Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lumban Tobing, David M.
"Perjanjian Baku pengalihan tanggung jawab dalam permasalahan perparkiran sudah menjadi hal umum dan juga mendapatkan legalitas dari Peraturan Daerah tentang Perparkiran. Mengingat di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, hal tersebut termasuk yang dilarang dan telah dinyatakan batal demi hukum maka penelitian ini bertujuan memberikan kepastian hukum tentang tanggung jawab pengelola parkir.
Metode penelitian dilakukan dengan meninjau dasar hukum penjanjian baku dari segi teori - teori hukum perjanjian dan putusan-putusan pengadilan dan hasilnya adalah perjanjian baku pengalihan tanggung jawab tidak dibenarkan oleh hukum positif kecuali didasarkan perjanjian sewa menyewa yang ditandatangani bersama oleh para pihak dan apabila tidak demikian resiko hilangnya mobil ditanggung oleh pengelola parkir. Asuransi parkir-parkiran oleh pengelola parkir menjadi jalan keluar terbaik bagi terciptanya keseimbangan hak dan tanggung jawab antara pengelola parkir dan pemakai jasa parkir."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
T17046
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reyhan Arsyaputra
"[Penelitian ini membahas perbandingan pengaturan dan isi perjanjian perkawinan menurut hukum Indonesia dan Jerman, dengan melakukan analisis langsung terhadap peraturan di Indonesia yaitu KUH Perdata dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, serta peraturan di Jerman yaitu Bürgerliches Gesetzbuch (BGB) atau yang juga disebut sebagai German Civil Code. Penelitian ini bersifat yuridis normatif dengan metode pengolahan dan analisis data yang menggunakan pendekatan kualitatif. Pada ketiga peraturan ini terdapat beberapa perbedaan yang mendasar dalam hal pembuatan perjanjian perkawinan. Hasil penelitian ini menunjukan bagaimana pengaturan dan penerapan dalam perjanjian perkawinan di Indonesia dan Jerman, yang bertujuan untuk memperbaiki pengaturan terhadap perjanjian perkawinan di Indonesia.
......This research studies the comparative analysis on regulation and content of marriage agreement between Indonesia and Germany, by conducting direct analysis pursuant to Indonesian Law namely KUHPerdata and Law No. 1 Year 1974 regarding Marriage, and regulation in German Law namely Bürgerliches Gesetzbuch (BGB) or German Civil Code. This is a normative juridical research with the method of data process and analysis using a qualitative approach. On these three regulations, there are fundamental differences in terms of making the marriage agreement. The research points on how the regulation and implementation of the marriage agreement in Indonesia and Germany, which aims to improve the regulation on marriage agreement in Indonesia.
, This research studies the comparative analysis on regulation and content of marriage agreement between Indonesia and Germany, by conducting direct analysis pursuant to Indonesian Law namely KUHPerdata and Law No. 1 Year 1974 regarding Marriage, and regulation in German Law namely Bürgerliches Gesetzbuch (BGB) or German Civil Code. This is a normative juridical research with the method of data process and analysis using a qualitative approach. On these three regulations, there are fundamental differences in terms of making the marriage agreement. The research points on how the regulation and implementation of the marriage agreement in Indonesia and Germany, which aims to improve the regulation on marriage agreement in Indonesia.
]"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S62382
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adis Banjere
"Salah satu bentuk bisnis yang turut meramaikan dunia perdagangan Indonesia saat ini adalah factoring, yang dalam istilah Indonesia disebut anjak piutang. Perjanjian anjak piutang tidak dikenal dalam RUH Perdata maupun KUH Dagang, tetapi dapat hidup dan berkembang karena RUH Perdata kita mengenal sistem terbuka dan azas kebebasan berkontrak yang berpangkal dari adanya kedudukan kedua belah pihak yang sama derajat. Namun, dalam praktek, perjanjian anjak piutang berbentuk kontrak baku yang isi dan syarat kontraknya telah ditentukan sepihak oleh factor, maka klien hanya berpeluang untuk menerima atau menolak syarat-syarat yang telah ditentukan tersebut. Di sini nampak dominasi factor yang cukup besar sehingga kewajaran perjanjian tersebut sangat tergantung kepada factor. Faktor selalu memaksakan kehendaknya pada klien. Lemahnya posisi klien tergambar dalam Termination Clause dan syarat panghentian perjanjian sebelum saat berakhirnya perjanjian. Secara substansi hubungan hukum antara factor dengan klien tidak jelas, terutama dalam hal menentukan masalah tanggung jawab hukumnya.
Dari hasil penelitian ini, disarankan agar pemerintah perlu membuat ketentuan yang membatasi kebebasan berkontrak dan mencegah penggunaan klausul kontrak yang tidak seimbang, yaitu dengan cara membuat ketentuan yang berisikan larangan menggunakan klausul kontrak yang dinilai dapat merugikan klien baik dari segi kepatutan, keadilan maupun berdasarkan kebebaaan dalam dunia bisnis di Indonesia sehingga pada akhirnya, tercipta kondisi bisnis anjak piutang yang saling menguntungkan baik dari segi hukum maupun dari segi bisnis yang pada akhirnya dapat merangsang pertumbuhan dan kegiatan usaha anjak piutang untuk menunjang perekonomian di Indonesia.
Sasaran yang ingin dicapai adalah memberikan porlindungan hukum yang seimbang kepada factor, klien, dan customer, pembatasan kebebasan berkontrak dapat dilakukan dengan dua Cara yaitu, Pertasra, menyempurnakan kaidah-kaidah dalam buku III KUH Perdata atau membuat undang-undang tentang perikatan dan undang-undang tentang hukum kontrak (termasuk kontrak baku). Kedua, membuat beberapa undang-undang yang khusus mengenai suatu aspek tertentu seperti undang-undang mengenai anjak piutang."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Ryantho
"Mengingat pentingnya kedudukan perkreditan dalam proses pembangunan, sudah semestinya pemberi dan penerima kredit serta pihak ketiga yang terkait dalam hal itu mendapat perlindungan melalui lembaga hak jaminan yang kuat dan yang dapat pula memberi kepastian hukum bagi semua pihak yang berkepentingan.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata secara umum tidak mengatur hal yang dimaksud. Dalam Pasal 1131 misalnya ditentukan bahwa seluruh harta kekayaan debitur merupakan jaminan bagi pelunasan piutang semua krediturnya. Dalam keadaan biasa, jika kreditur dalam pemberian kredit, berhati-hati dengan memperhitungkan nilai hartanya kekayaan debitur, jaminan Pasal 1131 tersebut sudahlah memadai, lebih-lebih bila debitur memenuhi apa yang telah diperjanjikan. Namun jaminan tersebut bukan hanya tertuju kepada kreditur tertentu. Setiap kreditur karena hukum memperoleh jaminan yang lama, jika ternyata jumlah piutang melebihi hasil penjualan semua barang debitur, tidak akan ada kreditur yang memperoleh pelunasan secara penuh.
Kemungkinan lain yang dihadapi kreditur adalah selama hubungan utang-piutang berlangsung sebagian harta kekayaan debitur tidak lagi cukup untuk pelunasan piutangnya secara penuh karena bukan lagi milik debitur (bagian yang dijual itu bukan lagi merupakan jaminan yang dimaksud dalam Pasal 1311 di atas).
Untuk mengatasi kedua kelemahan tersebut di atas, hukum menyediakan suatu lembaga khusus yang memberikan kedudukan istimewa kepada kreditur untuk mengamankan pelunasan piutangnya tertentu ditunjuk suatu bidang atau bidang-bidang tanah tertentu sebagai jaminannya. Lembaga yang dimaksud dikenal sebagai "hak jaminan atas tanah".
Sebelum berlakunya UUPA, lembaga hak jaminan atas tanah yang ada adalah hipotek, jika yang dijaminkan tanah hak barat. Ketentuannya diatur dalam Buku II KUNPerd, sedangkan pendaftarannya dilakukan menurut Overschrijving Ordonantie Th. 1834. Jika yang dijaminkan tanah hak milik adat, lembaga jaminannya Credielverband diatur dalam S.1908-542 yo S,1909-586.
Jika debitur cedera janji, kreditur pemegang hipotek dan credietverband mempunyai kedudukan mendahului daripada kreditur-kreditur lainnya yang dikenal dengan sebutan droll de preference. Kedua jenis lembaga tersebut tetap membebani tanah yang dijadikan jaminan, ditangan siapapun tanah itu berada (droll de suite).
UUPA menyediakan hak jaminan atas tanah bare dengan sebutan "Hak Tanggungan". Dalam Pasal 51 diperintahkan bahwa "Hak Tanggungan yang dapat dibebankan pada Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan tersebut dalam Pasai 25, 33, dan 39 diatur dengan undang-undang". Selanjutnya, Pasal 57 menentukan bahwa "selama undang-undang mengenai hak tanggungan tersebut dalam Pasal 51 belum terbentuk, maka yang berlaku ialah ketentuan-ketentuan mengenai hipotek tersebut dalam KUHPerd Indonesia dan Credietverband dalam 5.1908-542 sebagai yang telah diubah dengan S.1937-190".
Dengan adanya ketentuan Pasal 57 tersebut, sejak mulai berlakunya UUPA, kecuali mengenai objeknya, terhadap hak tanggungan diberlakukan ketentuan hipotek atau credietverband hanya dimungkinkan bagi bank-bank pemerintah.
Dalam perkembangannya ketentuan hak tanggungan menjadi bertambah dengan diselenggarakannya Pendaftaran Tanah menurut PP 10 Tahun 1961 dan ditertibkannya UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun. Dengan adanya ketentuan baru tersebut dengan sendirinya ketentuan hipotek dan credietverband tidak berlaku lagi.
Dengan berlakunya Undang-Undang No. 16 Tahun 1985, objek hak tanggungan ditambah dengan rumah susun dan hak milik atas satuan rumah susun yang bangunannya berdiri di atas tanah hak milik dan hak guna bangunan serta hak pakai atas tanah negara dapat dibebani hak tanggungan dengan fidusia, dimungkinkan juga "roya partial" dan eksekusi melalui penjualan di bawah tangan. Ketentuan-ketentuan ini tidak dijumpai dalam hukum hipotek dan credietverband.
Perubahan yang mendasar adalah mengenai tata cara pembebanannya dan penerbitan surat tanda bukti hak tanggungan. Pendaftarannya tidak lagi dengan sistem registration of deeds metainkan dengan sistem registration of title.
Pemberian hak tanggungan dilakukan dihadapan PPAT dalam rangka pembuatan akta pembebanannya, sedangkan pendaftarannya dilakukan di Kantor Pendaftaran Tanah setempat dalam rangka penerbitan sertifikatnya. Hak tanggungan lahir tujuh hari setelah penerimaan secara lengkap berkas pendaftaran oleh Kantor Pendaftaran Tanah. Sertifikat hak tanggungan terdiri atas salinan buku tanah dan salinan akta pembebanan hak tanggungan dijilid menjadi satu dalam suatu sampul. Untuk memberikan kekuatan eksekutorial, sertifikat tersebut diberi kata-kata "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Sertifikat ini dapat menggantikan grose akte hipotek dan grose akte credietverband (SK Dirjen Agraria No. SK 67/DDA/1968 dan SE BPN No. 594-3/239/KBON.
Biarpun sudah ada tambahan ketentuan tersebut di atas, masih tetap ada dua macam hak tanggungan, yaitu yang menggunakan ketentuan hipotek dan credietverband, sebagai akibat belum dipenuhi perintah Pasal 51 UUPA.
Dengan berlakunya Undang-Undang Hak Tanggungan, terpenuhilah apa yang diperintahkan Pasal 51 UUPA tersebut hingga tidak diperlukan lagi ketentuan hipotek credietverband seperti yang dimungkinkan oleh Pasal 57 UUPA tersebut. Dengan demikian, dualisme dalam penggunaan hak tanggungan sejak UUHT tidak berlaku lagi, kecuali untuk kapal-kapal tertentu menurut KURD. Fidusia juga tidak diperlukan lagi sebagai lembaga jaminan bagi hak pakai atas tanah negara dan karena telah ditunjuk sebagai objek hak tanggungan dalam Undang-Undang Hak Tanggungan."
Depok: Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Taruli Phalti Patuan
"ABSTRAK
Hak-hak pasien di Indonesia dalam beberapa dekade belakangan ini berkembang pesat sekali. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya gugatan maupun tuduhan malpraktek terhadap tenaga kesehatan yang telah memberi gambaran kepada kita, bahwa masyarakat sebagai konsumen jasa kesehatan kini telah menuntut pelaksanaan hak-hak yang mereka miliki tersebut. Kini mereka telah berani menilai bahkan mengkritik mutu pelayanan kesehatan yang mereka terima. Hubungan antara dokter dengan pasien biasa disebut dengan perjanjian terapeutik atau transaksi terapeutik. Hubungan ini mempunyai obyek berupa upaya penyembuhan atau upaya perawatan terhadap pasien, namun seiring dengan perkembangan jaman, banyak peristiwa yang menyebabkan kerugian pada sisi pasien. Hal inilah yang membuat suatu gagasan bahwa perlindungan pasien sangat di perlukan di Indonesia. Perlindungan pasien dapat diakomodir melalui jalur perlindungan konsumen, yakni melalui Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Peraturan inilah yang diharapkan dapat mengayomi pasien maupun dokter dalam melakukan transaksi terapeutik, agar kiranya tidak ada lagi, diantara pihak tersebut yang merasa hak maupun kewajibannya dilanggar. Hukum perlindungan konsumen di Indonesia telah memuat dasar-dasar hukum mengenai perlindungan konsumen yang jelas dan tegas di segala bidang, salah satunya adalah bidang kesehatan. Namun, di dalam pelaksanaan praktek di lapangan, masih banyak pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak pasien, masih adanya ketidak adilan di dalam proses hukum dan masih rendahnya posisi pasien di mata hukum. Oleh karenanya, diharapkan dengan penulisan ini, hak-hak pasien di Indonesia dapat dikedepankan, agar kiranya dapat memulihkan kembali kepercayaan masyarakat luas kepada jasa kesehatan di Indonesia.

ABSTRAK
The patient's rights in Indonesia have been rapidly developed. This can be seen from the numbers of claims or the accusation of malpractice to the paramedics in which case has already given the picture to us that societies as medical consumers have demanded their rights to be done well. Now they are brave to judge even to critic the quality of the medical services that they receive. The relationship between doctor and patient is called therapeutic agreement or therapeutic transaction. This connection has several objects which are the attempt of recovery or treatment to the patient, however as the time goes, many events caused loss for the patient. This is the idea that patient protection is very needed in Indonesia. Patient protection can be accommodated through the consumer protection line which is through the rule of consumer protection. This will be hopefully could protect the patient or doctor so there'll be no more between those sides who will feel their rights are being violated. This law has accommodate with law foundation about patient protection clear and explicit in every sector, one of the sector is about health. But, in realization so many infraction about the patient's right, they still have unfair situation in law procedur and their position below the law are still low.
"
2007
T19902
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Audley Al Rasyid
"Safe Deposit Box merupakan salah satu jasa yang ditawarkan oleh banyak Bank di Indonesia, salah satunya di Bank Mandiri. Dalam perjanjian sewa Safe Deposit Box, pihak yang terkait adalah Bank dan Nasabah. Perjanjian tersebut berbentuk Perjanjian Standar dimana sudah berbentuk formulir dan berisi peraturan yang dimana Nasabah hanya memiliki pilihan untuk menerima atau menolak. Perjanjian Standar tersebut seringkali menjadi permasalahan karena seringnya isi perjanjian tersebut lebih menguntungkan pihak pembuatnya yaitu pihak Bank, seperti pencantuman Klausa Eksonerasi yang dapat melepas tanggung jawab hukum pihak pembuat perjanjian. Oleh karena itu, Undang Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menjadi perlindungan hukum bagi Nasabah karena membatasi hal tersebut agar Nasabah tidak dirugikan. Dan karena perjanjian adalah menjadi undang-undang bagi pihak-pihaknya, maka perjanjian tersebut tidak hanya dapat menjadi perlindungan hukum bagi Nasabah, tetapi dapat pula menjadi perlindungan hukum bagi Bank.
......Safe Deposit Box is one of the services offered by many banks in Indonesia, one of which is at Bank Mandiri. In the Safe Deposit Box rental agreement, the relevant parties are the Bank and the Customer. The agreement is in the form of a Standard Agreement which is in the form of a form and contains rules which the Customer only has the choice to accept or reject. The Standard Agreement is often a problem because often the contents of the agreement are more beneficial to the maker, namely the Bank, such as the inclusion of an Exoneration Clause that can release the legal responsibilities of the party making the agreement. Therefore, Law No. 8 of 1999 concerning Consumer Protection becomes legal protection for the Customer because it limits it so that the Customer is not disadvantaged. And because the agreement is a law for the parties, the agreement can not only be a legal protection for the Customer, but can also be a legal protection for the Bank."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cokro Vera
"ABSTRAK
Tesis ini membahas kewajiban penggunaan Bahasa Indonesia dalam perjanjian
berdasarkan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera,
Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (“UU Nomor 24 Tahun
2009”) ditinjau dari Hukum Perjanjian. Penelitian ini adalah penelitian yuridis
normatif dengan menggunakan tipe penelitian preskriptif untuk dapat mengetahui
akibat hukum tidak dipenuhinya kewajiban penggunaan Bahasa Indonesia
sebagaimana diatur dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009
ditinjau dari Hukum Perjanjian dan pada bagian akhir memberikan saran dan opini
hukum yang lebih spesifik untuk permasalahan seputar kewajiban penggunaan
Bahasa Indonesia dalam perjanjian yang melibatkan pihak asing. Hasil penelitian
menyatakan bahwa perjanjian yang tidak dibuat dalam Bahasa Indonesia adalah
bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009. Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2009 tidak mengatur sanksi atau akibat hukum pelanggaran
kewajiban penggunaan Bahasa Indonesia dalam perjanjian dan apabila ditinjau
dari Hukum Perjanjian tidak dipenuhinya kewajiban penggunaan Bahasa
Indonesia dalam perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 31 Undang-Undang
Nomor 24 tahun 2009 tidak masuk dalam kerangka akibat hukum yang batal demi
hukum jika syarat objektif sahnya perjanjian tidak terpenuhi. Dengan demikian
tidak dipenuhinya kewajiban penggunaan Bahasa Indonesia dalam perjanjian
tidak serta merta mengakibatkan perjanjian tersebut batal demi hukum seperti
dalam Keputusan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat Perkara Nomor
451/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Bar.

ABSTRACT
This thesis specify obligation to use Bahasa Indonesia for agreement as stipulated
in Article 31 of Law Number 24 of 2009 in view of Legal Agreement (Agreement
Law). This is a normative judicial research by using prescriptive research to
ascertainable that it is not an obligation to the law to fulfill obligation to use
Bahasa Indonesia in agreement as stipulated in Article 31 Law Number 24 of
2009 in view of Legal Agreement (Agreement Law) and in the end of this thesis
able to provide a legal advice and opinion which is more specific to settle issues
around the obligation to use Bahasa Indonesia for agreement involving foreign
party. The results finally determine that in view of Legal Agreement (Agreement
Law) not fulfilling the obligation to use Bahasa Indonesia for agreement as
stipulated in Article 31 Law Number 24 of 2009 is not include as void by law if
objective requirement unfulfilled, therefore it does not necessarily lead the
agreement to be void by law as decided by Judge of West Jakarta District Court
Case number 451/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Bar."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T43342
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Fauzi
"Skripsi ini membahas mengenai hukum perjanjian jual beli di Indonesia, termasuk pengertian mengenai perjanjian, asas hukum perjanjian, syarat sah perjanjian, akibat hukum perjanjian, berakhirnya perjanjian, defini dan terjadinya jual beli, kewajiban penjual dan pembeli, hak-hak penjual, risko, serta penjualan barang orang orang lain yang kemudian dibandingkan dengan hukum perjanjian jual beli yang berlaku di Singapura. Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat persamaan dan perbedaan dalam hukum perjanjian jual beli antara Indonesia dengan hukum perjanjian jual beli di Singapura. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode perbandingan hukum yang menghasilkan bentuk penelitian yuridis- normatif. Hasil penelitian ini menyarankan bahwa Indonesia perlu merevisi ketentuan perjanjian jual beli dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai perjanjian jual beli yang lebih komprehensif untuk menciptakan kepastian hukum bagi para pelaku kegiatan ekonomi khusunya jual beli.
......This thesis discuss the law and regulation of sell and purchase agreement in Indonesia, including the understanding of the agreement, the legal terms of the agreement, the conseqences of agreement, the termination of the agreement, the definition of sell and purchase, the seller's and buyer's account, the right of the seller, the risks and sal of other goods which are compared with the applicable law of the sale and purchase agreement in Indonesia and Singapore. The research method is used in this thesis is a legal comparative study that resulting a juridical normative form of research. The result of this research is to suggest that Indonesia needs to revise the terms of the sale and purchase agreement that is stipulated in the Indonesian Civil Code, the law should be comprehensive to create a legal certainty for the person who conduct an economy activity, especially sell and purchase. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S69523
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library