Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 28 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rizki Marman Saputra
Abstrak :
Deklarasi Djuanda pada tanggal 13 Desember 1957 dan berlakunya UNCLOS 1982 telah mempengaruhi penggunaan laut untuk kepentingan ekonomi dan pertahanan Indonesia, termasuk penerapan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan landas kontinen Indonesia. Di satu sisi, UNCLOS 1982 memberikan manfaat bagi pembangunan nasional yang meningkatkan luas wilayah yurisdiksi nasional. Ini berarti bahwa Indonesia dapat mengambil keuntungan di ZEE dan landas kontinen. Di sisi lain juga meningkatkan kerentanan karena wilayah yang semakin luas. Teori Seapower tentang karakteristik kekuatan negara maritim dalam penelitian ini digunakan untuk menganalisis kegagalan Indonesia menjadi negara maritim. Penelitian ini dibagi menjadi dua aspek, aspek fisik dan aspek kebijakan. Menurut Alfred T. Mahan bahwa ada enam karakteristik kekuatan negara maritim, yaitu geografi, posisi wilayah, jumlah dan karakter penduduk, karakter nasional dan karakter pemerintah. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Indonesia gagal menjadi negara maritim, karena minimnya sumber pendukung dari Seapower yaitu minimnya armada niaga, kekuatan angkatan laut, serta pangkalan dan pelabuhan, dan lemahnya kebijakan maritim Indonesia. ......The Declaration of Djuanda on December 13th 1957 and the entry into force of UNCLOS in 1982 have influenced the use of the sea for economic and defense interests of Indonesia, including the application of Exclusive Economic Zone (EEZ) and the continental shelf of Indonesia. On one hand, the 1982 UNCLOS provides benefits for national development which increases the extent of national jurisdiction. This also means that Indonesia can take advantages in the ZEE and the continental shelf. On the other hand it also increases vulnerability because of the vast marine area. The Seapower theory about the characteristics of maritime power in this study is used to examine and analyze the failure of Indonesia as a maritime state. The study is divided into two aspects, the physical aspects and the aspects on policy. According to Alfred T. Mahan, there are six characteristics of maritime state. They are geography, position of the region, number and character of population, national character and character of the government. This study concludes that Indonesia has failed to become maritime state, due to the lack of supporting power as Seapower factors such as the limitation of trade shipping, the limited force of the navy, the limitation of bases and sea ports, and the weakness of Indonesian maritime policy.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
T41492
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siahaan, Anthony Darmawan Mulya
Abstrak :
Tesis ini membahas mengenai pengaturan Rezim Hukum Negara Kepulauan Menurut Konvensi Hukum Laut 1982 dan implementasinya dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, tantangan dan hambatannya. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan kajian normatif. Penelitian ini akan difokuskan pada pembahasan ketentuan-ketentuan yang menyangkut implementasi rezim negara kepulauan dalam peraturan perundang-undangan nasional Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Indonesia telah memiliki peraturan perundang-undangan yang sesuai secara keseluruhan dengan Konvensi Hukum Laut 1982. Meskipun demikian, beberapa ketentuan dalam peraturan perundang-undangan tersebut masih ada yang belum sesuai dengan ketentuan-ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982, sehingga perlu direvisi. disamping itu perlu pengaturan hak hak dan kewajiban kapal perang, kapal pemerintah asing yang dioperasikan untuk tujuan komersial (niaga) dan tujuan bukan komersial ke dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Lebih lanjut Pembangunan bidang hukum rezim hukum negara kepulauan Indonesia hendaknya merupakan upaya untuk mengintegrasikan kebijakan-kebijakan di bidang pertahanan dan keamanan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam laut, khususnya sumber daya ikan, penelitian ilmiah dan alih teknologi kelautan. ......This thesis is reviewing Archipelagic States Regime of the 1982 United Nations Convention on the Law of the Sea and Its Implementation in Indonesia. This research uses a qualitative approach with normative methodology. The outcome of this research shows that he results of this study indicate that Indonesia has had legislation in accordance with the overall 1982 Law of the Sea Convention. However, some provisions in the legislation have not deal the provisions of Convention on Law of the Sea 1982, so it needs to be revised. besides that necessary arrangements rights and obligations of warships, foreign governments operated for commercial purposes (commercial) and non-commercial purposes in the legislation Indonesia. Further development of the legal regime of the Indonesian archipelagic state should be an effort to integrate policies on defense and security, management and utilization of marine resources, especially fish resources, scientific research and transfer of marine technology.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andreas Aditya Salim
Abstrak :
ABSTRAK
President Joko Widodo has a clear vision & mission to transform Indonesia to be a maritime axis. He firmly reaffirm that Indonesia is a strong maritime country and its people should enjoy the great benefits from its sea resources. Fisheries is one of the biggest marine living resources that significantly contribute economic benefits to Indonesian people. Nonetheless, the flaws on the laws has created is advantage to Indonesian people, in particular, fisherman. The genuine link obligation under article 91 UNCLOS is intend to ensure a fishing vessel is socially and economically attached to its owner, so that its utilization will bring profits. Ironically, ship registration system under the government regulation number 51 year 2002(GR 51/2002) on shipping give a space for a false document being used in ship registration process. It creates a condition where a foreign fishing vessel owners can operateits vessel in Indonesian waters, under the name of Indonesian people or company, eventhough the transfer of ownership is not done. The result is, the utilization of the vessel is for the greatest benefit of the real owner and not for the Indonesian people. Indonesian government should revise the GR 51/2002 to protect the interest of its people.
Jakarta: Universitas Indonesia, 2016
340 UI-JURIS 6:1 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ratnaningrum
Abstrak :
Tesis ini membahas penyelesaian sengketa wilayah antara Indonesia dan Malaysia terhadap Pulau Sipadan dan Ligitan melalui International Court of Justice (ICJ). Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pemaparan secara deskriptif. Hasil penelitian menyatakan bahwa Malaysia dapat memiliki Pulau Sipadan dan Ligitan setelah melalui proses perundingan antara Indonesia dan Malaysia melalui International Court of Justice (ICJ) berdasarkan keberadaannya sebagai pemilik (effectivities). ......The focus of this study is dispute settlement of Sipadan and ligitan island between Indonesia and Malaysia at International Court of Justice (ICJ). This research is qualitative interpretative. The result of this study shows Malaysia had full authority of Sipadan and Ligitan island after the processed of negotiation between Indonesia and Malaysia at International Court of Justice (ICJ) based on effectivities.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2010
T27319
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Luisa Thamara
Abstrak :
ABSTRAK
Areas beyond national jurisdiction ABNJ adalah sebuah konsep terkait sebuah kawasan yang telah diakui secara universal. Konsep ini pun telah menjadi topik pembahasan pada masyarakat internasional semenjak tahun 2004 karena kawasan ini mencakup 64 laut yang mengandung ekosistem yang kaya akan biodiversitas yang berharga. Pada waktu UNCLOS masih dalam tahap perancangan, aktivitas eksplorasi dan eksploitasi di ABNJ merupakan sebuah tantangan pada sasat itu. Sehingga UNCLOS pun tidak mengandung ketentuan terkait aktivitas di ABNJ meskipun pengetahuan dan teknologi manusia telah berkembang pesat. Melihat hal ini, pembentukan sebuah peraturan pelaksana yang berdasarkan UNCLOS adalah sebuah urgensi, khususnya yang mengatur pemanfaatan ABNJ secara berkelanjutan agar biodiversitas yang ada di ABNJ terjaga secara berhati-hati dan sebaik-baiknya. Mengingat prinsip-prinsip, peraturan dan institusi yang sudah ada dan diberlakukan di ABNJ, maka sangat direkomendasikan untuk peraturan pelaksana yang hendak di rancang tidak mengandung ketentuan yang tumpang tindih dan dapat mengembangkan lebih jauh peran institusi yang ada. Sebagai negara yang memiliki kepentingan di ABNJ, penting untuk Indonesia dalam berperan pada proses perancangan rezim baru ini. Sehingga perlu untuk dikaji lebih jauh mengenai sejauh apa langkah yang dapat dilaksanakan oleh Indonesia baik di laut bebas dan the area.
ABSTRACT
Areas beyond national jurisdiction ABNJ is a concept of an area that has been universally acknowledged. It has become topic within the international community since 2004 because it contains 64 of of the ocean consisting ecosystem with rich and valuable biodiversities to mankind. Referring to the establishment of UNCLOS, the exploration and exploitation within ABNJ was a challenge at the time. Therefore, the UNCLOS seemed to be lacking in regulatory and governance towards activities in ABNJ, specifically in this particular time where technology and human knowledge have advanced. This comes an urgent need for an implementing agreement under UNCLOS, specifically address the use of ABNJ in a sustainable way to ensure that the biodiversities within ABNJ will be maintained carefully and properly. Since there are already principles that uphold the areas of ABNJ and also few existing regulations and institutions, its highly recommended that the new implementation agreement shall not contain any overlapping provisions and to also further evolve the role of institution. Indonesia, as an archipelagic state have continuously been involved in maintaining sustainable use of the ocean, including ABNJ. Therefore requires further studies on the extent of Indonesias role in ABNJ, specifically high seas and The Area.
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
An overlapping claim in any maritime zone requires maritime boundary delimation. Unfortunately, delimitation of maritime boundaries on continental shelf has been recognized as a complicated issue since it may create serious tensions and even armed conflicts between coastal states due to the ambiguity of international law in this area...
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Gulardi Nurbintoro
Abstrak :
The drafters of the 1982 UN Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) have left behind a lacunae in terms of the regulations concerning Biodiversity in the Areas Beyond National Jurisdiction (BBNJ). As living organisms are found in the deep seabed in areas beyond national jurisdiction, as well as the utilization of marine genetic resources beyond national jurisdiction for commercial purposes, States are currently deliberating on the proper regime in dealing with the management and exploitation of the biodiversity. Some States argue that Part XI UNCLOS applies hence BBNJ is also part of the Common Heritage of Mankind. On the other hand, some States believe that Part VII UNCLOS applies which will allow individual States to exploit the resources in accordance with the principle of the freedom of the high seas. Since 2004, the UN General Assembly has established a Working Group to discuss the issue. Indonesia as a Party to UNCLOS which in general advocates the importance of the rule of law in the oceans has the interest that the discussion in the UN will allow developing countries, including Indonesia, to enjoy the result of the exploration and exploitation of non-mineral resources at the bottom of the ocean.

University of Indonesia, Faculty of Law, 2016
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sutanto, 1950-
Abstrak :
ABSTRAK
Salah satu pengaruh yang paling menonjol dan bersifat langsung dengan telah diratifikasikannya United Nations Convention on the Laws of the Sea 1982 (Unclos 82) oleh Pemerintah Republik Indonesia terhadap Pertahanan Keamanan Negara (Hankamneg) di Laut adalah berkaitan dengan masalah penggunaan alur laut kepulauan Indonesia oleh kapal asing. Penggunaan alur laut kepulauan yang melintas perairan Indonesia oleh kapal asing merupakan tuntutan yang telah dipersyaratkan oleh Unclos 82. Kenyataan ini bukan merupakan pilihan yang terbaik bagi negara pantai (termasuk Indonesia) karena pada dasarnya Unclos 82 merupakan kompromi kepentingan dari berbagai negara. Terlepas dari masalah untung atau rugi, suka atau tidak suka, pada akhirnya penggunaan alur laut kepulauan ini menjadi hak bagi kapal-kapal asing yang tak dapat dielakkan, apapun alasannya.

Kewajiban Indonesia sebagai negara pantai adalah menetapkan alur laut kepulauan yang menjamin keselamatan dan keamanan bernavigasi dalam pelayaran. Bila tidak segera ditetapkan, maka konsekuensinya kapal-kapal asing cenderung memilih atau menentukan alur pelayaran sendiri-sendiri sesuai dengan persepsinya masing-masing terhadap aturan yang tercantum dalam Unclos 82. Hal ini ini tentu raja mengakibatkan kerugian bagi Indonesia, karena banyaknya alur pelayaran yang melintas kepulauan Indonesia yang tidak teratur menimbulkan kesulitan dalam

pengawasan dan pengendaliannya. Kesulitan dalam pengendalian alur laut kepulauan tersebut, pada gilirannya membawa dampak yang semakin luas terhadap masalah pertahanan kemananan negara di laut. Berdasarkan pemikiran yang demikian itulah dilakukan kajian untuk menentukan alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) yang mengabdi kepentingan nasional, tetapi akomodatif terhadap kepentingan internasional.

Pada awalnya dilakukan identifikasi dan perumusan sebelas alur pelayaran yang melintas perairan kepulauan Indonesia yang potensial untuk diajukan sebagai ALKI. Hal itu dilakukan sebagai upaya untuk mengimplementasilcan hak dan kewajiban negara pantai secara serasi dan seimbang sesuai dengan amanat Unclos 82 itu sendiri.

Dengan menggunakan model analisis yang dikembangkan dalam tesis ini akhirnya diperoleh tiga alur pelayaran terbaik sebagai kandidat ALKI, masing-masing adalah : (1) Alur Selat Lombok - Selat Makasar - Laut Sulawesi, (2) Alur Selat Sunda - Laut Jawa - Selat Karimata - Laut Cina Selatan, (3.a) Alur Selat Leti - Laut Banda (barat Pulau Buru) - Laut Seram (timur Pulau Mangole) - Laut Maluku - Samudra Pasifik, (3.b) Laut Arafuru - Laut Banda (barat Pulau Buru) - Laut Seram (timur Pulau Mangole) - Laut Maluku - Samudra Pasifik, dan (3.c) Laut Sawu - Selat Ombai - Laut Banda (barat Pulau Buru) - Laut Seram (timur Pulau Mangole) - Laut Maluku - Samudra Pasifik.

Setelah alur laut kepulauan itu ditetapkan berdasarkan pertimbangan yang terbaikpun menurut ukuran kepentingan nasional dan kepentingan internasional, masih terbuka peluang bagi timbulnya masalah pertahanan keamanan di laut sehubungan dengan penggunaannya bagi kapal asing. Hal itu merupakan konsekuensi Iogis dari penggunaan suatu wilayah negara oleh dan untuk kepentingan negara lain. Sehubungan dengan itu perlu pula dilakukan analisis kekuatan, kelemahan, ancaman, dan peluang (SWOT) terhadap keberadaan alur laut kepulauan yang telah ditetapkan.

Tujuan analisis SWOT tersebut adalah untuk memperkuat kekuatan dan meningkatkan pemanfaatan peluang yang ada, serta meminimalkan kelemahan dan menetralisir ancaman yang mungkin timbul. Selanjutnya untuk mengimplementasikannya secara efektif dan efisien diperlukan penerapan manajemen komponen kekuatan laut yang ada untuk mengawasi dan mengendalikan ALKI. Pada gilirannya dibutuhkan jumlah maupun kualitas kekuatan laut yang memadai, agar dapat dilakukan pengendalian ALKI secara lebih optimal sehingga pengaruh yang merugikan terhadap Hankamneg di Laut dari penggunaan laut oleh kapal asing sesuai Unclos 82 dapat diminimalkan.

1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sigit Sutadi Nugroho
Abstrak :
Tesis ini membahas praktik negara-negara kepulauan dalam menarik garis penutup untuk keperluan batas perairan pedalaman sebagaimana ditentukan dalam Pasal 50 UNCLOS 1982. Penelitian ini adalah penelitian normatif, alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui studi dokumen, sehingga data yang digunakan adalah data sekunder dan teknik analisis yang digunakan adalah analisis isi (content analysis). Dalam praktek negara kepulauan terdapat negara yang telah mengakomodir Pasal 50 UNCLOS 1982 dalam peraturan nasionalnya dan telah menerapkannya contoh Antiqua dan Barbuda, dan Fiji. Terdapat negara yang telah mengakomodir Pasal 50 UNCLOS 1982 dalam ketentuan nasionalnya tetapi belum menerapkannya contoh Cape Verde dan Kepulauan Solomon. Terdapat juga negara yang tidak mengakomodir Pasal 50 UNCLOS 1982 karena mempunyai pandangan berbeda terhadap perairan pedalamannya contoh Filipina. Indonesia termasuk negara kepulauan yang telah mengakomodir Pasal 50 UNCLOS 1982 di dalam ketentuan nasionalnya tetapi belum menentukan perairan pedalamannya secara formal, perkembangan terakhir Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Kordinator Bidang Kemaritiman bekerjasama dengan Badan Informasi Geospasial, Pusat Hidrografi dan Oseanografi TNI Angkatan Laut, dan Tim ahli bidang Geodesi sedang melaksanakan identifikasi dan pengkajian mengenai penetapan batas perairan pedalaman Indonesia. Hasil penelitian menyarankan bahwa perlu adanya koordinasi yang intensif dan kohemperensif antara kementerian dan kelembagaan yang terkait atas penetapan batas perairan pedalaman Indonesia dan Pemerintah Republik Indonesia perlu mendorong pembentukan pengaturan penetapan batas perairan pedalaman dalam bentuk Undang-Undang.
This thesis discusses the practice of Archipelagic State in drawing a closing line for the needs of internal water as Article 50 UNCLOS 1982. This research is normative research, the data collection tool used in this study is through the study of documents, so that the data used is secondary data and the analysis technique used is content analysis. In the practice of an archipelagic state there are countries that have accommodated Article 50 of UNCLOS 1982 in their national regulations and have implemented examples of Antiqua and Barbuda, and Fiji. There are countries that have accommodated in their national provisions but have not applied the example of Cape Verde and the Solomon Islands. There are also countries that do not accommodate Article 50 UNCLOS 1982 of example Philippine. Indonesia is an archipelago that has accommodated Article 50 of UNCLOS 1982 but has not formally determined its internal waters, recent developments of the Government of the Republic of Indonesia through the Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman in collaboration with the Badan Informasi Geospasial, the Pusat Hidrografi dan Oseanografi TNI Angkatan Laut, and the Geodesy Team identification and assessment of the boundaries of Indonesias internal waters. As a suggestion, it is necessary to have more intensive coordination between relevant ministries and institutions on the determination of the boundaries of internal waters of Indonesia and the Government of the Republic of Indonesia needs to encourage the establishment of internal waters boundary regulation arrangements in the form of the Act.

Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T52267
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indriati Kusumawardhani
Abstrak :

Permasalahan illegal, unreported and unregulated fishing (IUU Fishing) adalah masalah yang menjadi perhatian negara - negara di dunia, termasuk Indonesia, karena jumlah kasusnya yang semakin meningkat dari tahun ke tahun serta dampak yang ditimbulkan tidak saja pada ketersediaan sumber daya ikan, namun juga berdampak pada masalah sosial dan ekonomi. Selain itu, IUU Fishing juga mengancam kelestarian sumber daya laut serta merupakan suatu tindak kejahatan yang di dalamnya terdapat tindak pidana lainnya yang bersifat lintas negara, dari bentuk penipuan dokumen hingga perdagangan manusia sehingga dapat disebut sebagai bagian dari tindak pidana transnasional terorganisasi. Berdasarkan fakta tersebut, Presiden Joko Widodo membentuk Satgas 115 dengan Perpres No. 115/2015 sebagai satuan tugas dengan mandat untuk melakukan penegakan hukum terhadap kasus - kasus IUU Fishing, yang terjadi di wilayah perairan dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Satgas 115 menjadi “one roof enforcement system” bagi penanganan dan pencegahan IUU Fishing termasuk penegakan hukum di laut di mana di dalamnya terdapat lembaga/instansi yang berwenang melakukan penegakan hukum dan pengawasan laut berdasarkan peraturan perundang - undangan pembentukannya. Kinerja Satgas 115 menunjukkan hasil signifikan dengan menurunnya jumlah pelanggaran IUU Fishing di ZEEI dan meningkatnya jumlah tangkapan yang ditunjukkan dengan jumlah kasus yang ditangani dan pendapatan nelayan. Keberhasilan tugas Satgas 115 dapat menjadi pertimbangan untuk meneruskan sistem pengawasan laut, termasuk di dalamnya penanganan dan pencegahan IUU Fishing, dengan penguatan kelembagaan melalui peraturan perundang - undangan. Penguatan kelembagaan tersebut perlu untuk memperhatikan sifat koordinatif, kewenangan, kedudukan, dan pemanfaatan potensi terintegrasi antarlembaga/instansi terkait sebagai suatu “single agency” yang melanjutkan kinerja Satgas 115.

 

 


Illegal, Unreported, and Unregulated fishing (IUU Fishing) has become a concern for countries worldwide. Indonesia is one of those countries because the number of IUU Fishing cases increases from year to year. The impact caused not only on the availability of fish stock but also affected social and economic problems. Besides, IUU Fishing also threatens the preservation of marine resources, sustainable fisheries, and is indicated as a cross country crime in which other offenses included. Those offenses are from frauds in the form of document to human trafficking so that it can be called a part of transnational organized crime. According to those facts, President Joko Widodo established Task Force 115 with Presidential Decree number 115 the year 2015 (Perpres 115/2015) as a task force with a mandate to enforce the law against IUU Fishing cases, which occurred in waters and the Indonesian Exclusive Economic Zone (ZEEI). There are Institutions/agencies authorized to carry out law enforcement and sea surveillance based on the laws and regulations of its formation before the establishment of Task Force 115. Task Force 115 becomes a "one roof enforcement system" for those Institutions/agencies for handling and preventing IUU Fishing, including law enforcement at sea. Task Force Performance 115 showed significant results with a decrease in the number of violations of IUU Fishing in ZEEI and an increase of catches indicated by the number of cases handled and fishermen's income. The success of the Task Force 115 task can be a consideration for continuing the marine surveillance system, including the handling and prevention of IUU Fishing, by strengthening its institutions through legislation. The institutional strengthening needs to pay attention to the coordinative nature, authority, position, and utilization of integrated potential between related institutions/agencies as a "single agency" that continues the performance of Task Force 115.

Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>