Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wahyudi Hafiludin Sadili
"Tindak pidana korupsi yang terjadi di tanah air ini, membuat tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, yang pada modus operandinya tindak pidana korupsi dilakukan secara kompleksitas dengan mengikutsertakan pihak ketiga didalamnya. Melihat pada kenyataannya terhadap apa yang telah ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi itu maka diperlukannya suatu upaya-upaya yang luar biasa dalam hal penanggulangan serta pemberantasan terhadap tindak pidana korupsi. Dengan ini pemerintah melakukan tindakan "general deterrence" dalam hal legalisasi pada bentuk tindakan perampasan aset terhadap pelaku tindak pidana korupsi dalam melakukan upaya pengembalian aset Negara yang dicuri atas tindak pidana korupsi. Penelitian ditujukan kepada substansi hukum yang khususnya peraturan perundang-undangan terkait dengan tindakan perampasan aset, dengan dilanjutkan pada struktural hukum yang akan membahas tentang mekanisme perampasan aset terhadap subjek hukum dan sebagai tujuan akhir adalah kultur hukum yang memiliki konklusi terhadap penegakan hukum dalam mekanisme perampasan aset terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi terhadap pihak ketiga yang terkait. Penelitian ini dilakukan secara kualitatif dengan metode deskriptif, dengan hasil penelitian menyarankan untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang akan disahkan dan dinyatakan memiliki kekuatan hukum yang tetap untuk dapat menerapkan mekanisme perampasan aset dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi; memberikan perluasan di dalam mekanisme perampasan aset terhadap pihak ketiga; memberikan definisi yang jelas terhadap pihak ketiga sehingga secara kedudukan hukum dan secara hak dan tanggungjawabnya dalam mekanisme peradilan pidana memiliki penafsiran yang sama dan dapat lebih memberikan perlindungan terhadap pihak ketiga dalam penyelesaian perkara pidana secara umum maupun secara khusus.

Corruption that occurred in this homeland, to make not only negatively impacts the state but has been a violation of the rights of social and economic community at large, that the modus operandi of corruption carried out by involving a third party complexities therein. Seeing the reality of what has been caused by criminal acts of corruption that it needed an effort extraordinary in terms of prevention and eradication of corruption. With the government taking action "general deterrence" in terms of legalization in the form of asset seizure action against the perpetrators of corruption in making efforts to return assets stolen by the State for a crime of corruption. Research addressed to a particular legal substance of legislation related to the act of expropriation of assets, to continue in the law which will discuss the structural mechanism of expropriation of assets of the legal subject and as the final goal is a legal culture that has a conclusion of law enforcement in the mechanism of expropriation of assets against efforts for the eradication of corruption against the third party concerned. This study was qualitative descriptive method, with results suggesting to form legislation that has been validated and declared to have legal force to implement the mechanism of expropriation of assets in an effort to eradicate corruption, provide expansion in the mechanism of expropriation of assets againstthird parties; provide a clear definition of a third party so that the legal position and the rights and responsibilities in the criminal justice mechanisms have the same interpretation and can better provide protection against a third party in settlement of criminal cases generally and specifically."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
T27980
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Irma Reisalinda Ayuningsih
"Pada tahun 1997 dan 2004-2005, Pemerintah Indonesia melikuidasi beberapa bank umum antara lain akibat adanya tindak pidana di bidang perbankan yang dilakukan oleh para pemegang saham dan/atau para pengurus bank. Sisa aset bank tersebut diserahkan kepada Pemerintah untuk dikelola, dimana hasil pengelolaan aset tersebut diperhitungkan sebagai pengurang kewajiban bank. Selama ± 13 tahun mengelola aset tersebut, Pemerintah mengeluarkan biaya pengelolaan aset yang cukup besar yang tidak sebanding dengan penerimaan hasil pengelolaan aset. Di sisi lain, Perserikatan Bangsa-Bangsa menerbitkan UNCAC 2003 yang antara lain mengatur mengenai Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCBAF). Beberapa negara, contohnya Amerika Serikat dan Thailand, menggunakan NCBAF ini sebagai strategi baru yang digunakan untuk memperbaiki situasi dimana penyitaan tidak efektif karena terlalu sulit untuk mencapai sanksi pidana. Untuk itu, penelitian ini mengkaji pengaturan dan pelaksanaan mekanisme ini di Indonesia, Amerika Serikat, dan Thailand terhadap tindak pidana di bidang perbankan, khususnya pada Bank Dalam Likuidasi (BDL) serta memberikan rekomendasi dalam rangka pengembalian aset (asset recovery) pengelolaan aset BDL ditinjau dari hukum responsif. Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif untuk memperoleh hasil kajian yang bersifat preskriptif-analitis dengan mengolah data baik primer maupun sekunder. Dari hasil penelitian menyimpulkan bahwa mekanisme ini telah berhasil dilaksanakan di Amerika Serikat dan Thailand. Namun, belum dilaksanakan di Indonesia karena masih menganut mekanisme criminal forfeiture dan dalam pelaksanaannya masih berhadapan dengan beberapa kendala. Oleh karena itu, Pemerintah perlu segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset dengan mengakomodir beberapa konsep kunci. Pengesahan ini merupakan perwujudan hukum yang responsif atas kebutuhan sosial masyarakat.

In 1997 and 2004-2005, the Government of Indonesia liquidated several commercial banks due to criminal acts in the banking sector committed by shareholders and/or bank administrators. The bank's assets are handed over to the Government to be managed, where the results of the management of these assets are taken into account as a deduction from the bank's liabilities.  During ± 13 years of managing these assets, the Government incurred sufficient asset management costs that were not proportional to the receipt of asset management results. On the other hand, the United Nations issued UNCAC 2003 which among other things regulates Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCBAF). Some countries, for example the United States and Thailand, are using the NCBAF as a new strategy used to improve situations where seizures are ineffective because it is too difficult to achieve criminal sanctions. For this reason, this study examines the regulation and implementation of this mechanism in Indonesia, the United States, and Thailand against criminal acts in the banking sector, especially in Banks In Liquidation (BDL) and provides recommendations in the context of asset recovery in the management of BDL assets in terms of responsive law. This research uses normative research methods to obtain prescriptive-analytical study results by processing data both primary and secondary. From the results of the study concluded that this mechanism has been successfully implemented in the United States and Thailand. However, it has not been implemented in Indonesia because it still adheres to the criminal forfeiture mechanism and in its implementation it is still facing several obstacles. Therefore, the Government needs to immediately pass the Asset Forfeiture Bill by accommodating several key concepts. This ratification is the embodiment of a law that is responsive to the social needs of the community."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yasmin Hana Azizah
"Tindak pidana korupsi yang modusnya semakin berkembang hingga pengalihan hasil dari negara asal ke negara lain menjadi salah satu fokus utama munculnya kerjasama internasional yang kemudian melahirkan UNCAC. Melalui konvensi tersebut, dimuat 11 perbuatan yang dikriminalisasi sebagai korupsi, salah satunya Illicit Enrichment. Di samping definisinya yang sangat bervariasi di berbagai negara, ditemukan pula pendekatan pengaturan yang beragam, mulai dari pengaturan secara pidana, perdata, maupun administratif. Adapun penulisan ini menggunakan metode penelitian doktrinal atau kepustakaan dengen pendekatan konseptual (conceptual approach) dan pendekatan perbandingan (comparative approach), yakni dengan negara Hong Kong yang mengatur Illicit Enrichment secara pidana dan Australia yang mengatur Illicit Enrichment secara perdata. Untuk menghasilkan rekomendasi pengaturan Illicit Enrichment, digunakan perbandingan berdasarkan karakteristik masing-masing pendekatan yang dipandang menjadi indikator penting dalam mengatur Illicit Enrichment, yakni ruang lingkup penerapan, pembalikan beban pembuktian, instrumen yang memicu investigasi, dan sanksi. Walaupun Indonesia saat ini belum mengadopsi Illicit Enrichment yang diamanatkan UNCAC, nyatanya aparat penegak hukum menggunakan mekanisme yang dikenal dalam Illicit Enrichment sebagaimana dalam penanganan perkara gratifikasi dan pencucian uang oleh Rafael Alun Trisambodo. Melalui tulisan ini, Penulis sangat menyarankan lembaga legislatif untuk mengadopsi Illicit Enrichment dalam RUU Perampasan Aset versi terbaru, atau bahkan dalam UU PTPK.

Corruption, whose modus operandi has evolved to the transfer of proceeds from the country of origin to other countries, has become one of the main focuses of the emergence of international cooperation which later gave birth to the UNCAC. Through this convention, 11 acts are criminalized as corruption, one of which is Illicit Enrichment. In addition to the definitions that vary widely in various countries, there are also various regulatory approaches, ranging from criminal, civil, and administrative arrangements. This paper uses a doctrinal research method with a conceptual approach and a comparative approach, namely with Hong Kong, which regulates Criminal Illicit Enrichment, and Australia, which regulates Civil Illicit Enrichment. To produce recommendations for regulating Illicit Enrichment, a comparison is made based on the characteristics of each approach that are considered to be important indicators in regulating Illicit Enrichment, namely the scope of application, reversal of the burden of proof, instruments that trigger investigations, and sanctions. Although Indonesia has not yet adopted Illicit Enrichment as mandated by UNCAC, law enforcement officers have in fact used mechanisms known in Illicit Enrichment as in the handling of graft and money laundering cases by Rafael Alun Trisambodo. Through this paper, the author strongly recommends the legislature to adopt Illicit Enrichment in the latest version of the RUU Perampasan Aset, or even in the UU PTPK."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pardede, Sonora Gokma
"Pemulihan aset adalah serangkaian proses penelusuran aset, pengamanan aset, pengelolaan aset, perampasan aset, dan pengembalian aset kepada korban atau negara yang berhak. Pengaturan pemulihan aset tindak pidana di Indonesia belum sinergis sehingga menghasilkan peraturan yang tidak harmonis dan tumpang tindih. Proses pemulihan aset dilaksanakan oleh beberapa instansi sehingga menimbulkan ego sektoral dan koordinasi yang lama. Hal ini mengakibatkan pemulihan aset tindak pidana di Indonesia sebagai upaya untuk mengembalikan kerugian dari tindak pidana menjadi tidak optimal. Penelitian ini bertujuan untuk merekomendasikan strategi pemulihan aset tindak pidana di Indonesia agar menghasilkan pemulihan aset yang efisien. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan menggunakan analisis peraturan perundang-undangan, analisis perbandingan, analisis konsep, dan analisis kasus. Hasil penelitian menemukan bahwa ketidakharmonisan dalam pengaturan pemulihan aset tindak pidana di Indonesia merupakan kelemahan dalam hukum pidana di Indonesia. Mekanisme pemulihan aset tindak pidana di Amerika Serikat, Inggris, dan Italia yang dinilai efisien dapat diterapkan di Indonesia. Berdasarkan perspektif economic analysis of law (EAL) dengan metode cost benefit analysis (CBA) maka strategi pengaturan pemulihan aset tindak pidana di Indonesia seharusnya bersinergis agar dapat tercapai kesejahteraan sosial dengan standar maksimum melalui RUU KUHAP. Kejaksaan layak menjadi koordinator pemulihan aset tindak pidana di Indonesia karena Kejaksaan merupakan penegak hukum yang memiliki kewenangan untuk melaksanakan penyidikan, penuntutan, pelaksanaan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, dan pemulihan aset untuk semua tindak pidana di bidang ekonomi.

General process of asset recovery consists of asset tracing, asset securing, asset management, asset forfeiture, and asset returns to victims or countries that are entitled to them. Regulations of asset recovery on criminal acts in Indonesia are not yet synergistic, resulting in disharmony and overlapped regulations. The asset recovery process was carried out by several agencies, giving rise to sectoral egos and long coordination. It has resulted in the asset recovery of criminal acts in Indonesia as an effort to return losses from criminal act is not optimal. This research aims to recommend asset recovery strategy on criminal acts in Indonesia to produce efficient asset recovery. The research method used is normative juridical by using law analysis, comparative analysis, concept analysis, and case analysis. The results of this study found that disharmony in the regulation of asset recovery on criminal acts in Indonesia is a weakness on criminal law in Indonesia. The mechanisms of asset recovery on criminal acts in the United States, United Kingdom, and Italy that are considered efficient can be implemented in Indonesia. Based on the perspective of economic analysis of law (EAL) and the cost-benefit analysis (CBA) method, the strategy for regulating the recovery of criminal assets in Indonesia should synergize so that maximum social welfare can be achieved through the amendment of KUHAP. The Attorney General's Office of Indonesia deserves to be the coordinator in asset recovery on criminal acts in Indonesia because this institution is a law enforcement agency that has the authority to carry out investigations, prosecutions, execution court decisions that have permanent legal force, and asset recovery for all types of economic crimes."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ida Bagus Gede Krishna Siwananda
"Penelitian ini menganalisis perbandingan konsep perampasan aset yang diatur dalam hukum positif di Indonesia dengan konsep perampasan aset menurut Rancangan Undang-Undang Tentang Perampasan Aset Terkait Dengan Tindak Pidana, serta urgensi instrumen perampasan aset tanpa pemidanaan atau Non-Conviction Based Asset Forfeiture di Indonesia dengan melakukan studi kasus terhadap tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh Pinangki Sirna Malasari. Penelitian ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Perampasan Aset merupakan upaya paksa negara yang didasarkan atas putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap guna pengambilan kekuasaan dan/atau kepemilikan suatu aset tindak pidana tanpa penghukuman kepada pelakunya. Rezim Perampasan Aset di Indonesia masih menekankan pemidanaan terhadap pelaku kejahatan sebelum dapat merampas aset hasil kejahatan dari pelakunya, di mana pendekatan seperti ini disebut perampasan aset secara in personam. Perampasan aset secara in personam terbukti seringkali menemui kendala, sehingga Jaksa tidak dapat secara cepat merampas aset tindak pidana. Salah satu kasus yang terbukti menimbulkan kerugian keuangan negara adalah kasus mantan Jaksa Pinangki Sirna Malasari dalam Putusan Nomor 38/Pid.Sus-TPK/2020/PN Jkt.Pst. Aset hasil kejahatan yang berhasil dirampas dari Pinangki Sirna Malasari tidak sebanding dengan jumlah aset yang berhasil ia peroleh dari tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Indonesia memerlukan pendekatan perampasan aset secara Non-Conviction Based Asset Forfeiture melalui pengesahan RUU Tentang Perampasan Aset Terkait Dengan Tindak Pidana menjadi Undang-Undang. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa RUU tersebut terbukti efektif jika digunakan sebagai dasar hukum dalam merampas aset hasil kejahatan dari Pinangki Sirna Malasari.

This research analyzes the comparison of the concept of asset confiscation regulated in positive law in Indonesia with the concept of asset confiscation according to the Draft Law on Confiscation of Assets Related to Criminal Acts, as well as the urgency of the instrument of asset confiscation without punishment or Non-Conviction Based Asset Forfeiture in Indonesia by conducting a study case regarding criminal acts of corruption and criminal acts of money laundering committed by Pinangki Sirna Malasari. This research was prepared using doctrinal research methods. Asset confiscation is a state coercive measure based on a court decision that has permanent legal force to take power and/or ownership of a criminal asset without punishing the perpetrator. The Asset Confiscation regime in Indonesia still emphasizes punishing criminals before they can confiscate the assets resulting from crime from the perpetrators, where this approach is called in personam asset confiscation. It has been proven that confiscation of assets in personam often encounters obstacles, so that prosecutors cannot quickly confiscate criminal assets. One of the cases proven to have caused state financial losses was the case of former Prosecutor Pinangki Sirna Malasari in Decision Number 38/Pid.Sus-TPK/2020/PN Jkt.Pst. The criminal assets that were confiscated from Pinangki Sirna Malasari were not comparable to the amount of assets he managed to obtain from criminal acts of corruption and money laundering. The results of this research indicate that Indonesia needs a Non-Conviction Based Asset Forfeiture approach to confiscation of assets through the ratification of the Bill Concerning Confiscation of Assets Related to Criminal Acts into law. This research also shows that the bill has proven effective if used as a legal basis for confiscating assets resulting from crime from Pinangki Sirna Malasari."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irma Sukardi
"Tesis ini membahas mekanisme Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana (Mutual Legal Assistance) dalam perampasan aset hasil tindak pidana korupsi di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006, Pelaksanaan serta Hambatan Dalam Pelaksanaan Bantuan Timbal Balik tersebut. Penelitian menggunakan metode yuridis normatif. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa perampasan aset hasil tindak pidana korupsi melalui Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana memiliki mekanisme yang sama dengan jenis Bantuan Timbal Balik lainnya. Pelaksanaan Bantuan belum maksimal karena ada hambatan baik internal maupun eksternal. Penelitian menyarankan agar pemerintah semakin aktif mengadakan perjanjian antar negara dan melakukan perbaikan Central Authority.

This thesis discusses the mechanism of Mutual Assistance in Criminal Matters (Mutual Legal Assistance) in the recovery of assets as results of corruption in Indonesia based on Law No. 1 of 2006, Implementation and Obstacles in the Implementation of the Mutual Assistance. Research using normative juridical methods. The study concluded that the assets obtained through corruption Mutual Assistance in Criminal Matters has a mechanism similar to other types of Mutual Assistance. Implementation Assistance is not maximized because there are both internal and external barriers. Research suggests that more active government entered into agreement and the Central Authority to make improvements."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T28578
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hangkoso Satrio W
"ABSTRAK
Perkembangan tindak pidana korupsi sekarang ini disertai dengan upaya-upaya
menyembunyikan aset hasil tindak pidana dengan menggunakan mekanisme
pencucian uang. Paradigma baru dalam memecahkan persoalan pemberantasan
tindak pidana korupsi adalah dengan menggunakan rezim anti pencucian uang
yang lebih memfokuskan pada perampasan aset hasil kejahatan, karena aset hasil
kejahatan merupakan darah yang menghidupi tindak pidana dan juga titik
terlemah dari rantai kejahatan yang paling mudah dideteksi. Perampasan aset di
dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi lebih sempit
jangkauannya dibandingkan dengan Undang-Undang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang lebih berfokus kepada asalusul
harta kekayaan yang diduga merupakan hasil tindak pidana. Oleh karena itu
untuk memaksimalkan perampasan aset di dalam tindak pidana korupsi lebih baik
juga disertakan ketentuan tindak pidana pencucian uang

ABSTRACT
In corruption case at this time is also followed by the effort to hide proceeds of
crime with money laundering mechanisms. The new paradigm to eradicate
corruption is by using anti-money laundering regime which focuses to confiscate
proceeds of crime, because of the proceeds of crime is a lifeblood of the crime
and also the weakest point of a chain of crime which most easily to be detected.
Asset forfeiture in eradication corruption act is narrower than prevention and
combating money laundering act which more focus in the origin of the asset that
suspected as proceeds of crime. Therefore to maximize the asset forfeiture in
corruption case would be better to use the money laundering law.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S43852
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Ismail Arif
"Penelitian ini mengkaji urgensi penerapan perampasan aset terhadap pejabat publik yang memiliki kekayaan yang tidak dapat dijelaskan (unexplained wealth) di Indonesia, dengan memperbandingkan mekanisme yang diterapkan di Australia dan Filipina. Penelitian ini menggunakan metode penelitian doktrinal dengan pendekatan undang-undang, historis, dan komparatif. Di Australia, perampasan aset dilakukan melalui mekanisme Unexplained Wealth Order (UWO), yang memungkinkan penyelidikan dan perampasan aset yang tidak dapat dibuktikan asal-usulnya. Filipina, melalui Republic Act No. 1379, juga memiliki mekanisme perampasan untuk aset yang dianggap tidak sah atau tidak sesuai dengan pendapatan pejabat publik. Kedua negara ini menunjukkan bahwa perampasan aset NCB dapat menjadi instrumen efektif dalam mencegah dan menanggulangi praktik pengumpulan kekayaan yang tidak sah oleh pejabat publik. Perbandingan ini memberikan pelajaran penting bagi Indonesia, yang masih menghadapi tantangan dalam menanggulangi praktik pengumpulan kekayaan tidak sah di kalangan pejabat publik. Penelitian ini merekomendasikan penerapan model Unexplained Wealth Order (UWO) yang disesuaikan dengan konteks sistem hukum Indonesia. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan solusi atas ketidakjelasan asal-usul kekayaan pejabat publik dengan mekanisme perampasan yang adil, efektif, transparan, dan akuntabel.

This research examines the urgency of implementing asset forfeiture against public officials with unexplained wealth in Indonesia, by comparing mechanisms applied in Australia and the Philippines. The research employs doctrinal research methods with a legislative, historical, and comparative approach. In Australia, asset forfeiture is carried out through the Unexplained Wealth Order (UWO) mechanism, which enables the investigation and forfeiture of assets whose origins cannot be proven. The Philippines, through Republic Act No. 1379, also has a forfeiture mechanism for assets deemed unexplained or unlawfully acquired asset of public officials. Both countries demonstrate that NCB asset forfeiture can be an effective instrument in preventing and addressing the accumulation of unexplained wealth by public officials. This comparison provides valuable lessons for Indonesia, which continues to face challenges in addressing the unlawful accumulation of wealth among public officials. This research recommends the adoption of the Unexplained Wealth Order (UWO) model, adapted to the context of Indonesia’s legal system. It is expected that this model can offer a solution to the ambiguity surrounding the origins of public officials' wealth through a fair, effective, transparent, and accountable forfeiture mechanism."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Letycia Minerva Pariela
"Korupsi merupakan masalah yang menjadi perhatian dari masyarakat internasional. Untuk menghadapi masalah tersebut, negara-negara di dunia kemudian membuat dan menandatangani perjanjian internasional yakni United Nation Convention Againts Corruptions UNCAC , dimana didalam UNCAC ini dikenal suatu konsep baru perampasan aset yang dikenal dengan Non-Conviction Based Asset Forfeiture yang memungkinkan negara untuk merampas aset hasil korupsi tanpa memidana pelaku korupsi tersebut. Akan tetapi bagaimana jika terdapat suatu kepentingan dari pihak lain terhadap aset tersebut, dalam hal ini kreditor. Dalam hal ini konsep Non-Conviction Based Asset Forfeiture ini dapat memberikan perlindungan kepada kreditor dalam bentuk pihak ketiga yang beritikad baik dan juga pemberian hak untuk mengajukan keberatan terhadap permohonan perampasan aset yang diajukan. Hal ini serupa dengan pengaturan tentang perlindungan bagi kreditor di Amerika, Australia dan juga Filipina.

Corruption is an issue of concern from the international community. To address these issues, the countries in the world then create and sign international treaties named United Nations Convention Against corruptions UNCAC . There is a new concept of assets forfeiture within UNCAC, known as Non Conviction Based Asset forfeiture which allows the state to seize assets resulting from corruption without convict perpetrators of corruption. But what if there is an interest of the other party to such assets, in this case the creditor. In this case the concept of Non Conviction Based Asset forfeiture is to provide protection to creditors in the form of third parties acting in good faith and also granting the right to raise objections against the petition filed confiscation of assets. This is similar to the setting of protection for creditors in the United States, Australia and the Philippines."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T46911
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andhesthi Rarasati
"Tesis ini membahas tentang upaya pemberantasan tindak pidana narkotika dengan pengenaan pasal pencucian uang terhadap pelaku tindak pidana dan dilakukannya perampasan pada aset hasil tindak pidana. Perampasan aset tidak mudah untuk diterapkan karena adanya berbagai kendala. Permasalahan hukum dalam tesis ini adalah cara menentukan suatu aset merupakan hasil dari tindak pidana narkotika sehingga dapat dilakukan perampasan, implementasi perampasan aset terhadap pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang yang berasal dari Tindak Pidana Narkotika, dan perlindungan terhadap hak asasi manusia dalam hubungannya dengan perampasan aset tanpa tuntutan pidana dalam Tindak Pidana Pencucian Uang yang berasal dari Tindak Pidana Narkotika. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dan analisis dilakukan secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penentuan aset sebagai hasil tindak pidana narkotika dilakukan dengan meneliti jaringan pelaku tindak pidana narkotika, penelusuran aset, dan pembalikan beban pembuktian. Implementasi perampasan aset terhadap pelaku dapat dilihat dari jumlah putusan yang mengenakan perampasan aset terhadap pelaku dan perlindungan hak asasi manusia terhadap perampasan aset tanpa tuntutan pidana dengan adanya hak atas peradilan yang adil, hak untuk memiliki waktu dan fasilitas yang cukup untuk mempersiapkan pembelaan, hak untuk melakukan upaya hukum banding atau kasasi serta hak atas properti.

This thesis discusses efforts to eradicate narcotics crime by imposing money laundering articles on criminal offenders and seizure of assets resulting from criminal acts. Implementation of asset forfeiture is not easy because of various obstacles. The legal problems in this thesis are how to determine an asset from narcotics crime, implementation of asset deprivation from narcotics crime and money laundering, and also human rights protection in NCB Asset Forfeiture concept. This research is a normative juridical research and qualitative analysis. The results are narcotic asset determination carried out by examining the narcotics criminal network theory, asset tracking, and reversal of the burden of proof. The implementation of asset forfeiture determines from the number of narcotics asset forfeiture in court decisions, and human rights protection in narcotics NCB Asset Forfeiture can be observed with the right to a fair trial, the right to have time and facilities to prepare a defense, the right to do appeal and property rights."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T53681
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>