospital's ability to pay its costs by using revenue earned from patients as a result of the utilization of the equipment. Analysis of Cost Recovery was performed by making a comparison between revenue from the equipment and its maintenance cost, operating cost and depreciation cost in the same year.
The results of this study showed that Ophthalmic USG utilization was still very low (3,4 % in the first year and 3,9% in the second year). Therefore it was necessary to make marketing efforts and to establish a joint cooperation with other hospitals. Whereas the utilization of Ophthalmic Operating Microscope was neither optimal (33,5 % in the first year and 31,3 % in the second year). The revenue from both Ophthalmic USG and Ophthalmic Operating Microscope still could not cover all cost from both equipments. How ever the acquisition of the equipments was considered as feasible."
1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library