Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 26 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sudjarwoko
Abstrak :
Otonomi Provinsi DKI Jakarta berbeda dengan daerah lainnya karena berada pada tingkat provinsi. Seluruh sumber penerimaan baik pajak daerah maupun retribusi daerah diberlakukan pada tingkat provinsi. Kontribusi penerimaan Pajak Daerah terhadap Pendapatan Asli Daerah antara tahun anggaran 2004-2009 rata-rata mencapai 83,28% per tahun. Tingkat pertumbuhan Pajak Daerah rata-rata 9,69% per tahun. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor memberi sumbangan terbesar terhadap total penerimaan Pajak Daerah dengan rata rata mencapai 33,69% per tahun. Tingkat pertumbuhan penerimaan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor rata-rata sebesar 5,35% per tahun. Pendapatan Asli Daerah mendapatkan kontribusi sebesar 28,06% dari Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor. Pajak Kendaraan Bermotor memberikan kontribusi sebesar 31,90% terhadap rata-rata total penerimaan Pajak daerah antara tahun anggaran 2004-2009. Pajak Kendaraan Bermotor memeilikitingkat pertumbuhan 10,28% per tahun. Pajak ini memberi sumbangannya terhadap Pendapatan Asli Daerah sebesar 26,57%. Penerimaan Retribusi Daerah rata-rata memberikan kontribusi sebesar 5,39% per tahun terhadap penerimaan Pendapatan Asli Daerah. Kontribusi penerimaan Pajak Daerah terhadap penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dalam kurun waktu tahun anggaran 2004-2009 adalah rata-rata sebesar 45,50% per tahun, sedangkan penerimaan Retribusi Daerah memberikan kontribusi sebesar 2,94% per tahun. Pendapatan Asli Daerah rata-rata memberikan kontribusi sebesar 54,64% per tahun terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
The autonomy of the Province of Jakarta is different approach when compare with the other regions. Its implementated at provincial level and the entire source of revenue from both local taxes and user charges are imposed on the provincial level. The contribution of the Local Tax revenue to the Local Own Revenue for the budget year 2004-2009 accounted for on an average 83.28% per annum. The Local Tax growth was on an average 9.69% per annum. Vehicle Registration Fee (usually called BBNKB) had given the largest contribution to the total revenue of Local Tax which reached on an average 33.69% per annum. The growth of the Vehicle Registration Fee was on an average 5.35% per annum. The Local Own Revenue acquired a contribution of 28.06% from the Vehicle Registration Fee. Vehicle Tax (usually called PKB) had a contribution of 31.90% to the total average of the Local Tax revenue for budget year 2004-2009. The Vehicle Tax had a growth of 10.28% per annum which gave a contribution of 26.57% to the Local Own Source Revenue. The User Charges revenue contributed on an average 5.39% per annum to the Local Own Revenue. The contribution of the Local Tax revenue to the Local Government Budget revenue in budget year 2004-2009 was on an average 45.50% per annum, while revenue of the User Charges had a contribution of 2.94% per annum. The Local Own Revenue contributed on an average 54.64% per annum to the Local Government Budget.
Depok: Fakultas Eknonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2010
T27740
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Pradipta
Abstrak :
The implementation of decentralization policy gives the local government a larger authority. The implementation needs proper funding from the local government. In order to support implementation authority, fiscal desentralization policy is being run by the central government. Even though having a large authority, Bekasi municipality felt that their original local revenue is still inadequate. This research focuses on how the strategy of Bekasi municipality increases their original local revenue and the factors that affect their strategy.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Penelitian ini pertama bertujuan untuk mengetahui dan mengkaji peranan pajak daerah dalam meningkatkan Pendapatan asli daearah, dan mengetahui faktor yang menghambat pemungutan pajak daerah.....
REHUKUM
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
M. Bashori Imron
Abstrak :
The head of regencies and cities needs to develop their imagination and inspiration in order to present the goal of region development and deliver the positive economic growth for the public. Initiating the tourism village programm for the potential area may serve as a creative alternative. The aim of this research is to develop the idea of tourism vilage to improve the income of the region. In depth participation in the community and intensive interview with the tourism stakeolders have been chosen as the method of this study. The result of the research shows that the tourism village of penglipuran has seven potentiala as the main attractions as represented by the traditional architecture aristic spatial arragement the bamboo forest heroes cemetry the beauty of pura panataran, remarkelble village landscape and karang memadu. The participation of local govverment may contribule the positive impact for the economic grauth and improse the incame of local community.
Jakarta: Kementerian Dalam Negeri Ri, 2015
351 JBP 7:4 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Elsa Ryan Ramdhani
Abstrak :
Penulis ingin mengetahui bagaimana pengaruh korupsi (diukur dari Indeks Persepsi Korupsi) yang disinyalir sebagai salah satu penghalang suatu daerah untuk memungut Pendapatan Asli Daerah (PAD) secara optimal. Berdasarkan keseimbangan Nash yang diturunkan dari mixed strategy, hubungan antara korupsi dapat sejalan atau berlawanan dengan PAD. Metode regresi panel GLS digunakan pada 59 daerah yang disurvei oleh Transparency International Indonesia di tahun 2006, 2008, dan 2010 untuk membuktikan bahwa hubungan korupsi terhadap membentuk fungsi kuadratik dengan pola huruf U. Hasil penelitian juga menemukan bahwa hubungan korupsi terhadap PAD mencapai level terendah ketika nilai IPK sebesar 4,69. ...... This article discusses how relationship between corruption (measured from Corruption Perception Index) that is predicted as one of local governments? obstacles to collect their local own revenue. According to Nash Equilibrium derived from mixed strategies, the relationship between corruption and public investment can be both positive and negative depending on the level of the corruption Index. Panel data GLS method is employed for 59 regions surveyed by Transparency International Indonesia on 2006, 2008, and 2010 to prove a quadratic U-shape relationship between corruption and local own revenue. It was found that the local-own revenue reaches the lowest level when the corruption index is 4.69.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2013
S45844
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Parluhutan, Tumbur
Abstrak :
ABSTRAK Asas Desentralisasi yang diberikan kepada daerah Kabupaten/Kota adalah salah satu cara untuk membuat daerah agar dapat mandiri, dengan mengatur dan mengelola potensi daerah berdasarkan aspirasi rakyat. Pelaksanaan otonomi daerah diberbagai kabupaten/Kota disambut dengan gembira, hal ini merupakan paradigma baru dalam perkembangan pemerintahan di daerah yang selama ini bersifat sentralistik. Pencabutan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pemerintahan Daerah digantikan dengan Undang_undang Nomor 22 Tahun 1999 merupakan tonggak kemandirian daerah. Pemerintah Daerah berwenang mengatur daerahnya sendiri berdasarkan desentralisasi, yakni pelimpahan beberapa wewenang dari pemerintah pusat kepada daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sementara dilain pihak, Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 ini dalam prakteknya di daerah cenderung bersifat etnosentrisme, yakni adanya semangat kedaerahan yang berlebihan yang mengakibatkan timbulnya suatu fenomena disharmonis penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pemerintahan pusat. Disharmonis ini ditandai dengan adanya ketidakpatuhan seorang Kepala Daerah Tingkat II kepada Kepala Daerah Tingkat I, pembuatan Peraturan Daerah yang bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi dan tidak populistik atau membebani masyarakat. Implementasi pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 cenderung diinterpretasi oleh pemerintahan daerah sekehendak hati asal dapat memperoleh Pendapatan Asli Daerah yang dikontribusi kepada APBD. Penerbitan Peraturan Daerah yang berifat membebani masyarakat dan pelaku usaha itu berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah, yang dalam pembangiannya tidak merata oleh karena perbedaan potensi wilayah. Semakin besar potensi wilayah (misalnya, sumber daya alam)semakin tinggi dana perimbangan yang diterimanya. Selanjutnya dikaitkan dengan perdagangan bebas, Indonesia telah meratifikasi ketentuan tentang GATT dan masuk menjadi anggota WTO. Dalam ketentuan GATT tersebut cenderung untuk menghilangkan segala hambatan dalam perdagangan dan jasa, yang sangat bertentangan sekali dengan beberapa pemerintah daerah di Indonesia yang justeru membuat hambatan berupa pembuatan Perda yang membebani masyarakat atau pelaku usaha, misal Perda tentang retribusi pengangkutan hasil produksi pertanian yang melewati batas wilayah antar Kabupaten/Kota. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, diharapkan dapat mengurangi permasalahan di daerah yang tentunya dengan pengawasan yang lebih ketat terhadap produk hukum suatu daerah dan tidak lupa pula peran serta masyarakat yang diatur di dalam pasalnya tentang pembuatan Peraturan Daerah tersebut. Dari penelitian ini menunjukkan, adanya hubungan yang erat antara pembuatan Peraturan Daerah dengan berkembangnya investasi di suatu daerah, sebab dengan penertiban Perda tersebut, pemerintah daerah mempunyai kewenangan untuk memungut retribusi dan pajak daerah yang membebani masyarakat atau pelaku usaha yang berakibat, sehingga Pelaku usaha cenderung melarikan modalnya ke daerah yang tidak mempersulit usahanya, bahkan memindahkan usahanya ke manca negara, misal seperti negara Vietnam. Selain keterbatasan sumber daya alam dan sumber daya manusia, masalah interpretasi dan sifat etnosentrisme sangat mempengaruhi pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan daerahnya, yang dalam hal ini sangat perlu diperhatikan Pemerintah Pusat untuk memperbaiki keadaan tersebut agar dapat menarik investor sebanyak-banyaknya di daerah, yang pada akhirnya dapat meningkatkan pembangunan dan kesejahteraan rakyat.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T36942
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
S4923
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Linda Setiawati
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk meneliti beberapa faktor yang berpengaruh terhadap tingkat pengendalian intern pada pemerintah daerah. Faktor-faktor tersebut adalah total aset, pendapatan asli daerah, jenis daerah, opini audit, pendampingan BPKP. Penelitian ini merupakan penelitian mencakup kabupaten/kota di Indonesia dari tahun 2007-2010. Hasil penelitian menunjukkan dari enam variabel independen hanya dua variabel yang berpengaruh signifikan yaitu total aset dan opini audit dari hasil tersebut dinyatakan bahwa total aset berpengaruh positif terhadap kelemahan pengendalian intern sedangkan opini hasil audit berpengaruh negatif terhadap kelemahan pengendalian intern.
ABSTRACT
This research is aiming to find out which factor that influencing internal control local government. These factors is the total assets, revenue, type of area, the audit opinion, mentoring of BPKP. This research using districts / cities in Indonesia from 2007-2010. It is finds out from six independent variable showed only two significant variables that the total asset and audit opinion . Total asset positively affect internal control weaknesses and the audit opinion negatively affect internal control weaknesses.
2013
S46956
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hamrolie Harun
Yogyakarta: BPFE UGM, 2012
336.201 HAM a (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Silalahi, Levi Amos Hasudungan
Abstrak :
Urban public authorities in developing countries have come under increasing financial pressures during the last decade. Bogor, for example, is now facing a rapidly growing demand of services, suspected as a result of continuing rapid urban population growth. How ever, as most areas do, their capacity to supply services as well as to undertake the necessary infrastructure development is severely constrained by a shortage of fiscal resources such as user charges. Bogor is a city which had local revenue in 2007 about Rp. 79,681,810,774,00. It is means Bogor has capability to fund the development in their region. In 2007, Bogor?s revenue from user charges at bus station is about Rp. 3.087.468.000,00. That amount of money is come from the contribution of three bus station, which are Baranagsiang Bus Station, Bubulak Bus Station, and Merdeka Bus Station. Baranangsiang which is the largest bus station in Bogor, giving the largest contribution among the other bus stations, for local own revenues about Rp. 1.786.700.000,00 at 2007. On February 14 th, 2008 the Local Legislative (DPRD), sudden inspect without announcement first to Terminal Baranangsiang. The groups found that Baranangsiang bus station is a mess, the infrastructure in there like stores, toilet, and roads are not in the proper condition. To compound the problem, they suggest to the Local Revenue Administration (Dispenda) and Traffic and Public Vehicles Institution (DLLAJ) should coordinating, in order to build a new infrastructure requirements and also need to allocate substantially more resources to maintenance, renovation, and replacement of older, deteriorating equipment. In order to examining the problem, the ?Principles of Revenue Administration? theory by James Mc Master and ?User Charges? theory by Ronald C. Fischer are chosen to be theories in this research. How ever, in order to get a clear overview from the subject, a quantitative approach is used to define the problems in colecting charges and managing revenue from user charges especialy in Baranangsiang Bus Station and how to rebuilt or maintan the infrastructure. In non-urban bus transport, serious problems over bus stations arise from government intervention in provision and use of bus stations which are not required by passengers nor operators. Indeed it appears in some cases that the main purpose of the bus station is to raise user charges rather than to serve passengers. DLLAJ is the institution which is responsible to control the traffic in and around Baranangsiang Bus Station. To raise revenue from user charges at bust station is their side job, sometimes in implementation it becomes blur. In the future, coordination between local institution such as DLLAJ, Dipenda, and UPTD Terminal is a must. On the other hand, the voluntary of people who consume the benefits from Baranangsiang Bus Station have to fulfill their obligation by paying charges. The existence of Baranangsiang is not only the Bogor local authorities responsible, but either also the community. Finally, Bogor local government realize how much important that infrastructure at Baranangsiang Bus Station to be renovate. On June 2008, the local authorities expend Rp. 2.000.000.000,00 to renew emplacement at Baranangsiang Bus Station.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>