Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Srie Sisca Primarianti
Abstrak :
Panduan dari American Diabetes Association (ADA) tahun 2015 menyarankan penggunaan aspirin (75-162 mg/hari) pada pasien DM untuk pencegahan primer maupun sekunder terhadap penyakit kardiovaskular. Namun, sebagian pasien yang minum aspirin tidak mencapai respons inhibisi yang diharapkan (resistensi aspirin). Terdapat teori yang menyatakan bahwa kontrol metabolik pada diabetes berkontribusi menurunkan sensitivitas trombosit terhadap aspirin. Penelitian ini bertujuan mengetahui proporsi resistensi aspirin pada pasien DM tipe 2, serta hubungannya dengan kontrol glikemik yang dinyatakan dengan HbA1c. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang terhadap 82 pasien DM yang minum aspirin. Pada pasien dilakukan pemeriksaan agregasi trombosit dengan agregometer Chrono-log. Definisi resistensi aspirin adalah agregasi trombosit ≥ 20% dengan agonis asam arakidonat 0,5 mg/mL. HbA1c diperiksa menggunakan metode afinitas boronat dari Nycocard. Didapatkan proporsi resistensi aspirin sebanyak 14,6%. Tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara kendali HbA1c yang buruk dengan resistensi aspirin. ......Guidelines from the American Diabetes Association (ADA) in 2015 suggested the use of aspirin (75-162 mg / day) in patients with diabetes mellitus for primary or secondary prevention of cardiovascular disease. However, some patients who took aspirin did not achieve the expected inhibition response (aspirin resistance). There is a theory which states that the metabolic control in diabetes contributes to decrease sensitivity of platelets to aspirin. This study aims to determine proportion of aspirin resistance in patients with type 2 diabetes, as well as its relation with glycemic control that is represented by HbA1c. This study used cross-sectional design on 82 diabetic patients who took aspirin. Platelet aggregation was assessed using Chrono-log aggregometry. Resistance to aspirin was defined as ≥ 20% platelet aggregation with arachidonic acid 0,5 mg / mL. HbA1c was assessed with boronic affinity method of Nycocard. Twelve subjects (14,6%) of type 2 diabetic patients were found to be resistant to aspirin therapy. There was no significant association between poor HbA1c control and aspirin resistance.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Priyono
Abstrak :
Selama beber^pa tahun terakhir, surfaktan banyak digunakan dan telah diformulasi dalam sediaan farmasi dan kosmetika. Beberapa surfaktan telah dipelajari pengaruhnya terhadap peningkatan stabilitas suatu bahan obat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh solubilisasi surfaktanterhadap stabilitas aspirin dalam dapar fosfat pH 7,4. Surfaktan yang digunakan adalah Polisorbat 20, Polisorbat 60 dan Polisorbat 80. Jumlah yang digunakan sebesar 50 mg polisorbat 20, 25 mg polisorbat 60 dan 15 mg polisorbat 80. Stabilitas aspirin dilakukan dengan menyimpan pada temperatur 40° C, 50° C dan 60° C selama lima jam. Pengukuran kadar aspirin yang tertinggal dilakukan setiap satu jam dan dianalisis secara spektrofotometri simultan dengan metode Tinker dan Me bay pada panjang gelombang 275 nm dalam dapar klorida pH 2,4. Hasil menunjukkan bahwa solubilisasi polisorbat tidak meningkatkan stabilitas aspirin dalam dapar fosfat ph 7,4. Nilai konstanta kecepatan peruraian aspirin tanpa penambahan surfaktan lebih kecil daripada aspirin dengan penambahan surfaktan. ...... For the last few years, surfactant has already been used and formulatied in pharmaceutical preparation and cosmetics. There areseveral studies of the effect of several kinds of surfactants to increase the drug stability. This experiment is aimed to know the solubilization effect of surfactant to the stability of aspirin in pH 7.4 in buffer phosphat. The surfactants used for this experiment are Polysorbat 20, Polysorbat 60 and Polysorbat 80 in the amount of 50 mg of polysorbat 20, 25 mg of polysorbat 60 and 15 mg polisorbat 80. The stability test of aspirin was performed by keeping at 40°C, 50° C and 60° C for five hours. The measurement of the remained aspirin content was done every one hour and analyzed by simultaneous spectrophotometer using Tinker and Mc Bay method at the wave length of 275 nm in pH 2.4 of buffer chlorida. The results shows that the solubilization of polysorbat does not increase the stability of aspirin in pH 7.4 of buffer phosphat. The value of the decomposition rate constant for aspirin without the addition of surfactant proved to be lower than the added one.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1996
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eva Rizky Prasetyaning
Abstrak :
Osteoporosis adalah penyakit tulang yang ditandai dengan rendahnya massa tulang yang menyebabkan peningkatan risiko patah tulang. Pada penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa aspirin dapat mengurangi kadar S1P (Sphingosine-1-Phosphate) sehingga resorpsi tulang akibat osteoklas dapat menurun. Kombinasi aspirin dan kalsium digunakan dalam penelitian ini untuk melihat pengaruhnya terhadap jumlah sel osteoklas. Penelitian ini dilakukan pada tikus putih betina Sprague-Dawley yang dibagi menjadi 8 kelompok yaitu kelompok sham dan kontrol negatif yang diberikan CMC Na 0,5%, kelompok kontrol positif yang diberikan tamoksifen 3,6 mg/200 gBB/hari, kelompok aspirin yang diberikan aspirin 5,4 mg/200gBB/hari, kelompok kalsium yang diberikan kalsium 15 mg/200 g BB/hari, serta kelompok kombinasi aspirin dan kalsium dengan masing-masing dosisnya yaitu D1 aspirin 1,8 mg/200 g BB/hari dan kalsium 15 mg/200gBB/hari; D2 aspirin 5,4 mg/200gBB/hari dan kalsium 15 mg/200gBB/hari; dan D3 aspirin 16,2 mg/200gBB/hari dan kalsium 15 mg/200gBB/hari secara peroral. Sebelum pemberian obat, semua tikus dibedah ovariektomi kecuali kelompok sham dan kontrol negatif yang dibedah sham. Setelah pembedahan, tikus dipelihara selama 28 hari kemudian diberikan obat. Parameter yang diukur adalah berat tulang tibia dan jumlah sel osteoklas yang dilihat secara histopatologi dengan pewarnaan HE (Hematoksilin-Eosin). Berat tulang tibia kelompok sham 321,90±10,39mg, kontrol negatif 272,30±54,18mg, kontrol positif 312,50±40,86mg, aspirin 336,67±29,57mg, kalsium 335,90±60,66mg, D1 346,27±83,91mg, D2 377,00±4,51mg, D3 366,67±48,52mg. Jumlah sel osteoklas kelompok sham 7,8±0,4sel/lapang pandang, kontrol negatif 9,13±1,10sel/lapang pandang, kontrol positif 8,13±1,67sel/lapang pandang, aspirin 7,53±1,52sel/lapang pandang, kalsium 7,67±0,64sel/lapang pandang, D1 7,47±0,31sel/lapang pandang, D2 5,33±0,99sel/lapang pandang, D3 7,67±0,31sel/lapang pandang. Hasil ini menunjukkan bahwa aspirin dan kalsium dapat meningkatkan berat tulang dan menurunkan jumlah sel osteoklas. ......Osteoporosis is a bone disease characterized by low bone mass which causes an increased risk of fracture. Previous study have shown that aspirin can reduce S1P (Sphingosine-1-Phosphate) levels so that bone resorption due to osteoclasts can decrease. The combination of aspirin and calcium was used in this study to see its effect on the number of osteoclasts. This study was conducted on female white Sprague-Dawley rats which were divided into 8 groups, sham, negative control groups were given 0.5% CMC Na, positive control group was given tamoxifen 3.6 mg/200gBW/day, aspirin group was given 5.4 mg/200gBW/day, calcium group was given calcium 15 mg/200gBW/day, and the aspirin and calcium combination group with each dose of D1 aspirin 1.8 mg/200gBW/day and calcium 15 mg/200gBW/day, D2 aspirin 5.4 mg/200gBW/day and calcium 15 mg/200gBW/day, and D3 aspirin 16.2 mg/200gBW/day and calcium 15 mg/200gBW/day orally. All rats were ovariectomized except for the normal group and the negative control group which underwent sham surgery. The rats were kept for 28 days and then given the drug. The parameters measured were the weight of the tibia bone and the number of osteoclasts seen histopathologically with HE (Hematoxylin-Eosin) staining. Weight of tibia bone are 321.90±10.39mg for sham, 272.30±54.18mg for negative control, 312.50±40.86mg for positive control, 336.67±29.57mg for aspirin, 335.90±60.66mg for calcium, 346.27±83.91mg for D1, 377.00±4.51mg for D2, 366.67±48.52mg for D3. The number of osteoclasts in cells/field of view are 7.8±0.4 for sham, 9.13±1.10 for negative control, 8.13±1.67 for positive control, 7.53±1.52 for aspirin, 7.67±0.64 for calcium, 7.47±0.31 for D1, 5.33±0.99 for D2, 7.67±0.31 for D3. The result is the combination of aspirin and calcium can increase bone weight and decrease the number of osteoclasts.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Franciscus Ari
Abstrak :
ABSTRAK
Efek samping gastroduodenal sering terjadi pada pengunaan aspirin jangka panjang, bahkan pada dosis yang sangat rendah (10 mg/hari). Saat ini angka kejadian kerusakan mukosa gastroduodenal akibat penggunaan aspirin dosis rendah jangka panjang di Indonesia belum diketahui. Tujuan: Mengetahui prevalensi dan gambaran endoskopi kerusakan mukosa gastroduodenal pada pengguna aspirin dosis rendah jangka panjang pada pasien yang berobat di RSCM, serta faktor-faktor yang mempengaruhi. Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang pada pasien poliklinik dan ruang perawatan RSCM usia ≥ 18 tahun yang mengkonsumsi aspirin dosis rendah (75-325 mg) lebih dari 28 hari. Didapatkan 95 subjek penelitian melalui metode konsekutif dalam periode Desember 2015 ? April 2016. Temuan endoskopi berupa erosi mukosa dan ulkus peptikum dimasukkan ke dalam kelompok kerusakan mukosa. Hasil: Kerusakan mukosa gastroduodenal ditemukan pada pada 49 subjek (51,6% (95% IK 41,6-61,7%)), dengan gambaran erosi mukosa pada 38 subjek (40% (95% IK 30,2-49,9%)) dan ulkus peptikum pada 11 subjek (11,6% (95% IK 5,2-18,0%)). Hanya 44,9% pasien dengan kerusakan mukosa gastroduodenal memiliki keluhan dispepsia. Kombinasi antitrombotik meningkatkan risiko terjadinya kerusakan mukosa (OR 3,3 (95% IK 1,3 ? 8,5)). Sedangkan penggunaan obat golongan proton pump inhibitors (PPI) menurunkan risiko (OR 0,2 (95% IK 0,04 ? 0,60)). Kesimpulan: Kerusakan mukosa gastroduodenal terjadi pada lebih dari separuh pasien yang menggunakan aspirin dosis rendah jangka panjang. Kombinasi aintitrombotik meningkatkan risiko kerusakan mukosa. Sedangkan penggunaan PPI efektif dalam menurunkan risiko tersebut.
ABSTRACT
Background: Long-term aspirin therapy can induces gastroduodenal mucosal injury, even in a very low dose (10 mg daily). The frequency of gastroduodenal injuries among long-term low-dose aspirin users in Indonesia is currently unknown.Aim: To determine the gastroduodenal mucosal injury prevalence, endoscopic findings, and influencing factors among long-term low-dose aspirin users in RSCM. Methods: This study was a cross-sectional study conducted in Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. Subjects were ≥ 18 years old patients that have been using low-dose aspirin (75-325 mg) for at least the preceding 28 days. Ninety five subjects were recruited consecutively in the period of December 2015 ? April 2016. Endoscopic findings such as erosions and ulcers were assessed as mucosal injuries. Results: Mucosal injury was found in 49 subjects [51.6% (95% CI 41.6?61.7%)]; mucosal erosion in 38 subjects [40% (95% CI 30.2?49.9%)] and ulcers in 11 subjects [11.6% (95% CI 5.2?18.0%)]. Only 44.9% patients with mucosal injury had dyspepsia symptoms. Double antiplatelet therapy increases the risk of mucosal injury [OR 3.3 (95% CI 1.3?8.5)]. However, proton pump inhibitor (PPI) decreases the risk [OR 0,2 (95% IK 0,04 ? 0,60)]. Conclusions: Gastroduodenal mucosal injury was found in more than half of long-term low-dose aspirin users. Double antiplatelet therapy increases the risk of mucosal injury, while PPI effectively reduced the risk.;
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Robby Effendy Thio
Abstrak :
Pendahuluan: Saat ini, pengobatan antiplatelet tunggal menggunakan aspirin atau clopidogrel direkomendasikan untuk pasien penyakit arteri perifer (PAD) pasca-revaskularisasi. Namun, penelitian terbaru menyarankan bahwa kombinasi rivaroxaban dan aspirin lebih menguntungkan. Kami melakukan tinjauan sistematis untuk menentukan efikasi dan keamanan kombinasi rivaroxaban dan aspirin dibandingkan dengan aspirin saja. Metode: Kami melakukan tinjauan sistematis berdasarkan Preferred Reporting Items for Systematic Review and Meta-Analysis (PRISMA). Pencarian dilakukan di Cochrane, PubMed, Scopus, EBSCOHost, dan Google Scholar menggunakan kata kunci. Kriteria inklusi dan eksklusi diterapkan. Studi yang dipilih dinilai menggunakan Cochrane risk of bias tool versi 2 untuk inklusi. Studi yang terpilih diekstraksi untuk karakteristik dan hasil. Hasil dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Kami menggunakan model efek tetap atau acak untuk menentukan rasio tergabung yang sesuai. Interval kepercayaan 95% dan nilai p kurang dari 0,05 digunakan sebagai indikator signifikansi statistik. Hasil: Dua studi terkontrol acak multicenter dimasukkan setelah pencarian dan penilaian dengan risiko bias rendah. Kedua studi menunjukkan hasil efektivitas primer yang lebih baik dalam kelompok kombinasi dan perbaikan risiko perdarahan mayor. Analisis kuantitatif menemukan tingkat komplikasi PAD yang lebih rendah (OR=0,79; 95% CI=0,66–0,95) termasuk infark miokard, stroke, kematian kardiovaskular, dan iskemia tungkai akut. Kelompok kombinasi memberikan hasil keamanan primer (OR=1,32; 95% CI=1,06–1,67) dan sekunder (OR=1,47; 95% CI=1,19–1,84) yang lebih rendah. Kesimpulan: Kombinasi rivaroxaban dan aspirin memberikan hasil klinis yang lebih baik pada pasien PAD pasca-revaskularisasi. Namun, kombinasi ini harus digunakan dengan hati-hati karena dapat meningkatkan risiko perdarahan pada populasi tersebut. ......Introduction: Currently, single antiplatelet treatments using aspirin or clopidogrel were recommended for post-revascularization peripheral artery disease (PAD) patients. However, recent study suggested that combination of rivaroxaban and aspirin was more favorable. We conducted a systematic review to determine efficacy and safety of rivaroxaban and aspirin combination compared to aspirin alone. Method: We conducted a systematic review based on the Preferred Reporting Items for Systematic Review and Meta-Analysis (PRISMA) statement. Searching was conducted on Cochrane, PubMed, Scopus, EBSCOHost, and Google Scholar using keywords. Inclusion and exclusion criteria were applied. Selected studies were appraised using Cochrane risk of bias tool v.2 for inclusion. Included studies were extracted for characteristics and outcomes. Outcomes were analyzed qualitatively and quantitatively. We used fixed- or random-effect model to determine pooled ratio per appropriate. A 95% confidence interval and p-value of 0.05 and below were used as indicators of statistical significance. Results: Two multicentered, randomized controlled studies were included after searching and appraisal with low risk of bias. Both studies showed greater primary effectivity outcome in combination group and improvements of major bleeding risk. Quantitative analysis found lower PAD complications rate (OR=0.79; 95% CI=0.66–0.95) which including myocardial infarct, stroke, cardiovascular death, and acute limb ischemia. Combination group provided lesser primary (OR=1.32; 95% CI=1.06–1.67) and secondary (OR=1.47; 95% CI=1.19–1.84) safety outcome. Conclusion: Combination of rivaroxaban and aspirin provided better clinical outcome in postrevascularization PAD patients. However, this combination should be used carefully as this yield larger risk of bleeding in the population.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Begawan Bestari
Abstrak :
Dual antiplatelet therapy (DAPT) is the mainstay of secondary prevention treatment for acute coronary syndrome (ACS) and ischemic stroke, especially after coronary intervention. DAPT consists of aspirin and P2Y12 receptor inhibitor (e.g. clopidogrel), and the use of DAPT has been increased over time. The most serious and common adverse effect is gastrointestinal bleeding. Guidelines in managing such condition are available among Gastroenterologist Societies and Cardiologist Societies. Most guidelines are consistent with each other to continue the use of aspirin while withholding P2Y12. However, European Society of Cardiologist (ESC) guideline in 2017 recommends P2Y12 receptor inhibitor as the preferred antiplatelet for patient with upper gastrointestinal bleeding. This review will look on the guidelines and other supporting evidence for the justification on the antiplatelet of choice.
Jakarta: University of Indonesia. Faculty of Medicine, 2019
610 UI-IJIM 51:3 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Zahriah
Abstrak :
Berbagai penelitian telah membuktikan khasiat ekstrak air rosella (Hibiscus sabdariffa L) dalam pemeliharaan fungsi kardiovaskular. Penggunaan ekstrak air rosella yang dikoadministrasikan dengan aspirin berpotensi untuk terjadi, karena aspirin merupakan terapi yang juga digunakan dalam pemeliharaan fungsi kardiovaskular, khususnya sebagai antiplatelet. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak air rosella terhadap farmakokinetik dan farmakodinamik aspirin. Studi interaksi farmakokinetik dan farmakodinamik ekstrak air rosella dengan aspirin terbagi dalam beberapa kelompok perlakuan, yaitu kelompok aspirin tunggal, rosella tunggal dan tiga kelompok ko-administrasi ekstrak air rosella dengan aspirin. Ekstrak air rosella dalam tiga variasi dosis yang diberikan secara ko-administrasi dengan aspirin tidak memberikan pengaruh yang signifikan secara statistik terhadap AUC, Cmaks, tmaks, Vd, Klirens, dan t1/2 asam salisilat. Selain itu, pemberian ekstrak air rosella secara ko-administrasi dengan aspirin tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan waktu perdarahan dan survival rate dari tikus uji. Berdasarkan  hasil penelitian ini disimpulkan, ekstrak air rosella yang digunakan secara ko-administrasi dengan aspirin pada tikus tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap farmakokinetik dan farmakodinamik aspirin.
Various studies have proven the efficacy of Roselle (Hibiscus sabdariffa L) in maintaining cardiovascular function. The use of aqueous extract of Roselle with aspirin has the potential to occur, because aspirin is a therapy that is also used in the maintenance of cardiovascular function, especially as antiplatelet. This study aimed to determine the effect of aqueous extract of Roselle on the pharmacokinetics and pharmacodynamics of aspirin. The study of pharmacokinetic and pharmacodynamic interactions of aqueous extract of Roselle with aspirin was divided into several treatment groups: single aspirin group, single Roselle and three co-administration groups of aqueous extract of Roselle with aspirin. Co-administration aqueous extract of Roselle with aspirin did not have a significant difference on AUC, Cmax, Tmax, Vd, clearance, and t½ salicylic acid. In addition, co-administration aqueous extract of Roselle and aspirin did not show a significant increase in the bleeding time and survival rate of rats. In conclusion, aqueous extract of Roselle used by co-administration with aspirin in rats did not have a significant effect on the pharmacokinetics and pharmacodynamics of aspirin.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2019
T54283
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marcia Dewi Hartanto
Abstrak :
Pada wanita pascamenopause sering ditemukan penyakit jantung koroner. Meningkatnya kejadian penyakit jantung koroner erat kaitannya dengan menurunnya kadar estrogen di dalam darah wanita menopause. Penggunaan aspirin pada wanita pascamenopause dengan risiko rendah masih merupakan suatu kontroversi. Untuk membantu rasionalisasi penggunaan aspirin sebagai pencegahan primer kejadian kardiovaskular pada wanita pascamenopause, dilakukan pengukuran efek antitrombotik aspirin pada fungsi platelet pada wanita pascamenopause dibandingkan pramenopause. Efek antitrombotik aspirin dinilai melalui penurunan kadar metabolit Tromboksan B: yaitu kadar 11~dehidro Tromboksan B2 (11-dTxBz} dalam urin wanita pascamenopause dibandingkan dengan wanita pramenopause yang meminum aspirin iOO mg selama 7 hari. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian aspirin pada 15 wanita pascamenopause dan 15 wanita pramenopause, menghambat secara bermakna produksi ll-dTxB2 pada wanita pascamenopause dan juga pada wanita pramenopause. Persentase penurunan 11-dTxBz pada wanita pascamenopause lebih tinggi secara bermakna dibandingkan penurunan ll-dTx- pada wanita pramenopause. Dengan demikian pada wanita pascamenopause dengan risiko rendah dapat dipertimbangkan pemberian aspirin 1 00 mg sebagai pencegahan primer penyakit kardiovaskular.
The frequency of coronary heart disease is more prevalence in postmenopausal women than in premenopausal women. Estrogen may have cardioprotective effects in premenopausal women, but may diminish in postmenopausal women. The usefulness of aspirin to prevent cardiovascular events in postmenopausal women without a history of cardiovascular disease is still a controversy. This study was conducted to search more evidences of the role of aspirin in primary prevention in healthy postmenopausal women through the antithrombotic measurement. Aspirin 100 mg was given each day to 15 healthy postmenopausal women and premenopausal women for 7 consecutive days. The result of this study was that the ingestion of aspirin 100 mg for 7 consecutive days reduced urinary 11-dehydro-thromboxane B2 significantly different in both postmenopausal and premenopausal women. The percentage of the decrease was significantly higher in postmenopausal than in premenopausaL The result of this study supports the usefulness of aspirin 100 mg in a healthy postmenopausal women with low risk as a primary prevention of a cardiovascular diseases.
Depok: Universitas Indonesia, 2008
T32805
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rifanny Adelia Dewinasjah
Abstrak :
Osteoporosis adalah penyakit yang ditandai dengan adanya penurunan massa tulang yang parah sehingga meningkatkan risiko terjadinya retak atau patah tulang. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pemberian aspirin dosis tinggi (300 mg) terbukti dapat menurunkan kadar Sphingosine-1-Phosphate (S1P) dalam plasma. Kadar rendah S1P dalam darah dapat mengaktifkan S1PR1 yang dapat mengarahkan prekursor osteoklas kembali ke darah sehingga proses osteoklastogenesis dapat terhambat. Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi pengaruh pemberian aspirin dengan kombinasi kalsium secara in vivo. Penelitian ini menggunakan tikus putih betina Sprague-Dawley yang dibagi menjadi 8 kelompok, yaitu sham dan kontrol negatif yang diberikan 1ml CMC Na 0,5%, kontrol positif diberikan tamoksifen sitrat 3,6 mg/200 g BB/hari, kelompok aspirin diberikan aspirin 5,4 mg/200 g BB/hari, kelompok kalsium diberikan kalsium sitrat 15 mg/200 g BB/hari, serta 3 kelompok variasi dosis aspirin dalam kombinasi dengan kalsium sitrat yaitu D1 aspirin 1,8 mg/200 g BB/hari, D2 aspirin 5,4 mg/200 g BB/hari, D3 aspirin 16,2 mg/200 g BB/hari dimana ketiga variasi dosis tersebut dikombinasikan dengan dosis kalsium sitrat 15 mg/200 g BB/hari secara peroral. Semua tikus dilakukan ovariektomi, kecuali kelompok sham dilakukan pembedahan tanpa pengambilan ovarium. Tikus dipelihara 4 minggu pasca operasi, lalu diberi perlakuan selama 28 hari. Parameter pertama yang diukur adalah berat tulang tibia dengan rata-rata kelompok sham 321,90 ± 10,39 mg, kontrol negatif 272,300 ± 54,18 mg, kontrol positif 312,50 ± 40,86 mg, aspirin 336,67 mg, kalsium 335, 90 ± 60,66 mg, D1 346,27 ± 83,90 mg, D2 377,00 ± 36,10 mg, dan D3 336,67 ± 4,5 mg. Parameter kedua yang diukur adalah kadar kalsium dengan rata-rata kelompok kelompok sham 111,08 ± 4,74 mg, kontrol negatif 89,30 ± 23,94 mg, kontrol positif 109,69 ± 20,25 mg, aspirin 123,01 ± 17,98 mg, kalsium 124,53 ± 32,11 mg, D1 120,19 ± 3,63 mg, D2 149,22 ± 17,13 mg, dan D3 121,60 ± 5,21 mg. Berdasarkan penelitian, pengaruh pemberian dosis kombinasi aspirin 5,4 mg/200 g BB/hari dan dosis kalsium 15 mg/200 g BB/hari pada tikus dapat meningkatkan berat dan kadar kalsium tulang tibia secara efektif. ......Osteoporosis is a disease characterized by a severe decrease in bone mass that increases the risk of fractures. Previous studies have shown that high-dose aspirin (300 mg) has been shown to reduce plasma levels of Sphingosine-1-Phosphate (S1P). Low levels of S1P in the blood can activate S1PR1 which can direct osteoclast precursors back to the blood so that the process of osteoclastogenesis can be inhibited. This study was conducted to evaluate the effect of aspirin and calcium combination in vivo. This study used female Sprague-Dawley rats which were divided into 8 groups, namely sham and negative control which were given 1ml CMC Na 0.5%, positive control was given tamoxifen citrate 3.6 mg/200 g BW/day, aspirin group was given aspirin. 5.4 mg/200 g BW/day, the calcium group was given calcium citrate 15 mg/200 g BW/day, as well as 3 groups with variations in the dose of aspirin in combination with calcium citrate, namely D1 aspirin 1.8 mg/200 g BW/day, D2 aspirin 5.4 mg/200 g BW/day, D3 aspirin 16.2 mg/200 g BW/day where the three variations of the dose were combined with a dose of calcium citrate 15 mg/200 g BW/day. All rats were ovariectomized, except for the sham group which underwent surgery without removing the ovaries. After 4 weeks of ovariectomy, rats were treated for 28 days orally. The first parameter that was measured was the mass of the tibia bone with the average for bone mass in each group are 321.90 ± 10.39 mg for sham group, 272.300 ± 54.18 mg for negative control, 312.50 ± 40.86 mg for positive control, 336.67 mg for aspirin group, 335, 90 ± 60.66 mg for calcium group, 346.27 ± 83.90 mg for D1, 377.00 ± 36.10 mg for D2, and 336.67 ± 4.5 mg for D3. The second parameter measured was calcium levels with the average for calcium levels in each group are 111.08 ± 4.74 mg for sham group, 89.30 ± 23.94 mg for negative control, 109.69 ± 20.25 mg for positive control, 123.01 ± 17.98 mg for aspirin group, 124.53 ± 32.11 mg for calcium group, 120.19 ± 3.63 mg for D1, 149.22 ± 17.13 mg for D2, and 121.60 ± 5.21 mg for D3. Based on the research, the effect of a combination dose of aspirin 5.4 mg/200 g BW/day and calcium dose 15 mg/200 g BW/day in rats can increase the weight and calcium levels of the tibia bone effectively.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syifa Qurota Ayun
Abstrak :
Latar belakang: Penyakit Crohn adalah sebuah penyakit kronis inflamasi usus (IBD) yang dapat mengenai di beberapa bagian usus. Penyakit ini semakin meningkat insidensinya di negara berkembang, seperti Asia, karena terdapat perubahan pola gaya hidup. Di Indonesia, insidensi penyakit ini didapatkan 0,33 per 100.000 kasus. Penyakit ini disebabkan oleh tiga faktor utama, yaitu genetik, respons imun usus, dan mikroba, yang dipengaruhi oleh paparan lingkungan. Faktor-faktor inilah yang menentukan pengobatan penyakit Crohn. Pengobatan lini pertama penyakit ini adalah 5-ASA, antibiotik, dan kortikosteroid. Akan tetapi, karena berbagai efek samping yang ditimbulkan, banyak pasien beralih ke pengobatan alternatif, seperti konsumsi megavitamin atau suplementasi herbal. Salah satunya adalah kulit buah delima yang mengandung asam elagat yang diketahui mempunya efek sebagai anti-inflamasi. Tujuan: Penelitian ini dilakukan untuk menilai efektivitas ekstrak etanol kulit buah delima sebagai anti-inflamasi terhadap jaringan kolon atau usus halus mencit yang diinduksi DSS melalui pengukuran caspase-3. Metode: Penelitian ini menggunakan bahan biologis tersimpan dengan desain eksperimental in vivo pada mencit yang diinduksi DSS 2%. Setiap kelompok (kelompok tanpa perlakuan, kelompok kontrol negatif, kelompok kontrol positif dengan aspirin, kelompok kontrol positif dengan asam elagat, serta kelompok ekstrak kulit buah delima dosis 240 mg/KgBB/hari dan 480 mg/KgBB/hari) akan dinilai caspase-3 dengan menggunakan image-J yang kemudian akan dibandingkan setiap kelompoknya untuk menilai keefektifan ekstrak kulit buah delima sebagai anti-inflamasi. Hasil: Berdasarkan analisis post hoc Tukey, didapatkan perbedaan bermakna pada N terhadap KN, KP-1, KP-2, KD-1, dan KD-2 (p<0,05). KD-1 dan KD-2 memiliki rerata skor histologis yang lebih tinggi dibandingkan KN (p>0,05) serta lebih rendah dibandingkan KP-1 dan KP-2 (p>0,05). Simpulan: Pemberian ekstrak kulit buah delima memiliki kecenderungan meningkatkan ekspresi protein caspase-3 pada sel epitel usus halus mencit yang diinduksi oleh DSS 2%. ......Background: Crohn's disease is a chronic inflammatory bowel disease (IBD) that can affect several parts of the intestine. This disease has an increasing incidence in developing countries, such as Asia, due to changes in lifestyle patterns. In Indonesia, the incidence of this disease is 0.33 per 100,000 cases. This disease is caused by three main factors, namely genetics, intestinal immune response, and microbes, which are influenced by environmental exposure. These factors determine the treatment of Crohn's disease. The first line of treatment for this disease is 5-ASA, antibiotics, and corticosteroids. However, because of the various side effects that have been caused, many patients turn to alternative treatments, such as taking a megavitamin therapy or herbal supplementation. One of them is pomegranate peel which contains elagic acid compounds which is known to have anti-inflammatory effects. Objective: This study was conducted to measure the effectiveness of the ethanol extract of pomegranate peel as an anti-inflammatory against DSS-induced mice small intestine tissue through caspase-3 measurement. Method: This study used stored biological material with in vivo experimental design on mice induced by 2% DSS. Each group (the untreated group, the negative control group, the positive control group with aspirin, the positive control group with ellagic acid, and the pomegranate peel extract group at a dose of 240 mg / KgBW / day and 480 mg / KgBB / day) will be measured caspase-3 using image-J that will be compared each group to measure the effectiveness of the pomegranate peel extract as an anti-inflammatory. Result: Based on Tukey's post hoc analysis, there were significant differences in N against KN, KP-1, KP-2, KD-1, and KD-2 (p <0.05). KD-1 and KD-2 had a higher mean histological score than KN (p> 0.05) and lower than KP-1 and KP-2 (p> 0.05) Conclusion: The administration of pomegranate peel extract has a tendency to increase the expression of caspase-3 protein in mice small intestinal epithelial cells induced by 2% DSS.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Univeritas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>