Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Aimee Dawis
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010
305.859 8 AIM o (2)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Michelle Ladykia Naftali
Abstrak :
Penelitian ini membahas tentang etnis Tionghoa dan dinamikanya dalam kesuksesan bulu tangkis Indonesia pada tahun 1966 - 1998. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan bagaimana etnis Tionghoa dari berbagai bidang dan dinamikanya dalam kesuksesan bulu tangkis Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan sejarah. Dalam pengumpulan data akan menggunakan teknik studi pustaka dan wawancara. Kesimpulan dari penelitian ini adalah sekalipun di tengah dinamika sosial dan politik pada masa Orde Baru (1966-1998) yang diskriminatif seperti kewajiban memiliki SBKRI dan adanya kekerasan rasial, tetapi etnis Tionghoa dari berbagai bidang tetap melakukan aperannya masing-masing dalam kesuksesan bulu tangkis Indonesia sebagai bentuk rasa nasionalisme untuk menanggapi keadaan yang dialami tersebut. Hal ini dapat diperhatikan dari berbagai bidang, mulai dari atlet yang mengharumkan nama Indonesia di dunia melalui perjuangan prestasi sebagai bentuk menunjukkan identitas nasional, pelatih yang berjuang melatih guna menghasilkan atlet yang berprestasi, organisator yang rela bergerak di bidang politik organisasi bulutangkis demi kepentingan Indonesia, hingga sebagai pengusaha membantu pembinaan bulu tangkis Indonesia melalui pendanaan. Lalu, kesuksesan bulutangkis Indonesia ini berdampak positif terhadap respon yang diberikan oleh masyarakat dan pemerintah Indonesia yaitu berupa dukungan, sambutan, dan apresiasi yang tinggi kepada para kontingen bulutangkis Indonesia.
This study discusses the Chinese ethnicity and its dynamics in the success of Indonesian badminton in 1966 - 1998. The purpose of this study is to explain how the ethnic Chinese from various fields and their dynamics in the success of Indonesian badminton. The method used in this research is a qualitative research method with a historical approach. In data collection will use literature study and interview techniques. The conclusion of this research is that even in the midst of discriminatory social and political dynamics during the New Order (1966-1998) such as the obligation to have an SBKRI and the existence of racial violence, ethnic Chinese from various fields still carry out their respective roles in the success of Indonesian badminton as a form of a sense of nationalism to respond to the circumstances experienced. This can be observed from various fields, start from athletes who makes Indonesia’s name fame in the world through achievement struggles as a form of showing national identity, coaches who struggle to train to produce outstanding athletes, committee who are willing to engage in badminton organization politics for the sake of Indonesia, entrepreneurs assisting the development of Indonesian badminton through funding. Then, the success of Indonesian badminton has a positive impact on the response given by the Indonesian people and government, namely in the form of support, welcome, and high appreciation for the Indonesian badminton contingent.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sylvie Tanaga
Abstrak :
ABSTRAK
Tesis ini membahas strategi komunikasi antar budaya yang diterapkan sepuluh tokoh Tionghoa Indonesia dalam kultur yang diskriminatif. Sepuluh tokoh tersebut adalah Anton Wardaya, Didik Nini Thowok, Lie Augustinus Dharmawan, Margareta Astaman, Melani Budianta, Susan Meilani Bachtiar, Tan Joe Hok, Yohanes Juang, Yolla Bernanda, dan Yosep Stanley Adi Prasetyo. Penelitian ini menggunakan teori Co-Cultural Mark Orbe dengan strategi Interpretative Phenomenological Analysis. Hasil penelitian ini menemukan penerapan yang dominan pada orientasi akomodasi, yaitu upaya para informan menjalin interaksi yang harmonis dengan kelompok dominan namun pada saat bersamaan tidak ingin menghilangkan identitasnya sebagai Tionghoa Indonesia. Juga terungkap bahwa nonassertive assimilation diterapkan para informan sebagai upaya menyesuaikan diri agar diterima oleh kelompok budaya dominan. Para informan tidak hanya berhasil berinteraksi di tengah kultur diskriminatif tapi juga menjadi tokoh yang kontribusinya diakui masyarakat lintas etnis, bahkan dunia.
ABSTRACT
This thesis discusses minority communication typology by 10 Chinese Indonesian figures in a discriminatory environment. The 10 Chinese Indonesian figures in this research are Anton Wardaya, Didik Nini Thowok, Lie Augustinus Dharmawan, Margareta Astaman, Melani Budianta, Susan Bachtiar, Tan Joe Hok, Yohanes Juang, Yolla Bernanda, and Yosep Stanley Adi Prasetyo. The research employs Mark Orbe?s Co-Cultural theory and using Interpretative Phenomenological Analysis as its strategy. The results of this study show that accommodation is often used as the main strategy. The informants establish harmonious interactions with the dominant group, but at the same time do not want to eliminate their identities as Chinese Indonesians. All informants also apply a nonassertive assimilation typology in adjusting to be accepted by the dominant cultural groups. Not only were they able to interact successfully amidst discrimination, the informants were also able to become leaders whose contributions received inter-ethnic, even international recognition
2016
T46617
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Destinia Natalira Arisandi
Abstrak :
Pendidikan merupakan hak setiap orang, termasuk anak-anak keturunan Tionghoa. Namun, pada masa pemerintah kolonial Hindia Belanda di Indonesia, orang Tionghoa yang saat itu berstatus sebagai Middlemen minority harus memperjuangkan pendidikannya. Ketika politik etis diberlakukan, pendidikan berfokus pada pribumi. Berangkat dari permasalahan tersebut, dirumuskan tiga pertanyaan, yaitu 1.Jenis sekolah apa saja yang diikuti oleh anak-anak Tionghoa pada zaman kolonialisme Belanda di Indonesia? 2. Mata pelajaran apa saja dengan bahasa pengantar apa yang digunakan di sekolah-sekolah tersebut? 3. Anak-anak keturunan Tionghoa golongan apa saja yang dapat mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah tersebut? Penelitian metode kualitatif dengan sumber data berupa buku dan artikel, baik luring maupun daring. Dalam penelitian ini didapati bahwa pendidikan anak-anak Tionghoa pada zaman pemerintah kolonial di Hindia Belanda dapat dibagi menjadi dua, yaitu sekolah yang diselenggarakan rakyat seperti sekolah THHK dan sekolah yang diselenggarakan pemerintah kolonial Hindia Belanda seperti ELS, HIS, dan HCS. Setiap sekolah memiliki kurikulum dan syarat masuk yang berbeda. Hal ini mempengaruhi pemilihan sekolah Tionghoa Totok dan Peranakan Kata kunci: pendidikan; Tionghoa;Indonesia; pemerintah Kolonial Hindia Belanda ......Everyone has the right of to education. Chinese descent children whose status were Middlemen minority had to fight for their education during Dutch East Indies era. The education in ethical policy was only focused on the indigenous people. Through the particular problem, there are three questions formulated, 1. What kind of school did the Chinese children attend during Dutch East Indies era? 2. What kind of subject and what language used in those particular schools? 3. What kind of group of Chinese descent children who could attend those particular schools? This research uses qualitative method. The data resources are obtained from both online or offline sources, such as books and articles. The result of this research shows Chinese children during Dutch East Indies era were divided into two categories: the school run by the society, such as THHK school and the schools run by Dutch East Indies government, such as ELS, HIS and HCS. Every school has different curriculum and requirements. The differences affect Totok Chinese and Peranakan Chinese’s preference on education. Keywords: education; Chinese; Indonesia; Dutch East Indies era
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2020
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Luli Lusdiana Awaliah
Abstrak :
Tugas akhir ini membahas tentang peran organisasi Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia dalam mempertahankan kebudayaan Tionghoa di Kota Sukabumi pada tahun 2008-2019. PSMTI cabang Kota Sukabumi didirikan pada tahun 2008 oleh Robert Charly. Berdirinya PSMTI di Kota Sukabumi memiliki tujuan untuk menginventarisasi budaya Tionghoa di Indonesia. Hal ini dilakukan karena masyarakat Etnis Tionghoa di Kota Sukabumi masih memiliki rasa khawatir yang berlebih ketika menunjukan identitasnya sebagai etnis Tionghoa. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan bagaimana upaya-upaya yang dilakukan oleh PSMTI dalam mempertahankan kebudayaan masyarakat Tionghoa di Kota Sukabumi. Pada penelitian ini digunakan metode penelitian sejarah yang terdiri dari empat tahapan, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa upaya yang dilakukan oleh PSMTI Kota Sukabumi dalam mempertahankan budaya Tionghoa berdampak pada kembalinya tiga pilar kebudayaan Tionghoa yang sebelumnya dilarang. Selain itu, rasa khawatir yang berlebih dari masyarakat Etnis Tionghoa di Kota Sukabumi berangsur pulih, sehingga mereka berani untuk memperlihatkan kembali identitasnya sebagai Etnis Tionghoa. Adapun upaya tersebut dilakukan dengan cara pembentukan Federasi Olahraga Barongsai Indonesia (FOBI) cabang Sukabumi, membuka kursus bahasa mandarin secara gratis bagi masyarakat Kota Sukabumi, memeriahkan kembali perayaan hari besar masyarakat Tionghoa, dan pembangunan Anjungan Taman Tionghoa Sukabumi di TMII. ......This final project discusses the role of the Indonesian Chinese Clan Social Organization in maintaining Chinese culture in Sukabumi City from 2008 to 2019. PSMTI in Sukabumi City branch was founded in 2008 by Robert Charly. PSMTI has goal as to take an inventory of Chinese culture in Indonesia. This activity was carried out because the Chinese community in Sukabumi City still had an inflated sense of worry when they showed their identity as Chinese ethnic. Therefore, this research intends to describe the efforts made by PSMTI to maintain the culture of the Chinese community in Sukabumi City. The research uses historical researchmethods, which consist of four stages: heuristics, source criticism, interpretation, and historiography. The results of this research indicate that the efforts made by PSMTI Sukabumi City in maintaining Chinese culture impact the return of the three pillars of Chinese culture, which the New Order government previously prohibited. In addition, the excessive anxiety of the ethnic Chinese in Sukabumi gradually recovered, so they dared to show their identity as ethnic Chinese again. These efforts were carried out by establishing the Sukabumi branch of the Indonesian Barongsai Sports Federation (FOBI), opening a free Mandarin language course for the people of Sukabumi City, enlivening the Chinese community's celebration day, and building the Sukabumi Chinese Pavilion Park around the complex located at TMII.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Johanes Herlijanto
Abstrak :
Meskipun orang-orang Tionghoa seringkali digambarkan sebagai entitas tunggal yang bersifat statis, namun pengamatan-pengamatan yang dilakukan terhadap tingkah laku mereka justru menghasilkan kesimpulan yang sebaliknya. Serangkaian penelitian terhadap orang-orang Tionghoa yang menyebar di berbagai negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, memperlihatkan bahwa mereka temyata bukan hanya beragam namun juga memiliki potensi untuk beradaptasi, berubah dan mengusahakan suatu perubahan. Berdasarkan pemahaman semacam itu pulalah, maka ketika akhir-akhir ini orang-orang Tionghoa di Indonesia (atau lebih tepatnya, orang-orang Indonesia keturunan Tionghoa) membangun suatu gerakan sosial untuk melawan berbagai diskriminasi yang mereka alami, usaha untuk menguak kembali keberagaman identitas, pandangan, dan pola dalam gerakan ini akan memiliki daya tahan tersendiri. Usaha inilah yang dilakukan di dalam penelitian ini. Pemaharnan terhadap suatu gerakan sosial seyogyanya dimulai dengan sebuah upaya penelusuran kembali hal-hal yang menjadi dasar dari berbagai keresahan dan ketidakpuasan yang memunculkannya. Dan mengingat gerakan orang Tionghoa ini mengusung tema diskriminasi, maka patutlah 'dicurigai' bahwa dicriminate inflate yang menjadi basis dari merebaknya ketidakpuasan mereka. Kecurigaan ini semakin menguat ketika penelusuran sejarah melalui berbagai literatur yang ada memperliharkan bahwa orang-orang Tionghoa pun menjadi korban dari sistem yang diskriminatif yang dibangun oleh pemerintahan kolonial Belanda dan yang dikembangkan secara lebih sistematis semasa tiga dasawarsa pemerintahan Orde Baru (Orba). Dalam kurun waktu itulah, hak hak sosial, politik, dan budaya orang Tionghoa dicukur habis dan dikurung di balik tembok-tembok rumah mereka, berbagai peraturan yang oleh seorang tokoh Tionghoa digolongkan sebagai sebuah cultural genocide. Diskriminasi dalam bidang sosial, politik dan budaya inilah yang agakmya mendasari munculnya gerakan sosial ini, sebuah gerakan yang bukan berbasis kepentingan kelas ataupun ekonomi. Namun keresahan dan ketidakpuasan ini barulah berkembang menjadi perlawanan setelah situasi yang kondusif tercipta. Situasi ini adalah berakhirnya Perang Dingin menyusul bubarnya negara Uni Sovyet, perkembangan situasi pasca Peristiwa Mei, Berita berakhirnya pemerintahan Orba. Selain itu, adanya jaringan yang telah Iama berkembang, yaitu jaringan gerakan pro-demokrasi dan jaringan tradisional Tionghoa yang berlandaskan pun turut mendukung penyebaran gerakan ini. Yang menarik untuk diperhatikan adalah bahwa gerakan yang dihasilkan oleh ketidakpuasan di atas ternyata tidak seragam. Ada orang-orang Tionghoa yang memahami masalah diskriminasi ini sebagai masalah bagi etnik Tionghoa dan mengharapkan penyelesaian melalui penghidupan kembali identitas dan budaya Tionghoa. Kelompok ini tampaknya dapat dikategorikan sebagai kelompok yang berorientasi lebih banyak ke dalam dan sangat rentan terhadap pengaruh etnosentrisme. Namun ada pula sekelompok orang Tionghoa yang menganggap masalah diskriminasi ini semata-mata sebagai salah satu kasus dari intervensi negara yang berlebihan, dan oleh sebab itu upaya penyelesaiannya harus dilakukan dalam kerangka yang lebih luas : hengkangnya negara dari wilayah-wilayah sipil dan pembentukan civil society yang kuat, yang merupakan akar dari suatu masyarakat yang demokratis. Kelompok ini tampaknya lebih tepat dikategorikan sebagai kelompok yang berorientasi keluar. Perbedaan pandangan di antara kelompok-kelompok ini pada gilirannya menghasilkan berbagai variasi pula pada pola-pola gerakan yang mereka kembangkan yang menyebabkan gerakan ini dipenuhi dengan keberagaman. Dengan demikian, fenomena gerakan sosial ini sekali lagi memperkuat pemahaman yang ditampilan pada awal tulisan ini, yaitu bahwa masyarakat Tionghoa adalah masyarakat yang beragam.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T2317
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fransisca M. Yuniarti
Abstrak :
Didorong oleh rasa tertarik akan adanya pergerakan dari masyarakat peranakazn Tionghoa di Jawa sejak awal abad 20, maka penulis telah memutuskan untuk memilih Partai Tionghoa Indo_nesia 1932-1942 sebagai topik dari penulisan Skripsi ini. Penulis merasa terkesan akan perjuangan yang dilakukan oleh masyarakat peranakan Tionghoa khususnya yang ada di Surabaya, yang dengan sadar mau berjuang bersama-sama dengan kaum nasionalis Indonesia dalam perjuangan mencapai Indonesia merdeka. Alasan lain adalah oleh kaaena Partai Tionghoa Indonesia merupakan satu-satunya partai Tionghoa yang paling banyak men_dapat simpati dari kaum nasionalis 1ncionesia pada waktu itu. Dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, penulis meng_gunakan metode penelitian buku-buku (Research Library) yang mencakup penelitian surat-surat kabar di berbagai perpustakaan. Adapun sifat penulisan skripsi ini disusun secara deskriptif analitis dan masih merupakan suatu tahapan awal dari suatu studi Sejarah, khususnya Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia. Oleh karena itu nudah-mudahan skripsi ini masih dapat dikembangkan lebih luas lagi. Da1am penulisan ini, penulis banyak mempergunakan data _
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1983
S12317
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Rosyana Lieyanty
Abstrak :
Keluarga etnis Tionghoa-Indonesia merupakan salah satu etnis di Indonesia yang mengalami sejarah panjang di dalam menghadapi tantangan etnis dan menunjukkan adanya kemampuan di dalam beradaptasi secara positif yang dikenal sebagai resiliensi keluarga. Literature review menunjukkan bahwa family ethnic-racial socialization berpengaruh pada resiliensi keluarga. Akan tetapi, masih ditemukan kesenjangan penelitian antara hubungan kedua variabel tersebut dan dibutuhkan peranan positive ethnic identity sebagai mediator untuk membuat hubungan ini menjadi signifikan. Partisipan terdiri dari 338 individu yang terbagi dalam kelompok generasi Y dan Z. Desain studi di dalam penelitian ialah cross- sectional dengan metode convenience sampling. Alat ukur yang digunakan ialah Walsh Family Resilience Questionnaire, Asian American Parental Racial-Ethnic Socialization, dan Multidimensional Inventory of Black Identity yang diadaptasi ke dalam konteks Etnis Tionghoa-Indonesia. Hasil menunjukkan bahwa family ethnic-racial socialization memengaruhi resiliensi keluarga secara langsung maupun tidak langsung melalui mediasi positive ethnic identity pada kelompok generasi Z dan mediasi total pada kelompok generasi Y. ......The Chinese-Indonesian Ethnic families is one of the ethnic groups in Indonesia that has experienced a long history of facing ethnic challenges and has demonstrated the ability to adapt positively, that known as family resilience. Literature review shows that family ethnic-racial socialization has an effect on family resilience. However, research gap is still found between the two variables and positive ethnic identity role is needed as a mediator to make this relationship significant. Participants in this research consist of 338 individuals who were divided into two groups of generation Y and Z. Study design in this research was cross-sectional with convenience sampling method. The measuring tools used were Walsh Family Resilience Questionnaire, Asian American Parental Racial-Ethnic Socialization, and Multi-dimensional Inventory of Black Identity that adapted into Chinese-Indonesian Context. Result shows that family ethnic-racial socialization affects family resilience direct or directly through positive ethnic identity in the generation Z group and total mediation in the generation Y group.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library