Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aisyah Octaviani Putri
"Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular disebabkan oleh TBC (Mycobacterium tuberculosis) yang merupakan penyebab utama kematian kedua akibat penyakit menular di seluruh dunia. Hambatan dalam pengobatan TB adalah kurangnya kepatuhan pasien TB untuk minum obat anti tuberkulosis yang teratur dan kombinasi tidak tuntas, hal ini diduga menyebabkan kekebalan ganda kuman TBC terhadap Obat Anti Tuberkulosis. Oleh karena itu, sangat penting kepatuhan pasien untuk penyembuhan penyakit TBC. Puskesmas kecamatan jatinegara memiliki pasien tuberkulosis yang memiliki kepatuhan yang rendah, maka dari itu perlunya membuat kalender minum obat agar pasien dapat memberikan penandaan apakah sudah minum obat dan juga bagi tenaga Kesehatan dapat melihat tingkat kepatuhan minum obat pasien. Tahapan pembuatan kalender yaitu studi literatur dan observasi kemudian membuat kalender checklist minum obat antituberkulosis sesuai dengan kategori pasien. Hasil dari pembuatan Kalender minum obat ini dapat membantu dalam proses konseling sebagai media tambahan dalam menjelaskan terapi yang akan dijalankan oleh pasien. Mulai dari apa saja OAT yang dikonsumsi, jumlah tablet yang akan diminum, kapan waktunya untuk pengambilan obat, mulai pengobatan dan waktu Kembali ke puskesmas. Kemudian dalam kotak checklist tersebut dapat diarahkan juga pada pasien untuk mengisi waktu dalam meminum obat sehingga diharapkan pasien dapat meminum obat tepat waktu di jam yang sama setiap harinya. Maka dari itu, perlu digunakannya kalender minum obat sebagai solusi dalam kepatuhan yang rendah pada pasien tuberkulosis puskesmas jatinegara.

Tuberculosis (TB) is an infectious disease caused by TB (Mycobacterium tuberculosis) which is the second leading cause of death due to infectious diseases throughout the world. Obstacles in TB treatment are the lack of compliance of TB patients in taking anti-tuberculosis drugs regularly and incomplete combinations, this is thought to cause double immunity of TB germs to Anti-Tuberculosis Drugs. Therefore, it is very important for patient compliance to cure TB disease. The Jatinegara sub-district health center has tuberculosis patients who have low compliance, therefore it is necessary to create a medication taking calendar so that patients can indicate whether they have taken medication and also for health workers to see the patient's level of medication adherence. The stages of making a calendar are literature study and observation, then making a checklist calendar for taking anti-tuberculosis medication according to the patient category. The results of making this medication taking calendar can help in the counseling process as an additional medium in explaining the therapy that will be carried out by the patient. Starting from what OAT to take, the number of tablets to be taken, when it is time to take the medicine, start treatment and when to return to the health center. Then in the checklist box you can also direct the patient to fill in the time to take the medicine so that it is hoped that the patient can take the medicine on time at the same time every day. Therefore, it is necessary to use a medication taking calendar as a solution to low compliance in Jatinegara Public Health Center tuberculosis patients.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Budy Alamsjah
"Tujuan: Untuk memahami mekanisme terjadinya resistensi terhadap obat antituberkulosis dengan mempergunakan pendekatan epidemiologik genetik.
Bahan dan metode penelitian:
Disain penelitian : kasus - kontrol.
Tempat: Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta, Rumah Sakit Umum dr. M. Jamil, Sumatera Barat dan Rumah Sakit Umum dr. Wahidin Sudirohusodo, Makasar. Laboratorium Mikrobiologi FKUI, Jakarta, Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Jakarta dan Laboratorium Bioteknologi Universitas Padjajaran, Bandung.
Lama penelitian: 8 bulan ( Januari 2002 - Agustus 2002 ).
Subjek penelitian: Masing-masing 279 sampel dahak yang sensitif dan resisten INH serta 36 sampel dahak yang sensitif dan resisten rifampisin.
Bahan: sampel dahak yang dikirim dari ketiga rumah sakit tersebut, diperiksa silang di laboratorium mikrobiologi FKUI, Jakarta, lalu diadakan pemeriksaan PCR dan sequencing di Lembaga Eijkman dan laboratorium BioteknoIogi Universitas Padjajaran, Bandung. Disamping itu dilakukan wawancara untuk mendapatkan keterangan mengenai kepatuhan berobat dan pengobatan yang tidak optimal. Data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan analisis uji statistik.
Hasil: Prevalensi resistensi terhadap INH dari ketiga propinsi berkisar dari 11,9 % sampai 15,6 %, prevalensi resistensi terhadap rifampisin berkisar dari 1,3 % sampai 1,6 % dan prevalensi resistensi ganda berkisar dari 0,6 % sampai 1,3 %, M. tuberculosis yang mengalami mutasi padagen katG dari ketiga propinsi didapatkan sebesar 60,2 % dan mempunyai kemungkinan risiko resisten terhadap INH sebesar 32,6 kali bila dibandingkan dengan M. tuberculosis yang tidak mengalami mutasi pada gen katG. M. tuberculosis yang resisten terhadap rifampisin dari ketiga propinsi menunjukkan bahwa semua M tuberculosis tersebut mengalami mutasi padagen rpoB, dimana mutasi gen rpoB pada kodon 516 (16,6 %), kodon 526 (63,8 %), kodon 529 dan kodon 531 masing-masing sebesar 5,5 %. Hal ini dapat dikatakan bahwa M. tuberculosis dari ketiga propinsi yang resisten terhadap INH dan rifampisin mengalami beraneka ragam jenis mutasi (diversity). Di ketiga propinsi, ketidakpatuhan penderita tuberkulosis berobat didapatkan sebesar 56,3 % pada M. tuberculosis resisten terhadap INH dan 75 % M. tuberculosis yang resisten terhadap rifampisin. 65,9 % penderita tuberkulosis yang mendapatkan pengobatan monotherapy mengalami resisten terhadap INH dan 75 % penderita tuberkulosis yang mendapatkan pengobatan tidak optimal mengalami resisten terhadap rifampisin. Mutasi baru gen rpoB pada kodon 529 ditemukan 2 buah yang berasal dari propinsi Jakarta dan propinsi Sumatera Barat. Mutasi baru ini tidak mempunyai dampak klinik dan biologis karena kedua kodon tersebut menyandi asam amino yang lama yaitu arginin.

Genetic Epidemiological and Risk Factor Of M. Tuberculosis For Being Resistant To INH And Or RifampicinObjective of the Study: To understand the mechanisms of resistance to antituberculosis drugs by genetic epidemiological study.
Methods and materials of the study:
Study design: Case - control study.
Location: Persahabatan Hospital (Jakarta), M. Jamil General Hospital (West Sumatra), Wahidin Sudirohusodo General Hospital (South Sulawesi), Microbiology Laboratory FKUI (Jakarta), Eijkman Institute for biology molekuler (Jakarta) and Padjadjaran University Biotechnology Laboratory (West Java).
Duration of study: 8 months ( January 2002 - August 2002 ).
Subject: 279 samples sputum each that were sensitive and resistant to NH, 36 sample sputum each that were sensitive and resistant to rifampiscin.
Material of study: - Sputum sample from three hospitals were sent to Microbiology Laboratory FKUI for crosschecking. Subsequently PCR examination and sequencing were performed in Eijkman Institute and Padjadjaran University Biotechnology Laboratory. In addition interviews were conducted to obtain information about patient compliance and optimal treatment. All data were subjected to statistical analysis.
Results: Resistance prevalence to INH from three provinces range from 11.9 % to 15.6 %; resistance prevalence to rifampicin 1.3 % to 1.6 % and multidrug resistant prevalence: 0.6 % to 1.3 %. Mutation on gene katG M. tuberculosis from three provinces were 60.2 % and have a probability resistance risk to INH 32.6 times compared to M. tuberculosis that didn't have mutation on gene katG. All M. tuberculosis resistant to rifampicin isolated from three provinces have a mutation on gene rpoB, on codon 516 (16.66 %), codon 526 (63.8%), codon 529 and codon 531 respectively 5.5 %. This situation showed that M. tuberculosis from three provinces resistant to INH and rifampicin have a diversity mutant, In the three provinces, non compliance from tuberculosis patient - were 56.3 % of M. tuberculosis resistant to INH and 75 % of M. tuberculosis resistant to rifampicin. INH monotherapy result in 65.9 % resistance and sub optimal treatment result in 75 % resistance to rifampicin. Two new mutations have been found in gene rpoB codon 529 from Jakarta and West Sumatra. And this new mutant has no clinical and biology impact because the two codons encode amino acid was same, is arginine.
Conclusions: Resistance prevalence to NH and or rifampicin in three provinces is significantly high despite a good health infrastructure. If this problem occurs in other provinces with difference geographic characteristic, demographic, socioeconomic and health infrastructure, most probably the resistance prevalence to INH and or rifampicin will be much be more pronounced. The development of resistance of M. tuberculosis to INH and or rifampicin is influenced by mutation on gene encoding enzyme catalase peroxidase (katG) and RNA Polymerise ( rpoB ). Non-compliance and sub optimal treatment are selection factors for katG and rpoB mutant.
Recommendations: It is recommended to continue a similar study in the other provinces with difference geographic, demographic, socio economic, health infrastructure and also other study with mutant. For the Department of Health it is recommended to accelerate methods of early detection of tuberculosis cases that are sensitive or resistant to antituberculosis drugs and monitoring system to record and to report tuberculosis cases from other public health services e.g. Private practices, non government clinics, hospitals and institution to ensure continuous availability and quality of controlled drugs.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
D547
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indri Adriztina
"Tuberkulosis merupakan masalah yang serius di masyarakat. Pada tahun 2010, World Health Organization mencatat jumlah penderita tuberkulosis di Indonesia menurun ke posisi empat dengan meningkatnya keberhasilan pengobatan obat antituberkulosis (OAT). Namun, pemberian OAT jangka panjang dapat menyebabkan efek samping ototoksik berupa gangguan pendengaran dan keseimbangan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efek ototoksik pada penderita tuberkulosis paru dengan pemberian OAT di RSUP H. Adam Malik Medan.
Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan potong lintang. Analisis univariat dilakukan dengan tabel frekuensi distribusi sedangkan analisis bivariat dilakukan dengan menggunakan uji t dan Fisher?s exact test. Didapatkan 35 penderita tuberkulosis yang memenuhi kriteria inklusi, 22 orang dengan pengobatan tuberkulosis kategori 1 dan 13 orang tuberkulosis kategori 2. Dilakukan pemeriksaan audiometri nada murni dan tes keseimbangan. Tiga orang (33,3%) penderita tuberkulosis kategori 1 dan 6 orang (66,7%) penderita tuberkulosis kategori 2 mengalami gangguan pendengaran (p < 0,05).
Hasil tes keseimbangan menunjukkan perbedaan yang signifikan yaitu 7 orang (100%) tuberkulosis kategori 2 dengan positif tes Romberg dan 11 orang (100%) tuberkulosis kategori 2 positif tes tandem Romberg. Gangguan pendengaran dan keseimbangan pada penderita tuberkulosis paru dengan OAT ditemukan lebih tinggi pada kategori 2 dibandingkan dengan kategori 1 dengan perbedaan yang signifikan.

Tuberculosis remains a serious problem in the community. In 2010, World Health Organization report that Indonesia?s ranking decrease to fourth position due to success of antituberculosis treatment. But the long term administration of antituberculosis treatment may cause ototoxic effect like hearing and balance impairment. The aim of this study was to describe ototoxic effect of subjects who were given tuberculosis treatment in H. Adam Malik General Hospital.
This is a descriptive study with cross sectional approach. Univariat analysis was done by frequency distribution table, meanwhile bivariat analysis was done by t-test and Fisher?s exact test. Thirty five pulmonary tuberculosis patients met the inclusion criteria. Twenty two patients with 1st category, and 13 patients with 2nd category tuberculosis treatment. Pure tone audiometric and balance examination was evaluated. Three patients (33.3%) of 1st category tuberculosis and 6 (66.7%) patients of 2nd category tuberculosis have hearing loss with significant difference (p<0.05).
Balance test showed 7 people (100%) of 2nd category tuberculosis having positive Romberg test and 11 people (100%) of 2nd category tuberculosis having positive tandem Romberg test. Hearing and balance impairment found higher in patients with 2nd category antituberculosis treatment with significantly different."
Medan: Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala Leher FK USU,, 2014
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ismulat Rahmawati
"Latar belakang: Tatalaksana tuberkulosis resistan obat membutuhkan obat antituberkulosis suntik lini kedua yang menyebabkan efek samping ototoksik menetap. Penelitian ini bertujuan mengetahui prevalens ototoksik pada pasien tuberkulosis resistan obat dan faktor-faktor yang berhubungan.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang pada pasien TB resistan obat yang sedang mendapat obat kanamisin atau kapreomisin sebagai bagian paduan obat pada pengobatan tahap awal periode Januari-September 2017 di RSUP Persahabatan. Ototoksik ditentukan berdasar kriteria American Speech Language and Hearing Association (ASHA) tahun 1994 dengan membandingkan nilai audiometri dasar sebelum pengobatan dan saat penelitian.
Hasil: Sebanyak 72 pasien ikut pada penelitian ini. Ototoksik didapatkan pada 34 pasien (47,2%). Ototoksik pada bulan pertama pengobatan yaitu 5 subjek (14,7%) dan 19 subjek 56 tanpa keluhan gangguan pendengaran. Ototoksik lebih sering didapatkan pada penggunaan kanamisin (47,9%) dibandingkan kapreomisin (36,8%). Terdapat berhubungan bermakna antara faktor usia dan ototoksik dengan peningkatan risiko sebesar 5 pada setiap penambahan usia 1 tahun, p=0,029 aOR:1,050 IK95% (1,005-1,096). Kelompok subjek dengan komorbid DM dan peningkatan kreatinin serum didapatkan prevalens ototoksik lebih tinggi meskipun tidak bermakna secara statistik. Faktor jenis kelamin, IMT, riwayat penggunaan OAT suntik, status HIV dan total dosis obat juga tidak didapatkan hubungan bermakna dengan ototoksik.
Kesimpulan: Ototoksik merupakan efek samping yang sering terjadi pada pengobatan fase awal pasien TB resistan obat. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan untuk mengetahui hubungan faktor risiko dengan lebih baik.

Background: The treatment of drug resistance tuberculosis needs second line injection antituberculosis drug that associated with irreversible ototoxic. The aim of this study is to know the prevalence of ototoxicity in tuberculosis drug resistance patients and the contributing factors. Methods: This is a cross sectional study among drug resistance TB patients who receive kanamysin or capreomycin as a part of drug regimen during intensive phase in January to September 2017 at Persahabatan hospital. Ototoxic defined according to American Speech Language and Hearing Association (ASHA) 1994 criteria by comparing baseline audiometric examination before treatment with current result.
Results: Seventy two patients were included in this study. The prevalence of ototoxicity was found in 34 patients (47,2%). Ototoxic found in 5 subjects (14,7%) during the first month of treatment and 19 subjects 56 without hearing disturbance complain. Ototoxic in kanamisin group (47,9%) is more frequent compared with capreomisin (36,8%). Ototoxicity was associated with age, the risk increases 5 every 1 year older p=0,029 aOR:1,050 IK95% (1,005-1,096). The prevalences of ototoxicity are higher in diabetes and increasing serum creatinin patients but statistically not significance. Sex, body mass index, the history of using injectable antiTB drug, HIV status and total dosis were not associated with ototoxicity.
Conclusion: Ototoxicity is common in intensive phase of drug resistance tuberculosis treatment. Further study needed to determine the association of contributing factors."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Avini Risda Khaerani
"Kesalahan dalam pengobatan (medication errors) yang paling sering terjadi pada antituberkulosis adalah kesalahan dosis. Tujuan dari penulisan laporan ini adalah untuk menghindari kesalahan dalam pengobatan. Metode yang digunakan dalam penulisan laporan adalah observasional dan deskriptif. Laporan ini ditulis dari tanggal 1 Maret hingga 1 April 2022 di Apotek Atrika, Jakarta Pusat. Berdasarkan pengerjaan laporan ini, resep Obat Antituberkulosis (OAT) yang ditebus pada Apotek Atrika masih memiliki kekurangan dari segi persyaratan kajian administratif seperti umur pasien, Berat Badan (BB), paraf dan nomor telepon dokter, dan alamat pasien. Adapun dari segi aspek klinis dan farmasetik, resep OAT yang ditebus di Apotek Atrika telah memenuhi syarat.

The most common type of medication error with antituberculosis therapy is wrong dose error. The purpose of this study were to conducting recipes screening on antituberculosis therapy recipes in order to prevent medication error occured. This observational and descriptive study was conducted on March 2022 at Atrika Pharmacy. There are some lacking on the administrative aspects of the assigned receipts of antituberculosis therapy at Atrika Pharmacy, such as the absence of weight, doctor's sign and telephone number, and patient's address. Based on the clinical and pharmaceutical aspects, the assigned receipts have meet the requirements."
Depok: 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Batubara, Velanie Frida
"Latar belakang: Malnutrisi merupakan masalah utama di negara berkembang dan menimbulkan banyak implikasi dalam tumbuh kembang anak. Malnutrisi sering dikaitkan dengan berbagai penyakit infeksi, salah satunya adalah TB. Terapi medikamentosa berupa pemberian OAT dan nutrisi adekuat diharapkan dapat meningkatkan status nutrisi. Penelitian spesifik yang mengamati perkembangan luaran status nutrisi pada pasien TB anak belum pernah dilakukan di Indonesia.
Tujuan: (1)Mengetahui proporsi status nutrisi awal pasien TB anak dan karakteristiknya (2)Mengetahui perubahan status nutrisi dan perubahan berat badan dengan kesesuaian dosis dan keteraturan minum OAT (3)Mengetahui hubungan keteraturan pengobatan OAT dengan perubahan status nutrisi.
Metode: Penelitian kohort retrospektif dilakukan pada 62 anak dengan penyakit TB dan gizi kurang/buruk usia 1 bulan - 5 tahun yang terdiagnosis pertama kali pada 1 Januari 2010 - 31 Desember 2015. Usia, jenis kelamin, tempat tinggal, jenis TB, lama terapi, efek samping, jalur nutrisi, status nutrisi dan berat badan saat awal diagnosis, bulan ke-2,4,6 dinilai dalam penelitian ini.
Hasil: Proporsi pasien TB anak dengan gizi kurang adalah 53/62 (85,5%). Sebagian besar subyek berusia 2 tahun, lelaki, bertempat tinggal di DKI Jakarta dan sakit TB paru (42,8%). Seluruh subyek mendapat OAT yang sesuai dan hanya 1 subyek yang minum OAT tidak teratur. Sebanyak 45,2% subyek mendapat terapi OAT selama 6 bulan. Efek samping OAT yang ditemukan adalah neuropati perifer (1 subyek), peningkatan SGOT dan SGPT (1 subyek) dan kolestasis (1 subyek). Proporsi subyek yang mendapat nutrisi enteral adalah 15/62 (24,2%). Sebanyak 56/62 (90,3%) subyek dengan dosis OAT sesuai mengalami perbaikan status nutrisi dan 55/61 (90,1%) subyek yang minum OAT teratur mengalami perbaikan status nutrisi. Peningkatan berat badan sebesar 5% tiap 2 bulan dan 17% setelah 6 bulan terapi OAT terjadi pada 97% subyek. Tidak ada hubungan keteraturan pengobatan OAT dengan perubahan status nutrisi (p = 0,161).
Simpulan: Perbaikan status nutrisi terjadi pada 90% subyek. Peningkatan berat badan pada 97% subjek setiap 2 bulan adalah 5% dan 17% pada bulan ke-6 terapi OAT. Tidak terdapat hubungan keteraturan pengobatan OAT dengan perubahan status nutrisi (p = 0,161).

Background: Malnutrition is one of the major problems in developing countries and has many implications in growth and development of children. Malnutrition is always associated with many infection diseases, one of them is tuberculosis. Medical management includes antituberculosis therapy and adequate nutrition are indicated to improve nutritional status. There is no specific study regarding this outcome in Indonesian children.
Aim: (1)To determine the nutritional status proportion of children with tuberculosis and their characteristics (2)To determine nutritional status outcome and body weight gain associated with adequate dosage and regular antituberculosis therapy (3)To identify correlation between regular antituberculosis therapy and nutritional status outcome.
Methods: A retrospective cohort study was performed in 62 children aged 1 month-5 years who have been first diagnosed with tuberculosis from January 2010 to December 2015. Age, sex, lodging, type of tuberculosis, duration of treatment, side effect, nutritional route, nutritional status, body weight at start, 2nd, 4th and 6th month of antituberculosis therapy were evaluated in this study.
Result: The proportion of mild-moderate malnutrition in children with tuberculosis is 53/62 (85.5%). Most of the subjects are 2 years old, male, live in Jakarta and have pulmonary TB (42.8%). All subjects received standard therapy with adequate dosage and only 1 subject did irregular therapy. The duration of treatment is 6 months for 45.2% subjects. The side effects were peripheral neuropathy (1 subject), elevation of transaminase enzymes (1 subject) and cholestasis (1 subject). Subjects received enteral nutrition are 15/62 (24.2%). There are 56/62 (90.3%) subjects with adequate dosage improved nutritional status and 55/61 (90.1%) subjects with regular treatment improved nutritional status after 6 months treatment. Body weight gain in 97% subjects was 5% every 2 months and 17% at the end of the treatment. No correlation between regular antituberculosis therapy and nutritional status outcome (p = 0.161).
Conclusion: Nutritional status improvement was found in 90% subjects. Body weight gain in 97% subjects was 5% in every 2 months and 17% after 6 months of treatment. No correlation between regular antituberculosis therapy and nutritional status outcome (p = 0.161).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Genta Raydiska Fadhlurrahman
"Implan tulang belakang obat antituberkulosis (OAT) berpotensi mengatasi ketidakpatuhan pasien spondilitis tuberkulosis dan meningkatkan daya jangkau obat ke daerah luka. Namun, peningkatan stres oksidatif karena respon tubuh terhadap infeksi patogen berpotensi mengakselerasi degradasi OAT isoniazid (INH) dan pirazinamid (PZA). Uji degradasi paksa dilakukan dengan terlebih dahulu membuat kurva kalibrasi obat dan menstandardisasi H2O2 stok. Sampel INH dan PZA disimpan selama 5 hari dalam media phosphate buffered saline (pH 7,4) dengan kadar H2O2 3% (w/v). Konsentrasi zat diukur dengan instrumen high performance liquid chromatography (HPLC) Shimadzu LC 20AD dengan kolom C18 (250 x 4,6 mm x 5 µm). Sampel INH dan PZA tersebut mengalami degradasi sebesar 54,01% dan 8,67% secara berurutan. Untuk menghambat degradasi, kedua obat ditambahkan stabilisator asam galat (AG), asam kafeat (AK), atau asam askorbat (AA) dengan perbandingan massa 1:1. Hasil uji degradasi menunjukkan bahwa penambahan AG paling signifikan menghambat degradasi INH dan PZA hingga ke angka 4,96% dan 2,27% secara berurutan.

Orally administered first line antituberculosis drugs (ATD) have risk of low patient adherence and low bioavailability in bone tissue. Unfortunately, elevated oxidative stress around infection area could endanger two ATDs, isoniazid (INH) and pyrazinamide (PZA), stability and further limit its release. Forced degradation study was conducted by prior creation of calibration curves and standardization of H2O2 stock concentration. INH and PZA samples were kept for 5 days in phosphate buffered saline (pH 7.4) aqueous media, H2O2 concentration was adjusted to 3% (w/v). Concentration of analyte was measured with Shimadzu LC 20AD, paired with C18 (250 x 4.6 mm x 5 µm) column, high performance liquid chromatography (HPLC). INH and PZA showed 54.01% and 8.67% degradation, respectively. To inhibit degradation; gallic acid (AG), caffeic acid (AK), and ascorbic acid (AA) stabilisator were added with 1:1 mass ratio to ATD. In both ATDs sample, AG showed the most significant results. Degradation was lowered to 4.96% and 2.27% for INH and PZA, respectively."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library