Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fiqi Fatichadiasty
Abstrak :
ABSTRAK
Hadirnya Peradilan Tata Usaha Negara (TUN) sebagai lembaga penegak hukum administrasi bagi para pencari keadilan, seringkali menemui hambatan atas pelaksanaan/eksekusi putusan. Putusan yang dimaksud ialah dalam konteks putusan tersebut sudah in kracht, terhadap putusan yang sudah in kracht tersebut Pejabat TUN selaku pihak yang kalah seringkali tidak mau mematuhi isi putusan dari para hakim PTUN. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan data sekunder. Terhadap faktor-faktor tidak dilaksanakannya putusan TUN disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya seperti belum adanya pengaturan pelaksanaan terkait uang paksa, penggunaan media massa sebagai upaya pejabat TUN jera ternyata tidak mudah dijangkau oleh penggugat, eksekusi hierarkis yang sering tidak ditindaklanjuti, serta dapat disimpulkan sekalipun terdapat berbagai macam upaya paksa ternyata letak martabat dan daya eksekusi putusan TUN sendiri berada pada kesadaran/self respect dari pejabat TUN. Adapun perbuatan tidak patuh terhadap isi putusan TUN tersebut dapat masuk kedalam unsur perbuatan Contempt of Court yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Adapun jenis perbuatan konstitutif ketidak patuhan pejabat TUN masuk kedalam bentuk penentangan terhadap perintah pengadilan secara terbuka atau disebut Obstruction of Justice. Hal tersebut dapat berimplikasi terhadap kemungkinan kriminalisasi Pejabat TUN sesuai Pasal 216 KUHP atas konsekuensi perbuatan tidak patuh tersebut.
ABSTRACT
The presence of the State Administrative Court (TUN) as an administrative law enforcement agency for justice seekers, often faces obstacles to the implementation / execution of decisions. The verdict in question is in the context of the verdict already in kracht, against the verdict that is already in kracht TUN officials as the losing party often do not want to comply with the contents of the decisions of the PTUN judges. This type of research is normative legal research using secondary data. The factors that the implementation of the TUN verdict were not caused by several factors such as the lack of implementation arrangements related to forced money, the use of mass media as a deterrent from TUN officials was apparently not easy to reach by the plaintiff, hierarchical executions were often not followed up, and it could be concluded even though there were various the kind of forced effort turns out that the location of the dignity and power of execution of the TUN decision itself is in the awareness / self respect of the TUN official. The act of not complying with the contents of the TUN decision can be included in the Contempt of Court element of action mentioned in Act Number 14 of 1985 jo Law Number 5 of 2004 concerning the Supreme Court. The type of constitutive act of disobedience of TUN officials goes into the form of open opposition to court orders or called Obstruction of Justice. This can have implications for the possibility of criminalization of TUN Officials in accordance with Article 216 of the Criminal Code for the consequences of such non-compliance.
2020
T54430
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erdin Tahir
Abstrak :
ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang penerapan pemberhentian tidak dengan hormat pegawai negeri sipil dalam perspektif pengadilan tata usaha negara. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan studi kepustakaan dan wawancara dalam pengumpulan data, kemudian data-data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pemberhentian tidak dengan hormat diatur dalam Pasal 87 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang merasa kepentingannya dirugikan dengan dikeluarkannya keputusan pemberhentian tidak dengan hormat, dapat melakukan upaya administratif terlebih dahulu sebelum mengajukan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang terdiri dari keberatan dan banding administratif. Dalam perspektif PTUN penerapan Pasal 87 ayat (4) UU ASN oleh pejabat tata usaha negara justru menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebagaimana penerapan pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN yang diberlakukan secara surut (retroaktif) terhadap PNS yang dihukum pidana penjara kejahatan jabatan yakni karena melakukan tindak pidana korupsi. Kemudian penerapan Pasal 87 ayat (4) huruf d UU ASN, dalam perspektif PTUN ketentuan ini mengandung arti kumulatif, artinya kedua syarat harus terpenuhi yaitu mendapatkan hukuman pidana paling singkat dua tahun penjara dan pidana tersebut dilakukan dengan berencana. Jika salah satu dari syarat tersebut tidak terpenuhi, maka terhadap PNS yang bersangkutan tidak dapat diberlakukan ketentuan pasal 87 ayat (4) huruf d UU ASN, sementara untuk pidana yang dilakukan dengan berencana hanya dapat ditafsirkan oleh majelis hakim pidana dalam putusannya dan tidak bisa ditafsirkan oleh pejabat lain, tak terkecuali hakim peradilan administrasi.
ABSTRACT
This thesis studied about the practice of dishonourable dismissal to civil servant from the perspective of state administrative court. This is a research of normative laws using bibliography study and interview in its data aggregation, where the gathered data are analysed using qualitative approach. Dishonourable dismissal is regulated in article 87 section 4 of Law number 5 of 2014 about State Civil Apparatus. Civil servant who believes their self-interest is harmed by the issuing of dishonourable dismissal decision can offer administrative effort first before submitting a lawsuit in State Administrative Court which consist of an objection and an administrative appeal. In the perspective of State Administrative Court, the practice of article 87 section 4 of The State Civil Administration Law by the state administration official in fact cause legal uncertainty. As in the implementation of article 87 section 4 subsection b of The State Civil Administration Law applied in retroactive to civil servant with criminal charge in crime of official occupation, namely the crime of corruption. Then in the implementation of article 87 section 4 subsection d in The State Civil Administration Law, in the perspective of State Administrative Court, this regulation contains cumulative meaning, in the significance that the two conditions have to be completed, namely one has to get criminal charge with minimum imprisonment of 2 years and the crime has to be a premeditated crime. If one of those requirements is not completed, then the regulation in article 47 section 4 subsection d can not be implemented to the civil servant in concern, while the charge for premeditated crime can only be interpreted by the criminal court panel in their verdict and can not be interpreted by any other officials, with no exception to administrative court judge.
2020
T54824
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Ravy Rasyid
Abstrak :
ABSTRAK
Keberadaan Peradilan Administrasi dalam negara Republik Indonesia adalah suatu "conditio sine qua non" dari Negara Hukum Pancasila. Berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 yang diundangkan pada tanggal 29 Desember 1986, Peradilan Administrasi atau yang dapat juga disebut sebagai Peradilan Tata Usaha Negara, secara resmi berdiri. Namun, penerapan dari undang-undang ini masih memerlukan waktu yang cukup lama untuk dapat berlaku secara efektif. Dan karena itu implementasinya masih akan menimbulkan berbagai permasalahan yang harus segera diatasi sebelum lembaga ini dapat berjalan dan berfungsi. Permasalahan itu, antara lain, belum jelasnya atau belum lengkapnya suatu ketentuan yang terdapat di dalam undang-undang ini. Hal ini akan menimbulkan berbagai kesulitan apabila ketentuan itu hendak diterapkan. Menyadari bahwa lembaga ini adalah suatu yang relatif baru, maka pelaksanaannya akan dilakukan secara bertahap atau tidak akan dilaksanakan sekaligus. Hal ini akan menimbulkan berbagai implikasi yang jalan keluarnya harus dilakukan dengan mengeluarkan peraturan-peraturan pelaksanaan. Sebab, kalau implementasinya tidak jelas itu akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan bahkan kevakuman hukum. Dapat dimaklumi bahwa kekurangan yang terdapat dalam undang-undang ini, atau keterbatasan wewenang dari lembaga ini didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang rasionil. Namun, diharapkan bahwa dalam perkembangannya nanti lembaga ini akan lebih luas kompetensinya.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Indra R.
Abstrak :
Konsep welfare state mengakibatkan perluasan peran pemerintah dalam segala aspek kehidupan masyarakat yang bertujuan memajukan kesejahteraan seluruh warga negara, akibatnya setiap aktivitas masyarakat akan selalu bersinggungan dengan pelaksanaan tugas dari badan atau pejabat tata usaha negara. Maka selalu terdapat berbagai bentuk variasi tindakan pemerintah baik faktual maupun berupa keputusan yuridis tidak setiap Keputusan akan diterima oleh warga negara bila menimbulkan kerugian yang mendesak, walaupun pada dasarnya setiap keputusan tata usaha negara itu adalah Presumptio justae Causa (dilaksanakan dengan seketika). keputusan yang sangat merugikan dilaksanakan tersebut dapat diminta penundaan pelaksanannya kepada pengadilan TUN yang berwenang. Permohonan dapat dikabulkan bila ada kepentingan mendesak/dirugikan dan tidak dikabulkan bila ada kepentingan umum dalam rangka pembangunan. Dalam penelitian ini, ditemukan kepentingan penggugat yang mendesak/dirugikan itu tidak serta merta terjadi. Kepentingan umum dalam rangka pembangunan adalah merupakan kepentingan seluruh negara/bangsa bukan dalam arti kepentingan lokal yang mengharuskan gugatan ditolak. Untuk mengatasi timbulnya sengketa dikemudian yang timbul akibat ketidakcermatan mengambil keputusan, maka saran yang direkomendasikan adalah (1). Perlunya pemahaman wewenang oleh setiap badan atau pejabat TUN dalam pembuatan keputusan; (2) perlunya adanya sanksi berupa pemberian ganti rugi secara pribadi badan atau pejabat TUN yang bersangkutan. Wellfare state resulted in the concept of expending the role of government in all aspects of a society. That aims to promote the welfare of all citizens. A result that every community will always with the implementation of the tasks of the agency or official. Therefore always different forms of government action variations both factual and juridical decisions. Is that not every decisions can be received by citizens when the loss of an urgent cause although basically every decisions (can be) a decisions which is very harmfull for the delayed can be sued to court. That granted will can have an urgent interest/ injured and not granted if there is public interest in the frame work of development. In this research found that the interest of plaintif urgent/ disadvantaged not necessarily occur. Is in the public interest of all citizens/ nation as whole Rather than local interest to addres the incidence of disputes due to decisions that are carefull. the suggestion is recommended (1) The need for the authorities in decisions making (2) The need to sanction the provision of compensation from the time the guilty officials.
Depok: Universitas Indonesia, 2009
S22586
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Enrico
Abstrak :
ABSTRAK
Dalam dimensi sejarah, perluasan kewenangan Peradilan Administrasi dilakukan oleh para hakim peradilan administrasi, sebagai bagian dari proses penemuan hukum (judicial activism) untuk mengisi keterbatasan-keterbatasan UU. No. 5/1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (atau UU. No. 51/2009 dalam perubahan terakhirnya). Namun, perluasan kewenangan absolut peradilan administrasi melalui praktek peradilan berjalan diametral dengan politik hukum kebijakan legislasi. Dalam penelitian ditemukan disharmoni kebijakan politik hukum di bidang pengaturan eksistensi dan fungsi kompetensi absolut Peradilan Administrasi, hal ini disebabkan karena tidak adanya grand design dari para pembuat kebijakan, khususnya di bidang legislasi, untuk membangun suatu sistem peradilan administrasi yang efektif, berwibawa dan kuat sesuai dengan cita negara hukum Indonesia. Kelemahan aturan hukum seringkali disikapi bukan dengan memperhatikan keselarasan sistem, namun menggunakan pendekatan-pendekatan reaktif, yakni berorientasi membuat aturan dan lembaga baru, untuk menata sistem hukum yang terganggu atau bermasalah. Dalam penelitian ini dibahas pula beberapa rancangan undang-undang (RUU) yang secara langsung akan mempengaruhi fungsi peradilan administrasi ke depan, disamping menganalisis sinkronisasi kebijakan legislasi dan regulasi dari lima undang-undang mutakhir yang memperluas/menegaskan kewenangan Peradilan Administrasi dalam sistem hukum nasional yaitu : 1) UU. Keterbukaan Informasi Publik; 2) UU. Pelayanan Publik; 3) UU. Pemilu Anggota DPR/D dan DPD; 4) UU. Pengelolaan Lingkungan Hidup; 5) UU. Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. Pada akhirnya, Peneliti berkesimpulan bahwa politik hukum yang mengatur dan mengelola sistem penyelesaian sengketa antara warga masyarakat atau badan hukum dengan pemerintah dalam kebijakan legislasi maupun regulasi harus disusun dalam suatu grand design perubahan yang mencerminkan hakikat perlindungan hukum kepada masyarakat. Namun perlindungan hukum ini akan lebih bermakna apabila kompentensi peradilan administrasi tidak dibatasi oleh ketentuan sebagaimana dimaksud pasal 1 angka 9 UU PERATUN, maupun pembatasan-pembatasan hukum lainnya, namun mencakup semua tindakan hukum publik administrasi pemerintahan.
ABSTRACT
In historical dimension, the extension of the administrative courts jurisdiction is exercised by administrative judge as part of the judicial activism to strengthen the weakness of the Administrative Court Act no. 5/1986 (last revised on the Act no. 51/2009). Unfortunately, the extension of the administrative court jurisdiction has been diametrically opposed with the legal policy of legislation. The analysis will demonstrate disharmony of the effectiveness legislation of judicial administrative court power, due to the lack of lawmakers grand design to build a effective and strong judiciary system of administrative court based on the idea of Indonesian rule of law. The defective of the laws and regulations tends to be faced in reactive approach for building new regulation or institution. Realizing the lack of political will of the lawmakers to build a effective and strong administrative court power, the reseacher propose some ideas and arguments to optimalize the power of administrative court by systematizing and re-thingking some actual legal issues relating the future of administrative court jurisdiction (ius constituendum). Relating to this topic, the researcher examine as well some of the draft bills whose impact to the future of the administrative court function, besides analyzing current policies which has been expanding the administrative court jurisdiction in national law system namely : 1) Freedom Information Act; 2) Public Service Act; 3) Legislative and Senate Election Act; 4) Enviromental Protection and Management Act; 5) Land Acquistition For Public Purposes Act. Finally, the researcher has a conclusion that legal policy which regulates and operates national legal system of the conflict resolution between the government and the citizen must be composed and designed based on a supporting grand design to promote and guarantee legal protection for citizens. This protection would be more meaningful if the jurisdiction of the administrative court are not limited only to the specific criteria of the administrave court decision according to article 1 figure law 9 Law No. 51/2009, including another legal exemption, but also cover all the public legal action of administrative authority.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39285
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ericha Veteriana
Abstrak :
ABSTRAK
Perkawinan yang sah dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan serta dilakukan pencatatan menurut perundang-undangan. Pencatatan perkawinan dilakukan oleh pejabat pencatat perkawinan dan bentuk dari pencatatan tersebut adalah dikeluarkannya akta nikah akta perkawinan . Sebagai hasil dari keputusan tata usaha negara, akta nikah akta perkawinan dapat menjadi obyek sengketa pengadilan tata usaha negara. Akta nikah akta perkawinan jika ditinjau dari hukum perkawinan, bagi subyek yang melakukan perkawinan merupakan perbuatan hukum perdata, sedangkan menurut Pasal 2 huruf a Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 diatur bahwa, ldquo;Tidak termasuk Keputusan Tata Usaha Negra menurut undang-undang ini Keputusan Hukum Perdata rdquo;. Tesis ini membahas mengenai bagaimana Pengadilan Tata Usaha Negara memandang kedudukan anak dalam proses pembatalan akta perkawinan ibunya sedangkan dalam hukum perkawinan Indonesia yang diatur dalam pasal 23 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, anak bukanlah pihak yang berhak membatalkan perkawinan, serta akan membahas pula akibat yang timbul dari pembatalan akta nikah akta perkawinan melalui pengadilan tata usaha negara. Tesis ini menggunakan penelitian hukum yuridis normatif yaitu penelitian untuk mengetahui sinkronisasi peraturan-peraturan hukum tentang pembatalan perkawinan yang dilakukan oleh anak melalui Pengadilan Tata Usaha Negara yaitu dengan mempelajari, meneliti dan menganalisis masalah dengan menggunakan berbagai literature, baik berupa buku-buku, artikel, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen dan yang lainnya.
ABSTRACT
A marriage is valid if it was conducted according to religion and belief laws and registered according to the regulations. Marriage registration done by marriage register officer and its registration is in the form of a marriage certificate marriage deed . As a result of State Administrative Decree, a marriage certificate marriage deed can be as an object of dispute in the administrative court. According to the marriage law, a marriage certificate marriage deed related to subject who was married constitutes as an act of civil law. While according to article 2 point a Law Number 9 of 2004 regarding Amendment of the Law Number 5 of 1986 is regulated that, ldquo Decree of Civil Law is not included in the scope of the State Administrative Decree according to this law rdquo . This thesis discussed about how Administrative Court considers a position of child in the process of their mother rsquo s marriage certificate revocation while in Indonesia marriage law as regulated in article 23 of the Law Number 1 of 1974, a child is not entitled to revoke a marriage and also discuss the consequences arising from revocation marriage certificate marriage deed through the administrative court. This thesis is using juridical normative i.e. the research to know synchronization about laws regulations regarding revocation of a marriage carried out by child through the administrative court and by studies, research and analyze problem using many literature, either in the form of books, articles, regulation, documents and other.
2017
T47545
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bima
Abstrak :
Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas Negara hukum (rechtsstaat) tidak berdasarkan pada negara yang berdasarkan pada kekuasaan belaka (machtsstaat). Sebagai negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) tentunya tindakan dari pemerintah tersebut harus berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. Dibutuhkan suatu pengujian yuridis terhadap tindakan pemerintah dan pengujian yang dilakukan terhadap tindakan pemerintah itu harus dapat menghasilkan perlindungan bagi kepentingan rakyat. Apabila tindakan tersebut bertentangan dengan kepentingan rakyat, maka kepentingan rakyat tidak semena-mena dapat dikorbankan begitu saja. Prinsip adanya peradilan TUN, untuk menempatkan kontrol yudisial dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik menjadi bias dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Apabila suatu putusan PTUN tidak memiliki kekuatan eksekutorial, bagaimana mungkin hukum dan masyarakat dapat mengawasi jalannya pemerintah yang dilaksanakan oleh pejabat-pejabat TUN. Maka dari itu diperlukannya suatu sanksi administratif yang tegas seperti pembayaran uang paksa dwangsom terhadap si pejabat yang tidak mau melaksanakan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara.
Indonesia is a country based on Law, and not a country based on power, As a country that based on law, surely the Government must act according to law. It is needed to analyze if it was suspected about any Government or Government official wrongdoing which the outcome is for the greater good. The main principal of the Administrative Court is to put Judiciary control on the Government itself. If The Administrative Court make a law decision that does not have a real impact to government, than it really is a waste of time. Therefore there is a need of an administrative punishment for those government officials to make sure that they obey the law decision that have been made by the Administrative Court.
Universitas Indonesia, 2012
S43166
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rinaldi
Abstrak :
Dari penelitian yang dilakukan secara yuridis normatif diperoleh kesimpulan bahwa terhadap putusan yang dikeluarkan oleh majelis Pengawas Pusat Notaris mengenai adanya pelanggaran kode etik dan penjatuhan sanksi didalamnya. Apabila putusan dalam tingka Majelis Pengawas Wilayah, hal itu dapat di banding ke Majelis Pengawas Pusat berdasarkan Undang Undang Jabatan Notaris. Apabila putusan dikeluarkan oleh Majelis Pengawas Pusat, Undang Undang Jabatan Notaris tidak mengatur upaya hukum yang dapat dilakukan. Namun dalam kajian yang dilakukan terhadap 2 (dua) putusan Pengadilan Tata Usaha Negara serta wawancara yang dilakukan kepada anggota Majelis Pengawas Pusat Notaris, maka yang seharusnya diajukan gugatan ke pengadilan Tata Usaha Negara adalah putusan penjatuhan sanksi yang bersifat final, yaitu putusan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagaimana rekomendasi dari putusan Majelis Pengawas Pusat Notaris. Hal ini karena telah terpenuhi unsur final di dalamnya sehingga masuk kedalam objek Tata Usaha Negara
This research, conducted in normative juridical way, concludes that the verdict issued by the Central Notary Supervisory Council regarding the violation of code of ethics and the application of sanctions in it. If the verdict is conducted in the level of Region Notary Supervisory Council, it can appeal to the Central Notary Supervisory Council as contained in Notary Law. If the verdict issued by the Central Notary Supervisory Council, then basically the Notary Law does not regulate what legal effort option that can be done. But in a study conducted on two (2) the decision of the State Administrative Court as well as interviews to member of the Central Notary Supervisory Council1.In this case the decision of the Minister law and Human Rights as well as the recommendations of the verdict by Central Notary Supervisory Council. This is because it has fulfilled the final element in it that goes into object of State Administration.
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T46110
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vino Devanta Anjaskrisdanar
Abstrak :
ABSTRAK
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki peran yang penting dalam penegakan hukum di Indonesia serta sama-sama menjalankan tugas konstitusional. Salah satu amanah konstitusional antara PTUN dan MK yaitu sama-sama menjadi lembaga pengadilan dalam memeriksa perselisihan yang muncul dalam proses Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada). Kewenangan antara PTUN dan MK sudah dibedakan secara tegas dalam Pemilukada. PTUN untuk menangani perselisihan administrasi Pemilukada dan MK untuk menangani perselisihan hasil Pemilukada. Namun, kedua putusan di lembaga pengadilan yang berbeda tersebut juga bisa memberikan implikasi hukum yang berbeda terhadap legalitas pasangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang terpilih. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normatif dengan menggunakan metode analisis data secara kualitatif. Secara teoritis, apabila melihat prinsip kekuatan hukum yang mengikat erga omnes, baik putusan PTUN yang berkekuatan hukum tetap maupun MK sama-sama memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Problem yang muncul adalah KPU/KPU Provinsi/KPU Kabupaten/Kota sebagai pejabat yang wajib untuk selalu melaksanakan putusan pengadilan berada dalam dilema yuridis untuk melaksanakan putusan antara putusan PTUN yang berkekuatan hukum tetap dan MK yang memiliki implikasi hukum yang berbeda. Di sisi yang lain, baik putusan PTUN yang berkekuatan hukum tetap maupun MK memiliki kendala dalam penerapannya apabila terkait dengan proses Pemilukada baik itu diakibatkan oleh kultur hukum, kendala teknis, posibilitas konflik sosial yang ditimbulkan, dan sebagainya. Perbedaan implikasi putusan antara PTUN yang berkekuatan hukum tetap dan MK diakibatkan oleh tidak adanya batasan waktu penanganan perselisihan administrasi dan tidak harmonisnya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Kepemiluan. Hal ini mencerminkan politik hukum terkait dengan pengaturan pengisian posisi jabatan pasangan Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah yang seharusnya setiap periode selalu harus ada perbaikan dan evaluasi.
ABSTRACT
State Administrative Court (PTUN) and the Constitutional Court ( MK ) has an important role in law enforcement in Indonesia and constitutional duties equally. One of the constitutional mandate of the Administrative Court and the Constitutional Court is equally into the courts in examining the disputes that arise in the General Election of Regional Head (Pemilukada) process. Authority between the Administrative Court and the Court has explicitly distinguished in the General Election. The Administrative Court to handle administrative disputes and the Constitutional Court to handle election result disputes. However, two decisions on different courts could also provide different legal implications of the legality the chosen of Regional Head and Deputy Head. This study is a juridical-normative research using qualitative methods of data analysis. Theoretically, based on principle legally enforceable erga omnes, the decision of the permanent legal binding Administrative Court and the Constitutional Court has the same binding legal force. The problem is KPU/ KPU Province/Regency/City (election commission) as officials are obliged to execute court decisions are always in a dilemma between the judicial decision to execute the decision of the permanent legal binding Administrative Court or the Constitutional Court which has different legal implications. On the other hand, the decision of the permanent legal binding Administrative Court and the Constitutional Court has disadvantages in its application if either linked to Election process was caused by the legal culture, technical constraints, posed for the possibility of social conflict, etc. The difference between the implications of the decision of the permanent legal binding Administrative Court and the Constitutional Court due to the absence of a time limit and has a problem about the harmony of electoral legislation. This reflects the ‘politics of law’ related to the charging arrangements positions of Regional Head and Deputy Head that always should be improvements and evaluation periodically.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T38731
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eko Setyo Budi
Abstrak :
Berlakunya Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik membawa perubahan paradigma beracara khususnya di Peradilan Tata Usaha Negara. Untuk menyelesaikan sengketa informasi publik, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik mengamanahkan pembentukan Komisi Informasi. Dalam tradisi hukum acara peradilan tata usaha negara komisi seperti ini seringkali disebut peradilan semu atau (quasi rechtspraak). Namun demikian tidak dengan Komisi Informasi, Komisi ini merupakan lembaga profesional yang mengevaluasi bagaimana seharusnya keterbukaan informasi itu diselenggarakan dalam suatu negara hukum. Pihak-pihak bersengketa di Komisi Informasi, yaitu Badan Publik dan Pengguna Informasi Publik, dapat mengajukan keberatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara apabila badan publiknya adalah Badan Publik Negara. Jika dalam tradisi peradilan tata usaha negara pejabat tata usaha negara senantiasa berkedudukan tergugat, maka dalam penyelesian sengketa informasi pubik di pengadilan, tradisi itu tidak berlaku lagi. Masing-masing dapat bertindak sebagai Penggugat atau Tergugat sesuai dengan kepentingan masing-masing. Komisi Informasi yang putusannya menjadi acuan untuk dinilai tidak termasuk sebagai pihak yang bersengketa. Terkait dengan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Nomor 160/G/2011/PTUN- JKT, dapat diambil kesimpulan bahwa Peradilan Tata Usaha Negara berwenang secara absolut untuk menyelesaiakan sengketa informasi publik. Namun demikian terdapat keterlanjuran proses peradilan yaitu mendudukan Komisi Informasi sebagai tergugat sehingga memungkinkan untuk dilakukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung.
The enactment of the Law Number 14 of 2008 on Public Information Disclosure, has brought a paradigm shift on the proceeding of courts, especially the State Administrative Court. In order to settle public information disputes, the Law Number 14 of 2008 on Public Information Disclosure mandated the establishment of the Information Commission. This commission is usually called quasi judicial body (quasi rechtspraak) in the State Administrative Court's Procedural Law, but not with this Commission. The Information Commission is a professional body which evaluates how the Public Information Disclosure should be held in a state law. If the Parties initially disputed in the Information Commission, i.e. the Public Body and the public information user, do not accept the verdict of the Information Commission, they may file lawsuit to the State Administrative Court as long as the public body is a statepublic body. If in the State Administrative Court's Procedural Law the state administrative officials always serves as a defendant, then in the settlement of public information dispute in court, the tradition does no longer apply. Each one can act as a Plaintiff or Defendant depending on their own interests. The Information Commission, which decision becomes a reference for assessment, is not considered as a disputing party. In relations to the Jakarta State Administrative Court Decision Number 160/G/2011/PTUN- JKT, it can be concluded that the State Administrative Courts has an absolute competentie to settle the public information disputes. However, there is an error in in the judicial process which put the Information Commission as defendant which allows cassation to be filed to the Supreme Court.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library