Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 51 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Asrif
Abstrak :
ABSTRAK Disertasi ini mengkaji teks, konteks, dan fungsi kabanti sebagai tradisi lisan masyarakat Buton. Hasil kajian menemukan teks dalam tradisi lisan memanfaatkan ketersediaan kosakata percakapan sehari-hari dan juga merangkai kembali formula sendiri untuk menjadi formula baru. Metris formula tradisi lisan tidak berada pada posisi yang tetap. Formula akan bergerak dinamis karena penciptaan karya lisan semata mengandalkan ingatan dalam ruang waktu terbatas. Konteks berpengaruh dominan dalam penciptaan tradisi lisan. Teks lisan memanfaatkan unsur-unsur bahasa yang menggambarkan kebudayaan masyarakat pemiliknya. Kabanti dilatari oleh konteks budaya maritim dan agraris. Kelisanan menjadikan teks, konteks, dan fungsi tradisi lisan lebih fleksibel sehingga melahirkan tradisi yang ekspresif, dinamis, dan ekspansif yang menempati beragam konteks budaya. Kabanti diciptakan dalam bahasa, konteks, interaksi, dan tradisi masyarakat setempat. Tradisi lisan tumbuh bersama dengan konteks, menyatu, dan menyatakan masyarakatnya, menerima unsur-unsur baru agar tetap kompetitif dengan masa yang ditempatinya. Eksistensi kabanti pada masa sekarang menunjukkan tradisi lisan bukan hasil budaya masyarakat niraksara melainkan sarana ekspresi budaya yang hanya dapat diwujudkan melalui cara-cara lisan. This dissertation study the text, context, and function as an oral tradition of kabanti Buton community. The result of study found the text in the oral tradition for utilizing the available some words of daily conversation and also reassembling the formula itself to be a new formula. The Metris formula of the oral tradition is not same position. It would move dynamically based on the creation of an oral work solely and also to depend on memory in a limited space of time. The context influenced the dominant in the creation of an oral tradition. The oral of text used some elements language that describes the owner culture of the community. Kabanti was backed by the cultural context of maritime and agriculture Orally made the text, context, and function the oral tradition is more flexible which appear the tradition is expressive, dynamic and expansive into placing some cultural contexts. Kabanti was created in language, context, interaction, and traditions of the local community. Oral tradition grew along with the context, united, and expressed its community; accept new elements in order to remain competitive with the time itself. At the present, the existence of kabanti indicates that the oral tradition is not the result of culture niraksara but cultural expression which could be realized through oral ver.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2015
D2124
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Leta Lestari
Abstrak :
[ABSTRAK
Tesis desain ini berawal dari sebuah konsep exaggeration yang menjadi awal penemuan sebuah metode perancangan yang berbasis pada konteks. Konteks yang tidak bisa dilepaskan dalam sebuah perancangan dianalisis menggunakan metode layering yang menjadi bagian penting dari konsep exaggeration. Metode layering dalam konteks spasial melibatkan interaksi yang terjadi pada tiga layer, Layer pertama merupakan layer yang menggambarkan adanya hasrat manusia yang perlu dipenuhi. Kemudian layer tersebut ditanggapi oleh layer kedua yang mencoba memasukkan order ke dalamnya. Namun order tersebut seringkali tidak bisa memenuhi kebutuhan pada layer pertama yang akhirnya memunculkan layer ketiga sebagai tanggapan atas layer dua untuk memenuhi layer pertama.

Dalam proses perancangan selanjutnya, layer ketiga merupakan layer terjadinya perkembangan desain yang terbentuk dari interaksi antara layer satu dan layer dua. Perkembangan metode layering diimplementasikan melalui gagasan choreography of movement yang menjadikan movement sebagai hal utama yang menjadi dasar dalam perancangan sebuah pasar di daerah Tanah abang.
ABSTRACT
This design thesis begins from the concept of exaggeration as an initial idea to context based design method. Context inherent in design process is analyzed by layering method, which is an important aspect on exaggeration. Layering method on spatial context involves three layers of interaction. The first layer describes the human desire to be fulfilled. The second layer responds to the first by trying to impose order into it. However, the order is often unable to meet the needs of the first layer, and this eventually leads to the formation of the third layer in response to the second layer to meet the human desire on the first layer.

In the design process, the third layer is where the design ideas develop, the created by interaction between the first and the second layer. The development of layering method then focuses on the idea of choreography of movement, in which movement becomes the main basis for design development of market in Tanah Abang.;This design thesis begins from the concept of exaggeration as an initial idea to context based design method. Context inherent in design process is analyzed by layering method, which is an important aspect on exaggeration. Layering method on spatial context involves three layers of interaction. The first layer describes the human desire to be fulfilled. The second layer responds to the first by trying to impose order into it. However, the order is often unable to meet the needs of the first layer, and this eventually leads to the formation of the third layer in response to the second layer to meet the human desire on the first layer. In the design process, the third layer is where the design ideas develop, the created by interaction between the first and the second layer. The development of layering method then focuses on the idea of choreography of movement, in which movement becomes the main basis for design development of market in Tanah Abang.;This design thesis begins from the concept of exaggeration as an initial idea to context based design method. Context inherent in design process is analyzed by layering method, which is an important aspect on exaggeration. Layering method on spatial context involves three layers of interaction. The first layer describes the human desire to be fulfilled. The second layer responds to the first by trying to impose order into it. However, the order is often unable to meet the needs of the first layer, and this eventually leads to the formation of the third layer in response to the second layer to meet the human desire on the first layer. In the design process, the third layer is where the design ideas develop, the created by interaction between the first and the second layer. The development of layering method then focuses on the idea of choreography of movement, in which movement becomes the main basis for design development of market in Tanah Abang.;This design thesis begins from the concept of exaggeration as an initial idea to context based design method. Context inherent in design process is analyzed by layering method, which is an important aspect on exaggeration. Layering method on spatial context involves three layers of interaction. The first layer describes the human desire to be fulfilled. The second layer responds to the first by trying to impose order into it. However, the order is often unable to meet the needs of the first layer, and this eventually leads to the formation of the third layer in response to the second layer to meet the human desire on the first layer. In the design process, the third layer is where the design ideas develop, the created by interaction between the first and the second layer. The development of layering method then focuses on the idea of choreography of movement, in which movement becomes the main basis for design development of market in Tanah Abang., This design thesis begins from the concept of exaggeration as an initial idea to context based design method. Context inherent in design process is analyzed by layering method, which is an important aspect on exaggeration. Layering method on spatial context involves three layers of interaction. The first layer describes the human desire to be fulfilled. The second layer responds to the first by trying to impose order into it. However, the order is often unable to meet the needs of the first layer, and this eventually leads to the formation of the third layer in response to the second layer to meet the human desire on the first layer. In the design process, the third layer is where the design ideas develop, the created by interaction between the first and the second layer. The development of layering method then focuses on the idea of choreography of movement, in which movement becomes the main basis for design development of market in Tanah Abang.]
2013
T39308
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suraya
Abstrak :
ABSTRAK


Pokok permasalahan tesis ini dititik beratkan pada media yang diwakili oleh para pekerja medianya mengkonstruksi realitas sosial terutama mengenai kasus Aceh dilatarbelakangi oleh ideologi profesionalnya, yaitu menyajikan beritanya dengan tujuan untuk memberikan informasi, pendidikan dan hiburan. Namun kita belum mengetahui bagaimana sebenarnya cara pandang yang dimiiiki oleh institusi medianya (KOMPAS, Republika dan Suara Karya) terutama para individu pengelolanya terhadap kasus Aceh itu sendiri dan citra ABRI yang diangkat ?

Aspek yang ditelaah dalam kerangka teori adalah seputar isi berita (teks) dengan teori ekonomi politik, yang diintertekstualitaskan dengan produksi dan konsumsi teksnya serta sosial budaya pers di Indonesia. Hal ini bertujuan untuk menemukan nilai-nilai (Ideologi) apa yang disebarkan oleh ketiga media tersebut melalui beritaberita kasus Aceh.

Hasil penelitian yang didapat, Republika dan Suara, Karya cenderung lebih banyak mengemukakan framing pelanggaran HAM. ABRI di citrakan sebagai pelariggar HAM. Pada Suara Karya eksemplar yang dikemukakan adalah kekejaman Polpot di Kamboja, Hitler dan Nazi-nya di Jerman dan kekejaman Serbia terhadap Bosnia.

Sedangkan KOMPAS mengemukakan ketiga framing secara merata, yaitu Stabilitas Keamanan, Jasa Rakyat Aceh dan Pelanggar HAM.

Namun pada elemen framing yang dikemukakan terdapat eksemplar, yaitu pemboman terhadap kedutaan besar Amerika Serikat di Nairobi, Kenya dan Dar es Salaam, Tanzania oleh aksi teroris. Depiction yang muncul adalah Terorisme pada aksi-aksi kerusuhan sedangkan pelakunya adalah teroris. Hal ini_ biasanya dikemukakan oleh media non Islam dengan menyebarkan nilai-nilai (Katolik) yang dianutnya. Ideologi dominan pada ketiga media tersebut adalah ideologi kapitalis. KOMPAS memiliki oplah yang besar sehingga lebih banyak dibaca dibandingkan dengan Suara Karya yang hanya lebih banyak dibaca oleh pegawai negeri (afiliasi ke Golkar) dan Republika yang segmen pembacanya kebanyakan muslim. Dengan adanya pemberitaan kasus Aceh tersebut. ketiga suratkabar mengharapkan lebihbanyak dibaca pembacanya sehingga oplahnya menjadi naik dan para pengiklan lebih banyak masuk.

Pemberitaan dalam media pada masa orde baru sangat dibatasi terutama yang menyangkut masalah Pancasila, UUD 1945, Dwi Fungsi ABRI dan kegiatannya serta Keluarga Suharto beserta kroninya. Karena itu pemberitaan mengenai ABRI sangat jarang terekspos. Sedangkan pada masa reformasi, katup-katup pembatas tersebut mulai terbuka. Semua media menikmati ephoria kebebasan tersebut, sehingga kasus Aceh yang banyak menyangkut kegiatan ABRI mulai terekspos. Para pekerja media mengkonstruksi berita Kasus Aceh dipengaruhi oleh perekonomian media yang bersangkutan. Sehingga saat berita tersebut terjadi dikaitkan dengan krisis moneter yang melanda media massa serta peta politik yang sedang berubah ke arah era reformasi. Berita Kasus Aceh dikonstruksikan dengan tujuan agar oplah media tersebut menjadi naik sehingga tetap bertahan dalam situasi dan kondisi yang terjadi di Indonesia.

1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hedista Rani Pranata
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini membahas konsep inklusif tentang lanskap pangan skala komunitas serta hubungannya dengan keruangan, dengan menjabarkan beberapa ruang yang perlu diciptakan dan dijaga dalam rangka mempertahankan lanskap pangan yang berkelanjutan. Diskursus tentang lanskap pangan dan ruang tidak dapat dipisahkan, karena lanskap pangan di lokasi tertentu memiliki keunikan dan berbeda dengan lokasi lainnya. Ruang-ruang tersebut dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu ruang ekologis dan ruang sosial, yang dimaknai dalam ruang fisik maupun nonfisik. Dusun Kalisusuh yang berlokasi di tepi Waduk Cacaban, menunjukkan dialog terus menerus antara komunitas dengan lingkungannya. Tujuan penelitian ini adalah untuk menelusuri mekanisme konteks spasial (ekologis dan sosial) yang mempengaruhi terbentuknya dan terjaganya lanskap pangan. Pendekatan fenomenologi dipilih pada penelitian ini untuk mengetahui struktur ruang pembentuk lanskap pangan dalam komunitas. Data diperoleh dengan observasi dan wawancara: observasi lapangan dilakukan pada tiap 2 musim yang berbeda, yaitu kemarau dan hujan; sedangkan wawancara dilakukan terhadap para aktor pangan yang terlibat dalam komunitas. Pada komunitas ini, konteks spasial yang paling kuat adalah ruang ekologis, ruang ekonomi dan ruang budaya-ruang sosial, ruang politik, dan ruang intelektual masih terbatas pengembangannya. Setiap ruang saling bergantung antara satu sama lain dan tidak mungkin berdiri sendiri dalam mempertahankan keberlanjutan lanskap pangan. Pemahaman konteks spasial tersebut dapat menjadi pengetahuan awal dalam menyiapkan strategi pengembangan untuk mencapai lanskap pangan yang berkelanjutan.
ABSTRACT
Food landscape has a strong spatial context-every food landscape in a particular geographical context is unique and may differ from the other. This study discussed an inclusive concept about community food landscape and its relationship with spatiality by exposing several spaces that needs to be generated and protected in order to accomplish sustainable food landscape. Those spaces were social spaces and ecological spaces, in which may not only be perceived as something physical. Kalisusuh Village was an interesting community located by the Cacaban Reservoir, showed a continuous dialogue between the community and their environment. Phenomenological approach was chosen in this study, to find out what is generally experienced by the community. Data obtained through field observation and interviews. The field surveys were conducted on two different seasons of the village, which were dry and rainy seasons. Open-ended interviews were also conducted with some food actors involved in the community in order to get a complete depiction of food landscape. In this community, the strongest spatial context were ecological spaces, economic spaces, and cultural spaces-where social, political, and intellectual spaces were underdeveloped. Every spaces mentioned were intertwined and interdependent to maintain the sustainability of the food landscape. This understanding could be a potent starting point to formulate further sustainable development strategies.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ibnu Qoyim
Abstrak :
Disertasi ini mengkaji konteks, dan fungsinya Dalang Jemblung sebagai tradisi lisan, bagi masyarakat Banyumas, Jawa Tengah. Dalang Jemblung adalah tradisi yang dituturkan dengan cara menggelar pertunjukan yang khas dalam bahasa Banyumas. Bentuk, cara penyajian, dan bahasa yang digunakan dalam pertunjukan Dalang Jemblung dari dahulu sampai sekarang tidak mengalami perubahan secara signifikan, tetapi lakon ceritanya dapat berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan konteks perkembangan khalayaknya. Penciptaan lakon cerita dalam pertunjukan Dalang Jemblung dilakukan sekaligus dengan penuturannya. Lakon yang dibawakan dalam pertunjukan Dalang Jemblung diciptakan atas kondisi yang kontekstual. Struktur pertunjukan Dalang Jemblung terdiri atas: bagian pendahuluan, bagian isi, dan bagian penutup. Dalang menciptakan jalannya cerita yang akan dilakonkan dalam pertunjukan dengan cara tidak menghafal, tetapi memanfaatkan persediaan formula di dalam ingatannya. Formula yang digunakannya berupa formula dalam dan formula luar. Pewarisan Dalang Jemblung dilakukan secara otodidak antara Dalang terdahulu dengan Dalang kemudian melalui proses mendengarkan penuturan, melakukan penuturan, dan mendialogkan hasil penuturan antar generasi Dalang. Adanya satu kesatuan konteks yang saling memengaruhi antara Dalang, penonton, penyelenggara pertunjukan, kesempatan pertunjukan, waktu dan tempat pertunjukan, imbalan jasa pertunjukan, dan inovasi pertunjukan menjadikan Dalang Jemblung dapat tetap bertahan hidup di dalam masyarakat Banyumas. Dalang Jemblung yang dikhawatirkan akan mati bahkan punah, ternyata masih berfungsi di dalam kehidupan masyarakat Banyumas dari waktu ke waktu sesuai dengan tuntutan perubahan masyarakatnya. Fungsi-fungsi itu berguna bagi pembentukan karakter dan identitas panginyongan pada masyarakat Banyumas khususnya dan bagi pembentukan karakter bangsa Indonesia pada umumnya.
This dissertation examines the context and function of Dalang Jemblung as an oral tradition, for the people of Banyumas, Central Java. Dalang Jemblung is a tradition that is spoken by performing a peculiar show in Banyumas language. The form, way of presentation, and the language used in Dalang Jemblung 39;s show from the beginning until recent time has not changed significantly, but the story can change from time to time in accordance with the context of the development of the audience.The creation of story in Dalang Jemblung shows is done at once with the narration. The story performed in Dalang Jemblung 39;s show were created on contextual conditions. The performance structure of Dalang Jemblung consists of: the prologue, the contents, and the epilogue. The Dalang creates the story that will be performed in the show by not memorizing, but using the formula in his memory. Formula used in the form of inner formulas and outer formulas. The inheritance of Dalang Jemblung is done autodidactically between the former Dalang and the recent Dalang through the process of listening, telling, and dialogue between generations of Dalang.The existence of a unified context that affects the Dalang, the audience, the performance organizers, the performance opportunities, the time and place of the performance, the rewards of performing services, and the performance innovation make Dalang Jemblung able to survive in Banyumas society. Dalang Jemblung who is feared to be extinct, was still fully functioning in the life of Banyumas society from time to time in accordance with the demands of society change. These functions are useful for the formation of character and identity of panginyongan in Banyumas society in particular and for the character formation of Indonesian nation in general.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2018
D2447
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Konsep triad Lefebvre mengandung penjelasan bahwa karya seni mampu berperan dalam menciptakan citra suatu ruang yang terwujud melalui persepsi pembuatnya terhadap ruang tersebut. Penelitian ini menjelaskan bagaimana suatu ruang terwujud melalui representasi sebuah novel. Penekanan dalam penelitian ini adalah persepsi penulis dan tokoh dalam novel 5 cm terhadap suatu ruang (Gunung Semeru). Persepsi manusia terhadap suatu ruang menghasilkan nilai lanskap yang dapat menjadi ciri dari ruang tersebut dan pada tahap selanjutnya, dapat melekat sebagai identitas ruang. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode hermeneutika, yang menjadikan penelitian ini selalu bergerak dalam sebuah konteks. Konteks besar dalam penelitian ini adalah pendakian. Ruang yang akan dibahas adalah ruang yang berkaitan dengan kegiatan pendakian Gunung Semeru, yaitu jalur pendakian. Interpretasi narasi dan dialog dalam 5 cm menghasilkan 3 kelompok besar ruang dalam pendakian Gunung Semeru, yaitu ruang profan, ruang medium, dan ruang sakral. Terdapat 4 nilai lanskap yang tersebar dalam 3 kelompok ruang tersebut. Keempat nilai tersebut yaitu nilai estetik, nilai historis, nilai religi, dan therapeutic value. Ruang profan yang estetik berada pada kaki Gunung Semeru. Ruang medium yang historis berada pada bagian pertengahan jalur pendakian. Sedangkan ruang sakral yang historis dan religi berada pada bagian akhir jalur pendakian atau merupakan dua tempat tertinggi pada jalur. Adapun identitas Gunung Semeru yang terbentuk berdasarkan konteks nilai-nilai tersebut yaitu indah, mistis, dan sakral.
Lefebvre’s triad concept contains an explanation that arts can make image of the space that formed through author’s perception about it. This research examine how space produced from a novel representation. The suppression is perception of the author and characters on 5 cm about the space (Mount Semeru). Human perception about space produces landscape values that can be its characteristics. Then, these characteristics may transform to its identity. This qualitative research used hermeneutics that makes this research always based on contexts, which the big context is about mountaineering. Space that discussed is Mount Semeru’s track. Interpretation of the narrations and dialogues on 5 cm produce 3 categories, these are profane space, medium space, and sacred space. There are 4 landscape values spread on these, they are aesthetic, historic, religious, and therapeutic. Aesthetic profane space is on foot of Mount Semeru. Historic medium space is on mid section of the track. Historic and religious sacred space is on the end of the track or the two highest place on it. The identity of Mount Semeru produced based on those values are beautiful, historical, and sacred.
2014
S57294
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dinda Lutfiyah
Abstrak :
Skripsi ini bertujuan untuk meredefinisi konsep co-housing yang ada sesuai dengan konteks lokal di Jakarta. Kampung Muka sebagai salah satu komunitas secara tidak langsung telah menerapkan beberapa prinsip co-housing sesuai dengan konteks lokal. Nilai partisipatoris yang menjadi salah satu prinsip co-housing selanjutnya dijadikan pembelajaran akan bagaimana penerapannya di Kampung Muka. Nilai partisipatoris yang dipelajari berdampak pada negosiasi ruang yang diharapkan mampu mengeluarkan pemahaman baru kepada masyarakat terkait konsep co-housing yang sesuai dengan konteks lokal. ...... This thesis aims to redefine co housing concept adapted to local context in Jakarta. Kampung Muka as one of community based domestic space indirectly has applied some co housing principles according to the local context. Participatory, as one of that principle, furthermore being learned on how its used in Kampung Muka. The participatory that has been learned affects the negotiating of spaces which expected to suggest new understanding to the society about co housing concept according to the local context.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hermando Firgus
Abstrak :
Arsitektur masa kini mulai kehilangan jati dirinya. Arsitektur yang tadinya berperan besar dalam kemanusiaan malah menjadi korban globalisasi. Ini membuat arsitektur yang tadinya ramah terhadap lingkungan menjadi dingin dan egois. Kita perlu mengenal lingkungan sekitar dan menjadikannya landasan dalam merancang. Oleh karena itu, kita perlu memahami terlebih dahulu bagaimana konteks atau lingkungan sekitar kita dapat berpengaruh pada desain. Untuk mencapai tujuan itu, diambillah objek studi Tamansari Gua Sunyaragi di daerah Cirebon dan Peziarahan Gua Maria Lourdes Sendangsono di Yogyakarta. Tulisan ini membahas mengenai bagaimana pengaruh konteks yang hadir dalam lingkungan sekitar terhadap sebuah desain arsitektur yang berlandaskan konteks. Pendekatan terhadap keseluruhan proses penulisan dimulai dari tinjauan pustaka, pengamatan lapangan, wawancara, dan pengolahan data. Setelah mendapatkan pemahaman terhadap teori dan pemaparan data-data yang relevan, maka dilakukanlah analisis. Lewat analisis kasus, pola-pola yang hadir karena adanya konteks dipaparkan. Pola-pola ini kemudian dilihat bagaimana peranannya dalam membentuk elemen arsitektur menjadi satu kesatuan yang memiliki makna, desain arsitektur kontekstual. ......Nowadays architecture has already lost its identity. Architecture which was putting great effort in humanity has already been victimized by globalization. This, made architecture which was humble to environment, become cold and egoistic. We need to learn about our surrounding environment and make it as our base for design. Therefore, first we need to understand how the context will be influencing the design of contextual architecture. To achieve that goal, Tamansari Gua Sunyaragi in Cirebon and Pilgrimage of Maria Lourdes Cave Sendangsono in Yogyakarta will be taken as objects of study. This writing mostly study about how context which present in surrounding environment influences a contextual architecture design. The approach taken to the whole writing process starts with literacy studies, field observations, interviews, and data processing. After acquire understanding of the theory and show the relevant data, analysis can be done. From the case analysis, patterns which exist will be explained. Then, there will be explanation how these patterns influence in making the good configuration of whole architectural elements, contextual architecture design.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2010
S52289
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nisrina Hanin
Abstrak :
Penelitian ini membahas tata bahasa penanda modalitas intensional dalam bahasa Korea melalui pendekatan konteks situasi. Empat tata bahasa penanda modalitas intensional bahasa Korea yang dibahas adalah -gess-, -eul geos, -eulge, dan -eullae. Bagi pemelajar bahasa Korea, keempat tata bahasa penanda modalitas intensional dalam bahasa Korea tersebut memiliki kerumitan tersendiri saat digunakan dikarenakan kemiripan makna yang dimilikinya. Akan tetapi, belum ditemukan adanya penelitian yang membahas tata bahasa tersebut dalam bahasa Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi tata bahasa penanda modalitas intensional di dalam korpus drama dan menganalisis konteks situasi yang menggunakan empat tata bahasa penanda modalitas intensional dalam bahasa Korea tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif. Penelitian ini menggunakan korpus naskah drama berjudul `Jinsimi Data`. Melalui penelitian ini, dapat diidentifikasi 198 kali kemunculan tata bahasa penanda modalitas intensional, yang dapat diklasifikasikan secara rinci berdasarkan subyeknya. Pada subjek orang pertama, penanda modalitas -gess- muncul sebanyak 66 kali; -eul geos 31 kali; -eulge 64 kali; dan -eullae 4 kali. Sementara pada subjek orang kedua, -gess- muncul sebanyak 16 kali; -eul geos 10 kali; dan -eullae 7 kali. Pada penelitian ini diklasifikasikan 9 konteks situasi menggunakan kalimat deklaratif dan 5 konteks situasi menggunakan kalimat interogatif. This research discusses intentional modality expressed in Korean grammar through context of situation approach. Four of the Korean grammar that express intentional modality that are being discused here are -gess-, -eul geosi-, -eulge(yo), and -eullae(yo). Korean learners face difficulties in distinguishing these expressions due to their own similar meaning. However, research that discuss intentional modality expressed in Korean grammar has not been conducted in Indonesian. The purpose of this research is to identify Korean grammars that express intentional modality inside the drama script and analyze the contexts of situation which use intentional modality marker. The method used in this research is qualitative descriptive method with literature review. The corpus of this research is a script from drama titled `Jinsimi Data`. Through this research, intentional modality`s frequency is identified 198 times according to its subject. In first person subject, -gess- appears 66 times; -eul geos 31 times; -eulge 64 times; and -eullae 4 times. The frequency of intentional modality in second person subject shows that -gess- appears 16 times; -eul geos 10 times; and -eullae 7 times. This research also classified 9 contexts of situation that appear with declarative sentence and 5 contexts of situation that appear with interrogative sentence.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6   >>