Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 13 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tjatur Yoga Utaman
"Untuk mengetahui sejauh mana peranan arteri karotis membantu deteksi dini penyakit jantung koroner, telah dilakukan
penelitian terhadap 200 orang Indonesia yang diotopsi di Jakarta. Dilakukan pemeriksaan indeks ater o sklerosis secara langsung terhadap arteri karotis komunis dan arteri koronaria pada semua golongan umur, jenis kelamin, sosial ekonomi dan suku bangsa. Hubungan antara aterosklerosis arteri karotis dan arteri koronaria dianalisa secara regresi. Juga dilakukan analisa statistik pengaruh umur, jenis kelamin, sosial ekonomi dan suku terhadap aterosklerosis arteri karotis dan arteri koronaria. Sebagai hasil ternyata didapatkan
hubungan yang sangat kuat antara aterosklerosis arteri karotis dengan aterosklerosis arteri koronaria ( r = 0,96 ). Faktor umur saja hanya berpengaruh 42 % terhadap aterosklerosis arteri koronaria. Umur rata-rata saat timbulnya aterosklerosis untuk orang Indonesia adalah 28 tahun. Hanya sosial ekonomi tinggi saja yang berhubungan secara bermakna terhadap aterosklerosis, sedangkan sosial ekonomi sedang dan rendah tidak berhubungan secara bermakna. Jenis kelamin juga tidak berhubungan secara bermakna terhadap aterosklerosis. Sedang faktor suku terhadap aterosklerosis dalam penelitian ini tidak dianalisa karena penyebaran sampel yang tidak merata."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1995
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chaidir Karnanda
"Digitalis telah dikenal manusia lebih dari 200 tahun
yang lampau. Sampai saat ini digitalis masih merupakan salah satu obat yang banyak digunakan dalam pengobatan jantung. Namun demikian masalah batas ambang pengobatan digitalis yang sempit masih merupakan problem yang terus dipersoalkan. Sempitnya batas ambang pengobatan ini tampak dari batas toksik yang sangat bervariasi. Sebagai contoh, untuk digoksin ialah pada tingkat kadar serum 2,3 ± 1,6 ng/ml. Hal tersebut menyebabkan angka intoksikasi digitalis menjadi cukup tinggi, yaitu antara 8-35% dari penderita yang mendapat digitalisasi. Angka kematian yang dilaporkan adalah sekitar 7-50% dari penderita yang mengalami intoksikasi. Tiga sampai 21% dari penderita yang mengalami intoksikasi digitalis meninggal karena efek langsung digitalisasi.

Digitalists have been known to humans for more than 200 years in the past. Until now, digitalis is still one of the drugs that is widely used in heart treatment. However, the problem of the narrow threshold of digitalist treatment is still a problem that continues to be questioned. The narrowness of the treatment threshold can be seen from the highly variable toxic limit. For example, to be dioxin is at a serum rate level of 2~3 ± 1,6 ng/ml. This causes the number of intoxication. Digitalization is quite high, which is between 8-35% of sufferers who get digitized. The reported mortality rate is around 7-50% of patients who experience intoxication. Three to 21% of people who experience digitalist intoxication die due to the direct effects of digitalization."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1990
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dr. Rahmi Afifi
"Tujuan: Mengetahui gambaran arteri karotis pada pemeriksaan ultrasonografi Doppler berwarna pada pasien-pasien stroke iskemik di RSUPN CM. Bahan dan Cara: Tiga puluh satu pasien dengan stroke iskemik dilakukan pemeriksaan ultrasonografi Doppler berwarna pada arteri karotis bilateral. Semua pasien telah dilakukan pemeriksaan CT Scan kepala dan penilaian adanya faktor risiko seperti hipertensi, diabetes melitus, hiperkolesterol dan merokok. Pada pemeriksaan ultranografi Doppler berwarna terhadap karotis, dinilai IMT, plak, diameter stenosis dan gangguan aliran. Selain itu dinilai juga hubungan antara faktor risiko terhadap terjadinya plak. Hasil: Dari 31 pasien stroke iskemik yang dilakukan ultrasonografi Doppler berwarna karotis didapatkan 16 pasien (51,6%) dengan penebalan intima, 21 pasien (67,7%) mempunyai plak pada arteri karotis. Sebagian besar plak berlokasi di bifurksio karotis (71,0%), dengan struktur heterogen dan permukaan reguler (74,2%). Hanya 2 plak (6,5%) yang menimbulkan stenosis lebih dari 50%. Sebanyak delapan belas (72%) dari 25 pasien penderita hipertensi dan 7 (70%) dari 10 pasien penderita diabetes mellitus mempunyai plak pada arteri karotis. Kesimpulan: Pada penelitian ini didapatkan lokasi plak tersering di bifurkasio karotis, struktur plak terbanyak heterogen dengan permukaan yang reguler. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara faktor-faktor risiko terhadap terbentuknya plak."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T58443
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Panjaitan, Dameria Sri Indahwati
"Latar Belakang. Pasien epilepsi memerlukan obat antiepilepsi (OAE) dalam waktu lama, minimal 1-2 tahun.OAE yang terbanyak digunakan di Indonesi adalah OAE generasi lama yaitu karbamazepin, fenitoin, fenobarbital, dan valproat.Karbamazepin, fenitoin, dan fenobarbital dapat menyebabkan stres oksidatif dan peningkatan kolesterol sedangkan menyebabkan resistensi insulin.Keempat OAE dapat menyebabkan peningkatan homosistein. Hal tersebut dapat menyebabkan disfungsi endotel yang merupakan awal dari aterosklerosis.Ketebalan kompleks intima-media (KIM) karotis komunis dapat digunakan sebagai indikator dari aterosklerosis.Oleh karena itu diperlukan pengukuran ketebalan KIM karotis komunis pada pasien epilepsi yang menggunakan OAE generasi lama untuk deteksi awal aterosklerosis.
Metode penelitian. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang untuk melihat perbandingan ketebalan KIM karotis komunis kelompok studi (pasien epilepsi) dengan kelompok kontrol (populasi normal) dengan usia dan jenis kelamin yang disesuaikan. Variabel independen adalah usia, jenis kelamin, jumlah OAE, jenis OAE, dan durasi OAE.
Hasil. Didapatkan sampel masing-masing 46 subjek kelompok studi dan kontrol. Median ketebalan KIM karotis komunis kelompok studi (0,49 (0,36-1,40) mm) lebih dari kontrol (0,43 (0,35-0,77) mm) secara bermakna. Pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan antara usia, jenis kelamin, jumlah OAE, jenis OAE, durasi OAE dengan ketebalan KIM karotis komunis pada pasien epilepsi.
Kesimpulan. Ketebalan KIM karotis komunis pasien epilepsi yang menggunakan OAE generasi lama lebih tebal dari kelompok kontrol.

Background. Epilepsy patients requires long-term antiepileptic drugs (AEDs) at least for 1-2 years. The most common AEDs used in Indonesia are first generation AEDs which are carbamazepine (CBZ), phenytoin (PHT), phenobarbital (PB), and valproate (VPA). The first three AEDs may cause oxidative stress and increased cholesterol level while VPA causes insulin resistance. All AEDs cause increased homocysteine level. All those factors could cause endothelial dysfunction which is known as initial process in atherosclerosis. Common carotid intima-media thickness (CC IMT) is a well-known indicator of atherosclerosis. Therefore CC IMT measurement on epilepsy patients with old generation AEDs is required for early detection of atherosclerosis.
Methods. This was a cross-sectional study that comparing CC IMT of epilepsy patients and control group (normal subjects) with age and sex matched. The independent variables were age, sex, number of AEDs, type of AEDs, and duration of AEDs.
Results. There were 46 subjects for each group. The CC IMT median of epilepsy patients (0,49 (0,36-1,40) mm) were significantly thicker than control group (0,43 (0,35-0,77) mm). There were no association of age, sex, number of AEDS, type of AEDs, duration of AEDs with CC IMT.
Conclusions. CC IMT of epilepsy patients with first generation AEDs was higher than control group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fery Agusman
"Tujuan :
Mengetahui gambaran atheroskierosis arteri karotis komunis dan arteri ekstremitas bawah (femoralis komunis) pada pasien stroke iskemik dengan USG Color Doppler dan pengaruh faktor-faktor resiko terhadap terjadinya atheroskierosis (plak).
BAHAN DAN METODE
Penelitian "cross sectional", dimulai dari bulan November 2004 sampai dengan April 2005. Penelitian pada 32 pasien stroke iskemik (berdasarkan klinis&CT Scan), menggunakan CDU, transduser 10 MHz. Dilakukan pemeriksaan CDU arteri karotis dan ekstremitas bawah (kanan-kiri) untuk melihat adanya penebalan intima-media, plak, dan pola aliran darah. Faktor-faktor resiko stroke (usia, jenis kelamin, DM, merokok, hiperkoleslerol, riwayat jantung dan stroke) pada pasien dicatat. Hasil dianalisa olch peneliti dan spesialis radiologi.
HASIL
Rata-rata diameter lumen arteri karotis komunis kanan dan kid adalah 0,89 dan 0,85 cm. Rata-rata diameter lumen arteri femoralis komunis adalah 0,90 dan 0,90 cm. Faktor resiko terbesar penyebab stroke adalah hipertensi (84,4%), disusul riwayat stroke (53,1%), diabetes militus (50,1%), merokok (46,9%), hiperkolesterol (31,3%), jantung (18,8%). Jumlah temuan penebalan intima-media pada arteri karotis dan femoralis komunis hampir sama. Tetapi temuan plak arteri femoralis komunis lebih sering dibandingkan pada arteri karotis komunis, dan pada uji Mc Nemar terdapat hubungan bermakna bahwa plak di arteri femoralis komunis lebih awal dibandingkan pada arteri karotis komunis. Lokasi plak tersering berada di biffurcatio. Pada penelitian ini tidak didapatkan stenosis bermakna, sehingga nilai PI dan RI masih dalam batas normal. Faktor resiko penyebab timbulnya plak tersering adalah hiperkolesterol, disusul DM, jantung, stroke, merokok. Semakin banyak Faktor resiko, maka sernakin besar kemungkinan terdapat plak di arteri karotis komunis dan terutama di arteri femoralis komunis.
KESIMPULAN
Temuan plak di arteri femoralis komunis lebih awal dan lebih sering terjadi dibandingkan di arteri karotis komunis, yang diduga sering mcnyebabkan pelepasan thrombus penyebab stroke iskemik

Purpose
To asses atherosclerosis of common carotid artery and common femoral artery in patient with ischemic stroke, and risk factor that influence formation of atherosclerosis (plaque).
MATERIALS AND METHODS
Study cross sectional; begin from November 2004 to April 2005. Examinations of 32 patients ischemic stroke (based on clinical and CT Scan) use CDU, transducer 10 MHz. CDU carotid and femoral artery right-left was done to evaluated Intima-Media Thickness (IMT) and plaque. Risk factors of stroke (age, sex, diabetes, smoking, hipercholesterol, history of CAD and CVD); in patients being recorded. Reviewed by observer, radiologist.
RESULT
The mean lumen of diameter right and left command carotid artery is 0,89 and 0.85 cm. The mean of lumen diameter right and left command femoral artery is 0,90 and 0,90 cm. The most frequence risk factor causing ischemic stroke is hipert'nsi (84,4%), then follow history of CVD (53,1%), diabetes (50,1%), smooking (46,9%), hipercholesterol (31,3%), and CAD (18,8%). Amount of Intima-Media Thickness in carotid artery, as common as femoral artery. But plaque in common femoral artery more frequency than in common carotid artery, and with Mc Nemar test there is association that plaque finding in common femoral artery earlier than common carotid artery. Plaque location more frequent in biffurcatio. The most frequency risk factors causing plaque is hipercholesterol, then follow diabetes, CAD, stroke, smoking. Too much risk factor in ischemic stroke, too much plaque finding in common carotid artery and common femoral artery.
CONCLUSION
Plaque finding in common femoral artery more frequency and earlier than in common carotid artery that suspected release thrombus cause of ischemic stroke."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendrianus
"Latar belakang: Elabela merupakan peptida baru yang ditemukan tahun 2013, bersama dengan apelin bertindak sebagai ligan endogen yang mengikat reseptor angiotensin receptor-like 1 (APJ), diekspresikan di berbagai jaringan tubuh terutama pembuluh darah dan memperlihatkan profil kardiovaskular yang mirip dengan apelin. Studi-studi ekperimental dan klinis telah memperlihatkan hubungan elabela dengan hipertensi, namun belum banyak diketahui mengenai peran elabela dalam proses aterosklerosis pada pasien hipertensi. Tujuan: Mengetahui hubungan konsentrasi peptida elabela dalam plasma dengan aterosklerosis subklinis pada populasi hipertensi. Metode: Sebanyak 104 subyek dengan hipertensi diikutkan dalam studi potong lintang. Konsentrasi elabela diperiksa dengan metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dengan terlebih dahulu melakukan ekstraksi peptida sesuai protokol. Parameter aterosklerosis subklinis dinilai dengan pemeriksaan ketebalan intima-media (KIM) karotis menggunakan alat ultrasonografi. Hasil: Konsentrasi elabela pada kelompok hipertensi derajat 2 lebih rendah dibandingkan kelompok hipertensi stadium 1 (0.14 [0.09, 0.23] ng/ml vs. 0.23 [0.13, 0.45] ng/ml; P = 0.000). Konsentrasi elabela lebih rendah pada kelompok dengan KIM karotis yang meningkat (0.15 [0.10, 0.23] ng/dl vs. 0.24 [0.13, 0.38] ng/dl; P = 0.005). Elabela memiliki korelasi linier negatif bermakna terhadap tekanan darah sistolik (r = -0.340, P = 0.000) dan KIM karotis (r = -0.213; P = 0.030). Konsentrasi elabela yang rendah (cutoff 0.155 ng/dl) berhubungan dengan subkelompok risiko tinggi kardiovaskular (OR 5.0, IK 95% 1.8-13.5, P <0.001). Kesimpulan: Penelitian ini untuk pertama kalinya memperlihatkan hubungan elabela dengan aterosklerosis subklinis terkait hipertensi. Rendahnya konsentrasi elabela dikaitkan dengan patogenesis aterosklerosis terkait hipertensi sehingga menjadikan elabela sebagai kandidat penanda biologis (biomarker) vaskular yang baru.

Introduction: Elabela is a newly identified peptide which, alongside apelin, acts as an endogenous ligand that activates the angiotensin receptor-like 1 receptor. Previous studies have shown the association of elabela with hypertension, but information about the role of elabela in hypertension-related subclinical atherosclerosis is scarce. Aim: To determine the elabela level in hypertensive patients and reveal its association with subclinical atherosclerosis. Methods: A total of 104 subjects with hypertension were included in the study. Elabela levels were measured using an enzyme-linked immunosorbent assay, by first extracting the peptide following the manufacturer's instructions. Subclinical atherosclerosis was assessed by measuring the carotid intima-media thickness (IMT) using ultrasound. Results: Compared to stage 1, elabela levels decreased in stage 2 hypertension (0.23 [0.13, 0.45] ng/ml vs. 0.14 [0.09, 0.23] ng/ml; P = 0.000), and in the group with increased carotid IMT compared to normal IMT (0.24 [0.13, 0.38] ng/ml vs. 0.15 [0.10, 0.23] ng/ml; P = 0.005). Additionally, a linear correlation analysis showed that elabela had a significant negative correlation with systolic blood pressure (r = -0.340, P = 0.000) and carotid IMT (r = -0.213; P = 0.030). In multivariate analysis, lower elabela levels were associated with a higher cardiovascular risk group in this study (OR 5.0, 95% CI 1.8-13.5, P < 0.001). Conclusions: This study demonstrated for the first time that circulating elabela declined in a higher stage of hypertension and hypertensive patients with increased carotid IMT, implicating that elabela may be involved in the pathogenesis of hypertension-associated subclinical atherosclerosis"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendrianus
"Latar belakang: Elabela merupakan peptida baru yang ditemukan tahun 2013, bersama dengan apelin bertindak sebagai ligan endogen yang mengikat reseptor angiotensin receptor-like 1 (APJ), diekspresikan di berbagai jaringan tubuh terutama pembuluh darah dan memperlihatkan profil kardiovaskular yang mirip dengan apelin. Studi-studi ekperimental dan klinis telah memperlihatkan hubungan elabela dengan hipertensi, namun belum banyak diketahui mengenai peran elabela dalam proses aterosklerosis pada pasien hipertensi.
Tujuan: Mengetahui hubungan konsentrasi peptida elabela dalam plasma dengan aterosklerosis subklinis pada populasi hipertensi.
Metode: Sebanyak 104 subyek dengan hipertensi diikutkan dalam studi potong lintang. Konsentrasi elabela diperiksa dengan metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dengan terlebih dahulu melakukan ekstraksi peptida sesuai protokol. Parameter aterosklerosis subklinis dinilai dengan pemeriksaan ketebalan intima-media (KIM) karotis menggunakan alat ultrasonografi.
Hasil: Konsentrasi elabela pada kelompok hipertensi derajat 2 lebih rendah dibandingkan kelompok hipertensi stadium 1 (0.14 [0.09, 0.23] ng/ml vs. 0.23 [0.13, 0.45] ng/ml; P = 0.000). Konsentrasi elabela lebih rendah pada kelompok dengan KIM karotis yang meningkat (0.15 [0.10, 0.23] ng/dl vs. 0.24 [0.13, 0.38] ng/dl; P = 0.005). Elabela memiliki korelasi linier negatif bermakna terhadap tekanan darah sistolik (r = -0.340, P = 0.000) dan KIM karotis (r = -0.213; P = 0.030). Konsentrasi elabela yang rendah (cutoff 0.155 ng/dl) berhubungan dengan subkelompok risiko tinggi kardiovaskular (OR 5.0, IK 95% 1.8-13.5, P <0.001).
Kesimpulan: Penelitian ini untuk pertama kalinya memperlihatkan hubungan elabela dengan aterosklerosis subklinis terkait hipertensi. Rendahnya konsentrasi elabela dikaitkan dengan patogenesis aterosklerosis terkait hipertensi sehingga menjadikan elabela sebagai kandidat penanda biologis (biomarker) vaskular yang baru.

Introduction: Elabela is a newly identified peptide which, alongside apelin, acts as an endogenous ligand that activates the angiotensin receptor-like 1 receptor. Previous studies have shown the association of elabela with hypertension, but information about the role of elabela in hypertension-related subclinical atherosclerosis is scarce.
Aim: To determine the elabela level in hypertensive patients and reveal its association with subclinical atherosclerosis.
Methods: A total of 104 subjects with hypertension were included in the study. Elabela levels were measured using an enzyme-linked immunosorbent assay, by first extracting the peptide following the manufacturer's instructions. Subclinical atherosclerosis was assessed by measuring the carotid intima-media thickness (IMT) using ultrasound.
Results: Compared to stage 1, elabela levels decreased in stage 2 hypertension (0.23 [0.13, 0.45] ng/ml vs. 0.14 [0.09, 0.23] ng/ml; P = 0.000), and in the group with increased carotid IMT compared to normal IMT (0.24 [0.13, 0.38] ng/ml vs. 0.15 [0.10, 0.23] ng/ml; P = 0.005). Additionally, a linear correlation analysis showed that elabela had a significant negative correlation with systolic blood pressure (r = -0.340, P = 0.000) and carotid IMT (r = -0.213; P = 0.030). In multivariate analysis, lower elabela levels were associated with a higher cardiovascular risk group in this study (OR 5.0, 95% CI 1.8-13.5, P < 0.001).
Conclusions: This study demonstrated for the first time that circulating elabela declined in a higher stage of hypertension and hypertensive patients with increased carotid IMT, implicating that elabela may be involved in the pathogenesis of hypertension-associated subclinical atherosclerosis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Amrul Mukminin
"Latar Belakang: Peningkatan prevalensi penderita diabetes melitus (DM) meningkatkan risiko aterosklerosis arteri karotis interna (internal carotid artery, ICA). Di negara maju, 85% kasus stroke terjadi akibat aterosklerosis karotis. Short chain fatty acid (SCFA) adalah produk metabolisme bakteri yang terutama disintesis di usus besar dan berperan mengurangi aktivasi endotel oleh mediator proinflamasi. Sehingga mencegah progresi aterosklerosis ICA. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan SCFA feses dengan gambaran ultrasonografi ICA pada penderita DM tipe 2 di RS Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Metode: Desain penelitian ini adalah observasional analitik jenis potong lintang. Data diperoleh dari seluruh pasien DM tipe 2 di Divisi Bedah Vaskular dan Endovaskular RSCM. Meliputi kadar SCFA sampel feses dan gambaran ultrasonografi (carotid intima-media thickness (IMT), diameter lumen, peak systolic velocity (PSV), end diastolic velocity (EDV), dan flow volume). Uji korelasi Spearman dilakuan untuk memperoleh koefisien korelasi. Nilai p <0,05 bermakna signifikan.
Hasil: Dari 30 subjek DM tipe 2, terdapat 12 laki-laki (40,0%) dan setengah populasi berusia >60 tahun. Hasil pemeriksaan IMT berhubungan signifikan dengan jenis kelamin (p=0,048). Kadar SCFA berhubungan signifikan dengan usia, yaitu asetat (p=0,029), proprionat (p=0,005), butirat (p=0,039), dan SCFA total (p=0,024). Kadar SCFA valerat berkorelasi signifikan dengan IMT (r = -0,237; p=0,034) dan diameter lumen (r = -0,243; p=0,031).
Kesimpulan: Kadar SCFA feses berkorelasi dengan gambaran ultrasonografi arteri karotis interna. Nilai kadar SCFA feses pada pasien DM tipe 2 di RSCM lebih tinggi dibandingkan penelitian lain. Peningkatan kadar SCFA menurunkan risiko penyempitan arteri sklerosis interna

Background: The increasing prevalence of diabetes mellitus (DM) increases the risk of atherosclerosis of the internal carotid artery (ICA). In developed countries, 85% of stroke cases occur due to carotid atherosclerosis. Short-chain fatty acids (SCFA) are products of bacterial metabolism which are mainly synthesized in the large intestine and play a role in reducing endothelial activation through pro-inflammatory mediators, thus preventing the progression of ICA atherosclerosis. This study aims to determine the correlation between faecal SCFA and ICA ultrasonography in patients with type 2 diabetes at Dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital (CMGH).
Methods: This study is cross-sectional. Data were obtained from all type 2 DM patients in the Vascular and Endovascular Surgery Division. Data that were collected included faecal SCFA levels and ultrasonography examination (carotid intima-media thickness (IMT), lumen diameter, peak systolic velocity (PSV), end-diastolic velocity (EDV), and flow volume). Spearman correlation test was conducted to obtain the correlation coefficient. The p-value <0.05 was significant.
Results: Of the 30 subjects, 12 were male (40.0%) and half the population was >60 years old. BMI examination results were significantly related to gender (p=0.048). SCFA levels were significantly related to age, including acetate (p=0.029), proprionate (p=0.005), butyrate (p=0.039), and total SCFA (p=0.024). SCFA valerate levels were significantly correlated with BMI (r = -0.237; p=0.034) and lumen diameter (r = -0.243; p=0.031).
Conclusion: Fecal SCFA levels correlated with ultrasound images of the internal carotid artery. The value of faecal SCFA levels in type 2 DM patients at CMGH was higher than in other studies. Elevated SCFA levels decrease the risk of ICA narrowing or stenosis.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Syah Abdaly
"Latar Belakang. Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab kematian utama pada populasi diabetes mellitus (DM). Proses aterosklerosis pada populasi DM sudah terjadi sebelum diagnosis DM ditegakkan, yaitu pada fase resistensi insulin. Resistensi insulin terjadi akibat pengaruh faktor genetik dan lingkungan. Secara genetik, populasi keluarga derajat pertama (first degree relative, FDR) penyandang DM tipe 2 lebih berisiko memiliki gangguan aterosklerosis akibat resistensi insulin, bila dibandingkan dengan populasi tanpa riwayat keluarga DM. Penelitian mengenai aterosklerosis subklinik pada kelompok FDR DM tipe 2 usia dewasa muda di Indonesia masih terbatas.
Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data perbedaan tebal tunika intima media karotis antara kelompok FDR DM tipe 2 dan kelompok bukan FDR DM tipe 2 usia dewasa muda.
Metode. Metode yang digunakan adalah studi potong lintang, melibatkan 16 subjek FDR dan 16 subjek non-FDR berusia 19-40 tahun, dengan toleransi glukosa normal dan tidak memiliki hipertensi. Kelompok non-FDR didapatkan dengan metode matching berdasarkan jenis kelamin dan usia. Data yang dikumpulkan berupa karakteristik subjek, pemeriksaan antropometrik (indeks massa tubuh dan lingkar pinggang), pemeriksaan darah (glukosa darah puasa, HbA1c, profil lipid) dan pemeriksaan tebal tunika intima-media arteri karotis menggunakan ultrasonografi (USG) B-mode.
Hasil. Rerata tebal tunika intima-media arteri karotis (CIMT) pada subjek FDR dan non-FDR secara berturut adalah 0,44 mm dan 0,38 mm, p=0,005. Setelah dilakukan adjust dengan lingkar pinggang, indeks massa tubuh, kolesterol LDL dan trigliserida, masih terdapat perbedaan CIMT yang signifikan antara kedua kelompok. Indeks massa tubuh dan lingkar pinggang mempunyai korelasi terhadap CIMT.
Simpulan. Tunika intima-media arteri karotis pada populasi FDR DM tipe 2 usia dewasa muda lebih tebal dibandingkan dengan populasi bukan FDR DM tipe 2."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Shirly Elisa Tedjasaputra
"ABSTRAK
Pendahuluan:
Kalsifikasi vaskular yang ditandai dengan penebalan tunika intima-media (TIM) karotis pada pasien diabetes melitus (DM) tipe 2 merupakan faktor prediktor terhadap kejadian serebro-kardiovaskular. Osteoprotegerin (OPG) merupakan penanda disfungsi endotel yang dapat digunakan sebagai prediktor terhadap penebalan TIM karotis. Penggunaan ultrasonografi (USG) karotis untuk menilai ketebalan TIM karotis masih terbatas di Indonesia sehingga diperlukan metode diagnostik lain yang lebih cost effective. Penelitian ini dilakukan untuk menentukan faktor-faktor determinan yang bermakna dan nilai tambah diagnostik pemeriksaan OPG dalam mendeteksi penebalan TIM karotis pada pasien DM tipe 2.
Metode:
Studi potong lintang dilakukan di poliklinik Metabolik Endokrin dan poliklinik spesialis Ilmu Penyakit Dalam RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada bulan April-Juni 2012 pada pasien DM tipe 2 tanpa komplikasi serebro-kardiovaskular, tanpa komplikasi penyakit ginjal kronik (PGK) stadium III-V dan tidak merokok. Pada penelitian ini dilakukan analisis bivariat dan multivariat pada variabel lama menderita DM, hipertensi, dislipidemia, HbA1c, dan OPG. Selanjutnya, ditentukan nilai tambah pemeriksaan OPG dalam mendeteksi penebalan TIM karotis pada pasien DM tipe 2. Analisis data dilakukan dengan menggunakan program SPSS versi 17.0.
Hasil:
Dari 70 subjek penelitian, didapatkan jumlah subjek dengan peningkatan OPG dan penebalan TIM karotis adalah sebesar 45,7% dan 70%. Dari 49 subjek dengan penebalan TIM karotis, didapatkan 61,2% subjek dengan peningkatan OPG. Lama menderita DM (OR 26,9; IK 95% 2-365,6), hipertensi (OR 22; IK 95% 2,3-207,9), dislipidemia (OR 85,2; IK 95% 3,6-203,6) dan OPG (OR 12,9; IK 95% 1,4-117,3) berhubungan secara bermakna dengan penebalan TIM karotis. Pemeriksaan OPG mempunyai spesifisitas dan nilai duga positif tinggi (90,5% dan 84%). Nilai tambah diagnostik OPG hanya sebesar 2,3% dalam mendeteksi penebalan TIM karotis.
Simpulan:
Faktor-faktor determinan yang bermakna untuk mendeteksi penebalan TIM karotis pada pasien DM tipe 2 adalah lama menderita DM, hipertensi, dislipidemia dan OPG. Nilai tambah diagnostik dari pemeriksaan OPG adalah sebesar 2,3% dalam mendeteksi penebalan TIM karotis pada pasien DM tipe 2."
Jakarta: Bidang Penelitian dan Pengembangan Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
610 JPDI 5:2 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>