Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 53 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hendrik
"ABSTRACT
Penentuan lebar enam gigi anterior rahang atas cukup menyulitkan, terutama bila tidak terdapat catatan pra ekstraksi. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk menemukan rumus untuk membantu memprediksi lebar enam gigi anterior rahang atas dengan pengukuran fasial tertentu diantaranya : jarak interalar, jarak intercanthal, dan jarak intercommissural, dan untuk menentukan korelasi antara lebar enam gigi anterior rahang atas dengan pengukuran fasial yang dilakukan. Penelitian ini dilakukan di RSKGM UI dengan jumlah subjek sebanyak 60 orang terdiri dari 36 wanita dan 24 laki laki. (Persetujuan etik FKG UI, Jakarta, 26 Maret 2013 Nomor: 19/Ethical Clearance/FKG UI/III/2013). Tiap subjek dilakukan pengukuran jarak interalar, jarak intercanthal, jarak intercommissural dan lebar enam gigi anterior rahang atas dengan menjumlahkan lebar masing masing gigi anterior rahang atas. Korelasi koefisien Pearson dan Spearman digunakan untuk menentukan korelasi antar variabel dan hasilnya menunjukkan adanya korelasi signifikan antara lebar enam gigi anterior rahang atas dengan jarak interalar, jarak intercommissural, dan jenis kelamin. Dari hasil analisis multivariat dapat diperoleh suatu rumus untuk memprediksi lebar enam gigi anterior rahang atas yaitu 38,27 + 2,011 x (jenis kelamin )+ 0.167 x ( jarak intercomissural), dengan memasukkan angka 1 untuk jenis kelamin perempuan dan angka dua untuk jenis kelamin laki laki. Berdasarkan hasil yang diperoleh, maka dapat disimpulkan bahwa pengukuran fasial terurama jarak intercommissural dan jenis kelamin dapat digunakan untuk memprediksi lebar enam gigi anterior rahang atas.

ABSTRACT
It is difficult to determine the width of six maxillary anterior teeth especially when pre-extraction record are not available. Therefore, this clinical study was carried out to determine a formula to predict the width of six maxillary anterior teeth using certain facial measurements which included interalar, intercanthal, and intercommissural width, and to determine the correlation between width of six maxillary anterior teeth with other facial measurements. This clinical study was performed in RSKGM UI with total subject of 60 people consist of 36 female and 24 male. (Ethical approval from Faculty of Dentistry University Indonesia on march 26th 2013, No: 19/Ethical Clearance/FKG UI/III/2013). Each subject was measured for interalar, intercanthal, intercommissural width and the width of six maxillary anterior teeth was determined by adding mesiodistal width of each maxilary anterior teeth. Pearson and Spearman correlation coefficient was used to determine the correlation between all variables and shows significant correlation between width of six maxillary anterior teeth and interalar width, intercomissuralwidth , and sex. Based on the result from multivariate analysis, a formula can be determine to predict the width of six maxillary anterior teeth which is 38,27 + 2,011 x (sex) + 0,167 x (intercommissural width), with no 1 as data input for female and no 2 as data input for male subject. Based on the outcome results, it can be concluded that facial measurements, especially intercommissural width and sex, can be used to predict width of six maxillary anterior teeth."
2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Magdalena Lesmana
"Tujuan penelitian ini untuk mengetahui prevalensi dan
distribusi ATTS pada malokIusi regio anterior. Hasilnya
dapat digunakan sebagai informasi dasar dari penelitian
lanjutan mengenai hubungan ?ATTS? dengan Maloklusi secara rinci yang diperlukan untuk penanganan yang
efektif. Penelitian dilakukan pada 522 anak 90K III Jakarta berusia 7-13 tahun, yang belum pernah dilakukan perawatan orto. Diagnosa ada/tidaknya ?TTS? dilakukan dengan alat LINGOMETER FINK. Malrelasi/malposisi gigi-gigi-gigi anterior pada subjek dengan TTS (Lingometer respons positif) dilihat secara visual. Hasil penelitian menunjukkan prevalensi TTS yang tinggi (73,2) dengan frekwensi tertinggi pada usia 12?13 tahun (85,5Y.) Pola malokiusi yang dijumpai pada subjek dengan TTS adalah protrusi gigi tetap anterior atas(38,7%) ,rotasi aigi anterior atas(2S,9,flaring(9,4 Y.), protrusi anterior bawah (6,0%), kombinasi protrusi dan rotasi (2,97.), protritsi gigi anterior atas dan bawah(2%), openbite dan rotasi(1,3), open bite (1,3%) dan kombinasi openbite dan protrusi(0,7%).
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 1990
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adja Nurdjanna
"ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui frekwensi kista radikuler di poliklinik Bedah Mulut FKG UI.- RSCM serta hubungan antara gigi non vital dengan terjadinya kista radikuler. Bahan penelitian adalah dokumen medik yang telah ada di poliklinik Bedah Mulut FKG.UX.-RSCM periode 3anuari 1983 - April 1986. Dari 106 kasus kista tulang rahang yang ada ternyata, 70 (60%) adalah kista radikuler dan 36 (34%) adalah kista tulang rahang lainnya. Dari 70 kasus kista radikuler penderita laki laki 36 kasus dan wanita 34 kasus. Menurut kelompok umur yang tertinggi adalah pada dekade ke III yaitu usia (21-30 thn), sedang menurut lokasi gigi penyebab yang tertinggi adalah regio anterior rahang atas.
"
1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Risa Yunia Arsie
"ABSTRAK
Pendahuluan: Masa remaja adalah suatu saat dimana seseorang mencari jati
dirinya. Hubungan sosial dengan orang lain menjadi hal yang tak terpisahkan
dalam masa ini, dan seringkali susunan gigi-geligi, berpengaruh terhadap
perlakuan sosial yang diterima seorang remaja dari lingkungannya. Berbagai
penelitian telah menemukan maloklusi gigi anterior atas berdampak negatif
terhadap relasi sosial remaja. Meskipun demikian, penelitian seperti ini masih
jarang ditemukan di Indonesia.
Material dan metode: Subjek berasal dari 2 SMP di Jakarta Timur, sebanyak 173
orang, yang dibagi menjadi 4 macam karakteristik oklusi: gigi anterior atas
berjejal, gigi anterior atas bercelah, dan gigi anterior atas protrusif, menggunakan
kuesioner PIDAQ (Psychosocial Impact of Dental Aesthetic Questionnaire).
Hasil: Analisis menunjukkan adanya perbedaan bermakna dalam dampak
terhadap rasa percaya diri antara remaja oklusi normal dengan maloklusi gigi
berjejal, bercelah, maupun protrusif, serta perbedaan bermakna antara dampak
psikologis yang dimiliki remaja oklusi normal dengan gigi bercelah.
Kesimpulan: Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya pencegahan serta perawatan
ortodonti dini pada remaja dengan maloklusi agar dapat mencegah timbulnya
gangguan perkembangan psikososial remaja.

Abstract
Introduction: Adolescence is a one of significant periods in one?s life. Relating
with others in this phase has become an inseparable aspect, and often physical
appearance, especially facial and dental, considerably determines the quality of
social treatment received from one?s surrounding. Several studies have found the
role of upper anterior malocclusion in rendering negatively one?s social
connection with his peers. Despite the quite fascinating findings, such studies are
relatively rare to be found in Indonesian context.
Material and method: impact of various anterior occlusion on adolescent
psychosocial from SMP 51 and SMP 195 in East Jakarta area by using PIDAQ
(Psychosocial Impact of Dental Aesthetic Questionnaire). Two school were
contacted and 173 subjects participated, classified into four occlusal
characteristics: normal, upper anterior crowding, upper anterior spacing, and
upper anterior protruding.
Result: There is significant difference between adolescents with normal occlusion
and those suffering from malocclusions, either crowding, spacing, or protruding.
Moreover, there is a significant psychological impact difference between
adolescents with normal dentition and those who have upper anterior spacing.
Conclusion: It can be concluded that anterior malocclusion has the possibility to
affect adolescents psychological condition. Therefore, it is deemed necessary to
take preventive action as well as early orthodontic treatment on adolescents
suffering from malocclusions in order to nullify the impact on their psychosocial
development."
2012
T31383
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Titi S. Soebekti
"ABSTRAK
Memilih ukuran gigi anterior atas dalam pembuatan Gigi Tiruan Penuh, memerlukan ketrampilan tersendiri.
Pada penelitian ini dicari tanda-tanda anatomik di wajah yang mungkin dapat digunakan sebagai pedoman dalam menentukan ukuran gigi anterior atas. Tanda-tanda anatomik yang digunakan adalah ukuran lebar sayap hidung dan ukuran lebar Sudut mulut.
Sampel yang digunakan adalah mahasiswa FKG UI keturunan Deutero Melayu, serta memenuhi kriteria yang telah ditentukan.
Hasil yang didapat menunjukkan adanya hubungan antara ukuran lebar gigi anterior atas dengan ukuran lebar sayap hidung, dan ukuran lebar sudut mulut.
Selain itu hasil pengamatan menunjukkan bahwa ukuran lebar sayap hidung mahasiswa FKG UI keturunan Deutero Melayu lebih lebar dari ukuran lebar sayap hidung mahasiswa FKG di Inggris dan populasi di Colorado. Sedang ukuran gigi anterior atas tidak menunjukkan adanya perbedaan. Sehingga pedoman yang umumnya digunakan dalam pembuatan gigi tiruan, khususnya Gigi Tiruan Penuh, bahwa garis yang ditarik dari tepi sayap hidung sejajar dengan garis tengah muka, akan melalui puncak tonjol kaninus atas, belum sepenuhnya dapat diterapkan."
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 1990
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Johan Arief Budiman
"Keharmonisan ukuran gigi anterior rahang atas dan rahang bawah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tercapainya oklusi, overjet dan overbite yang optimal pada tahap akhir perawatan orthodontik. Tujuan penelitian ini adalah mencari korelasi antara overjet dan overbite tahap akhir perawatan orthodontik dengan rasio anterior. Data dikumpulkan dari 100 model cetakan pasien tahap akhir perawatan orthodontik, dengan hubungan kaninus kelas I. Data diolah dengan t-test dan pengujian korelasi regresi. Nilai rasio anterior yang diperoleh penelitian ini (77,21±3,08) berbeda tidak bermakna dengan nilai rasio anterior menurut Bolton. Korelasi overjet dengan rasio anterior serta overbite dengan rasio anterior adalah bermakna (p<0,05). Diperoleh persamaan regresi, yaitu overjet = -0,047 rasio anterior + 4,58 dan overbite = -0,95 rasio anterior + 100,47. Terdapat 21 sampel yang menunjukkan nilai rasio anterior, overjet dan overbite normal, sedangkan sisanya menunjukkan variasi dari ketiga nilai tersebut."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 1997
T1095
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Donovan Roberto Jonamika
"ABSTRAK
Latar Belakang: Penyakit periodontal merupakan penyakit gigi dan mulut yang sering ditemui dan dapat terjadi pada semua orang dengan keadaan rongga mulut. Pasien yang datang ke klinik Periodonsia RSKGM FKG UI terdiri dari berbagai kelompok dengan keadaan rongga mulut yang berbeda-beda serta memiliki faktor risiko yang berbeda pula, terutama pada gigi anterior mandibula yang rentan terhadap penyakit periodontal. Tujuan: Mendapatkan distribusi kelainan periodontal pada gigi anterior mandibula serta hubungannya dengan faktor risiko yang mempengaruhinya pada pasien di RSKGM FKG UI. Metode: Penelitian deskriptif analitik menggunakan data sekunder dari rekam medis RSKGM FKG UI periode 2016 2018. Hasil: Distribusi kelainan periodontal lebih sering terdapat pada kelompok usia lansia (45-65 tahun) dan pada laki-laki. Distribusi mobilitas terbanyak ditemukan pada gigi 31 dan kelompok usia lansia (45-65 tahun); resesi gingiva terbanyak terdapat pada gigi 31, ukuran resesi gingiva terbanyak adalah <3 mm; poket periodontal terbanyak terdapat pada gigi 43, kedalaman poket terbanyak adalah 1-3 mm; kehilangan perlekatan klinis terbanyak terdapat pada gigi 42, kehilangan perlekatan klinis terbanyak adalah >5 mm; kerusakan tulang alveolar terbanyak ditemukan pada gigi 42 dan kelompok usia lansia (45-65 tahun). Distribusi trauma oklusi terbanyak terdapat pada gigi 41, penyebab trauma yang paling sering ialah blocking. Kelainan periodontal lebih sering terdapat pada gigi yang memiliki kelainan titik kontak. Kesimpulan: Kelompok persentase usia terbesar adalah lansia (48,16%), jenis kelamin tertinggi adalah perempuan (50,28%), mayoritas pasien memiliki OHIS buruk (50,28%), dan PBI yang ringan (46,33%). Kelainan periodontal yang dijumpai pada gigi anterior mandibula adalah 34,75% subjek memiliki mobilitas gigi; 72,03% subjek mengalami resesi gingiva; 79,94% subjek memiliki poket absolut; 82,34% subjek memiliki kehilangan perlekatan klinis; dan 61,02% subjek memiliki kerusakan tulang alveolar. Faktor risiko lokal meliputi trauma oklusi dimana 57,77% subjek mengalami trauma oklusi; 83,47% subjek memiliki gigi berjejal pada gigi anterior mandibula; dan 90,82% subjek memiliki kelainan titik kontak."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hesti Nurmala Rizqi
"Latar belakang: Prolaps organ panggul (POP) merupakan masalah ginekologi dengan insidensi POP 2,04 per 1000 wanita per tahun. Di RSCM, sistokel grade 3 dan 4 terjadi pada 71% wanita dengan POP. Keberhasilan kolporafi anterior sebagai tatalaksana sistokel ditandai dengan rekurensi pasca tindakan, yaitu paling tinggi sebesar 65%. Sehingga perlu dilakukan pengkajian faktor risiko rekurensi tersebut. Tujuan: Untuk mengetahui faktor risiko rekurensi sistokel pasca kolporafi anterior
Metode: Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif dengan mengambil data sekunder dari rekam medis pasien yang dilakukan tindakan kolporafi anterior, saat preoperatif dan saat pasien kontrol minimal 6 bulan pasca tindakan. Tindakan diambil dari RSCM dan RSF tahun 2012 sampai Juli 2019. Total sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi adalah 91 orang. Selanjutnya dilakukan analisis dengan uji MannWhitney untuk variabel numerik dan uji Fischer untuk kategorik. Beberapa variabel yang dianggap bermakna dilakukan uji multivariat dengan metode regresi logistik.
Hasil: Rekurensi anatomis didapatkan sebesar 24,2% dan rekurensi simptomatik 12,1%. Faktor usia, indeks massa tubuh, status menopause, paritas dan berat lahir terbesar, serta tindakan histerektomi, tidak bermakna terhadap rekurensi sistokel. Total panjang GH dan PB didapatkan bermakna pada uji univariat dengan p = 0,008 namun tidak bermakna pada uji regresi logistik. Sistokel derajat berat didapatkan hasil bermakna dengan p=0,023 dan RR 6,12. Tindakan gantung tidak menunjukkan hasil bermakna, namun bila dipisahkan menjadi antara jenis tindakan, USLS menurunkan kejadian rekurensi sistokel dengan RR 0,25 (p=0,025).
Kesimpulan: Tindakan kolporafi anterior dengan native tissue didapatkan cukup baik dalam menatalaksana sistokel. Adanya data rekurensi dan faktor risiko ini dapat menjadi dasar pemilihan tindakan, dan sebagai informasi yang bermanfaat untuk diinformasikan pada pasien sebelum tindakan.

Background: Pelvic Organ Prolapse (POP) is one of gynecological problem with incidence 2,04 every 1000 women every year. In RSCM, cystocele grade 3 and 4 occured in 71% women with POP. Anterior colporraphy as surgical management of cystocele is evaluated by the recurrence of cystocele after surgery, that reached 65% in the previous study. To decrease this number, we need to evaluate the risk factor of the recurrence.
Objective: To determine the risk factors of cystocele recurrence after anterior colporraphy
Method: This is a retrospective cohort study, using documented data from medical record. Data of patients underwent anterior colporraphy were taken, preoperative and after at least 6 months after surgery. Data were collected in RSCM and RSF from 2012- July 2019. Total sample met the inclusion and exclusion criteria was 91. We analyzed these data using Mann-whitney and Fischer test. Finally, we performed multivariate analysis using logistic regression method.
Result: We found the anatomical recurrence was 24,2% and symptomatic recurrence 12,1%. Age, body mass index, menopausal status, parity, largest birth weight, and hysterectomy was not significantly related to cystocele recurrence. total length of GH and PB found statistically significant by univariate analysis with p =0,008, but not significant by logistic regression test. Preoperative diagnosis of cystocele found statistically significant with p=0,023 and RR 6,12. Apical suspension found not statistically significant, but when we analyzed the types separately, USLS reduce the risk for cystocele recurrence with RR 0,25 (p=0,025).
Conclusion: Colporraphy anterior found to be reliable for cystocele management. Understanding the risk factors for recurrence could help us to decide the best option for management and additional important information to be delivered to the patient before surgery.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6   >>