Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Albert Sedjahtera
"Latar belakang.Kardiomiopati terimbas kemoterapi berbasis antrasiklin memiliki dampak signifikan terhadap pasien kanker. Pemantuan fungsi jantung berbasis fraksi ejeksi, yang saat ini menjadi standar, tidak dapat mengetahui kerusakan secara awal dan bila ditemukan kardiomiopati maka kerusakan sudah terlambat. Penggunaan biomarker dan teknik pencitraan ekokardiografi dengan strain dipikirkan dapat memberi gambaran kejadian kardiomiopati awal. Oleh karena itu, perlu dilakukan aplikasi dari penggunaan troponin dalam memprediksi kejadian kerusakan jantung pada pasien yang menjalani kemoterapi berbasis antrasiklin.

Tujuan. Untuk mengetahui hubungan antara peningkatan kadar high sensitivity troponin I dengan kejadian kardiomiopati subklinis pada pasien kanker yang yang menjalani kemoterapi berbasis antrasiklin

Metode. Studi kohort prospektif dilakukan pada Januari-September 2023. Pasien kanker berusia diatas 18 tahun yang mendapatkan kemoterapi berbasis antrasiklin di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dan Rumah Sakit Kanker Dharmais direkrut untuk penelitian. Pemeriksaan high sensitivity troponin dilakukan pada 6 titik waktu pra dan pascasiklus pertama, kedua, dan ketiga. Pemantauan Global longitudinal strain dilakukan sebelum kemoterapi, pascakemoterapi siklus ke 2,  siklus ke 4 dan siklus ke 6.  Kardiomiopati subklinis didefinisikan sebagai penurunan GLS >15% dari data dasar. Dibuat kurva ROC dari nilai titik potong high sensitivity troponin I  terhadap kejadian kardiomiopati subklinis.  

Hasil. Dari 61 subjek, didapatkan insiden kardiomiopati subklinis sebesar 29,4% (95% IK 9,4-18,6). Tidak didapatkan titik potong dari perubahan high sensitivity troponin I dalam memprediksi kardiomiopati subklinis.

Kesimpulan. Tidak didapatkan hubungan antara kadar high sensitivity troponin I dengan kejadian kardiomiopati subklinis pada pasien kanker yang yang menjalani kemoterapi berbasis antrasiklin.

......Background. Chemotherapy based anthracycline induced cardiomyopathy has a significant impact on cancer patients. Monitoring heart function based on ejection fraction, which currently is the standard, cannot detect damage early and by the time cardiomyopathy is detected, the damage is already advanced. The use of biomarkers and echocardiographic imaging techniques with strain is thought to provide insight into early cardiomyopathy occurrences. Therefore, there is a need to apply troponin usage in predicting heart damage events in patients undergoing anthracycline-based chemotherapy.

Aim. To determine the relationship between an increase in high sensitivity troponin I levels and subclinical cardiomyopathy incidence in cancer patients undergoing anthracycline-based chemotherapy.

Method. A prospective cohort study was conducted from January to September 2023. Cancer patients over 18 years of age receiving anthracycline-based chemotherapy at Cipto Mangunkusumo Hospital and Dharmais Cancer Hospital were recruited for the research. High sensitivity troponin examinations were conducted at 6 pre- and post-cycle time points (first, second, and third cycles). Global longitudinal strain monitoring was performed before chemotherapy, after the second cycle, fourth cycle, and sixth cycle. Sublinical cardiomiopathy is defined as a reduction in GLS > 15% from baseline. An ROC curve was generated for the high sensitivity troponin I cutoff values against subclinical cardiomyopathy occurrences.

Results. Out of 61 subjects, incidence of subclinical cardiomyopathy was found to be 29.4% (95% CI 9.4-18.6). No cutoff point was found for changes in high sensitivity troponin I in predicting subclinical cardiomyopathy.

Conclusion. There was no relationship found between high sensitivity troponin I levels and subclinical cardiomyopathy occurrences in cancer patients undergoing anthracycline-based chemotherapy."

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ester Marsaulina
"Golongan antrasiklin merupakan kemoterapi pilihan pertama untuk penanganan kanker payudara, khususnya pada pasien lanjut usia. Namun beberapa penelitian melaporkan terkait kejadian tidak diharapkan pada penggunaan antrasiklin. Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengidentifikasi kejadian tidak diharapkan. Selain itu untuk mengetahui hubungan variabel bebas terhadap kejadian tidak diharapkan pada penggunaan rejimen berbasis antrasiklin. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancang penelitian potong lintang (cross-sectional).  Pengambilan sampel dilakukan secara retrospektif, pada pasien lanjut usia (≥60 tahun) di Rumah Sakit Kanker Dharmais. Pengambilan data mulai Januari 2018-Desember 2020. Identifikasi kejadian tidak diharapkan dari penggunaan kemoterapi berbasis antrasiklin menggunakan metode trigger tool khusus untuk pasien kanker. Analisis statistik digunakan untuk memperoleh karakteristik variabel bebas, selain itu untuk mengetahui hubungan variabel bebas terhadap kejadian tidak diharapkan. Pada 107 subjek, sebanyak 71% (n=76 pasien) teridentifikasi dengan trigger tool, seluruh subjek mengalami 122 trigger.rigger pemberian transfusi darah paling banyak ditemukan pada penelitian ini, yaitu pada 39% (n=30 pasien). Netropenia dan anemia merupakan KTD terbanyak yang teridentifikasi pada penggunaan kemoterapi berbasis antrasiklin. Seluruh KTD yang teridentifikasi merupakan kategori E sebanyak 251 kejadian. Pemberian transfusi darah merupakan variabel bebas yang mempunyai hubungan signifikan (p<0,05) dengan kejadian tidak diharapkan dari penggunaan kemoterapi berbasis antrasiklin pada pasien lanjut usia kanker payudara.
......Anthracycline are the first choice chemotherapy for the treatment of breast cancer, particularly in elderly patients. However, several studies reported adverse events in the treatment of using anthracyclines. This study aims to identify adverse events. Furthermore, to find out more about how independent variables related to adverse event. An observational retrospective study of elderly patient (≥ 60 years) was conducted in a tertiary cancer hospital in Jakarta. Data were collected from January 2018 to December 2020. We used trigger tool specific for cancer patients to identify adverse event during anthracycline base regimen. Independent variables were evaluated in univariate analysis: age, weight loss, marital status, total cumulative dose, polypharmacy, types of anthracycline, metastatic status. Bivariate and multivariate analysis to find out relationship between independent variable and adverse event. In total, 107 subject records were collected and reviewed, there were 71% (n=76 patients) identified with trigger tool. Trigger were totally identified 122 times in 86 medical records. Neutropenia and anemia were the most common adverse events identified in our study. Adverse events with category E identified in all of the subject, as many as 251 events. Blood transfusion had significantly relationship (p<0,05) with adverse events in elderly breast cancer patients."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Daniaty
"Latar belakang: Hampir sebagian besar pasien kanker akan memiliki keluhan kulit, rambut, dan kuku (KRK) terkait efek samping kemoterapi yang diberikan. Antrasiklin merupakan kemoterapi yang banyak digunakan pada pasien kanker. Meskipun jarang mengancam nyawa, kelainan KRK dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup. Berbagai faktor risiko berpengaruh terhadap kelainan tersebut. Waktu timbulnya manifestasi kelainan KRK pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi berbasis antrasiklin juga beragam munculnya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara usia, penyakit penyerta sistemik, status gizi, ECOG, dan anemia dengan manifestasi klinis KRK pada pasien kanker yang menjalani dua siklus kemoterapi berbasis antrasiklin.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan kohort prospektif yang diikuti dalam dua siklus pertama kemoterapi berbasis antrasiklin. Sebesar 65 pasien kanker berusia di atas 18 tahun yang mendapatkan kemoterapi siklus pertama berbasis antrasiklin di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo. Semua SP dilakukan anamnesis, pemeriksaan dermatovenereologikus, dan dokumentasi klinis sampai sebelum kemoterapi siklus ke-3. Pencatatan faktor risiko, jenis, dan waktu timbulnya kelainan dilakukan apabila ditemukan manifestasi KRK.
Hasil: Kelainan kulit terbanyak berupa xerosis dan hiperpigmentasi. Anagen effluvium ditemukan pada 89,2% pasien kemoterapi. Melanonikia dan xanthonikia ditemukan pada 87,7% pasien. Xerosis ditemukan dengan median (minimum-maximum) 7 (2-56) hari, anagen effluvium timbul dalam median (minimum-maximum) 13(1-27 hari), dan melanonikia dengan median (minimum-maximum) 23(1-65) hari. Tidak terdapat hubungan antara usia, penyakit penyerta sistemik, status gizi, status performa ECOG, dan anemia dengan manifestasi KRK pada pasien kanker yang menjalani dua siklus kemoterapi berbasis antrasiklin.
Kesimpulan: Semua pasien memiliki kelainan KRK. Kelainan yang paling cepat timbul adalah xerosis, diikuti anagen effluvium, dan melanonikia. Tidak ditemukan hubungan antara usia, penyakit penyerta sistemik, status gizi, status performa ECOG, dan anemia dengan manifestasi KRK pada pasien kanker yang menjalani dua siklus kemoterapi berbasis antrasiklin.
......Background: Nearly most cancer patients experience skin, hair, and nail complaints due to chemotherapy side effects. Anthracycline-based chemotherapy is widely utilized in cancer care. While rarely life-threatening, cutaneous, hair, and nail alterations can significantly impact quality of life. Several risk factors influence these disorders. The onset timing of skin, hair, and nail manifestations varies among cancer patients undergoing anthracycline-based chemotherapy. This study analyses the association between age, systemic comorbidities, nutritional status, ECOG performance status, and anaemia with clinical manifestations of skin, hair, and nails in cancer patients undergoing two cycles of anthracycline-based chemotherapy.
Methods: This is an analytical descriptive study involving a prospective cohort followed during the first two cycles of anthracycline-based chemotherapy. A total of 65 cancer patients aged above 18, receiving the first cycle of anthracycline-based chemotherapy at RSUPN dr. Ciptomangunkusumo, were enrolled. All subjects underwent anamnesis, dermatovenereological examination, and clinical documentation before the third chemotherapy cycle. Risk factors, type, and onset time of abnormalities were recorded upon detection of skin, hair, and nail manifestations.
Results: All patients presented with skin, hair, or nail abnormalities. The most rapidly occurring abnormalities were xerosis, followed by anagen effluvium and melanonychia. No correlation was found between age, systemic comorbidities, nutritional status, ECOG performance status, and anaemia with skin, hair, and nail manifestations in cancer patients undergoing two cycles of anthracycline-based chemotherapy. Conclusions: The most frequent skin abnormalities observed were xerosis and hyperpigmentation. Anagen effluvium was detected in 89.2% of chemotherapy patients. Melanonychia and xanthonychia were found in 87.7% of patients. Xerosis had a median (min-max) onset of 7 (2-56) days, anagen effluvium manifested within a median (min- max) of 13 (1-27) days, and melanonychia with a median (min-max) onset of 23 (1-65) days. There was no association found between age, systemic comorbidities, nutritional status, ECOG performance status, and anaemia with skin, hair, and nail manifestations in cancer patients undergoing two cycles of anthracycline-based chemotherapy."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Doxorubicin dan docetaxel masing-masing dikenal sebagai obat sitotoksik yang aktif untuk pengobatan kanker payudara metastatik (KPM). Kombinasi keduanya juga telah memperlihatkan derajat aktivitas yang tinggi sebagai kemoterapi lini kedua untuk KPM. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi keampuhan dan keamanan kombinasi docetaxel-doxorubisin sebagai kemoterapi lini pertama untuk penderita KPM di Indonesia. Sebanyak 26 pasien wanita berusia 31-65 tahun dengan KPM diikutsertakan dalam studi. Pasien belum pernah mendapat taxane atau doxorubicin kumulatif sebesar 250 mg/m2 serta tidak menderita penyakit jantung. Terapi terdiri dari doxoubicin 50 mg/m2 sebagai bolus intravena (IV) diikuti satu jam kemudian oleh docetaxel 60 mg/m2 dengan infus IV selama 1 jam, setiap 3 minggu untuk 6 siklus. Premedikasi dengan kortikosteroid oral diberikan sehari sebelum kemoterapi sampai hari kedua setiap siklus. Fraksi ejeksi ventrikel kiri direkam di awal studi dan setelah siklus ke-6. Di akhir studi, secara total telah diberikan 156 siklus kemoterapi. Lima dan 11 orang pasien mengalami respons komplit (RK) dan parsial (RP), berturut-turut, yang menjadikan respons keseluruhan terbaik sebesar 61,54%. Tiga orang pasien dengan metastatis hepar luas tampak hilang sama sekali setelah 6 siklus. Toksisitas derajat 3-4 tersering adalah leukopenia (80,77%) dan febrile neutropenia (5,77%). Leukopenia biasanya singkat, dan terutama terjadi pada siklus pertama dan kedua serta tidak membutuhkan penurunan dosis. Tidak ada pasien yang mengalami gagal jantung. Terdapat satu kematian akibat penyakit yang progresif setelah 6 siklus. Kombinasi doxorubicin 50 mg/m2 dan docetaxel 60 mg/m2 tampak aktif sebagai kemoterapi lini pertama pada KPM, khususnya pada pasien dengan metastatis hepar, dengan profil toksisitas yang dapat ditatalaksana. (Med J Indones 2004; 14: 20-5)

Doxorubicin and docetaxel as a single agent are known as active cytotoxic agents for the treatment of metastatic breast cancer (MBC). Their combination has also shown to be highly active as a second-line chemotherapy of MBC. This study was design to evaluate the efficacy and safety of docetaxel-doxorubicin combination as first line chemotherapy of MBC patients in Indonesia. Twenty-six female patients between 31-65 years old with advanced or MBC was enrolled. No prior taxane or cumulative doxorubicin of 250 mg/m2 was allowed and patients should not have a heart disease. Treatment consisted of doxorubicin 50 mg/m2 as intravenous (IV) bolus followed one hour later by docetaxel 60 mg/m2 by IV infusion over 1 hour every 3 weeks for 6 cycles. Premedication with oral corticosteroid was administered a day prior to chemotherapy until the second day of each cycle. Left ventricular ejection fraction was recorded at baseline and after the 6th cycle. At the end of study, a total of 156 cycles of chemotherapy have been delivered. Five and 11 patients had a complete response (CR) and partial response (PR), respectively, which accounted for a 61.54% best overall response. Three patients with extensive liver metastases showed complete disappearance after 6 cycles. Most frequent grade 3-4 toxicities were leukopenia (80.77%) and febrile neutropenia (5.77%). Leukopenia was usually short in duration, occurred mainly during the first and second cycle and did not require dose reduction. No patient developed heart failure. There was one death due to progressive disease after 6 cycles. Combination of doxorubicin 50 mg/m2 and docetaxel 60 mg/m2 was sufficiently active as first-line chemotherapy of MBC, especially in patients with liver metastases, with a manageable toxicity profile. (Med J Indones 2004; 14: 20-5)"
Medical Journal of Indonesia, 14 (1) January March 2005: 20-25,
MJIN-14-1-JanMar2005-20
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library