Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Travis, Charles
Oxford: Clarendon Press, 1989
401 TRA u
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
M. Musfi Romdoni
"ABSTRAK
Tulisan ini bertujuan untuk membantah pembagian adanya dua Wittgenstein karena TLP dan PI sama- sama menggunakan bahasa fenomenalis. Menurut John W. Cook, Ludwig Wittgenstein adalah filsuf yang paling banyak disalahpahami di abad ke-20 karena tidak dipahaminya neutral monism yang menjadi asumsi fundamental dalam seluruh pekerjaannya yang membuatnya menerapkan bahasa fenomenalis. Tractatus Logico-Philosophicus (TLP) dan Philosophical Investigation (PI) adalah karya yang paling monumental dari Ludwig Wittgenstein. TLP disebut Wittgenstein I karena berisi prosedur logika simbolik yang ketat, yang disebut picture theory ; dan PI sebagai Wittgenstein II karena berisi cara kerja bahasa, yang disebut language game atau permainan bahasa. Keduanya kemudian dipahami sebagai karya yang bertentangan. Untuk sampai ke tujuan tersebut, terlebih dahulu dipaparkan mengenai 2 kesalahan utama dalam membaca TLP : (1) memahami picture theory menyalin realitas secara denotatif, dan (2) memahami TLP berusaha untuk mengganti bahasa sehari-hari dengan logika ; dan 2 kesalahan utama dalam membaca PI : (1) memahami tidak lagi terdapat pembahasan logika di PI, dan (2) memahami PI sebagai legitimasi relativitas bahasa dan budaya. Penulis menemukan bahwa TLP dan PI tidak dapat dipertentangkan karena keduanya memiliki asumsi filosofis yang sama yaitu penggunaan bahasa fenomenalis. Menggunakan metode analisis kritis, teks TLP dan PI dianalisis secara kritis dan rinci untuk memperlihatkan bagaimana keduanya memiliki cara kerja yang sama. Elaborasi kritis juga dilakukan untuk memperlihatkan relasi temuan penulis dengan temuan dalam penelitian-penelitian sebelumnya mengenai Wittgenstein.

ABSTRACT
This paper aims to refute the division of the two Wittgenstein because TLP and PI are both using phenomenal language. According to John W. Cook, Ludwig Wittgenstein was the most misunderstood philosopher of the 20th century because neutral monism which was a fundamental assumption in all his work that made him apply phenomenal language is can not be understood. Tractatus Logico-Philosophicus (TLP) and Philosophical Investigation (PI) are the most monumental works of Ludwig Wittgenstein. TLP is called Wittgenstein I because it contains strict symbolic logic procedures, called picture theory ; and PI as Wittgenstein II because it contains the workings of language, which is called a language game. Both of them are then understood as contradictory works. To reach aim of this paper,first it is explained about two main errors in reading TLP : (1) understanding picture theory copying reality denotatively, and (2) understanding TLP trying to replace daily language with logic ; and 2 main errors in reading PI : (1) understanding there is no longer any discussion of logic in PI, and (2) understanding PI as the legitimacy of language and cultural relativity. The author finds that TLP and PI cannot be disputed because both have the same philosophical assumption, namely the use of phenomenal language. Using the critical analysis method, TLP and PI texts are analyzed critically and specifically to show how both have the same way of working. Critical elaboration was also carried out to show the relationship of the writers invention with the invention in previous studies concerning about Wittgenstein."
2019
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Riko
"Tesis ini adalah upaya penelusuran penolakan Subjek yang terkandung di dalam teks Philosophical Investigations karya Ludwig Wittgenstein. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode analisis kritis dan metode perpustakaan. Untuk menopang pernyataan tesis, penelitian ini memanfaatkan konsep otonomi, konsep objektivasi, dan konsep strukturalisme. Hasil penelitian ini adalah Ludwig Wittgenstein telah memperlakukan bahasa dan subjek sebagai entitas yang terpisah, dan sekaligus menempatkan subjek ke dalam posisi yang inferior di hadapan bahasa. Selain itu, Ludwig Wittgenstein secara implisit menolak kehadiran subjek yang otonom di dalam bahasa. Oleh karena itu, penulis menyimpulkan bahwa Ludwig Wittgenstein di dalam Philosophical Investigations menolak kehadiran subjek dalam menentukan makna kata.

This master's thesis is an attempt to reveal the refutation of Subject within Ludwig Wittgenstein Philosophical Investigations. This research is conducted through critical analysis method and library reseach method. In support of the thesis statement I took the benefit from the concept of authonomy, the concept of objectivation and the concept of structuralism. This research shows that Ludwig Wittgenstein considers language and Subject as a separate entity, and simultaneously regards Subject as inferior to language. In addition, Ludwig Wittgenstein implicitly refuses the presence of autonomy subject on behalf of language. Therefore, I conclude that Ludwig Wittgenstein in his Philosophical Investigations refuses the presence of Subject to determine the meaning of the word.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2014
T41737
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abd. Sakir
"Pada pemikiran awal di dalam Tractatus Logico-philosophicus Wittgenstein I beranggapan bahwa bahasa yang bermakna adalah bahasa yang memiliki kriteria sebagai proposisi. Setidaknya, terdapat tiga ciri khas bahasa yang termasuk ke dalam proposisi. Pertama, bahasa harus tersusun ke dalam term subjek dan term predikat. Kedua, bahasa harus mengandung pengertian benar atau salah. Ketiga, bahasa harus dapat menjelaskan bahasa yang lain yang mengikutinya. Dalam konteks ini, proposisi menjadi satu-satunya bahasa yang benar, baik, ideal. Tetapi, di kemudian hari di dalam Philosophical Investigations Wittgenstein II mempertanyakan kembali hakikat bahasa yang terdapat Tractatus. Menurutnya, makna bahasa tidak semata-mata harus direduksi ke dalam proposisi-proposisi. Fakta menunjukkan bahwa ada beragam permainan-permainan bahasa yang diikuti pula oleh peraturan-peraturan yang mengikat di dalam setiap permainan-permainan bahasa tersebut. Dalam konteks ini, setiap bahasa memiliki keunikan masing-masing sehingga tidak dapat ditentukan maknanya hanya melalui bentuk logis proposisi. Makna bahasa di luar proposisi terkait dengan spasiotemporal peristiwa bahasa. Di sini, bahasa tidak hanya dilihat sebagai ekspresi pikiran, tetapi bahasa lebih dipahami sebagai tindakan seseorang. Misalnya, menyanyi, berdoa, berkhutbah, mementaskan lakon, menggerutu, berpuisi, melawak, dan memarahi. Bahasa mengakar dalam bentuk-bentuk kehidupan. Bahasa seperti ini adalah bahasa natural atau sering disebut sebagai bahasa sehari-hari. Bila dicermati dengan baik, maka akan nampak bahwa gagasan dasar Tractatus mengakar dalam kebudayaan modern. Hal ini terlihat dari keinginannya untuk mengedepankan metodologi baku yang bersifat universal. Sementara, gagasan-gagasan yang terkandung di dalam Investigations cenderung muncul sebagai wacana baru yang dipicu oleh sikap kritis kebudayaan postmodern. Gagasan-gagasan ini mengangkat nilai-nilai dekonstruksionisme, pluralisme, dan relativisme. Gagasan-gagasan ini pada akhirnya akan menciptakan sebuah tatanan masyarakat yang reseptif terhadap perbedaan-perbedaan. Adanya perbedaan-perbedaan tersebut harus dilihat sebagai fakta yang menyatakan bahwa realitas sebenarnya terpecah-pecah (pragmented reality). Kenyataan ini akan membawa kedewasaan bagi masyarakat dalam kondisi `sosial-budaya' yang melingkupinya. inilah realitas yang selalu menjadi harapan; tidak ada diskriminasi dalam bentuk apa pun."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2004
T11821
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library