Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yusep Antonius
"ABSTRAK
Secara umum tujuan penelitian ini adalah memberikan gambaran tentang peran dan fungsi Balai Pemasyarakatan dalam penanganan klien pemasyarakatan dari mulai pra ajudikasi sampai post ajudikasi dan apa saja kendala-kendala yang dihadapinya. Peran dan fungsi Balai Pemasyarakatan (Bapas) tidak terlepas dari tujuan sistem peradilan pidana. Sistem peradilan pidana merupakan salah satu kebijakan negara (public policy) dalam rangka menanggulangi kejahatan yang telah mengganggu ketertiban umum melalui proses penegakan hukum. Adapun kebijakan lainnya adalah penanggulangan kejahatan yang bersifat non-penal antara lain melalui upaya membangun kesejahteraan rakyat
Faktor-faktor yang menjadi kendala dalam pelaksanaan peran dan fungsi Bapas adalah meliputi : keterbatasan anggaran, keterbatasan instrumen dan metode litmas, kurang kondusifnya lingkungan kerja Bapas (faktor internal dan eksternal), keterbatasan perangkat hukum dan implementasinya, masih rendahnya kualitas PK, dan keterbatasan dalam proses pembimbingan.
Peran dan fungsi Bapas belum sesuai antara teori yang ada dengan praktek dilapangan, baik pada tahap pra ajudikasi maupun pada tahap post ajudikasi. Oleh karena itu disarankan adanya perombakan perangkat hukum, meningkatkan kinerja PK dengan memberikan pelatihan-pelatihan, perlunya perhitungan kembali besar anggaran bagi Bapas, adanya metode-metode khusus dalam memberikan pembimbingan kepada klien Bapas, adanya pembaharuan pasca institusi-institusi lain yang berkaitan termasuk kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Mengingat Bapas bukan satu-satunya institusi yang terlibat dalam peradilan pidana anak

ABSTRACT
In general this research target is give the imagine of about role and function of Balai Pemasyarakatan in handling of client pemasyarakatan from starting pre adjudication until post adjudication and any kind of constraints faced. Role and function of Balai Pemasyarakatan (Bapas) is not quit of judicature crime system target. Crime Judicature system is one of state policy (public policy) in order to overcoming the badness which have bothered the public orderliness through the straightening of law process. As for other policy is crime overcoming having the character of non-penal for example through build the people prosperity.
The factors becoming constraint in execution of Bapas role and function is consist of : budget limitation, limitation of instrument and social research (litmas) method, less conducive of work environmental the Bapas (internal and external factor), limitation of law peripheral and its implementation, still lower the quality of social counsellor (PK), and limitation in client tuition process.
Role And function of Bapas have not same yet between theory and the practice, as good at pre adjudication phase or at phase of post adjudication. Therefore, suggested by the changing of law peripheral, improving performance of PK by giving the training, the importance to review Bapas budget, existence of special methods in giving tuition to Bapas client, existence of renewal to other related institution including police, public attorney and justice. Considering Bapas is not only one institution which concerned in child criminal justice.
"
2007
T20500
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuana Berliyanti
"Kasus Bank Bali merupakan contoh nyata untuk melihat apakah hukum akan selalu ditaklukan oleh kekuasaan. Sejak awal terbongkarnya kasus Bank Bali terungkap fakta-fakta yang mengarah bahwa kasus Bank Bali adalah bukan masalah bisnis dan teknis perbankan semata akan tetapi sangat bernuansa politis. Terdapat indikasi dibalik Perjanjian Cessie yang tidak wajar tersebut ada unsur penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) untuk kepentingan orang-orang atau politik tertentu. Sekitar tahun 2003, muncul permasalahan baru yang juga mengandung ketidakwajaran didalamnya. Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, memerintahkan Bank Permata (bank hasil merger Bank Bali dengan dengan 4 (empat) bank lainnya) untuk segera menyerahkan uang yang ada dalam escrow account sebesar Rp. 546.466.116.369,- (lima ratus empat puluh enam milyar empat ratus enam puluh enam juta seratus enam belas ribu tiga ratus enam puluh sembilan rupiah). Alasan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, eksekusi tersebut dilakukan berdasarkan diktum putusan perkara pidana dengan Terdakwa Joko S. Tjandra yang telah dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van rechtverfolging). Namun, Bank Permata tidak bersedia untuk menyerahkan uang tersebut dengan alasan adanya Surat Keputusan Ketua BPPN No. 4231BPPN/1099 tertanggal 15 Oktober 1999 tentang Pembatalan Perjanjian Pengalihan (Cessie) Tagihan antara PT. Bank Bali, Tbk dengan PT. Era Giat Prima. Kemudian, pada tanggal 8 Maret 2004, Mahkamah Agung Republik Indonesia menjatuhkan putusan dalam perkara perdata antara PT. Era Giat Prima melawan PT. Bank Bali, Tbk dan Bank Indonesia, dimana salah satu diktum putusan tersebut berbunyi: "Menyatakan bahwa dana pada PT. Bank Bali Tbk escrow account No. 0999.045197 atas nama Bank Bali qq PT. Era Giat Prima sebesar Rp. 546.466.116.369 (lima ratus empat puluh enam milyar empat ratus enam puluh enam juta seratus enam belas ribu tiga ratus enam puluh sembilan rupiah) adalah milik PT. Bank Bali, Tbk (Penggugat dalam Rekonpensi/Tergugat I dalam Konpensi)." Jika saja peradilan di Indonesia memiliki kemampuan untuk melihat persoalan secara terintegrasi maka kasus Bank Bali yang sejak awal memiliki tingkat kompleksitas tinggi tidak akan bertambah rumit oleh karena adanya dualisme putusan hakim menyangkut kepemilikan atas uang yang ada dalam escrow account.

Bank Bali case is one of the real examples to see whether law will always be conquered by power. Since the beginning Bank Bali case was disclosed there were facts which aimed that Bank Bali case was not only business and banking technical problem but it was very political. There was an indication behind the uncommon Cessie Agreement that there was an element of abuse of power for the interest of certain people or politic. Around year 2003, a new problem existed which contained uncommon matter in it. The District Prosecutor Office of South Jakarta, ordered Bank Permata (bank as a result of the merger of Bank Bali with the other 4 banks) to give the money which was in the escrow account in the amount of Rp. 546.466.116.369, - (five hundred forty six billion four hundred sixty six million one hundred sixteen thousand and three hundred sixty nine rupiah). The reason of the District Prosecutor Office of South Jakarta was the execution was done based on the ruling of the criminal case with Joko S. Tjandra as the defendant who was declared free from all legal charges (onslag van rechtverfolging). However, Bank Permata refused to give the said money with the reason that there was a Ruling Letter from the Head of BPPN No. 423/BPPN/1099 dated 15 October 1999 concerning the Cancellation the Cessie Agreement of the Receivables between PT. Bank Bali, Tbk and PT. Era Giat Prima.Further, on 8 March 2004, The Supreme Court of the Republic of Indonesia declared its ruling in the civil case between PT. Era Giat Prima against PT Bank Bali, Tbk and Bank Indonesia, where one of the rulings said that: "to declare the funds in PT. Bank Bali, Tbk escrow account No. 0999.045197 in the name of Bank Bali qq PT. Era Giat Prima in the amount of Rp. 546.466.116.369,- (five hundred forty six billion four hundred sixty six million one hundred sixteen thousand and three hundred sixty nine rupiah) was owned by PT. Bank Bali,Tbk (as Plaintiff in Rekonpensi/Defendant I in Konpensi)". If only the judicature in Indonesia has the capacity to see the case wholly then the case of Bank Bali which since the beginning has the complexity will not be as complicated as there is a dualism of the judge ruling which relate to the ownership of the money in the escrow account.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T19903
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rusdi Amin
"Sistem peradilan pidana merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Peradilan pidana digerakkan oleh rangkaian sub-sub sistem yang terdiri dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan, termasuk advokat dan dalam prosesnya dibagi menjadi : tahap sebelum sidang pengadilan (pra-ajudikasi), tahap sidang pengadilan (ajudikasi) dan tahap setelah pengadilan (puma ajudikasi). Layaknya suatu sistem, seharusnya dalam sistem peradilan pidana telah terjalin koordinasi dan integrasi/keterpaduan pada keseluruhan sub-sub sistem, sehingga dapat mencapai efisiensi dan efektifitas. Tahap pra-ajudikasi sebagai tahap awal dari sistem peradilan pidana melaksanakan penanganan proses pidana melalui fungsi penyidikan dan penuntutan. Antara fungsi penyidikan dan penuntutan saling berhubungan erat, dimana tahap yang satu meletakkan dasar-dasar bagi tahap yang lain dan saling mendukung satu sama lain. Keberhasilan penyidikan menjadi keberhasilan penuntutan. Berdasarkan prinsip diferensiasi fungsional yang dianut KUHAP, dilakukan penegasan/pembagian antara fungsi penyidikan dan penuntutan dengan tetap memberikan sarana penghubung untuk menyelaraskan kedua fungsi tersebut melalui lembaga prapenuntutan. Lembaga prapenuntutan dapat dimanfaatkan untuk menyusun suatu kebijakan pidana (criminal policy) dalam bidang penyidikan dan penuntutan yang terpadu dengan mendasarkan pada tujuan hukum acara pidana, yaitu proses hukum yang adil {due process of law). Dari data sekunder yang telah diperoleh, berupa bahan hukum (primer dan sekunder) yang dikumpulkan melalui studi dokumen / literatur, dikonfirmasikan dengan data primer yang diperoleh melalui wawancara dengan nara sumber terkait, yaitu polisi, jaksa, dan advokat, kemudian dilakukan analisis secara yuridis kualitatif melalui dua (dari lima) faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu faktor hukum (dalam hal ini undang-undang) dan faktor penegak hukum (pada tahap pra-ajudikasi terdiri dari : polisi, jaksa, dan advokat). Dalam praktiknya tidak jarang prapenuntutan memunculkan permasalahan, kebijakan penyidikan dan kebijakan penuntutan belum mengarah pada satu kebijakan (operasional) pidana yang memungkinkan peluang terjadinya proses hukum yang sewenang-wenang (arbitrary process). Pada konteks ini advokat didorongkan untuk memberikan bantuan hukum dalam rangka perlindungan terhadap hak asasi tersangka dan menghidarkan dari proses hukum yang sewenang-wenang sehingga tetjadi keseimbangan dalam proses pra-ajudikasi menuju pada tujuan hukum acara pidana, yaitu proses hukum yang adil (due process of law).

Criminal justice system is a system in a society to tackling crime problem. Criminal justice system moved by component series of system consisting which police departement, district attomey, court and correctional institution, including advocate and on its procedure divided as : before court phase (pre-adjudication), court phase (adjudication) and resocialization phase (post ajudication). As a system, properly in criminal justice system was interlaced coordination and integration on the whole system, so gets to reach efficiency and effectiveness. Pre- adjudication phase is startup phase of criminal justice system on that criminal process perform through investigation and prosecution function. Among investigation and prosecution function each other had a close relationship, where is the one phase basics for another and backs up mutually. Investigation success becomes prosecution success. Base on functional differentiation principle that followed by the code of criminal procedure (KUHAP), bring about affirmation / fragmentation among investigation and prosecution function with regulary given infrastructure link to harmonise both through preprosecution. The preprosecution can be utilized to arrange a criminal policy (operational policy) in investigation and prosecution area that coherent by goes upon criminal procedure goals, which is due process of law. Through secondary data already been gotten, as law material (primary and secondary) one that is gathered thru document / literature, confirmed by acquired primary data through interview with resource person conceming, which is police, attomey, and advocate, then by qualitative analysis pass through two (of five) factor that law enforcement influence, which is law factor (statute) and law enforcement agencies factor (on pre-adjudication phase consisting of: police, attomey, and advocate). In a fact preprosecution not sparse arises a problem, investigation policy and prosecution policy haven't aimed on one policy criminal which enable its opportunity opened arbitrary process. In this case, its importance to impulse advocate to give legal aid in order to protection the basic right of suspect and avoid of arbitrary process so arice checks and balances in pre-adjucation process goes in the direction of criminal procedure, which is due process of law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26045
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
K. Fathurahman P.N.J.
"ABSTRAK
Kontrak konstruksi merupakan jenis kontrak yang dinamis. Kompleksitas
pekerjaan dan keterlibatan berbagai kepentingan menjadikan kontrak konstruksi
memiliki potensi sengketa di setiap tahapan konstruksi. Oleh karena itu, para pihak
dalam kontrak konstruksi harus mencari metode penyelesaian sengketa memastikan
tidak terhambatnya kegiatan konstruksi. Dalam FIDIC General Conditions of
Contract For Construction (1st Edition, 1999) dikenal mekanisme penyelesaian
sengketa dalam bentuk Dispute Adjudication Board yang putusannya bersifat
mengikat dan harus dijalankan terlebih dahulu oleh para pihak meskipun ada
keberatan dari salah satu pihak. Dari sini terdapat dua permasalahan yang dijadikan
objek penelitian, Pertama, kedudukan Dispute Adjudication Board dalam Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa; Kedua, sifat putusan Dispute Adjudication Board yang harus dijalankan
terlebih dahulu dibandingkan dengan putusan pengadilan yang bersifat serta merta
berdasarkan Hukum Acara Perdata Indonesia dan pelaksanaannya berdasarkan sifat
putusan yang diterapkan oleh beberapa lembaga adjudikasi di Indonesia. Penelitian
ini merupakan penelitian yuridis normatif yang ditopang oleh analisa terhadap
peraturan perundang-undangan dan doktrin hukum. Berdasarkan penelitian,
ditemukan bahwa mekanisme Adjudikasi yang melandasi Dispute Adjudication
Board belum diatur oleh UU Arbitrase. Meskipun demikian, terdapat beberapa
peraturan sektoral yang mengatur serta beberapa institusi alternatif penyelesaian
sengketa menjalankan adjudikasi. Terkait dengan putusan serta merta Dispute
Adjudication Board dalam FIDIC General Conditions of Contract For
Construction (1st Edition, 1999) dapat disimpulkan hal tersebut merupakan
kewajiban kontraktual yang ditetapkan para pihak diawal kontrak. Hal ini yang
membedakannya dengan putusan serta merta yang dianut dalam Hukum Acara
Perdata Indonesia di mana putusan serta merta tersebut merupakan kewenangan
hakim untuk menilai dapat atau tidaknya suatu putusan dijalankan terlebih dahulu.
Disamping itu, baik dalam peraturan sektoral yang telah mengatur adjudikasi
maupun peraturan institusi alternatif penyelesaian sengketa dan arbitrase yang
memberikan layanan adjudikasi pada umumnya menentukan putusan adjudikasi
bersifat mengikat namun tidak selalu bersifat serta merta.

ABSTRACT
Construction contract is a dynamic contract. The complexity of the work and the
involvement of many interests make a construction contract has potential disputes
at every stages. Therefore, the parties to the construction contract should seek the
method of dispute resolution which can ensure that the dispute does not hamper the
ongoing work. The FIDIC General Conditions of Contract for Construction (1st
Edition, 1999), recognized a mechanism of alternative dispute resolution by the
form of Dispute Adjudication Board whose decision is binding and the parties shall
give promptly effect to it regardless any objections raised by one of the parties.
From that point, there are two identified issues, as the object of this research, First,
the position of Dispute Adjudication Board under The Law Number 30 of 1999
Regarding Arbitration And Alternative Dispute Settlement; Second, comparison the
nature of immediate binding effect decision between the the Dispute Adjudication
Board's decision under The FIDIC General Conditions of Contract for
Construction (1st Edition, 1999) and court?s decision under the Civil Procedure
Code Indonesia. The comparison also considering the implementation of
adjudication?s decision by several adjudication institutions in Indonesia. The type
of research is legal reseach by analyzing the regulations and law doctrine related
to the issues. The result of this research are, First, the underlying mechanism of
Dispute Adjudication Board, has not been regulated and governed under the
Arbitration Act. Nonetheless, there are some sectoral rules which has govern the
adjudication procedures and has also been conducted by several institutions of
alternative dispute resolution and arbitration in Indonesia as part of their services.
Second, the immediate binding effect of Dispute Adjudication Board's decision can
be concluded as contractual obligations for the parties as set forth at the beginning
of the contract. This is what distinguishes it from the immediate binding effect of
court?s decision as in the Civil Procedure Code Indonesia where the decision is
under the judges authority. Besides that, both in the sectoral regulations that have
been set and/or institutional adjudication of alternative dispute resolution and
arbitration rules, in general, determine that the adjudication decision is binding
but does not necessarily have immediate binding effect"
2016
T45896
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Faradila Keiko
"Latar Belakang: Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang melakukan tindak pidana harus mendapatkan pemeriksaan Kesehatan Jiwa, salah satunya untuk menentukan kecakapan hukum seseorang untuk menjalani proses peradilan atau competence to stand trial (CST). Prinsip CST adalah pelaku kriminal harus memahami tuntutan terhadapnya dalam pengadilan dan membantu pengacaranya dalam pembelaan terhadap dirinya. Instrumen MacCAT-CA merupakan alat bantu pemeriksaan CST yang dapat memastikan psikiater mencakup area topik yang relevan secara konsisten serta memiliki sistem skoring yang terstandardisasi sehingga dapat membandingkan performa tersangka. Hingga saat ini, belum ada instrumen yang dapat menjadi alat bantu pemeriksaan CST di Indonesia sehingga perlu dilakukan adaptasi instrumen MacCAT-CA versi Bahasa Indonesia.
Metode: Studi ini merupakan uji kesahihan isi serta studi kualitatif yang melibatkan lima pakar hukum dan empat pakar psikiater forensik. Pengukuran kesahihan isi dilakukan dengan menggunakan item content validity index (I-CVI) dan scale content validity index (S-CVI). Data kualitatif penelitian ini adalah berupa pernyataan pakar yang disampaikan melalui focused group discussion (FGD) dan secara tertulis mengenai adaptasi butir-butir instrumen MacCAT-CA agar dapat disesuaikan dengan sistem hukum, latar belakang, serta budaya Indonesia. Pemadatan fakta dilakukan pada pernyataan pakar, kemudian diproses menjadi satu interpretasi (coding). Selanjutnya peneliti melakukan pengumpulan fakta dan interpretasi yang sejenis.
Hasil: Sembilan butir instrumen MacCAT-CA memiliki nilai I-CVI 0,78 atau lebih, sementara 13 butir memiliki nilai I-CVI di bawah 0,78. Nilai S-CVI/UA dan S-CVI/Ave berturut-turut adalah 0,14 dan 0, 56. Berdasarkan analisis data kualitatif, diperlukan penyesuaian instrumen MacCAT-CA pada aspek hukum, tingkat kerumitan pertanyaan, serta penyesuaian nama serta situasi pada contoh kasus. Usulan pertanyaan untuk instrumen MacCAT-CA versi bahasa Indonesia mencakup profesi hukum, proses atau tahapan hukum, istilah hukum, pemahaman seseorang  mengenai tindakannya dan bahwa mereka bersalah, barang bukti maupun saksi, fakta-fakta yang dapat disampaikan di persidangan, dan pemahaman mengenai hal-hal yang dapat meringankan maupun memberatkan seseorang dalam pengadilan.
Kesimpulan: Hasil uji kesahihan isi menunjukkan bahwa perlu dilakukan modifikasi pada butir-butir instrumen MacCAT-CA agar sesuai dengan populasi di Indonesia. Modifikasi butir dapat dilakukan sesuai masukan yang diberikan oleh pakar pada penelitian selanjutnya.

Background: According to Law of The Republic of Indonesia Number 18 of 2014 on Mental Health, people with mental disorders who commit criminal acts must undergo a mental health examination, one of which is to determine competence to stand trial (CST). The principle of CST is the criminal must understand his charge and assist his legal counsel in defending him. The MacCAT-CA is a CST examination tool that can ensure psychiatrists to consistently cover relevant topics and have a standardized scoring system so that they can compare the performance of suspects. Until now, there is no instrument that can be used as a tool for CST examination in Indonesia. Thus, an adaptation of the MacCAT-CA for the Indonesian population is necessary.
Methods: This study involved five legal experts and four forensic psychiatrists. We evaluated the content validity of the MacCAT-CA using item content validity index (I-CVI) and scale content validity index (S-CVI). We also collected qualitative data through focused group discussions (FGD) and in writing regarding the adaptation of the MacCAT-CA items so that it can be adapted according to the legal system, background, and culture in Indonesia. Condensation of facts was carried out on expert statements, then processed into one interpretation (coding). Then, we collected facts and similar interpretations.
Results: Nine items have an I-CVI value of 0.78 or more, while 13 items have an I-CVI value below 0.78. The values of S-CVI/UA and S-CVI/Ave are 0.14 and 0.56, respectively. Based on qualitative data analysis, it is necessary to adjust the MacCAT-CA instrument on legal aspects, the level of complexity of the questions, as well as adjustments to the names and situations in the case example. The proposed questions for the Indonesian version of the MacCAT-CA instrument cover the legal professions, legal processes or stages, legal terms, a person's understanding of their actions and whether they are guilty or not, evidence and witnesses, facts that can be presented at trial, and understanding of things that can relieve or incriminate someone in court.
Conclusion: The results of the validity test indicate that it is necessary to modify the MacCAT-CA instrument to suit the Indonesian population. The experts’ input in this research can guide the adaptation of this instrument in further research.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library