Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Sardjono Jatiman
Depok: Universitas Indonesia. Pusat Penelitian Pranata Pembangunan, 1993
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Safina Rahmaniar Wanaputri
Abstrak :
Pengadilan Tata Usaha Angkatan Bersenjata secara tegas diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 yang menyatakan bahwa semenjak diundangkannya undang-undang ini maka 3 (tiga) tahun harus dibentuk peraturan pelaksana berbentuk Peraturan Pemerintah mengenai Hukum Acara Tata Usaha Militer. Akan tetapi setelah 19 tahun berjalan, Pemerintah Indonesia belum juga mengeluarkan peraturan pelaksana sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-Undang Peradilan Militer. Akibatnya terdapat kekosongan hukum dalam pelaksanaan Hukum Acara Tata Usaha Angkatan Bersenjata. Terdapat tiga permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu kewenangan Pengadilan Militer dalam Tata Usaha Militer, hambatan dalam pelaksanaa Hukum Acara Tata Usaha Angkatan Bersenjata, dan juga mengenai penyelesaian sengketa tata usaha militer dalam Pengadilan Militer Tinggi. Adapun mengenai metode penulisan yang digunakan dalam penulisan ini adalah yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif dan menggunakan bahan kepustakaan serta wawancara. Saran dari hasil penelitian ini bertujuan agar Pemerintah dapat dengan segera mengisi kekosongan hukum yang ada agar dapat memberikan kepastian hukum bagi para Prajurit.
The Armed Forces Administrative Court is regulated in Law No. 31/1997, which states that since the enactment of this law, 3 (three) years must be regulated by the Government Regulations about Military Procedural Laws. However, after 19 years, Indonesia Government has not yet issued regulations referred to in the Law on Military Court. As a result, there is a legal vacuum in the implementation of the Armed Forces Administrative Procedural Law. There are three problems discussed in this research, namely the authority of the Military Courts in Military Administration, obstacles in the implementation of the Armed Forces Administrative Procedure Law, and also regarding the resolution of military administrative disputes in the High Military Court. Regarding the method used in this language is normative juridical with a qualitative approach and using literature and interviews. The results of this study were intended that governments could quickly fill the existing rechtvacuum in order to provide legal certainty for soldiers.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Susilo Yanuardi
Abstrak :
Sesuai Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu/DKPP) adalah sebuah dewan etik independen yang memiliki kewenangan untuk menyelidiki dan memutuskan ada atau tidaknya dugaan pelanggaran kode etik, berikut memberikan sanksi atau rehabilitasi. Dalam prakteknya, DKPP tidak hanya membuat keputusan terkait dengan etika pelanggaran, sanksi, dan rehabilitasi tetapi juga memerintahkan Komisi Pemilihan Umum Daerah untuk meninjau ulang atau mengubah Keputusan tentang penetapan peserta pemilukada, sementara kewenangan untuk meninjau ulang atau mengubah susbstansi keputusan tata usaha Negara oleh KPUD adalah Pengadilan Tata Usaha. Fokus tesis ini adalah pemilihan gubernur di Provinsi Jawa Timur sebagai contoh dimana Putusan DKPP memerintahkan KPUD untuk mengubah keputusan mereka terkait penetapan peserta pemilukada yang sebelumnya dinyatakan tidak memenuhi syarat menjadi peserta pemilukada oleh KPUD. Perintah DKPP semacam ini tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011. Putusan DKPP tidak mengubah prinsip-prinsip dan mekanisme pengujian sebuah keputusan tata usaha Negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang TUN. Mekanisme penyelesaian sengketa TUN terkait pemilukada di PTUN yang tidak sejalan dengan proses dan tahapan pemilukada telah mengakibatkan DKPP menjadi pilihan bagi calon peserta pemilukada untuk mendapatkan keadilan. Dari sudut pandang penulis, perlu dibentuk suatu mekanisme khusus penyelesaian sengeketa TUN terkait pemilukada di lingkungan peradilan TUN yang sejalan dengan keberadaan, tugas, dan kewenangan DKPP. ...... In accordance with Law No. 15 Year 2011 on the General Election Implementers, Election Organizers Ethics Council is an independent ethic council that has authority to investigate and decide on complaints of alleged violations of code of conduct,which include sanctions or rehabilitations,committed by election organizers (included in the governor/regional elections). In practice, DKPP not only make decisions related to ethic violations, sanctions, and rehabilitations but also order the election organizers to review and/or change the Regional Election Commission decision. Whereas reviewing and changing KPUD decisions is Administrative Court authority. This thesis focus on governor election in East Java Province as an example area which DKPP verdict compelled KPUD to alter their decision related to electoral candidates, who previously ruled ineligible, could participate in the election. This mechanism is not in line with Law No. 15 Year 2011. DKPP verdict should not change the principles and mechanisms of test administrationin Administrative Court asstipulatedin Administrative law. Mechanism of election dispute in PTUN is not in line with election process in the regional level. Therefore, DKPP be a favourable option for election candidates to gain justice. From author perspective, it is necessarry to establish special administrative resolution mechanisms in administrative court which it should be along with the existence of DKPP.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T41606
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hevi Dwi Oktaviani
Abstrak :
ABSTRAK
Pasca disahkannya Pasal 87 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, terjadi perluasan dalam pemaknaan Keputusan Tata Usaha Negara KTUN . Sehingga, perlu dipahami perbedaan definisi sebelum dan sesudah munculnya pasal tersebut. KTUN dimaknai secara sempit pada Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Setelah itu, perluasan redefinisi KTUN berdampak pada wewenang PTUN karena KTUN merupakan objek sengketa di PTUN. Pembahasan terakhir akan mencoba mencari putusan-putusan PTUN yang sudah menerapkan ketentuan Pasal 87 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 dalam pertimbangan hukum hakim. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, dengan menggunakan data sekunder serta menggunakan bahan hukum primer, sekunder dan tertier yang diperoleh dari studi kepustakaan. Kesimpulan dari penelitian ini adalah tidak adanya penambahan wewenang PTUN pasca munculnya Pasal 87 karena pada intinya wewenang PTUN tetap mengadili dan memutus sengketa Tata Usaha Negara yang disebabkan oleh terbitnya suatu KTUN. Tetapi, saat ini PTUN harus memaknai KTUN berdasarkan Pasal 87. Selanjutnya, terdapat putusan PTUN yang telah menerapkan Pasal 87 dalam pertimbangan hukumnya yaitu pada Putusan No.45/B/2016/PT.TUN.MKS yang khususnya menggunakan dalil unsur KTUN pada Pasal 87 huruf e ldquo;berpotensi menimbulkan akibat hukum rdquo;. Pasca disahkannya Pasal 87 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, terjadi perluasan dalam pemaknaan Keputusan Tata Usaha Negara KTUN . Sehingga, perlu dipahami perbedaan definisi sebelum dan sesudah munculnya pasal tersebut. KTUN dimaknai secara sempit pada Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Setelah itu, perluasan redefinisi KTUN berdampak pada wewenang PTUN karena KTUN merupakan objek sengketa di PTUN. Pembahasan terakhir akan mencoba mencari putusan-putusan PTUN yang sudah menerapkan ketentuan Pasal 87 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 dalam pertimbangan hukum hakim. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, dengan menggunakan data sekunder serta menggunakan bahan hukum primer, sekunder dan tertier yang diperoleh dari studi kepustakaan. Kesimpulan dari penelitian ini adalah tidak adanya penambahan wewenang PTUN pasca munculnya Pasal 87 karena pada intinya wewenang PTUN tetap mengadili dan memutus sengketa Tata Usaha Negara yang disebabkan oleh terbitnya suatu KTUN. Tetapi, saat ini PTUN harus memaknai KTUN berdasarkan Pasal 87. Selanjutnya, terdapat putusan PTUN yang telah menerapkan Pasal 87 dalam pertimbangan hukumnya yaitu pada Putusan No.45/B/2016/PT.TUN.MKS yang khususnya menggunakan dalil unsur KTUN pada Pasal 87 huruf e ldquo;berpotensi menimbulkan akibat hukum rdquo;.
ABSTRACT
After the passing of Article 87 of Law Number 30 Year 2014 on Government Administration, there is an expansion in the meaning of the State Administrative Decision KTUN . Thus, it is necessary to understand the difference of definition before and after the emergence of the article. KTUN is interpreted narrowly in the Law on State Administrative Court. After that, the redefinition extension of KTUN affects the authority of the PTUN because KTUN is a dispute object in the PTUN. The last discussion will try to find the decision of the Administrative Court which has applied the provisions of Article 87 of Law Number 30 Year 2014 in the judge 39 s judicial consideration. The research method used is normative juridical, using secondary data and using primary, secondary and tertiary legal material obtained from literature study. The conclusion of this research is the absence of additional authority of PTUN after the emergence of Article 87 because in essence the authority of PTUN still adjudicates and decides the State Administration dispute caused by the issuance of a KTUN. However, the current State Administrative Court must interpret the KTUN under Article 87. Furthermore, there is a decision of the Administrative Court which has applied Article 87 in its legal considerations, namely Decision No.45 B 2016 PT.TUN.MKS which specifically uses the KTUN elementary argument in Article 87 letter e has the potential to cause legal consequences .
2018
T49058
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adia Misqa Imtiyaz Rohman
Abstrak :
Terdapat konsekuensi hukum terkait pengalihan dan pengubahan bentuk bangunan cagar budaya yang dikuasai secara pribadi, yang tidak bisa dilakukan tanpa izin pemerintah yang berwenang. Sengketa TUN berkaitan dengan penetapan status bangunan cagar budaya tanpa izin ditemukan di Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung Nomor 121/G/2019/PTUN.Bdg dengan pihak penggugat para ahli waris Alrmarhum ES melawan Bupati Sumedang. Tesis ini berbasis metode penelitian doktrinal, dengan mengangkat dua pembahasan masalah yakni permasalahan mengenai kesesuaian penerbitan penetapan status bangunan cagar budaya pada putusan tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta perlindungan hukum yang dapat dilakukan pemilik bangunan yang ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya tanpa persetujuan. Sesuai peraturan perundang-undangan yaitu UU Administrasi Pemerintahan dan UU PTUN serta UU Cagar Budaya, penetapan status cagar budaya pada putusan PTUN Bandung Nomor 121/G/2019/PTUN.Bdg cacat prosedur dan substansi. Tersedia penyelesaian sengketa TUN melalui upaya administratif (antara lain berupa keberatan dan banding administrasi) dan gugatan ke PTUN. Masih dapat ditemukan kekosongan hukum dalam penetapan bangunan cagar budaya sehingga seharusnya pemilik dilibatkan dalam proses penetapannya dan selain diberitahukan penetapannya pada pemilik tanah status cagar budaya juga harus dicatatkan dalam buku tanah. Hal ini menjadi sorotan guna terselenggaranya kepastian hukum sebagai perlindungan hak kepada penguasa bangunan. Peraturan perundang-undangan hanya mengatur tentang pendaftaran cagar budaya, sehingga pengaturan mengenai pendataan dan publikasi cagar budaya perlu diatur lebih lanjut dan membutuhkan kerjasama antara BPN dan Dinas Budaya. Penting juga untuk memperhatikan keterlibatan profesi Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam peralihan hak atas bangunannya. ......Legal consequences exist related to the transfer and change of form of privately controlled cultural heritage buildings. The dispute relating to determining the status of cultural heritage buildings was found in the Bandung State Administrative Court (PTUN) Decision Number 121/G/2019/PTUN.Bdg between the bulding owner against the Regent of Sumedang. Based on doctrinal research methods, this thesis spotlights specifically about the conformity of publication of the determination of the status of cultural heritage buildings based on applicable laws and regulations and the legal protection that can be done by cultural heritage building owner without owner’s approval. Based on the Government Administration Law and PTUN Law as well as the Cultural Heritage Law, the determination of cultural heritage status in the Bandung PTUN decision Number 121/G/2019/PTUN.Bdg is procedurally and substantively flawed. TUN settlements are available through administrative measures (including approval and administrative appeals) and lawsuits to the PTUN. Legal vacuum exists in determining cultural heritage buildings, so apart from involvement of the owner in the determining process and notifying the owner with the result, the status of cultural heritage land must also be recorded in the land book. This is highlighted in order to emphasize legal certainty as a protection for the rights of building owners. Legislative regulations only regulate the registration of cultural heritage, so regulations regarding data collection and publication of cultural heritage need to be regulated and require cooperation between BPN. It is also important to pay attention to the involvement of the Notary profession and Land Deed Officials.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwiratna Sari Safitri
Abstrak :
Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, telah membawa perubahan yang cukup besar terhadap dunia notariat khususnya dalam bidang pengawasan notaris. Bila sebelum berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris pengawasan terhadap notaris dilakukan oleh Pengadilan Negeri, maka sejak berlakunya Undang-Undang Republik indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris pengawasan dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan membentuk Majelis Pengawas Notaris. Kedudukan Menteri selaku pejabat Tata Usaha Negara mengakibatkan Majelis Pengawas Notaris selaku perpanjangan tangan Menteri berkedudukan pula sebagai Badan Tata Usaha Negara. Dengan demikian secara otomatis keputusan Majelis Pengawas Notaris adalah Keputusan Tata Usaha Negara. Bahwa dalam kedudukannya sebagai Badan Tata Usaha Negara, Surat Keputusan Majelis Pengawas dapat dijadikan objek gugatan oleh notaris ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagai sengketa tata usaha negara, jika notaris merasa bahwa keputusan tidak tepat atau memberatkan notaris yang bersangkutan atau tidak dilakukan yang transparan dan berimbang dalam pemeriksaan. Upaya hukum untuk mengajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara tetap terbuka setelah semua upaya administrasi, yang disediakan baik keberatan administratif maupun banding administratif telah ditempuh, meskipun dalam aturan hukum yang bersangkutan telah menentukan bahwa putusan dari badan atau jabatan tata usaha negara tersebut telah final atau tidak dapat ditempuh upaya hukum lain karena pada dasarnya bahwa penggunaan upaya aministratif dalam sengketa tata usaha negara bermula dari sikap tidak puas terhadap perbuatan tata usaha negara. Aspek positif yang didapat dari upaya ini adalah penilaian perbuatan tata usaha negara yang dimohonkan tidak dapat dinilai dari segi penerapan hukum, tapi juga dari segi kebijaksanaan serta memungkinkan dibuatnya keputusan lain yang menggantikan keputusan tata usaha negara tersebut. Bahwa setelah seluruh upaya banding administratif dilalui maka Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang bertugas dan berwenang memeriksa, memutus. ......The effective application of Law of the Republic of Indonesia Number 30 of the Year 2004 regarding Notary Office has brought quite major changes towards notary community especially in the sector of notary supervision. If previously before the effective application of Law of the Republic of Indonesia Number 30 of the Year 2004 regarding Notary Office, supervision towards notary was carried out by the District Court, then, after the effective application of Law of the Republic of Indonesia Number 30 of the Year 2004 regarding Notary Office, the supervision is carried out by the Minister of Law and Human Rights by establishing Notary Supervisory Board. The position of the Minister as the State Administrative official has resulted in the condition that the Notary Supervisory Board is the extension of the Minister which is also serving as State Administrative Agency. Therefore, automatically, the decision of the Notary Supervisory Board is a State Administrative Decision. Whereas in its position as State Administrative Agency, the Decree of the Supervisory Board can become the object of a lawsuit filed by notary to the State Administrative Court (Pengadilan Tata Usaha Negara [PTUN]) as a state administrative dispute, if the relevant notary considers that the decision is in appropriate or impairing the relevant notary or not carried out transparently and balanced during the examination. The probability to file a lawsuit to the State Administrative Court remains open after all available administrative efforts being provided, either administrative objection or administrative appeal has been taken, even though in the relevant legal rules, it has been stipulated that the decision of such state administrative agency or office is final or that there is not any other legal effort against it, because basically the utilization of administrative effort in state administrative dispute derives from the feeling of dissatisfaction towards state administrative action. The positive aspect which can be gained from this effort is that the assessment against state administrative action being petitioned cannot only be assessed from the perspective of legal application, but also from the perspective of policy as well as whether it is possible to issue other decision in substitution to such state administrative decision. Whereas after the entire administrative appeal effort has been undertaken, the State Administrative High Court will be the body which is assigned and authorized to examine, decide and settle such State Administrative dispute at the first level.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28860
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Monintja, Mick Olaf
Abstrak :
ABSTRAK
Tesis ini membahas mengenai Akta Kelahiran yang merupakan suatu produk hukum administrasi negara yang dikelola oleh pemerintah, namun memiliki dampak langsung secara nyata terhadap aspek keperdataan seseorang dimana merupakan bagian dari hukum perdata. Akta Kelahiran itu sendiri diatur baik oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maupun oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan. Penelitian dalam tesis ini adalah penelitian yuridis normatif dengan desain deskriptif dan perspektif analitik. Hasil penelitian dalam tesis ini menyimpulkan bahwa meskipun berkedudukan sebagai keputusan tata usaha negara namun karena sifatnya yang berdampak langsung terhadap aspek keperdataan seseorang serta memiliki landasan yuridis dalam hukum perdata, menimbulkan pengecualian sebagai objek peradilan tata usaha negara.
ABSTRACT
This study analyzed about birth certificate which is a product of administrative law that being controlled by government, but it is also a part of civil law because its direct impact to human civil aspects. Birth certificate is regulated both by Civil Code (KUH Perdata) and Law No. 24 of 2013 of Population Administration. This research is normative juridical with descriptive and analitical perspective interpretive. The researcher conclude that birth certificate had an exception as an object in state administration judiciary, eventhough birth certificate is a state administration decision, because it is had a juridicial base in civil code and also its characteristic that affect human civil aspects
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Hida Lazuardi
Abstrak :
Amdal merupakan instrumen yang penting dalam pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. Dengan diaturnya Amdal dalam sistem hukum, diharapkan berbagai keputusan tentang penyelenggaraan kegiatan atau usaha didasari oleh suatu kajian mengenai dampak penting yang ditimbulkan. Namun penerapan Amdal tidak selalu berjalan dengan baik, dalam berbagai kasus ditemui pihak yang merasa dirugikan akibat pejabat yang menerbitkan keputusan tata usaha negara yang mensyaratkan Amdal, berdasarkan Amdal yang tidak partisipatif, tidak ilmiah, tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, atau bahkan tidak dilengkapi Amdal sama sekali. Salah satu langkah yang dapat dilakukan oleh pihak yang merasa dirugikan oleh suatu keputusan tata usaha negara adalah mengajukan gugatan ke pengadilan tata usaha negara untuk memohon pembatalan keputusan tata usaha negara. Penelitian ini menunjukan bahwa permasalahan Amdal dipertimbangkan oleh hakim sebagai dasar untuk membatalkan berbagai keputusan tata usaha negara yang mencakup keputusan kelayakan lingkungan hidup, izin lingkungan, izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, dan izin usaha. Lebih jauh lagi, penelitian ini juga menunjukan bahwa keberadaan Amdal tidak menghalangi gugatan administratif. Melainkan suatu keputusan tata usaha negara tetap dapat dibatalkan oleh hakim apabila Amdal yang mendasarinya tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan kaidah-kaidah ilmiah. ......Environmental Impact Assessment is an important instrument in Indonesian environmental management system. Since Environmental Impact Assessment is regulated in the legal system, it is expected that decisions about human activities and business be based on a study regarding major environmental impact. Unfortunately the implementation of Environmental Impact Assessment are not always going well, in many cases people feels harmed by decisions as authority takes decisions based on a problematic Environmental Impact Assessment that fails to accommodate public participation, unscientific, unlawful, fails to asses various environmental impacts, or even without Environmental Impact Assessment at all. One of the option that can be taken by those whose harmed is starting an administrative claims using administrative courts to abort administrative decisions based on those problematic Environmental Impact Assessment. This study shows that the court has acknowledge problems in Environmental Impact Assessment as a reason to abort administrative decisions including keputusan kelayakan lingkungan hidup, izin lingkungan, izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, and izin usaha. Further, this study also shows that having an Environmental Impact Assessment does not deny administrative claims. A administrative decisions can be aborted by administrative judge if there is a problem in the Environmental Impact Assessment is unlawful or unscientific.
2020: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library