Telah dilakukan penelitian yang bertujuan mengetahui potensi hepatoprotektif madu PS terhadap kadar alkali fosfatase (ALP) mencit (Mus musculus L.) jantan galur DDY. Dua puluh empat ekor mencit jantan dibagi ke dalam 4 kelompok hewan uji, yaitu kelompok kontrol normal (KK1) yang diberikan akuades dan minyak kelapa; kelompok kontrol perlakuan (KK2) yang diberikan akuades dan CCl4; serta 2 kelompok perlakuan (KP1 dan KP2) yang diberikan madu PS 10% dan 20% selama 14 hari berturut-turut, kemudian CCl4 2 jam setelah pemberian madu terakhir. Darah diambil 24 jam setelah injeksi CCl4. Kadar ALP diukur dengan metode kolorimetri. Hasil uji anova satu arah (P<0,05) menunjukkan adanya pengaruh nyata pemberian madu PS terhadap kadar ALP semua hewan uji. Dibandingkan kadar ALP KK2, kadar ALP KP1 lebih rendah 30,5% dan KP2 lebih rendah 52,9%. Namun, uji LSD (P<0,05) menunjukkan hanya kadar ALP KP2 yang tidak berbeda nyata dengan KK1. Berdasarkan hasil tersebut, disimpulkan bahwa potensi hepatoprotektif madu PS 20% lebih besar dibandingkan madu PS 10%.
The study has been conducted to know the hepatoprotective potency of PS honey administration on male-DDY mice’s alkaline phosphatase level of blood plasma. Twenty four male mice were divided into four groups, namely normal control group (KK1) which was administered with aquadest and coconut oil; treatment control group (KK2) which was administered with aquadest and CCl4; and two treatment groups which was administered with PS honey 10% (KP1) and 20% (KP2) within 14 consecutive days and three groups (KK2, KP1,and KP2) were injected with CCl4 on the 14th day. Alkaline phosphatase was measured based on colorimetry method. One-way anova test (P<0,05) showed that alkaline phosphatase levels were significantly different. Compared with KK2, the alkaline phosphatase levels of KP1 and KP2 were 30,5% and 52,9% lesser than KK2, consecutively. However, LSD test (P<0,05) showed that only alkaline phosphatase level of KP2 was not significantly different. In conclusion, dose 20% of PS honey is more potential on hepatoprotective than those of 10%.
Fraktur delayed union dan union sampai saat ini masih menjadi tantangan para dokter orthopaedi. Berbagai terapi menggunakan metode biologi dan biofisika digunakan untuk mendorong penyembuhan fraktur nonunion. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penggunaan stimulasi PEMF (Pulsed Electromagnetic Fields) untuk mempercepat penyembuhan fraktur model delayed union dengan menggunakan hewan coba. Sebanyak dua puluh empat tikus Spraque Dawley dikelompokan menjadi dua yaitu kelompok Kontrol dan kelompok PEMF. Kelompok PEMF mendapatkan pajanan medan magnet dinamik dengan intensitas 1.6 mT, frequency 50 Hz dan lama pajanan 4 jam /hari selama 7 hari / minggu. Kemajuan penyembuhan fraktur dinilai secara histopatologi dengan metode histomorfometri dan secara biokimia pada hari ke 5, 10, 18 dan 28 paska fraktur. Parameter histomorfometri yang dievaluasi adalah persentase area fibrosa, tulang rawan dan tulang. Penanda biokimia penyembuhan fraktur yang dievaluasi adalah Alkaline Phosphatase pada serum darah yang diperiksa menggunakan metode Elisa. Hasil pemeriksaan histomorfometri menunjukkan pada kelompok PEMF, jaringan fibrosa menurun secara signifikan pada tahap awal penyembuhan fraktur. Aktivitas Alkaline Phosphatase meningkat signifikan menunjukkan kenaikan aktivitas osteoblas dalam membentuk matrik tulang. Berdasarkan analisis statistic menunjukkan adanya korelasi yang bermakna antara aktivitas Alkaline Phosphatase dengan presentasi jaringan tulang pada hari ke 10 paska fraktur, hal ini menunjukkan bahwa ALP dapat digunakan sebagai penanda awal proses penyembuhan fraktur.
Delayed union and non-union fracture remain a major clinical challenge for the orthopedic surgeon. Many biophysical and biological modalities can be used to promote healing of non-union. The aim of this study was to evaluate the healing process of femoral delayed union fracture model after pulsed electromagnetic field (PEMF) stimulation. Twenty four rats were randomized into two groups; Control group and PEMF group, administration of PEMF stimulation (1.6 mT, frequency 50 Hz, 4 hours/day). The progression of healing was evaluated by histomorphometry and biochemical assessment at days 5, 10, 18 and 28 post fracture. The histomorphometry parameters were evaluated; percentages area of fibrous, cartilage and osseous tissue. The serum biochemical marker of bone healing, Alkaline Phosphatase was determined using ELISA kit. Histomorphometry evaluation showed that in PEMF groups, fibrous tissue significantly decreased in the early phase of fracture healing. Alkaline phosphatase activity increased significantly in the PEMF group which indicated an increase in osteoblast activity in the bone matrices formation. The results of this study also showed a strong postitive correlation between ALP activity and bone formation on the 10th day after fracture, so that ALP can be used as a markers to assess fracture healing in the early stages.