Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Moch Arrol Iswahyudi
"ABSTRAK
Latar belakang. Diseksi aorta Stanford A adalah penyakit dengan tingkat mortalitas yang tinggi. Penelitian ini bertujuan mencari ketahanan hidup satu tahun pasien diseksi aorta Stanford A dengan lesi hingga arkus aorta yang dibedah serta untuk mengetahui karakteristik pasien, tindakan dan faktor- faktor yang berhubungan.
Metode. Studi kohort retrospektif dengan data diambil melalui rekam medis pada pasien diseksi aorta Stanford A yang dilakukan operasi dari periode 1 Januari 2014 sampai dengan 31 Oktober 2017. Tingkat ketahanan hidup satu tahun dinilai menggunakan metode Kaplan Meier dan faktor faktor yang berhubungan dengan ketahanan hidup akan dianalisis dengan regresi Cox

ABSTRACT
Background: Stanford type A Aortic Dissection is a disease with high mortality rate. This study not only to find a one-year survival of patients with Stanford type A Aortic Dissection with lesion to the aortic arch that is dissected but also to determine patient characteristics and its related factors.
Methods: A retrospective cohort study with datas taken from medical records in Stanford type A Aortic Dissection patients who were operated from 1st January 2014 to 31st October 2017. One-year survival rate was assessed using the Kaplan-Meier method and its survival-related factors will be analyzed by Cox regression"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosmali Ardiansyah
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T58996
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rienna Diansari
"Latar Belakang: Menurut Global and Regional Burden of Aortic Dissection and Aneurysm, laju kematian akibat patologi aorta torakalis di negara berkembang lebih tinggi dibandingkan negara maju, dengan median pertambahan percepatan +0,71 per 100.000 vs +0,22 per 100.000 pada tahun 1990 dibandingkan 2010. Asia Tenggara merupakan salah satu negara dengan penambahan laju kematian tertinggi yaitu 41%. Di Indonesia, pasien datang dalam kondisi penyakit lanjut karena keterlambatan diagnosis dan manajemen dan hal ini menjadikan pasien berada pada kondisi patologi aorta yang kompleks. Kondisi patologi aorta yang kompleks tentunya membutuhkan tindakan bedah aorta yang kompleks pula. Sejauh ini belum terdapat studi yang secara khusus meneliti luaran klinis bedah aorta torakalis kompleks dibandingkan dengan non-kompleks, terutama pada populasi di negara berkembang.
Tujuan: Mengetahui hubungan kompleksitas pembedahan dengan mortalitas in-hospital dan kesintasan jangka menengah pasca bedah aorta torakalis serta faktor lain yang berhubungan.
Metode: Studi kohort retrospektif ini menggunakan data sekunder. Dilakukan pengambilan data dasar melalui rekam medis dan registri terhadap pasien pasca bedah aorta torakalis (1 Januari 2018 – 31 Desember 2021) di PJNHK. Analisa kesintasan 1 dan 3 tahun dilakukan dengan follow up melalui telepon dan pesan digital. Kemudian dilakukan analisa statistik untuk mencari hubungan antara kompleksitas pembedahan sebagai prediktor utama serta variabel lainnya dengan luaran primer (mortalitas in-hospital) dan sekunder (kesintasan jangka menengah).
Hasil: Total 208 pasien diinklusikan ke dalam analisis luaran primer; 157 (75,5%) menjalani bedah aorta torakalis kompleks dan 51 (24,5%) menjalani bedah aorta torakalis non-kompleks. Mortalitas in-hospital serupa pada kedua kelompok (23,6% vs 13,7%; p = 0,194). Pada analisa multivariat, sindrom malperfusi (OR 3,560; p = 0,002), durasi CPB > 180 menit (OR 4,331; p = 0,001), dan prioritas pembedahan (urgent OR 4,196; p = 0,003; emergency OR 10,879; p = 0,001) adalah prediktor independen mortalitas in-hospital. Follow-up kesintasan 1 dan 3 tahun pasca bedah aorta torakalis adalah 92,6% dan 80,3%, secara berurutan. Regresi Cox mengidentifikasi diabetes (HR 4,539; p = 0,025) dan status prosedur emergensi (HR 9,561; p = 0,015) sebagai prediktor independen mortalitas 1 tahun, dan diabetes (HR 3,609; p = 0,004), diseksi aorta (HR 2,795; p = 0,029) dan diameter aorta maksimum (HR 1,034; p = 0,003) sebagai prediktor independen mortalitas 3 tahun. Kompleksitas pembedahan tidak berhubungan dengan peningkatan mortalitas in-hospital maupun kesintasan jangka menengah.
Kesimpulan: Pada pasien yang menjalani tindakan bedah aorta torakalis terbuka, kompleksitas pembedahan tidak berhubungan dengan mortalitas in-hospital maupun kesintasan jangka menengah. Kesintasan jangka pendek dan menengah lebih banyak dipengaruhi faktor komorbid maupun faktor durante pembedahan

Background: According to Global and Regional Burden of Aortic Dissection and Aneurysm, a prominent increase of overall global death rate is seen on developing country compared to developed country, with relative change in median daeath rate of +0,71 per 100.000 vs +0,22 per 100.000 in 1990 vs 2010. South-east Asia is nation with highest increase of 41%. This is due to delayed in diagnosis and treatment and leads to late stage and complex aortic disease. The more complex the disease, the more complex the surgical procedure will be. Up until now, there is no data regarding the impact of surgical complexity on short and mid-term survival in patients underwent aortic surgery, especially in developing country.
Objectives: This study aimed to investigate the impact of surgical complexity on short and mid-term mortality and other influencing factors.
Methods: This retrospective cohort study used secondary data. Basic data was obtained through medical record and registry of patients underwent thoracic aortic surgery (January 1st, 2018 to December 31st, 2021) in National Cardiovascular Center Harapan Kita (NCCHK). One-year and 3-year survival analysis was obtained through phone calls and digital messages. Statistical analysis was done to investigate the impact of surgical complexity as the main predictor and other variables on primary (in-hospital mortality) and secondary (mid-term survival) outcome.
Results: A total of 208 patients were included in the analysis; 157 (75,5%) underwent complex surgery, and 51 (24,5%) underwent non-complex surgery. In-hospital mortality was similar actoss 2 groups (23,6% vs 13,7%; p = 0,1240). On multivariable analysis, malperfusion syndrome (OR 3,560; p = 0,002), CPB duration > 180 minutes (OR 4,331; p = 0,001), and surgical priority (urgent OR 4,196; p = 0,003; emergency OR 10,879; p = 0,001) were identified as independent predictor of in-hospital mortality. One and 3-year survival were 92,6% and 80,3%, respectively. Cox regression identified diabetes (HR 4,539; p = 0,025) and emergency procedure (HR 9,561; p = 0,015) as independent predictors for 1-year mortality, and diabetes (HR 3,609; p = 0,004), aortic dissection (HR 2,795; p = 0,029), and maximum aortic diameter (HR 1,034; p = 0,003) for 3-year mortality. Surgical complexity was not associated with early and mid-term mortality.
Conclusions: In patients undergoing thoracic aortic surgery, surgical complexity was not associated with early and mid-term survival. Short and mid-term survival was largely determined by patient comorbidities and intra-surgery factors.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfin Ridha Ramadhan
"Regurgitasi Aorta (RA) merupakan penyakit jantung katup terbanyak ketiga setelah stenosis aorta dan regurgitasi mitral dengan prevalensi sebesar 0.5% dari total populasi global. Berbagai faktor prediktor mortalitas dan kesintasan pada pasien RA telah banyak dipelajari diberbagai negara. Akan tetapi, studi yang mempelajari mengenai faktor prognostik terhadap kesintasan paska PKA pada pasien RA berat belum pernah dilakukan di Indonesia. Studi ini merupakan penelitian prognostik eksploratif dengan pendekatan kohort retroprospektif melibatkan 964 pasien dengan RA Berat yang berobat di RS Pusat Jantung Nasional Harapan Kita sejak Januari 2016 sampai Desember 2022. Dilakukan pengambilan data klinis, data ekokardiografi transtorakal, data prosedur pembedahan. Luaran primer adalah angka kesintasan dan angka mortalitas. Sebanyak total 383 pasien berhasil dilakukan analisis akhir. Sebagian besar subjek laki-laki (73,1%) dengan median usia 44 tahun (15-81). Prediktor bermakna terhadap angka kesintasan dan mortalitas pasien RA berat adalah penyakit ginjal kronis (OR 1,81, 95% CI 1,11-2,96; p<0,017), DASVKi ≥48,2 mm (OR 1,54, 95% CI 0,94-2,52;p<0,087), IMVK ≥173,5 g/m2 (OR 2,22, 95% CI 1,14-4,33;p<0,019), IVAK >34 mm/m2 (OR 2,38, 95% CI 1,18-4,79;p<0,015), Tanpa PKA (OR 4,33, 95% CI 2,68-7,00;p<0,001). Variabel Tanpa PKA merupakan prediktor angka kematian bermakna paling tinggi dengan peningkatan risiko kematian sebesar 4,33 kali (95% IK 2,688-7,00), p<0,001. Penyakit Ginjal Kronis, DASVKi ≥48,2 mm, IMVK ≥173,5 g/m2 IVAK >34 mm/m2 dan Tanpa PKA merupakan prediktor mortalitas bermakna pada pasien RA berat. Penyakit Ginjal Kronis merupakan prediktor kematian bermakna dari faktor klinis, ukuran DASVKi, IVMK, dan IVAK merupakan prediktor kematian bermakna dari faktor ekokardiografi serta Tanpa PKA merupakan prediktor kematian bermakna dari faktor prosedur bedah. Tanpa PKA merupakan prediktor angka kematian bermakna paling tinggi dengan peningkatan risiko kematian sebesar 4,33 kali.

Aortic Regurgitation (AR) is the third most common valvular heart disease after aortic stenosis and mitral regurgitation, with a prevalence of 0.5% of the global population. Various predictors of mortality and survival in AR patients have been extensively studied in different countries. However, studies focusing on prognostic factors for survival post-AVR in severe AR patients have not been conducted in Indonesia. To investigate clinical, echocardiographic, and AVR procedure predictors of survival in patients with severe AR. Methods: This is an exploratory prognostic study with a retrospective cohort approach involving 964 patients with severe Aortic Regurgitation treated at the National Heart Center Harapan Kita from January 2016 to December 2022. Data collection included clinical data, transthoracic echocardiographic data, and surgical procedure data. Primary outcomes analyzed were survival and mortality rates assessed over >1 year. A total of 383 patients were included in the final analysis. The majority of subjects were male (73.1%) with a median age of 44 years (15-81). Significant predictors of survival and mortality rates in severe RA patients are chronic kidney disease (OR 1.81, 95% CI 1.11-2.96; p < 0.017), LVESD ≥ 48.2 mm (OR 1.54, 95% CI 0.94-2.52; p < 0.087), LVMI ≥ 173.5 g/m2 (OR 2.22, 95% CI 1.14-4.33; p < 0.019), LAVI > 34 mm/m2 (OR 2.38, 95% CI 1.18-4.79; p < 0.015), and No AVR (OR 4.33, 95% CI 2.68-7.00; p < 0.001). The No AVR variable exhibits the highest significant mortality prediction with OR 4,33, 95% CI 2.688-7.00 and p < 0.001. Chronic kidney disease, LVESD ≥ 48.2 mm, LVMI ≥ 173.5 g/m2, LAVI > 34 mm/m2, and No AVR are significant mortality predictors in severe RA patients. Chronic kidney disease is a predictor of significant mortality among clinical factors, while LVEDS, LVMI, and LAVI are predictors among echocardiographic factors, and No AVR is a predictor of procedural factors. No AVR represents the highest significant mortality predictor with a 4.33-fold increased risk of death."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Alhara Yuwanda
"Kesemek (Diospyros kaki L.) merupakan tanaman tradisional Korea yang tumbuh di Indonesia dan secara empiris digunakan untuk kesehatan maternal. Penelitian dilakukan untuk mengetahui efek antioksidan yang dapat digunakan untuk mengurangi oksidasi LDL dan berpotensi sebagai antiaterosklerosis pada tikus putih jantan galur Sprague-Dawley yang di induksi dengan diet kolesterol. Uji antioksidan dengan metode DPPH menghasilkan nilai IC50 44,07 ± 15,06 mg/ mL. Hasil ANAVA satu arah (P= 0,05) menunjukkan penurunan nilai kolesterol total, trigliserida, dan LDL melalui perhitungan dan kenaikan HDL secara bermakna terhadap kelompok normal dan kontrol (-) serta penurunan tebal aorta dan jumlah sel busa . Sehingga disimpulkan ekstrak kesemek dapat mencegah aterosklerosis.

Persimmon fruits (Diospyros kaki L.) is a traditional plant in Korea and can be growth in Indonesia that has been used empirically to promote maternal health. The research has been done to figure out the antioxidant effect can use to prevent oxidation LDL and potential to the antiatherosclerosis on rats strain Sprague- Dawley previously induced by cholesterol diet. The scavenging activity against DPPH (1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl) radicals of the ethanol extracts of these plants were investigated. The extract of D. kaki was found to be the most potent, with an IC50 value of 44,07 ± 15,06 mg/ mL. One way ANOVA (P=0,05) of study showed reduction total cholesterol, triglycerides, LDL, and raise HDL were significantly amoung normal groups and control (-) along with relieve aortic sel foam. Result reflecting the protective effect of persimmon against atherosclerosis.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2014
T41988
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Brilliant Cahya Puspasari
"Berbagai penelitian terus dilakukan untuk mencari intervensi dalam upaya mencegah komplikasi sistem kardiovaskular yang timbul akibat kondisi hiperglikemia pada diabetes. Pada kondisi hiperglikemia, latihan fisik intensitas tinggi interval (HIIT) dan intensitas sedang kontinu (MICT) diketahui memiliki pengaruh positif, salah satunya melalui peningkatan kadar GLP-1. GLP-1 selanjutnya meningkatkan kadar eNOS aorta dan menekan ekspresi RAGE. Keseluruhan proses tersebut memberikan proteksi pada endotel dan mencegah perubahan struktur pembuluh darah. Penelitian ini ingin mengetahui perbedaan pengaruh HIIT dan MICT terhadap kadar GLP-1, eNOS, ekspresi RAGE pada aorta dan dampaknya pada struktur aorta. Digunakan tikus jantan wistar usia 8 minggu yang dibagi menjadi 4 kelompok (6 tikus per kelompok): kelompok kontrol tanpa intervensi latihan fisik (KN), hiperglikemia tanpa perlakuan (KHG), hiperglikemia dengan intervensi MICT (HG CT), dan hiperglikemia dengan intervensi HIIT (HG IT). Hiperglikemia diinduksi dengan injeksi streptozotocin intraperitoneal dosis tunggal (40mg/BB). Tikus dianggap memenuhi kriteria hiperglikemia jika kadar glukosa darah 72 jam pasca injeksi >200mg/dL. Intervensi latihan fisik dilakukan selama 6 minggu, dilanjutkan dekapitasi dan pengambilan jaringan aorta. Kadar GLP-1 dan eNOS diuji menggunakan metode ELISA sandwich, sementara ekspresi RAGE diuji menggunakan metode qPCR. Gambaran histologi aorta dilihat menggunakan metode pewarnaan hematoxylin-eosin. Hasil penelitian menunjukan terdapat perbedaan nilai median kadar GLP-1 dan ekspresi RAGE antara KHG dengan HG CT dan HG IT (p < 0.05), namun tidak terdapat perbedaan nilai median kadar eNOS antara KHG dengan HG CT dan HG IT (p > 0.05) dan tidak terdapat perbedaan diameter serta ketebalan dinding aorta antar kelompok. Untuk seluruh parameter yang diukur, tidak ditemukan perbedaan antara HG CT dan HG IT. Dapat disimpulkan bahwa baik HIIT dan MICT memberikan efek proteksi vaskular yang sama pada kondisi hiperglikemia, melalui peningkatan GLP-1 dan inhibisi RAGE.

Research is continuously performed to seek interventions to prevent cardiovascular system complications in diabetes arising from hyperglycemia. In hyperglycemia, high-intensity interval training (HIIT) and moderate-intensity continuous training (MICT) are known to have a positive effect, one of which is through increasing GLP-1 levels. GLP-1 further increases aortic eNOS levels and inhibit RAGE expression. The whole process provides protection to the endothelium and prevents pathological changes in structure of the blood vessels. The aim of this study is to analyse the effect of HIIT and MICT on GLP-1 level, eNOS level, and RAGE expression in the aorta and how these affect the structure of aorta. Wistar male rats aged 8 weeks were divided into 4 groups (6 rats per group): control group without exercise (KN), hyperglycemia without treatment (KHG), hyperglycemia with MICT (HG CT), and hyperglycemia with HIIT (HGIT). Hyperglycemia was induced by a single dose of intraperitoneal injection of streptozotocin (40 mg/BW). Rats were considered hyperglycemia if the blood glucose level within 72 hours after injection was >200 mg/dL. The exercise intervention was carried out for 6 weeks, followed by decapitation and aorta tissue collection. GLP-1 and eNOS levels were tested using the sandwich ELISA method, while RAGE expression was tested using the qPCR method. Histology of the aorta was analyze using the hematoxylin-eosin staining method. The results showed that there was a difference in the median value of GLP-1 levels and RAGE expression between KHG and both HG CT and HG IT (p < 0.05), but there was no difference in the median value of eNOS levels between KHG and both HG CT and HG IT (p > 0.05). There was no difference in aorta diameter and wall thickness within groups. For all parameters measured, no difference was found between HG CT and HG IT. It can be concluded that both HIIT and MICT exert similar vascular protective effects in hyperglycemic conditions, through increased GLP-1 and RAGE inhibition."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Nur Aini
"ABSTRAK
Latar belakang: Deteksi dini aterogenesis diperlukan untuk mencari faktor risiko gangguan kardiovaskular pada neonatus.Tujuan: 1 mengetahui sebaran nilai ketebalan tunika-intima aorta abdominalis aIMT pada bayi baru lahir; 2 mengetahui hubungan antara status nutrisi maternal dan berat lahir bayi terhadap aIMT bayi baru lahir.Metode: Penelitian potong lintang pada 86 bayi usi 2-3 kali nilai aIMT menggunakan ultrasonografi vaskular bertransduser linear 13 MHz dengan piranti lunak automatis, kemudian diambil nilai reratanya. Rerata aIMT kemudian dihubungkan dengan indeks massa tubuh ibu trimester pertama kehamilan dan berat lahir.Hasil: Rerata aIMT bayi baru lahir di Unit Perinatologi RSCM adalah 0,621 mm 0,110 mm. Tidak ditemukan korelasi antara indeks massa tubuh ibu trimester pertama kehamilan dengan aIMT bayi r = 0,137, p = 0,207 . Tidak ditemukan korelasi antara berat lahir bayi dengan aIMT bayi r = 0,036, p = 0,742 .Simpulan: Rerata aIMT bayi baru lahir di Unit Perinatologi RSCM adalah 0,621 mm 0,110 mm. Tidak didapatkan korelasi antara indeks massa tubuh ibu maupun berat lahir bayi terhadap aIMT bayi baru lahir. Deteksi dini risiko kardiovaskular pada neonatus melalui aIMT belum perlu dilakukan dalam praktik sehari-hari.Kata kunci: nutrisi maternal, risiko kardiovaskular, ketebalan tunika intima-media aorta

ABSTRACT
Background Early detection of atherogenesis is needed to evaluate cardiovascular risk factors in newborns.Aim 1 knowing aortic intima media thickness aIMT distribution value in newborns 2 evaluate correlation between maternal nutritional status and birth weight to newborn aIMT.Method A cross sectional study was performed in 86 newborns, aged 0 7 days, with median gestational age of 35 weeks. All aIMT subjects were measured using a 13 MHz linear transducer vascular ultrasound with automatic software. Mean aIMT then correlated with first trimester maternal body mass index and birth weight.Results Newborn mean aIMT in Perinatology division Cipto Mangunkusumo Hospital was 0,621 mm SD 0,110 mm . There was no significant correlation between first trimester maternal body mass index and newborns aIMT r 0,137, p 0,207 . There was no significant correlation between birth weight and newborns aIMT r 0,036, p 0,742 .Conclusions Newborn mean aIMT in Perinatology division Cipto Mangunkusumo Hospital was 0,621 mm SD 0,110 mm . There were no correlations between first trimester maternal body mass index and birth weight to newborns aIMT. Early detection of atherogenesis in newborns through aIMT measurement were not recommended for daily practice yet.Keywords Maternal nutrition, newborns cardiovascular risks, aortic intima media thickness"
2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Rizki Maulana
"Latar belakang: Intervensi endovaskular aorta perkutan rutin dilakukan dan menjadi pilihan tatalaksana invasif aneurisma atau diseksi aorta serta penyakit katup aorta. Komplikasi vaskular pasca intervensi sering terjadi pada pasien dengan diameter arteri femoralis komunis yang lebih kecil. Namun terdapat perbedaan bermakna dari diameter arteri femoralis komunis antara populasi Kaukasia dan Asia terkait komplikasi vaskular. Pada populasi Indonesia belum ada data terkait diameter arteri femoralis komunis dengan komplikasi vaskular.
Tujuan: Mengetahui diameter minimal arteri femoralis komunis sebagai prediktor komplikasi vaskular pasca intervensi endovaskular aorta perkutan pada populasi Indonesia.
Metode: Pasien yang dilakukan intervensi endovaskular aorta perkutan, diukur diameter arteri femoralis komunis dengan CT scan. Pasien dievaluasi kejadian komplikasi vaskular selama perawatan pasca tindakan.
Hasil: Terdapat 101 pasien dengan 135 arteri femoralis komunis yang menjadi sampel penelitian. Dibagi menjadi dua kelompok ukuran diameter arteri femoralis komunis berdasarkan median 7,6 mm, yaitu diameter ≥7,6 mm dan diameter <7,6 mm. Dari analisis multivariat, tidak terdapat hubungan bermakna antara kategori diameter arteri femoralis komunis dengan komplikasi vaskular pasca intervensi endovaskular aorta perkutan (p 0,38). Variabel lain yang berhubungan dengan kejadian komplikasi vaskular adalah jenis kelamin perempuan (p 0,03) dan RSAF ≥0,82 (p <0,001).
Kesimpulan: Diameter arteri femoralis komunis tidak dapat menjadi prediktor kejadian komplikasi vaskular pasca intervensi endovaskular aorta perkutan pada populasi Indonesia karena berdasarkan analisis multivariat tidak ditemukan hubungan yang bermakna.

Background: Percutaneus endovascular aorta repair has been routinely performed and become the primary choice of invasive therapy for aortic aneurism, aortic dissection and aortic valve disease. The occurrence of vascular complications resulting from intervention, often occurs in patients with smaller common femoral artery. However there is a significant difference in the diameter of common femoral artery between the Caucasian and Asian populations related to the incidence of vascular complications. Objectives: To investigate the minimal diameter of common femoral artery as a predictor of vascular complications after percutaneus endovascular aorta repair in the Indonesian population.
Methods: Patients who performed percutaneus endovascular aorta repair, measured the diameter of the common femoral artery with a CT scan and than evaluated for the occurrence of vascular complications after procedure.
Results: 101 patients with 135 common femoral arteries are divided into two groups based on median of common femoral arteries (7,6 mm), diameter ≥7,6 mm and diameter <7,6 mm. From multivariate analysis, there is no significant association between the common femoral artery diameter and vascular complications after percutaneous aortic endovascular repair (p 0,38). Other variables that related to the incidence of vascular complications were female (p 0.03) and RSAF ≥0.82 (p <0.001).
Conclusion: Diameter of common femoral artery can not be used as predictor of vascular complications after percutaneus endovascular aorta repair in the Indonesian population because based on multivariate analysis there was no significant relationship."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
S. J. K. Juniarti Hatta
"ABSTRAK
Tujuan penelitian ini untuk menilai, apakah tolok ukur prabedah yang selama ini dipergunakan untuk memperkirakan keberhasilan tindakan bedah ganti katup aorta di RSJHK sudah cukup memadai. Penelitian bersifat studi retrospektif terhadap semua penderita Regurgitasi Aorta yang dilakukan penggantian katup aorta di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita Jakarta pada periode Februari 1986 s.d. 31 Desember 1989.
Terdapat 31 penderita yang memenuhi kriteria penelitian, terdiri atas 9 penderita wanita dan 22 pria,umur berkisar antara 10-60 tahun, rata rata 33,77±14,58 tahun.
Empat belas variabel prabedah dan tiga variabel intrabedah .diteliti untuk melihat pengaruhnya terhadap kematian bedah dan perbaikan kelas fungsionalnya (NYHA) pascabedah. Dari hasil tindakan bedah penderita dikelompokkan dalam dua kelompok yaitu kelompok A (hasil kurang baik) dan kelompok B (hasil baik). Kelompok A penderita yang mengalami kematian bedah atau penderita dengan kelas fungsional menetap atau bahkan memburuk (n : B). Kelompok B penderita yang hidup dan kelas fungsionalnya meningkat satu tingkat atau lebih dinilai secara kriteria NYHP (n : 23).
Angka kematian bedah 16.12%. Dari 14 variabel prabedah tidak didapatkan perbedaan yang bermakna dari kelompok A dan kelompok B, dari 3 variabel intrabedah terdapat satu variabel yang berbeda bermakna yaitu lama klem aorta.
Kelompok A dengan rata rata 185±221,56 menit dan kelompok B 80,69±22,01 menit ( p:0.03 ).
Sebagai kesimpulan penelitian ini belum dapat mencari variabel prabedah mana yang berpengaruh terhadap kematian bedah ,pada tindakan bedah ganti katup aorta pada penderita Regurgitasi Aorta. Dengan tolok ukur yang lama tampaknya seleksi penderita prabedah sudah cukup ketat oleh karena nilai dari rata-rata tolok ukur dibawah nilai risiko tinggi yang dianjurkan peneliti sebelumnya.
Suatu penelitian prospektif dan jangka panjang perlu dilakukan agar dapat dicari variabel prognostiknya dan angka ketahanan hidup dari penderita Regurgitasi Aorta pascabedah ganti katup aorta di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita Jakarta."
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Zaini
"ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian secara retrospektif terhadap 260 penderita yang menjalani bedah pintas koroner di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita antara bulan Maret 1986 sampai dengan 31 Maret 1990 untuk mencari variabel prognostik mortalitas bedah.
Tiga puluh satu variabel prabedah yang terdiri dart 24 variabel klinis, 7 variabel kateterisasi-angiografi; dan 6 variabel intrabedah, telah diuji secara univariat dengan analisa "Kai-kuadrat" atau "Fisher's exact" dan selanjutnya secara multivariat dengan "Forward stepwise selection".
Dari 24 variabel klinik yang dianalisa secara univariat hanya 4 variabel yang bermakna yaitu kelas angina, riwayat CHF, aritmia dan kreatinin. Dari 7 variabel kateterisasi-angiografi tidak satupun yang bermakna. Dari 6 variabel bedah hanya 3 variabel yang bermakna secara univariat yaitu prioritas bedah, lama klem aorta dan endarterektomi. Dari 4 variabel klinik dan 3 variabel bedah yang bermakna tersebut, dengan analisa multivariat hanya 3 variabel yang bermakna yaitu prioritas bedah (p=0,0002), lama klem aorta (p=0,019) dan kreatinin serum (p=0,049).
Mortalitas bedah meningkat dengan tindakan urgensi--emergensi (mortalitas elektif 5,7%, mortalitas urgensi 28,0% dan mortalitas emergensi 57,1%). Lama klem aorta juga mempengaruhi mortalitas (mortalitas lame klem aorta < 52 menit 2%, antara 52-70 menit 4,9%, antara 71-96 menit 10,0% dan > 96 menit 22,9%). Kadar kreatinin > 2 mg% menyebabkan mortalitas meningkat (pada kadar kreatinin serum > 2 mg% mortalitasnya 60%).
Sebagai kesimpulan bahwa kadar kreatinin serum yang tinggi, pernbedahan secara urgensi-emergensi, dan lama klem aorta yang panjang akan meningkatkan mortalitas bedah.

ABSTRACT
A retrospective study on 260 patients who underwent bypass surgery at the Harapan Kiita National Cardiac Center from March 1986 up to March 1990 was undertaken to determine the prognostic variable in surgical mortality.
Thirty one preoperative variables comprising of 24 clinical, 7 coronary angiographies and 6 intraoperative variables were tested using univariate analysis with chi-square or Fisher's exact followed by multivariate analysis using Forward Stepwise Selection.
Of 24 variables analyzed using univariate analysis only 4 were significant, namely angina class, history of CHF, arrhythmias and creatinine.
Of the 7 angiographies variables, not even one was significant ; whereas of 6 surgical variables, only 3 were significant, that is priority of surgery, duration of aortic clamp and endarterectomy.
From 4 clinical and 3 surgical variables which were significant, using multivariate analysis, only 3 were significant: priority of surgery (p=0,0002), duration of aortic clamp (p=0,019), and serum creatinine (p=0,049).
Surgical mortality increased with urgency-emergency procedures (elective mortality 5,7%, urgency mortality 28,0% and emergency mortality 57,1%). Duration of aortic clamp also influenced mortality (aortic cross clamp < 521,2%; between 71-96',10,0% ; and > 96',22,9%). 96',22,9%). Serum creatinine level exceeding 2 mg% increased mortality (at a serum creatinine level of > 2 mg%, mortality was 60%).
In conclusion, a high serum creatinine level, an urgency-emergency surgical procedure, and the duration of aortic clamp time will increase surgical mortality."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>