Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 175 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Iwan Saktiadi
Abstrak :
Prevalensi sangat tingginya beban sosial akibat kecelakaan lalu lintas di tahun 2020 di negara-negara sedang berkembang memberi sinyal yang mengkhawatirkan bagi banyak pihak. WHO kemudian mengambil inisiatif untuk melakukan perbaikan terhadap keselamatan di jalan di tahun 2004. Butuh waktu 6 tahun bagi WHO untuk meminta PBB mengeluarkan resolusi mendesak negara-negara anggota untuk beraksi bagi keselamatan jalan selama satu dasawarsa sampai tahun 2020. WHO tidak sendiri dalam menyuarakan pentingnya keselamatan di jalan. Beberapa nama penting mencakup Global Road Safety Partnership, International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies, masyarakat transportasi nasional dan regional seperti European Transport Safety Council, TRL, NRSC, dan lainnya. WHO belajar dari pengalaman buruk yang pernah menimpa negara-negara di Amerika Utara dan Eropa di masa lalu, beberapa dasawarsa yang lalu. Untuk mengatasi masalah keselamatan di jalan, kebijakan dan aksi tidak bisa dilakukan seperti sekarang ini, apa adanya, dan secara parsial. Masalah keselamatan di jalan harus diselesaikan secara terintegrasi. Pernyataan ini merupakan tesis dalam laporan ini. Bila tidak dilakukan secara terpadu, alokasi sumber daya bisa menjadi tidak efisien dan tidak efektif. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah tersedianya data yang cukup tentang kecelakaan di jalan. Indonesia harus belajar dari Kamboja yang sudah berhasil mengimplementasikan RCVIS (Road Crash and Victim Information System) sejak tahun 2004. Di Indonesia, sebutan untuk RCVIS Kamboja adalah IRSMS-AIS. IRSMS-AIS sudah diimplementasikan oleh Korlantas belum lama ini, yakni sejak pertengahan tahun 2012. Setelah mempelajari dengan seksama berbagai laporan praktek keselamatan di jalan di Indonesia dan SOP bagi TPTKP kecelakaan lalu lintas di beberapa Polda, tulisan ini bisa menyimpulkan bahwa Korlantas Polri belum memiliki SOP untuk IRSMS, dan pada umumnya belum mengimplementasikannya secara massal di seluruh Polda. SOP yang ada pun tidak menyebutkan kebijakan dan tindakan yang harus dilakukan Korlantas dan/atau Ditlantas terhadap lokasi rawan kecelakaan, kecuali menerima apa adanya. ...... The alarming trends of increasing social burden caused by traffic accidents in developing countries by the year 2020 has led WHO to step forward to make improvements in road safety in 2004. It took 6 years for WHO to ask the UN to issue a resolution urging the state parties to take action for road safety in the coming decade. WHO was not alone in communicating the urgency of road safety. There are Global Road Safety Partnership, International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies, regional and national transport societies such as European Transport Safety Council, TRL, NRSC, and so on. WHO has learnt the worst experiences from the North America and European countries in the past, decades ago. To deal with the road safety issues, policies and actions can not be taken for granted and partially. Road safety issues must be addressed integrally. This is the thesis in this report. Otherwise, the resources could be allocated inefficiently and ineffectively. The first step that must be taken is that there must be sufficient data on traffic accidents. Indonesia must learn from Cambodia who has implemented successfully the RCVIS (Road Crash and Victim Information System) since 2004. Cambodian RCVIS is the Indonesian name for IRSMS-AIS that has been implemented by the Indonesian Traffic Police recently, that is since mid-2012. After studying road safety reports and learning SOPs for TPTKP of traffic accident (First Actions in Crash Scene) from several Poldas, it can be concluded that the ITP has not had the SOP for IRSMS, neither implementing it, yet in general and at all Poldas. Yet, the SOPs have not mentioned how to treat the blackspots, but taken it for granted.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lucky Meirina Wati
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2000
S19341
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rudi Suardi
Jakarta: PPM, 2001
658.562 RUD s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Anantaraman, Venkatraman
Singapore: McGraw-Hill, 1990
658.5 ANA s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Sri Indahwati
Abstrak :
Dengan adanya kemajuan dalam bidang teknologi seperti sekarang ini, maka akan banyak perusahaan yang harus mengadakan perubahan dalam proses produksi, misalnya mulai melakukan otomasi pabrik. Selain itu kemajuan di bidang komunikasi juga menuntut perusahaan untuk mengadakan perbaikan dalam proses produksi karena konsumen menjadi semakin cerewet dalam pemilihan produk. Perbaikan proses produksi ini tidak terlepas pula dan perbaikan sistem akuntansi biaya yang diterapkan untuk mengimbangi kemajuan teknologi tersebut. Pada saat ¡ni masih banyak perusahaan yang menggunakan sistem akuntansi biaya tradisional yaitu pembebanan biaya produksi berdasarkan fungsi. Yang dimaksud dengan sistem akuntansi biaya tradisional adatah suatu sistem yang membagi-bagi biaya yang terjadi selama proses produksi kedalam kelompok-kelompok biaya tenaga kerja Iangsung, biaya bahan baku Iangsung dan biaya penunjang produksi. Pembebanan biaya tenaga kerja Iangsung dan biaya bahan baku langsung dengan menggunakan sistem ini tidak menimbulkan permasalahan karena dapat ditelusuri secara langsung pada produk yang dihasilkan. Sebaliknya, pembebanan biaya penunjang produksi susah untuk ditelusuri secara Iangsung pada produk yang dihasilkan. Pada sistem akuntansi biaya tradisional, biaya penunjang produksi ini dibebankan kepada setiap unit dan setiap jenis produk dengan menggunakan dasar tenaga kerja Iangsung (baik dalam jumlah waktu maupun dalam rupiah) ataupun dengan menggunakan dasar bahan baku Iangsung. Pembebanan baya penunjang seperti ini dapat menimbulkan penyimpangan dalam pelaporan biaya karena banyak kegiatan yang dikategorikan sebagai kegiatan penunjang tidak berhubungan secara Iangsung dengan volume produksi. Akibatnya akan dihasilkan penilaian biaya yang Iebih kecil atau Iebih besar dan biaya produksi yang sebenarnya. Dengan pemberlakuan otomasi dalam proses produksi, peranan tenaga kerja langsung cenderung berkurang. Sebaliknya, biaya penunjang seperti biaya pemelihara an, biaya set-up dan lain-lain akan semakin besar (terutama dalam perusahaan yang menghasilkan berbagai macam produk). Oleh sebab itu, pembenahan dalam sistem akuntansi biaya harus segera dilakukan agar perusahaan dapat menentukan biaya produksi secara tepat, sehingga harga produk dapat ditentukan secara benar dan bersaing. Salah satu atematif untuk memperbaiki perhitungan biaya tersebut adalah dengan menggunakan sistem manajemen biaya berdasarkan aktivitas (Activity Based Costing/ABC) yaitu pembebanan biaya penunjang berdasarkan sumberdaya yang dikonsumsi oleh tiap kegiatan, bukan berdasarkan pengeluaran untuk seluruh kegiatan. Sistem ABC ini memperhitungkan pembebanan biaya penunjang dengan memperhatikan kegiatan yang menjadi pemacu timbulnya biaya (cost driver) seperti waktu pemeriksaan (inspection time), waktu set-up dan lain-lain. Kemudian hanya biaya biaya tersebut dibebankan pada setiap unit untuk setiap jenis produk. Dengan demikian, akan dapat diperoleh informasi biaya produksi secara lebih akurat sehingga manajemen dapat menentukan harga produknya dengan lebih tepat. Selain itu manajemen biaya ini juga dapat memberikan informasi mengenai kombinasi produk yang harus dihasilkan dan juga informasi yang Iebih relevan untuk pengambilan keputusan oleh pìhak manajemen. PT XYZ yang bergerak dalam industri kaca, tentu tidak terlepas dari persaingan lingkungan usaha yang semakin tajam, baik secara domestik maupun global. OIeh sebab itu, pada tulisan kali ini akan dicoba untuk menelaah sistem akuntansi biaya yang sekarang digunakan dan berusaha memperbaikinya agar diperoleh informasi yang akurat dari sistem yang baru tersebut. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap sistem akuntansi biaya pada PT XYZ didapati adanya distorsi pelaporan biaya produk, atau biaya produk yang dilaporkan tidak sesuai dengan biaya yang sebenarnya teijadi. Biaya produk untuk kaca bevel dìlaporkan terlatu mahal bila dibandingkan dengan biaya yang sebenarnya terjadi, sedangkan bìaya untuk kaca tempered terlalu rendah dari biaya yang benar-benar terjadi. Dengan adanya distorsi dalam pelaporan biaya produk dapat menyebabkan terjadinya kesalahan dalam penentuan harga jual produk, dimana harga jual untuk kaca bevel akan Iebih mahal dari harga kaca tempered. Pada saat sekarang, pengaruh dan laporan yang terdistorsi tersebut belum mempunyai dampak yang besar dan belum disadari oleh manajemen, karena berdasarkan laporan keuangan yang dibuat, perusahaan masih mendapatkan keuntungan yang memadai. Hal ini dapat terjadi karena adanya subsidi silang antar produk, dalam hal ini adalah antara kaca bevel dengan kaca tempered sehingga seolah-olah tidak ada masalah dengan penentuan harga yang dilakukan sekarang. Tetapi bila keadaan ¡ni dibiarkan terus, tentu dapat menyebabkan menurunkannya laba perusahaan serta lama kehiangan daya saing terhadap perusahaan lain. Kesalahan dalam bïaya produk yang dilaporkan terjadi karena dalam perhitungan hanya menggunakan dasar alokasi yang bersifat unit-level, yaltu volume produk, sedangkan aktivitas produksi pada perusahaan ini lebìh banyak bersifat batch-level seperti set-up mesin dan lain-lain. OIeh sebab itu, agar perusahaan tetap menentukan harga jual yang akurat dan bersaing, tentu harus mulai membenahi diri dan mungkin langkah pertama yang dapat dilakukan adalah dengan memperbaiki cara perhitungan biaya produk yang digunakan.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Hadi HS
Abstrak :
ABSTRAK
Mutu produk baik industri jasa maupun industri manufaktur merupakan salah satu kriteria pengukuran kinerja suatu industri tersebut. Dalam era industrialisasi, pengendalian mutu menjadi semakin penting, terutama setelah adanya kebijakan dan banyaknya seminar-seminar tentang Gugus Kendali Mutu dan Pengendalian Mutu Terpadu yang makin digalakkan oleh pemerintah akhir-akhir ini.

Gugus Kendali Mutu (GKM) dan Pengendalian mutu terpadu (PMT) adalah sistem manajemen yang mengikut sertakan seluruh karyawan pada suatu perusahaan untuk mencapai kepuasan pelanggan. Dengan segala kegiatan yang dilakukan di perusahaan diarahkan untuk kepuasan pelanggan.

Pada kesempatan peresmian kerja sama GKM?PMT antar BUMN Departemen Pekerjaan Umum yang diselenggarakan pada tanggal 29 November 1990, PT Jasa Marga (Persero) menampilkan sebuah Gugus Kendali Mutu dengan tema : Pelayanan Gardu Cepat. Hasil GKM tersebut kini telah diterapkan pada Cabang-Cabang yang volume lalu lintasnya besar diseluruh Indonesia.

PT Jasa Marga (Persero) yang bergerak dibidang Industri Jasa dan bukan industri manufaktur, maka penerapan GKM dan PMT dirasakan kurang lancar seperti apa yang diharapkan. Hal ini disebabkan oleh salah satu kekhasan sektor jasa itu sendiri yaitu mutu jasa sangat dipengaruhi faktor kemanusiaan, maka erat kaitannya dengan tingkah laku individu pemberi jasa tersebut.

Gugus Kendall Mutu dan Pengendalian Mutu Terpadu menuntut ide?ide yang baru tanpa henti-hentinya dan kreativitas yang timbul dari tenaga keria di bagian operasionial. Pada sisi lain sistem Merit merupakan salah satu alat untuk menimbulkan dan mendorong motivasi kerja pegawai dalam bentuk pemberian irnbal jasa sesuai dengan prestasi yang dikorelasikan dengan performansi pegawai ybs. Jadi dengan Sistem Merit yang sesuai, akan mendorong kreativitas dan membantu menemukan ide?ide yang baru tanpa henti?hentinya.

Upaya perusahaan dalam melaksanakan sistem merit pada tahun 1991 secara sederhana dengan mengaitkan besarnya tunjangan (transport dan uang makan) dengan jumlah kehadiran pegawai ybs, membuahkan hasil yang positif, sehingga pada tahun 1992 sistim ini akan diimplementasjkan secara penuh, dengan harapan ikiim kenia yang sehat, dinamis dan kompetitip, ?reward and punishment? secara efektif dapat dilaksanakan guna menunjang manajemen perusahaan secara lebih profesional.

Sebagai konsekwensi sistim ini akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas dan produktivitas, Juga akan mendorong profesionalisme pegawai khususnya pada level?level manajer menengah yang dalam pelaksanaan tugas?tugasnya memerlukan daya inovasi yang tinggi.

Keterlibatan sumber daya manusia menjadi sangat penting dalam pengendalian mutu terpadu, dimana para karyawan tidak hanya bekerja secan fisik untuk berkarya, akan tetapi juga dituntut untuk menyumbangkan pemikirannya demi peningkatan dirinya sendiri dan perusahaan. Sejalan dengan misi perusahaan bahwa pemerataan pembangunan,fungsi perusahaan adalah mengembangkan, memelihara dan mengoperasikan jalan tol. Serta tujuan operasional perusahaan adalah pemupukan keuntungan, maka pola ?Training and Development? di PT Jasa Marga (Persero) ditekankan untuk mengatasi kebutuhan jangka pendek, sudah tepat yaitu memenuhi keterampilan yang diperlukan saat ini. Antisipasi kebutuhan keterampilan untuk masa depan melalui pengembangan karyawan dalam proses persiapan akhir? akhir ini.

Guna memformulasikan sistim merit yang akan diimplementasikan secara penuh dan dengan upaya terus menerus, Tim GKM-PMT yang telah dibentuk perusahaan berusaha keras dengan cara pendekatan dan menggalakkan GKM di Tingkat Operasional (Cabang?cabang) PT Jasa Marga (Persero) seluruh Indonesia, sehingga ?Sistem Merit? dan penerapan GKM-PMT PT Jasa Marga (Persero) seluruh Indonesia yang diselenggarakan pada tanggal 24?25 Pebruari 1992, dirasakan manfaatnya.

Pengalaman nyata tersebut menunjukkan bahwa peranan Sistem Merit bermanfaat dalam meningkatkan manajemen kualitas perusahaan dan sejalan dengan jiwa Sistem Merit yang Iebih menekankan pada kualitas kerja karyawan dibanding dengan kuantitas kerja.
1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sihotang, Fiantonius
Abstrak :
Pembahsan yang dilakukan dalam karya tulis ini terlebih dahulu menganalisis perusahaan dengan menggunakan analisis misi, visi, tata nilai perusahaan, analisis lingkungan (enviromental scanning), analisis SWOT, kemudian merancang Balanced scorecard. Dalam merancang Balanced scorecard yang dilakukan adalah menentukan Strategic objectives, kemudian membuat strategy map yaitu keterkaitan antar objectives didilanjutkan dengan menentukan ukuran (measurement). Untuk mencapai pengukuran yg telah ditentuakn dibuat rencana program kerja dan initiatives.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2007
T23806
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2002
S26382
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tambunan, Ita Aryanti
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
S9745
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>