Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tiara Aulia Putri
Abstrak :
ABSTRAK
Skripsi ini membahas modus manipulasi sebagai aspek humor yang terdapat dalam novel Pendekar dari Chapei karya Kwee Tek Hoay. Dalam penelitian ini, modus manipulasi dilakukan oleh beberapa tokoh, yaitu Lie Ke Khiang, Lo Lauw Nio, Gouw Beng Nio, dan Ong Boen Lok sedangkan tokoh yang dimanipulasi adalah Siauw Liep Nio, Lie Ke Khiang, dan Soen Niet Nio. Modus manipulasi yang tergambar dalam skripsi ini tidak semua termasuk ke dalam aspek humor. Bentuk modus manipulasi yang dapat dikategorikan sebagai aspek humor. Berdasarkan konsep tindakan lucu menurut Monro dalam Endahwarni, 1994:34-36 ada empat bentuk tindakan lucu dalam novel, yaitu berbentuk omong kosong atau bualan; kemalangan; pengetahuan, pemikiran, dan keahlian; dan penghinaan yang terselubung. Berdasarkan klasifikasi humor menurut Raskin dalam Endahwarni, 1994:30-31 bentuk manipulasi dapat dimasukkan sebagai aspek humor, yaitu intended humor; ridicule; dan suppression atau repression humor.
ABSTRACT
This thesis discusses the manipulation mode as the aspect of humor contained in Kwee Tek Hoay 39s novel Pendekar dari Chapei. In this study, the manipulation mode is performed by several characters, namely Lie Ke Khiang, Lo Lauw Nio, Gouw Beng Nio, and Ong Boen Lok while the manipulated characters are Siauw Liep Nio and Soen Niet Nio. The manipulation modes illustrated in this thesis are not all included in the aspect of humor. The forms of manipulation mode that can be categorized as aspects of humor. According to the theory of humorous act by Monro in Endahwarni, 1994 34 mdash 36 , there are four forms of humorous acts, which are in the form of nonsense words or gibberish misfortune knowledge, thoughts, and expertise and disguised humiliation. According to the classification of humor by Raskin in Endahwarni, 1994 30 mdash 31 , the form of manipulation can be included as an aspect of humor, i.e. intended humor ridicule and suppression or repression humor.
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tian, Jingjing
Abstrak :
Ruma Sekola Yang Saya Impiken dan Drama di Boven Digul adalah dua novel yang ditulis oleh seorang penulis peranakan Tionghoa , Kwee Tek Hoay, pada tahun dua puluhan abad XX. Dalam Ruma Sekola Yang Saya Impiken yang diterbitkan pada tahun 1925, penulis memperlihatkan sebuah sekolah ideal bagi kaum Tionghoa. Penceritaan hanya terfokus pada kepentingan kaum Tionghoa yang mayoritas sebagai pedagang. Sedangkan, dalam novel Drama di Boven Digul yang mulai dipublikasikan dalam bentuk cerita bersambung pada tahun 1929, tiga tahun setelah terjadinya pemberontakan PKI 1926, penulis menunjukan perhatian besar terhadap gerakan politik kaum pribumi di Hindia Belanda, baik gerakan nasionalis maupun komunis. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapan ideologi penulis dalam dua novel tersebut. Analisa novel Ruma Sekola Yang Saya Impiken menerapkan teori Terry Eagleton tentang ideologi. Sementara, pembahasan Drama di Boven Digul menerapkan teori Raymond Williams tentang kebudayaan dominant, residual dan emergent, dan teori Pierre Macherey tentang kebisuan dalam teks. Teori tentang kebisuan teks tersebut lebih mudah untuk menelaah karya yang mengandung kontradiksi kuat. Drama di Boven Digul memang merupakan karya yang di dalamnya banyak terdapat ketegangan, baik dari hubungan antar tokoh maupun pengembangan alur. Penelitian ini menyimpulkan bahwa meskipun dua novel ini mengangkat persoalan yang berbeda, namun, titik berangkat penulis tidak mengalami perubahan, yaitu kepentingan kaum Tionghoa di Hindia Belanda.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004
T11798
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Thomas Rieger
Abstrak :
Kwee Tek Hoay (untuk selanjutnya disingkatkan 'KTH') lahir pada tahun 1886 di Bogor dan meninggal pada tahun 1951 di Cicurug/Jawa Barat. Antara tahun 1919 dan 1937 ia menciptakan sebelas buah drama. disamping berbagai karya fiksi dan non-fiksi lainnya. Dengan demikian KTH merupakan pengarang drama yang paling produktif dalam sastra Me1ayu--Tionghoa. Karya drama perdananya, Allah jang palsoe (Kwee Tek Hoay, 1919) juga merupakan salahsatu drama modern paling awal yang diciptakan dalam bahasa Melayu, mendahului karya pengarang pelopor lainnya seperti Ang Jan Goan dan Lauw Giok Lan di bidang sastra Melayu-Tionghoa secara khususnya dan Roestam Effendi, Muhammad Yamin dan Sanusi Pane di bidang sastra Indonesia secara umumnya untuk beberapa tahun. Sesuai dengan judul penelitian ini, Kwee Tek Hoay sebagai Dramawan, pembahasan tidak akan terbatas pada karya drama KTH saja, melainkan akan juga mencakup novel dan karya non-fiksi_nya yang dapat menjelaskan sosok pengarang itu. Perluasan 'korpus' itu perlu, mengingat bahwa bukan hanya beberapa novel KTH mempunyai judul yang mengandung kata 'drama' mengambil dunia teater sebagai latar atau disisipi dengan ulasan KTH mengenai 'Drama Melayu', melainkan justru sebuah novelnya, Boenga Roos dari Tjikembang, menjadi 'drama' KTH yang paling sering dipentaskan dan bahkan difilmkan (Salmon, 1981: 211).
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1987
S11082
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Febrina Rachmayanti
Abstrak :
ABSTRAK
Penggolongan rasial yang terjadi pada zaman kolonial menimbulkan kesenjangan strata sosial antargolongan, terutama golongan Eropa dengan Peranakan Tionghoa. Bukan hanya ukuran kekayaan dan jabatan yang menjadi penyebab utama timbulnya kekuasaan, melainkan juga faktor golongan yang terjadi dalam novel Zonder Lentera karya Kwee Tek Hoay. Kondisi ini menimbulkan posisi superior inferior terhadap lapisan masyarakat atas dengan lapisan di bawahnya. Skripsi ini membicarakan penggambaran kehidupan masyarakat peranakan tionghoa yang dilihat melalui tiga aspek, yaitu interaksi antargolongan, hubungan stratifikasi, dan relasi kekuasaan antargolongan. Tujuannya adalah menjelaskan gambaran masyarakat Peranakan Tionghoa di Jakarta melalui tiga aspek tersebut. Melalui teknik penulisan deskriptif-analitis, akan diketahui bentuk hubungan antara tiga golongan dalam bermasyarakat, hal yang menyebabkan lahirnya lapisan dalam masyarakat, dan relasi kekuasaan antargolongan.
ABSTRACT
Racial classification that occurred in the colonial era led to the gap of social stratafication between groups, especially European and Peranakan Chinese. Not only the amount of wealth and position that became the main causes of power occurrence, but also racial groups in Kwee Tek Hoay 39 s novel Zonder Lentera. This condition produced the effect of superior inferior power on a higher social status to the lower social status of society. This thesis will discuss the potrait of the life of Peranakan Chinese by three aspects, that is intergroup interaction, stratification relation, and intergroup power relation. The aim is to explain the portrait of Peranakan Chinese community in Jakarta through these three aspects. Using descriptive analytical method, it will reveal forms of relationship between communities, the things that cause the birth of layers in society, and the relations of intergovernmental forces.
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agni Malagina
Abstrak :
ABSTRAK
Fiksi transkultural muncul di Indonesia sejak masa kolonial Belanda melalui para pengarang keturunan Tionghoa generasi kedua maupun berikutnya. Tema transkultur lahir sebagai bentuk ekspresi dari kegelisahan mereka sebagai diasporan Cina di wilayah ini. Negosiasi dan resistensi terhadap budaya leluhur yang terjadi dalam proses pembentukan identitas mereka dimanifestasikan dalam bentuk karya sastra yang menampilkan pergulatan para tokoh protagonisnya dalam menyikapi permasalahan kehidupan mereka. Dalam Bunga Roos dari Tjikembang karya Kwee Tek Hoay pergulatan itu muncul pada tokoh Bian Koen, Marsiti, dan Gwat Nio dan upaya penciptaan third space tampil secara simbolik pada tokoh Gwat Nio. Sedangkan dalam Dimsum Terakhir karya Clara Ng pergulatan tersebut muncul pada tokoh ayah-Nung Atasana, dan keempat perempuan anak kembarnya (Siska, Indah, Rosi, Novera) dengan upaya penciptaan third space yang intensif pada keempat protagonis perempuan. Hasil analisis ini menguatkan argumen bahwa identitas merupakan proses yang senantiasa dalam pergulatan (in the making) sebagaimana terlihat dalam kedua karya berbeda jaman ini. Dengan demikian, identitas ke-Cina-an bagi diasporan Tionghoa di Indonesia senantiasa cair, tidak kaku, dan selalu menghadapi dinamika renegosiasi dari jaman ke jaman.
Jakarta: Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015
400 DIAL 2:1 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library