Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 15 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Retno Moerniati
"ABSTRAK
Pasal 224 Reglemen Indonesia yang diperbaharui merupakan suatu pasal yang dibuat oleh pembentuk undang-undang untuk memberi kemudahan kepada kreditur dalam hal debitur melakukan wanprestasi.
Dengan adanya pasal tersebut maka kreditur dapat langsung mengeksekusi barang jaminan debitur tanpa harus ada keputusan Pengadilan yang telah berkekuatan tetap. Adapun grosse akta yang dapat dieksekusi secara langusung ditentukan secara limitatif oleh pembentuk undang-undang yaitu hanya grosse akta pengakuan hutang dan grosse akta hipotik saja.
Pada tahun 1985 Mahkamah Agung Republik Indonesia melalui surat Nomor :213/229/85/II/Um.Tu/Pdt. tertanggal 16 April 1985 telah memberi suatu fatwa grosse akta, yang menyebutkan bahwa dalam suatu grosse akta hanya berisi kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu saja. Dalam suatu grosse akta tidak dapat ditambahkan persyaratan-persyaratan tersebut berbentuk perjanjian.
Inti persoalan yang timbul mengenai grosse akta ialah :
1. apakah untuk suatu grosse akta dapat ditambah dengan syarat lain selain kewajiban untuk membayar sejumlah uang tetentu;
2. Apakah untuk jumlah hutang yang pasti dapat dikaitkan dengan jumlah hutang yang tertera dalam rekening koran bank.
Mahkamah Agung Republik Indonesia sampai saat ini tetap pada pendiriannya yaitu pengertian grosse akta tidak perlu diperluas demi untuk melindungi kepentingan debitur, jika ada debitur yang nakal penyelesaian hutangnya dapat melalui Badan Urusan Piutang Negara.
Sedangkan mengenai eksekusi grosse akta hipotik tidak terdapat masalah yang besar karena telah mempunyai peraturan yang lengkap, asal saja dokumen-dokumennya telah dibuat secara lengkap."
Depok: Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Surjana
"ABSTRAK
Pasal 224 Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui merupakan suatu
pasal yang dibuat oleh pembentuk undang-undang untuk memberi
kemudahan kepada kreditur dalam ~al debitur melakukan wanprestasi.
Dengan adanya pasal tersebut maka kreditur dapat langsung mengeksekusi
barang jaminan debitur tanpa harus ada keputusan Pengadilan
yang telah berkekuatan tetap. Adapun grosse akta yang dapat
dieksekusi secara langsung telah ditentukan secara limitatif oleh
pembentuk undang-undang yaitu hanya grosse akta pengakuan hutang
dan grosse akta hipotek saja.
Pada tahun 1985 Mahkamah Agung Republik Indonesia melalui
surat Nomor: 213/229/85/II/Um.Tu/Pdt tertanggal 16 April 1985
telah memberi suatu fatwa grosse akta, yang menyebutkan bahwa
dalam suatu grosse akta hanya berisi kewajiban untuk membayar
sejumlah uang tertentu saja. Dalam suatu grosse akta tidak dapat
ditambahkan pers~aratan-persyaratan lain terlebih lagi apabila
persyaratan-persyaratan tersebut berbentuk perjanjian.
Adapun maksud pengeluaran fatwa grosse akta oleh Hahkamah
Agung Republik Indonesia ialah untuk melindungi kepentingan debitur.
Hal ini disebabkan telah timbul penyalah-gunaan grosse
akta dalam masyarakat di mana semua bentuk perjanjian - apapun
bentuknya - dibuat dalam bentuk grosse akta, bila terjadi wanprestadi
maka kreditur dapat langsung mengeksekusi barang jaminannya.
Dengan demikian segala upaya hukum yang berkenaan dengan perjanjian
tidak mempunyai arti lagi. l1ahkamah Agung Bepublik Indonesia
juga menyatakan bahwa perjanjian kredit tidak dapat dibuat dalam
bentuk grosse akta pengakuan hutang karena perjanjian kredit bukan
pengakuan sepihak debitur untuk membayar sejumlah uang tertentu.
Dengan adanya fatwa Mahkamah Agung Republik Indonesia mengenai
grosse akta tersebut timbul reaksi dari kalangan perbankan.
Kalangan perbankan berpendapat dengan adanya fatwa tersebut memberi
peluang kepa~a debitur yang nakal untuk mengulur-ulur waktu
pembayaran hutangnya dengan mengajukan gugatan di depan~engadilan.
Kredit yang disalurkan oleh pihak perbankan sebagaiman diketahui
sebagian besar merupakan kredit rekening koran yang jumlah
butangnya tidak tertentu, tetapi berubah-rubah sesuai dengan
pembayaran yang dilakukan oleh bank dan pengembaliannya oleh debitur
yang dapat dilakukan sewaktu-waktu. Di samping itu dalam
perjanjian kredit juga terdapat banyak persyaratan-persyaratan/
perjanjian-perjanjian lain seper~i: jumlah hutang; bunga; jangka
waktu; jaminan da~·-lain-lain. Kalangan perbankan berpendapat
dengan adanya fatwa Mahkamah Agung Republik Indonesia tersebut
maka penyelesaian kredit macet hanya dapat dilakukan melalui gugatan
biasa di depan ~engadilan yang agak berbelit-belit.
Sedangkan Mahkamah Agung Republik Indonesia berpendapat p~m~
batasan terhadap lembaga grosse akta itu perlu untuk melindungi
debitur dari tindakan·sewenang-wenang kr~ditur. Dengan adanya
jumlah hutang yang sudah pasti maka pihak kreditur - dalam hal
ini bank - yang kebanyakan mempunyai kedudukan yang kuat tidak
dapat dengan seenaknya menentukan jumlah hutang debitur, tetapi
jumlah yang dapat dieksekusi hanya yang tercantum dalam grosse
akta saja.
Inti persoalan yang timbul mengenai grosse akta ialah:
1. Apakah untuk suatu grosse akt~ dapat ditambah dengan syaratsyarat
lain selairi kew~jiban untuk.membaya~ sejumlah uang tertentu;
2. apakah untuk jumlah hutang yang pasti dapat dikaitkan dengan
jumlah hutang yang tertera dalam rekening koran bank.
Mahkamah Agung Republik Indonesia sampai saat ini tetap pada
pendiriannya yaitu pengertian grosse akta tidak perlu diperluas
demi untuk melindungi kepentingan debitur, jika ada debitur
yang nakal penyelesaian hutangnya dapat melalui Badan Urusan Piutang
Negara.
Sedangkan mengenai eksekusi grosse akta hipotek tidak terdapat
masalah yang besar karena .. telah mempunyai peraturan yang
lengkap, asal saja dokumen-dokumennya telah dibuat secara lengkap.

"
1989
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aska Laksamana Putera
"ABSTRAK
Penggunaan Grosse Akta Pengakuan Hutang dalam perkembangannya
semakin diminati oleh dunia bisnis Indonesia karena prosesnya yang relativ mudah
dengan kepastian hukum yang tinggi bagi para kreditor karena memiliki kekuatan
eksekutorial yang setara dengan putusan pengadilan. Akan tetapi kekuatan
eksekutorial grosse akta pengakuan hutang bukanlah merupakan suatu kekuatan
hukum yang mutlak, masih terdapat celah hukum atau kelemahan yang dapat
menunda atau menggugurkannya bagi yang hendak mengingkarinya, seperti halnya
dalam kasus yang dianalisis. Permasalahan pokok yang dianalisis adalah akibat
hukum atas perbedaan perhitungan jumlah hutang menurut debitor dengan jumlah
piutang menurut kreditor atas perkiraan jumlah hutang yang ditetapkan dalam Akta
Pengakuan Hutang dan gugurnya kekuatan eksekutorial Grosse Akta Pengakuan
Hutang dalam Putusan MA No. 2903 K/Pdt/1999-22 Mei 2001. Metode Penelitian
yang digunakan adalah metode penelitian kepustakaan dengan cara mengkaji data
sekunder dalam bahan hukum primer berupa Putusan Pengadilan dan peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan pembuatan Grosse Akta Pengakuan
Hutang dengan data sekunder berupa literatur sebagai pembanding. Analisis data
dilakukan dengan pendekatan kualitatif yang mengarah pada hasil penelitian secara
evaluatif-analitis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa akibat hukum yang timbul
karena perbedaan perhitungan jumlah hutang menurut debitor dengan jumlah piutang
menurut kreditor atas perkiraan jumlah hutang yang ditetapkan dalam Akta
Pengakuan Hutang akan terkait dengan 3 (tiga) hal, pertama; kesepakatan pendapat
tentang Pasal 224 HIR sebagai landasan hukum pokok bagi kekuatan eksekutorial
Grosse Akta Pengakuan Hutang; kedua, tidak ada perbedaan pendapat tentang
kekuatan eksekutorial yang dimiliki Grosse Akta Pengakuan Hutang “mumi” serta
ketiga, terdapat perbedaan pandangan hukum dalam hal kekuatan eksekutorial
Grosse Akta Pengakuan Hutang yang disertai dengan perjanjian kredit dan
pengikatan jaminan. Putusan PN dan PT menetapkan adanya kekuatan eksekutorial
Grosse Akta Pengakuan Hutang, tetapi berbeda dengan Putusan MA No. 2903
K/Pdt/1999 yang melahirkan kaidah hukum bahwa kekuatan eksckutorial hanya
dimiliki oleh Grosse Akta Pengakuan Hutang di dalamnya tercantum dengan pasti
jumlah serta tidak boleh memuat suatu perjanjian atau syarat-syarat lain selain
tentang kewajiban pembayaran sejumlah uang tertentu, yang harus dilakukan oleh
debitor kepada kreditor."
2008
T36927
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Andin Rinanda Nidia Putri
"Akta Pengakuan Hutang dengan Jaminan dan Kuasa merupakan suatu perjanjian tambahan (accessoir) dari perjanjian pokoknya, yaitu perjanjian kredit. Pada umumnya suatu perjanjian hutang-piutang selalu diikuti dengan pemberian jaminan, baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak, yang mana benda jaminan tersebut bisa milik pribadi si yang berhutang, bisa juga milik pihak lain yang diberikan dengan kuasa. Dalam hal ini tentu saja Notaris sebagai pejabat umum yang berhak membuat akta otentik sangat bertanggungjawab terhadap setiap akta yang dibuatnya. Jika dalam pembuatan akta tersebut terdapat kekeliruan atau ketidakhati-hatian yang dilakukan oleh Notaris, bagaimana kekuatan pembuktian akta itu serta perlindungan hukum para pihak dalam akta ? bagaimana tanggung jawab Notaris atas tindakan yang dapat menimbulkan kerugian tersebut ?.
Di dalam penelitian ini dibahas mengenai tanggung jawab, perlindungan hukum para pihak dalam akta, serta upaya yang dapat Notaris lakukan dalam menghadapi hambatan yang timbul dalam menjalankan tugas dan jabatannya. Metode penelitian yang dipergunakan adalah metode penelitian yuridis normatif yang bersifat preskriptif analitis dengan menggunakan data sekunder yang dianalisis secara kualitatif.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dalam menjalankan jabatannya Notaris harus selalu memperhatikan asas-asas dan ketentuan yang tercantum dalam undang-undang serta kode etik profesi. Berkaitan dengan Akta Pengakuan Hutang dengan Jaminan dan Kuasa yang dibuat di hadapan Notaris X, maka dapat dibuatkan Berita Acara Pembetulan atas kesalahan pengetikan yang Notaris X lakukan, sebagai salah satu solusinya.

Debt Promissory Deed With Collateral and Power of Attorney is an additional agreement (accessoir) from its principal agreement, which is the credit agreement. Generally, a debt-receivable agreement is always followed by the provision of a guarantee, either moving objects or objects do not move, in which objects can guarantee that the borrower's personal property, may also belong to other parties provided by the authority. In this case, Notary as a public official who?s entitled to make an authentic deeds is responsible for every agreement he/she made. If there's a mistake in the deed which is made by carelessness of the notary, how far the strength of the evidence of the deed will affect their legal protection of the parties ? How the Notary can manage that loss ?.
This research will discuss about the liability of the notary, legal protection for the parties of the deed, and efforts that Notary do in the face of any obstacles that arise in carrying out the duties and position. The method of this research is a prescriptive normative juridical analytically by using secondary data were analyzed qualitatively.
Based on the research and the analysis that has been indulged, in carrying out notary office must always pay attention to the principles and provisions contained in legislation and professional codes of ethics. Related to Debt Promissory Deed With Collateral and Power of Attorney signed before Notary X, for clerical errors which Notary X did, then it can be corrected by making a Minutes of The Rectification, as one solution.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30975
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Fransiska Nona Kartika
"Hutang piutang lazim dilakukan oleh masyarakat untuk memperoleh dana yang digunakan sebagai modal usaha. Bank sebagai lembaga keuangan memberikan fasilitas tersebut. Namun hal itu tidak menutup adanya praktek hutang piutang dari orang perorangan yang dilandasi dengan Akta Pengakuan Hutang. Berlandaskan Akta Pengakuan Hutang tersebut maka Debitur berhak memperoleh sejumlah uang dari Kreditur sebagai hutang dan Kreditur berhak memperoleh pengembalian atas hutang tersebut berikut bunga sesuai jangka waktu yang disepakati bersama. Akta Pengakuan Hutang lazim dikuatkan dengan adanya penjaminan hak atas tanah yang kemudian diikuti dengan kuasa menjual.
Hal tersebut dilakukan sebagai pegangan bagi Kreditur atas pengembalian hutang Debitur apabila dikemudian hari Debitur ternyata melakukan wanprestasi atau gagal bayar. Baik Akta Pengakuan Hutang maupun surat kuasa menjual merupakan perjanjian yang dibuat berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Sebagaimana diketahui perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi yang membuatnya.
Tesis ini mengkaji lebih dalam mengenai kuasa menjual atas jaminan hak atas tanah pada Akta Pengakuan Hutang serta jual beli yang dilakukan suami istri atas kuasa menjual tersebut. Penelitian dilakukan secara yuridis normatif. Dari penelitian tersebut diperoleh kesimpulan bahwa Akta Pengakuan Hutang dengan jaminan hak atas tanah dapat diikuti dengan kuasa menjual. Apabila diikuti dengan perbuatan hukum jual beli antara suami istri yang dilakukan dengan kuasa menjual berdasarkan Akta Pengakuan Hutang dengan jaminan hak atas tanah maka hal tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Lending activities commonly done in the community to obtain funds that are used as working capital. Bank as a financial institution providing the facility. But it does not preclude the practice of the individual in doing lending activities which is based on the Deed Acknowledegment of Indebtedness. Based on such deed the Debtor is entitled to receive money from the lender as a payment to its debt and the creditor is entitled to repayment of debt following the interest in accordance with the agreed timeframe. Deed of Acknowledgement also can be strengthened with the land rights as a security which was then followed by the power of selling.
This will be a guideline for lenders on the debt repayment in the future if the Debtor was in default or unable the repay its debt to the creditor. The Deed Acknowledegment of Indebtedness and the Power of Attorney to Sell are both agreement made under the principle of freedom of contract. It is known that the agreement made legally valid as a law for the parties who made it.
The thesis examines the power to sell to the security of land rights in the Deed of Acknowledgement of Indebtedness together with the sale and purchase among spouses, with juridical normative research. From these studies the conclusion obtained that the Deed of Acknowledgement of Indebtedness and the security of land rights may be followed with the power to sell. If then the Creditor decided to sell the security of land rights to the creditor spouse, it is not prohibited by legislation. The existence of the Power of Attorney to Sell, the party who serves as the seller is the owner of the land which is the Debtor and the Creditors only as holders of the Power of Attorney to Sell.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T31851
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Gerrid Williem Karlosa Reskin
"Grosse akta pengakuan hutang bertujuan menjamin kepastian hukum bagi kreditur apabila terjadi wanprestasi oleh debitur. Kekhususan dari grosse akta pengakuan hutang dibandingkan akta lainnya adalah adanya irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” memiliki kekuatan eksekutorial seperti layaknya putusan pengadilan. Kekuatan eksekutorial ini juga dijelaskan pada pasal 224 Herzien Inlandsch Reglement (HIR) dan Pasal 1 angka 11 dalam Undang-Undang Jabatan Notaris. Namun sayangnya, Putusan Mahkamah Agung No. 2834K/PDT/2021, hakim tetap mengabsahkan salinan akta pengakuan hutang no 71 tahun 2018 yang tidak memiliki irah-irah tersebut. Selain itu adanya tindakan kreditur yang melakukan sita jaminan yang didasarkan atas salinan tersebut, bahkan dalam akta tersebut juga tidak mencantumkan ketentuan mengenai jaminan. Mengingat bahwa suatu akta pengakuan hutang merupakan pengakuan sepihak dari debitur karena telah berhutang kepada kreditur dalam jumlah tertentu dan tidak boleh mencantumkan persyaratan-persyaratan lain, maka akta ini seharusnya dapat menjadi bias perihal kepastian jumlah hutangnya dikarenakan cicilan dari yang telah dilakukan oleh debitur yang wanprestasi. Kedua masalah inilah yang diangkat dalam tesis ini, antara lain; kekuatan hukum eksekutorial dalam akta pengakuan hutang no 71 tahun 2018 dan kedudukan hukum klausul denda dan bunga dalam akta pengakuan hutang 71 tahun 2018 berdasarkan studi putusan Putusan Mahkamah Agung No. 2834K/PDT/2021. Metode penelitian yang diterapkan dalam tesis ini adalah doktrinal. Hasil penelitian ini adalah tidak adanya kekuatan eksekutorial dalam akta pengakuan hutang tersebut dan pencantuman klausul dan denda yang menjadikan akta pengakuan hutang ini tidak murni dan membuat seolah-olah hanya sebagai surat sanggup atau perjanjian hutang piutang. Adapun saran yang diberikan antara lain pemahaman yang lebih jeli dari hakim terhadap keabsahan suatu surat pengakuan hutang murni dengan melihat faktor formil dan materiil.

Grosse deed of acknowledgment of Debt aims to guarantee legal certainty for creditors in the event of default by the debtor. The specificity of the deed of acknowledgment of Debt grosse compared to other deeds is that the “For the sake of JUSTICE BASED ON THE ONE ALMIGHTY GOD” has executorial power like a court decision. This executive power is also explained in article 224 of the Herzien Inlandsch Regulation (HIR) and Article 1 point 11 in the Notary Office Law. But unfortunately, the Supreme Court Decision No. 2834K/PDT/2021, the judge still validated the debt acknowledgment deed No. 71 of 2018 which does not have these title. Apart from that, there was an action by the creditor who carried out a confiscation guarantee based on these constraints, even the deed did not provide provisions regarding collateral. Given that a deed of acknowledgment of debt is a unilateral acknowledgment of the debtor because he owes a certain amount to the creditor and cannot include other conditions, this deed should be biased regarding the certainty of the amount of his debt due to installments made by the default debtor. These two issues are raised in this thesis, among others; executorial legal force in the deed of acknowledgment of debt no 71 of 2018 and the legal status of fines and interest clauses in the deed of acknowledgment of debt 71 of 2018 based on the study of the Supreme Court Decision No. 2834K/PDT/2021. The research method applied in this thesis is doctrinal. The results of this study are that there is no executorial power in the debt acknowledgment deed and the inclusion of clauses and fines that make the debt acknowledgment deed impure and make it appear as if it is only a promissory note or receivables agreement. The advice given includes a more observant understanding from the judge on the validity of a pure debt acknowledgment by looking at formal and material factors."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putu Ameliagustina Awyadnyani
"Tesis ini membahas mengenai Notaris dalam kasus No. 108/PDT/2019/PT.DKI yang membuat akta tidak sesuai berdasarkan ketentuan yang berlaku. Dalam kasus ini dalam membuat akta, Notaris tidak meminta persetujuan pasangan para pihak yang menghadap, dan juga Notaris tersebut tidak mau memberikan Salinan akta tersebut. Permasalahan yang diangkat adalah keabsahan akta dan pertanggung-jawaban notaris, serta kewajiban notaris dalam memberikan layanan berkaitan dengan pengeluaran salinan akta. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif yang mengacu pada analisis norma hukum dengan pendekatan kualitatif, menggunakan data sekunder dengan alat pengumpulan datanya berupa studi dokumen. Adapun hasil penelitian adalah isteri dituntut untuk membayar utang atas akta pengakuan utang dari suami, yang telah almarhum, berdasarkan Pasal 36 ayat (1) suami atau isteri dapat bertindak atas harta bersama berdasarkan persetujuan kedua belah pihak. Tindakkan hukum yang dilakukan oleh almarhum tidak sah yang mengakibatkan isi materi dalam Akta Pengakuan Hutang tersebut dinyatakan batal demi hukum, terhadap akta itu sendiri berdasarkan Pasal 1871 aktanya berubah menjadi akta dibawah tangan. Dalam kasus ini notaris mendapatkan sanksi administratif karena melanggar Pasal 16 UUJN dan dapat diberatkan lagi sanksinya karena tidak memberikan penyuluhan hukum sesuai ketentuan dalam Pasal 15 UUJN. Selanjutnya kewajiban atas pengeluaran salinan harus dipatuhi mengingat yang meminta akta adalah ahli waris. Bagi pihak yang dirugikan dapat menuntut notaris atas kerugian, termasuk bunga dan biaya-biaya lain.

This thesis discusses the Notary in case No. 108/PDT/2019/PT.DKI which made the deed not in accordance with the applicable provisions. In this case, in making the deed, the Notary did not ask for the approval of the spouses of the parties appearing, and the Notary also did not want to provide a copy of the deed. The issues raised are the validity of the deed and the notary's responsibilities, as well as the notary's obligation to provide services related to the issuance of a copy of the deed. The method used in this research is normative juridical research which refers to the analysis of legal norms with a qualitative approach, using secondary data with data collection tools in the form of document studies. The results of the study are that the wife is required to pay the debt on the deed of acknowledgment of debt from her husband, who has died, based on Article 36 paragraph (1) the husband or wife can act on joint assets based on the agreement of both parties. The legal action taken by the deceased was illegitimate which resulted in the material content in the Deed of Debt Recognition being declared null and void, the deed itself based on Article 1871 the deed turned into a private deed. In this case, the notary is given an administrative sanction for violating Article 16 of the UUJN and the sanctions can be further aggravated for not providing legal counseling in accordance with the provisions in Article 15 of the UUJN. Furthermore, the obligation to issue copies must be complied with, considering that the heirs who request the deed are the heirs. The aggrieved party can sue a notary for losses, including interest and other costs."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Joshua Dipatama P.
"ABSTRAK
Laporan ini ditulis untuk menganalisis proses pengujian ICoFR yang dilakukan PT. Pertamina di dalam siklus Pengeluaran, khususnya di sub proses pengakuan hutang. Penemuan didalam laporan magang ini menunjukkan bahwa proses pengujian yang dilakukan sudah sesuai dengan pedoman internal dan hasil pengujian ICoFR menunjukkan bahwa hampir semua proses bisnis di dalam sub proses Pengakuan Hutang sudah efisien, namun tetap ada proses bisnis yang mendapat kesimpulan control deficiency.

ABSTRACT
This report was written to analyze the ICoFR testing process conducted by PT. Pertamina in the Expenditure cycle, especially in the subprocess of debt recognition. The findings in this apprenticeship report indicate that the testing process performed in accordance with internal guidelines and ICoFR test results indicates that almost all business processes in the Debt Recognition sub process are efficient, but there are business processes that are inferred from the control deficiency."
2017
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nadia Syifa Nabila
"Harta bersama ialah harta benda yang diperoleh suami dan isteri selama masa perkawinan namun tidak termasuk harta yang diperoleh dari hibah dan warisan. Perjanjian dibuat harus memenuhi syarat sah perjanjian, dan untuk membuat perjanjian yang melibatkan harta bersama dalam perkawinan, harus pula memperhatikan ketentuan-ketentuan yang berlaku mengenai harta perkawinan. Tesis ini akan mengkaji mengenai bagaimanakah pengaturan kewenangan terhadap harta bersama dan prosedur pengikatan harta bersama sebagai jaminan utang, dan bagaimanakah eksekusi harta bersama berdasarkan legalisasi pengakuan utang yang dibuat tanpa persetujuan pasangan kawinnya (studi kasus Putusan Nomor 94/ Pdt. G/ PN Pms). Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif, metode analisis data yang penulis gunakan yaitu metode kualitatif. Hasil penelitian ini adalah bahwa kewenangan atas harta bersama dipegang oleh suami dan isteri secara bersama-sama, dan pengurusan harta bersama dilakukan oleh suami dan isteri secara bersama-sama pula. Membebankan jaminan atas suatu harta bersama perlu melalui beberapa prosedur, yaitu perjanjian utang piutang dan perjanjian jaminannya harus dengan persetujuan dari pasangan kawinnya, serta penjaminan dilakukan melalui lembaga jaminan kebendaan. Jika pasangan kawin yang dirugikan benar-benar tidak mengetahui mengenai pengakuan utang dan pemberian kuasa jual yang dibuat oleh pasangannya maka eksekusi lelang atas harta bersama tersebut dapat dimintakan pembatalan oleh pihak yang merasa dirugikan. Hasil penelitian ini memberikan saran kepada Notaris untuk lebih aktif dalam memberikan penyuluhan hukum kepada para penghadap mengenai cara dan syarat dalam membuat perjanjian utang dan penjaminan yang benar, dan bagaimana jika harta yang dijaminkan merupakan harta bersama perkawinan, demikian untuk meminimalisasi kemungkinan terjadinya permasalahan para pihak di kemudian hari.

Joint  assets in marriage is the property acquired by the husband and wife during the marriage but excludes property obtained from the grant and inheritance. Agreements that made must be fulfilled the legal agreement terms , and to make an agreement involving shared property in marriage, shall also obey the provisions of the marriage property. This thesis will examine how is the regulation of the authority of joint assets and the procedure of binding joint assets as collateral for debt, and how the execution of joint assets is based on legalization of debt recognition made without the consent of the spouse (case study Decision Number 94 / Rev. G / PN Pms). This research uses normative juridical research method, the data analysis method used by the author is qualitative method. The results of this study are that the authority of the joint assets is held jointly by the husband and wife, and the management of joint assets is carried out jointly by the husband and wife. Charging collateral for a joint asset needs to go through a number of procedures, that are the loan agreement and the guarantee agreement must be with the consent of the marriage partner, and the guarantee is carried out through a material guarantee institution. If the aggrieved spouse really did not know about the recognition of debt and the selling power authorization that made by their spouse, the aggrieved spouse could request for the cancellation of the execution. The results of this research provide advice to Notaries to be more active in giving legal counseling to the parties on the terms and conditions of making the correct debt and guarantee agreements, and what if the pledged property is the property of the marriage, to minimize the possibility of the problems of the parties in the future."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T52271
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jhagad Jhelank Devitrita Wibowo
"Akta Pengakuan Hutang merupakan suatu akta autentik yang mengikat para pihak dan seharusnya tidak dapat dijadikan dasar dari adanya Akta Jual Beli tanah yang belum dibayar secara lunas. Pembuatan Akta Jual Beli yang diikuti dengan Akta Pengakuan Hutang atas dasar jual beli tanah yang belum lunas masih kerap terjadi di kehidupan masyarakat dikarenakan adanya ketidaktahuan mereka sebagai masyarakat awam yang kurang memahami ketentuan hukum yang berlaku dan adanya PPAT yang lalai dalam menerapkan hukum, sehingga ditemukan adanya satu kasus yang berkaitan dengan hal ini yaitu pada kasus dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 180 K/PDT/2024. Penelitian ini mengangkat tentang kekuatan hukum Akta Jual Beli yang pada kenyataannya dibalut dengan Akta Pengakuan Hutang terhadap pembeli yang tidak beritikad baik dan tanggung jawab hukum Pejabat Pembuat Akta Tanah terhadap Akta Jual Beli yang belum lunas. Penelitian doktrinal yang dilakukan di sini mengumpulkan bahan-bahan hukum melalui studi kepustakaan yang selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Dari hasil analisis dapat dinyatakan bahwa kekuatan hukum Akta Jual Beli yang pada kenyataannya dibalut dengan Akta Pengakuan Hutang terhadap pembeli yang beritikad tidak baik adalah batal demi hukum karena Akta Jual Beli tersebut dibuat dengan pembayaran yang belum lunas, sehingga tidak memenuhi asas terang dan tunai menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Adapun tanggung jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah tersebut adalah berupa tanggung jawab administratif dalam bentuk teguran atau pemberhentian sementara.

The Debt Acknowledgment Deed is an authentic deed that binds the parties involved and should not serve as the basis for a Land Sale and Purchase Deed that has not been fully paid. However, in practice, the creation of the Sale and Purchase Deed followed by a Debt Acknowledgment Deed based on an unsettled land sale continues to occur in society due to the ignorance of the general public, who lack understanding of the applicable legal provisions, as well as the negligence of the PPAT in enforcing the law. This has led to a case related to this issue, specifically in the Supreme Court of the Republic of Indonesia Decision No. 180 K/PDT/2024. This research highlights the legal force of the Sale and Purchase Deed, which is in fact accompanied by a Debt Acknowledgment Deed, concerning buyers who act in bad faith and the legal responsibilities of the Land Deed Official regarding Sale and Purchase Deeds that remain unsettled. The doctrinal research conducted here collects legal materials through library research, which are subsequently analyzed qualitatively. From the analysis, it can be concluded that the legal force of the Sale and Purchase Deed, which is in fact accompanied by a Debt Acknowledgment Deed for buyers acting in bad faith, is null and void because the Sale and Purchase Deed was created with a payment that has not been settled, thus failing to meet the principles of clarity and cash payment according to Law No. 5 of 1960 on Basic Agrarian Principles. The responsibility of the Land Deed Official in this regard is in the form of administrative responsibility, which may include reprimands or temporary suspension."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>