Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 24 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Budi Yuli Setianto
Abstrak :
Latar belakang. Fibrillasi atrium (AF) merupakan jenis aritmia yang paling sering dijumpai terutama pada penderita stenosis mitral (MS). Atrium kanan mempunyai karakteristik anatomis tertentu yang menyebabkan halangan elektrofisiologis alamiah yang memungkinkan terjadinya sirkit reentry, schingga memudahkan timbulnya aritmia seperti halnya flutter atrium. Tujuan penclitian ini adalah untuk mengetahui apakah dimensi atrium kanan mempunyai peran yang lebih besar dan merupakan faktor risiko independen terhadap timbulnya AF pada penderita stenosis mitral dibanding dengan faktor lain. Metode dan hasil. Dilakukan penelitian secara potong lintang prospektif dengan menggunakan data base terhadap 42 penderita MS dominan yang dilakukan kateterisasi jantung dan/ valvuloplasti dengan balon (PTMC) antara bulan Juli s'd Descmber 1998 (selama 6 bulan). Tiga puluh penderita dimasukan dalam penelitian. Rasio laki-laki/ perempuan adalah 11/19, rerata umur 34,07 ± 11,58 tahun dengan rentang umur 16-64 tahun. Prosentase penderita AF sebanyak 46,7%. Penderita AF mempunyai umur yang lebih tua secara bermakna dibanding dengan penderita irama sinus (SR) (38,71 ±12,57 tahun vs 30,00 ± 9,18 tahun, p= 0,016). Kelas fungsional penderita AF lebih buruk secara bermakna dibanding kelompok SR (2,36 ± 0,50 vs 1,69 ± 0,60; p= 0,003). Fraksi ejeksi kelompok AF lebih rendah secara bermakna dibanding kelompok SR (54,12 + 10,71 % vs 68,69 t 6,50 %; p- 0,015). Kelompok AF mempunyai Cardio thoraccic ratio (CTR) lebih besar secara bermakna dibanding kelompok SR (62,64 ± 7,53 % vs 54,79 ± 5,32 %; p- 0,006). Area katup mitral dan gradien transmitral tidak berbeda bermakna di antara kedua kelompok. Sedang diameter akhir sistolik, diameter antero-posterior atrium kiri, luas permukaan atrium kanan, diameter medio-lateral atrium kanan, diameter supero inferior atrium kanan, dan volume atrium kanan lebih besar secara bermakna pada kelompok AF dibanding kelompok SR, (berurut-turut 3,264 ± 0,531 cm vs 2,649 ± 0,559 cm; p 0,005, 5,148 ± 1,025 cm vs 4,22 ±0,668 cm; p= 0,006, 3,997 ±0,927 cm vs 2,919 t0,785 cm; p- 0,000, 5,867 ± 0,666 cm vs 4,446 ± 0,738 cm; p= 0,002, 31,072±8,583 cm vs 17,488 ± 5,646 cm; p= 0,000, 52,435 ± 29,647 cm' vs 21,609 ± 11,517 cm'; p=0,001). Demikian pula tidak ada perbedaan bermakna dalam variabel hemodinanik di antara kedua kelompok AF dan SR. Dengan analisis multivariat menggunakan analisis regresi logistik menunjukkan hanya luas permukaan atrium kanan yang berperan terhadap timbulnya AF. (p 0,0079; kocfisien regresi 0,407, OR= 1,503; CI 95% OR= 1,121 2,014) Kesimpulan. Pada penderita MS: Luas permukaan atrium kanan lebih berperan dan merupakan faktor risiko independen terhadap timbulnya AF dibanding dengan variabel lain termasuk dimensi atrium kiri.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T57295
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Munawar
Abstrak :
Latar belakang. Stenosis mitralis (SM) masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia, dan fibrilasi atrium merupakan penyakit penyerta yang akan meningkatkan emboli sistemik, stroke dan mortalitas pasien. Diduga umpan balik mekano elektris dan remodeling elektris mempunyai peranan yang penting dalam mekanisme terjadinya tibrilasi atrium (FA) pada penyakit katup jantung. Untuk menguji hipotesis bahwa telah tejadi remodeling elektris intrinsik pada pasien SM, dan remodeling tersebut bersifat reversibel, malta telah dilakukan penelitian mengenai perubahan elektrotisiologis sesudah tindakan komisurotomi mitral transvena perkutan (KMTP). Bahan dan cara kerja. Tigapuluh satu pas ien SM yang dilakukan KMTP, 20 dengan irama sinus (IS) dan ll dengan FA persisten serta 10 pasien dengan jantung normal sebagai kelompok kelola dimasukkan dalam penelitian ini. Pemeriksaan hemodinamik dan elektrotisiologi dilakukan sebelum dan segera sesudah KMTP. Semua pasien FA, dilakukan kardioversi eksternal sinkron sebelum dilakukan KMTP. Sebelum pemeriksaan elektrofisiologis, diberikan propranolol iv, 0,2 mg/kgbb dan sulfas atropin 0,004 mg/kbb untuk mem-blok aktiiitas saraf autonom. Pemeriksaan elektrofisiologi meliputi pemeriksaan periode refrakter efektif (PRE) di 6 tempat di atrium, waktu koduksi (WK) di atrium kanan dan kiri dan pengukuran elektrogram atrium di I8 tempat atrium kanan dan kiri. Hasil. Tidak terdapat perbedaan umur, dan jenis kelamin antara kelompok pasien SM dan kelompok kelola. PRE keselunlhan pada kelompok SM dan kelola yang diperoleh pada pacuan 600 milidetik tidak menunjukkan perbedaan bermakna Demikian pula pada pacuan 400 milidetik, tidak menunjukkan kemaknaan statistik Secara regional, PRE atrium lcanan dan kiri tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna pada kelompok pasien SM dan kelola. Tetapi kelompok pasien SM mempunyai dispersi PRE lebih lebar dibanding dengan kelompok kelola. WK atrium kanan dan kiri kelompok pasien SM menunj ukkan perlambatan yang bermaltna dibanding dengan kelompok kelola. Di sebagian besar tempat atrium kanan dan kiri, voltase elektrogram atrium juga menunjukkan penurunan yang sangat bermakna. Tidak ada perbedaan dalam durasi elektrogram pada kedua kelompok. Potensial ganda dan elektrogram yang terpecah-pecah tidak ditemukan pada kedua kelompok. Tidak Lerdapat perbedaan bermakna dalam variabel hemodinamik antara kelompok SM disertai IS dengan disertai FA, namun terdapat perbedaan bermakna dalam variabel elektroflsiologi (re-modeling elektris) PRE rerata Secara keseluruhan yang diukur pada interval pacuan 600 milidetik pada kelompok FAjauh lebih pendek dibanding dengan kelompok IS yang secara statistik berbeda bermakna. Demikian pula bila diukur pzlda interval pacuan 400 milidetik. Secara regional, PRE atrium kanan dan kiri kelompok FA lebih pendek dibanding dengan kelompok IS dan perbedaannya seeara statistik bermakna. Sedang dispersi PRE pada kedua kelompok tersebut tidak menunjukkan kemaknaan statislik. WK di atrium kanan dan kiri pada kelompok FA lebih lambat dibandingkan dengan kelompok IS, dan perbedaannya secara statistik bermalma. Sebagian besar tempat di atrium tidak menunjukkan perbedaan voltase elektogram antara kelompok IS dan FA. Remodeling elektris ini bersifat reversibel setelah dilakukan KMTP. PRE rerata secara keseluruhan yang diukur pada interval pacuan 600 milidetik sebelum dan sesudah dilakukan KMTP ialah 240,51-_39,2 milidetik vs 248,2i36,l mi1idetik(p=0,003). Demikian pula pada pengukuran dengan interval 400 mi1idetik(da.ri 228,2i35,3 milidetik vs 238,l i319 milidetik, p=0,000). Reversibilitas hanya terjadi terutama pada sebagian besar PRE atrium dan WK di atrium kiri, sedang besamya vol tase elektrogram lidak demikian halnya. Remodeling elektris atrium tersebut bersifat intrinsik, tidak dipengaruhi oleh susunan saraf autonom. Di samping pembuktian hipotesis di atas ditemukan pula variabel prediktor terhadap kejadian FA pada penderita SM yakni diameter atrium kanan medial-lateral yang diukur dengan ekokardiograti 2 dimensi (rasio odds 1,128 dengan KI 95% berkisar antara 1,012 sampai l,466), serta PRE atrium kanan bawah (rasio odds 0,952 dengan KI 95% anlara 0,907 - l,000). Kesimpulannya pada pasien SM telah terjadi remodeling elekuis yang mengarah texjadinya FA. Bilamana telah terjadi FA, maka remodeling elelctris akan makin memburuk. Walaupun demikian remodeling elektris yang terjadi bersifat reversibel dengan mengurangi regangan dinding atrium melalui KMTR Remodeling elektris dan reversibilitasnya bersifat intrinsik, tidak dipengaruhi oleh saraf autonom. Oleh karena itu intervensi dini dengan KMTP perlu dilakukan pada setiap pasien SM dengan keluhan, atau bilamana clijumpai pembesaran dimensi atrium kanan mediallateral. ......Background: Mitral stenosis (MS) is one of the major health problems in developing countries. In addition, atrial fibrillation (AF) is one of the MS complication and had a consequence of higher systemic embolic rate including stroke and mortality. Mechano-electrical feedback and electrical remodeling in patients with valvular heart disease might be play an important role in the mechanism of atrial fibrillation (AF). To test the hypothesis that there was an intrinsic electrical remodeling in MS and this remodeling might be reversible, we investigated electrophysiological changes after percutaneous transvenous mitral commissurotomy (PTMC). Material and methods. Eleven MS patients with persistentAF and 20 patients with sinus rhythm (SR) were undergoing PTMC included in this study. Ten patients who underwent electrophysiologic study or ablation involving left atrial study were as control group. Autonomic nervous system was blocked using propranolol 0.2 mg/kgbw and atropine 0.04 mgfkgbw. Atrial effective refractory period (AERP) was measured at 2 sites in the right and 4 sites in the left atrium. The conduction time (CT) was measured at the right and left atrium using decapolar catheter. Atrial electrogram was measured on its amplitude, duration and number of fragments of the electrogram at 18 sites of the atrium. Results. There were no statistically differences in age and sex among the MS group and the control group. No significant difference in the overall AERP between the MS group and control group, but the MS group had a higher AERP dispersion tha.n the control group. The MS group had a lower conduction time (CT) than the control group and its difference was statistically significant. Most of the sites in the MS group were smaller than the control group. The duration of electrogram of both groups were similar. No double potential and fractionated electrograms were found in both groups. There were no statistical difference in the hemodynamic variables between the MS patients with SR (SR group) and AF group. The AF group had shorter overall AERP than the IS group and the difference was statistically significant- In most sites of the atrium, the voltage of the an-ial electrogram was lower in the AF group compared with the IS group. There was no significant difference in CT between both groups. The voltage of the atrial electrogram in both groups were similar. The overal AERP and the AERP of most sites of the atrium was increased after PTMC. The CT in left atrium not the right was shortened after PTMC. And the voltage of atrial electrogram became higher after PTMC. In addition, beside the above hypothesis tested, there were 2 independent predictors for AF in patients with MS, i.e. the medial-lateral right atrial dimension (OR 1.128 and 95% Cl 1.012 - l.466) and AERP of the low right atrium (OR 0.952, 95% CI 0.907 - L000). Conclusion: Patients with MS have an electrical remodeling due to atrial stretch. Atrial remodeling also occurs when the patients are getting atrial fibrillation. But fortunately these electrophysiological changes will be reversible when PTMC is performed. The electrical remodeling and its reversibility is an intrinsic atrial property, not influenced by the autonomic nervous system. Earlier intervention should he performed to prevent AF for every symptomatic MS patient or asymptomatic with increased medial-lateral right atrial dimension.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
D616
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Munawar
Abstrak :
Latar belakang. Stenosis mitralis (SM) masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia, dan fibrilasi atrium merupakan penyakit penyerta yang akan meningkatkan emboli sistemik, stroke dan mortalitas pasien. Diduga umpan balik mekano elektris dan remodeling elektris mempunyai peranan yang penting dalam mekanisme terjadinya tibrilasi atrium (FA) pada penyakit katup jantung. Untuk menguji hipotesis bahwa telah tejadi remodeling elektris intrinsik pada pasien SM, dan remodeling tersebut bersifat reversibel, malta telah dilakukan penelitian mengenai perubahan elektrotisiologis sesudah tindakan komisurotomi mitral transvena perkutan (KMTP). Bahan dan cara kerja. Tigapuluh satu pas ien SM yang dilakukan KMTP, 20 dengan irama sinus (IS) dan ll dengan FA persisten serta 10 pasien dengan jantung normal sebagai kelompok kelola dimasukkan dalam penelitian ini. Pemeriksaan hemodinamik dan elektrotisiologi dilakukan sebelum dan segera sesudah KMTP. Semua pasien FA, dilakukan kardioversi eksternal sinkron sebelum dilakukan KMTP. Sebelum pemeriksaan elektrofisiologis, diberikan propranolol iv, 0,2 mg/kgbb dan sulfas atropin 0,004 mg/kbb untuk mem-blok aktiiitas saraf autonom. Pemeriksaan elektrofisiologi meliputi pemeriksaan periode refrakter efektif (PRE) di 6 tempat di atrium, waktu koduksi (WK) di atrium kanan dan kiri dan pengukuran elektrogram atrium di I8 tempat atrium kanan dan kiri. Hasil. Tidak terdapat perbedaan umur, dan jenis kelamin antara kelompok pasien SM dan kelompok kelola. PRE keselunlhan pada kelompok SM dan kelola yang diperoleh pada pacuan 600 milidetik tidak menunjukkan perbedaan bermakna Demikian pula pada pacuan 400 milidetik, tidak menunjukkan kemaknaan statistik Secara regional, PRE atrium lcanan dan kiri tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna pada kelompok pasien SM dan kelola. Tetapi kelompok pasien SM mempunyai dispersi PRE lebih lebar dibanding dengan kelompok kelola. WK atrium kanan dan kiri kelompok pasien SM menunj ukkan perlambatan yang bermaltna dibanding dengan kelompok kelola. Di sebagian besar tempat atrium kanan dan kiri, voltase elektrogram atrium juga menunjukkan penurunan yang sangat bermakna. Tidak ada perbedaan dalam durasi elektrogram pada kedua kelompok. Potensial ganda dan elektrogram yang terpecah-pecah tidak ditemukan pada kedua kelompok. Tidak Lerdapat perbedaan bermakna dalam variabel hemodinamik antara kelompok SM disertai IS dengan disertai FA, namun terdapat perbedaan bermakna dalam variabel elektroflsiologi (re-modeling elektris) PRE rerata Secara keseluruhan yang diukur pada interval pacuan 600 milidetik pada kelompok FAjauh lebih pendek dibanding dengan kelompok IS yang secara statistik berbeda bermakna. Demikian pula bila diukur pzlda interval pacuan 400 milidetik. Secara regional, PRE atrium kanan dan kiri kelompok FA lebih pendek dibanding dengan kelompok IS dan perbedaannya seeara statistik bermakna. Sedang dispersi PRE pada kedua kelompok tersebut tidak menunjukkan kemaknaan statislik. WK di atrium kanan dan kiri pada kelompok FA1ebih lambat dibandingkan dengan kelompok IS, dan perbedaannya secara statistik bermalma. Sebagian besar tempat di atrium tidak menunjukkan perbedaan voltase elektogram antara kelompok IS dan FA. Remodeling elektris ini bersifat reversibel setelah dilakukan KMTP. PRE rerata secara keseluruhan yang diukur pada interval pacuan 600 milidetik sebelum dan sesudah dilakukan KMTP ialah 240,51-_39,2 milidetik vs 248,2i36,l mi1idetik(p=0,003)_ Demikian pula pada pengukuran dengan interval 400 mi1idetik(da.ri 228,2i35,3 milidetik vs 238,l i319 milidetik, p=0,000). Reversibilitas hanya terjadi terutama pada sebagian besar PRE atrium dan WK di atrium kiri, sedang besamya vol tase elektrogram lidak demikian halnya. Remodel ing elektris atrium tersebut bersifat intrinsik, tidak dipengaruhi oleh susunan saraf autonom. Di samping pembuktian hipotesis di atas ditemukan pula variabel prediktor terhadap kejadian FA pada penderita SM yakni diameter atrium kanan medial-lateral yang diukur dengan ekokardiograti 2 dimensi (rasio odds 1,128 dengan KI 95% berkisar antara 1,012 sampai l,466), serta PRE atrium kanan bawah (rasio odds 0,952 dengan KI 95% anlara 0,907 - l,000). Kesimpulannya pada pasien SM telah teijadi remodeling elekuis yang mengarah texjadinya FA. Bilamana telah terjadi FA, maka remodeling elelctris akan makin memburuk. Walaupun demikian remodeling elektris yang terjadi bersifat reversibel dengan mengurangi regangan dinding atrium melalui KMTR Remodeling elektris dan reversibilitasnya bersifat intrinsik, tidak dipengaruhi oleh saraf autonom. Oleh karena itu intervensi dini dengan KMTP perlu dilakukan pada setiap pasien SM dengan keluhan, atau bilamana clijumpai pembesaran dimensi atrium kanan mediallateral. ...... Background: Mitral stenosis (MS) is one of the major health problems in developing countries. In addition, atrial fibrillation (AF) is one of the MS complication and had a consequence of higher systemic embolic rate including stroke and mortality. Mechano-electrical feedback and electrical remodeling in patients with valvular heart disease might be play an important role in the mechanism of atrial fibrillation (AF). To test the hypothesis that there was an intrinsic elec-trical remodeling in MS and this remodeling might be reversible, we investigated electrophysiological changes after percutaneous transvenous mitral commissurotomy (PTMC). Material and methods. Eleven MS patients with persistentAF and 20 patients with sinus rhythm (SR) were undergoing PTMC included in this study. Ten patients who underwent electrophysiologic study or ablation involving left atrial study were as control group. Autonomic nervous system was blocked using propranolol 0.2 mg/kgbw and atropine 0.04 mgfkgbw. Atrial effective refractory period (AERP) was measured at 2 sites in the right and 4 sites in the left atrium. The conduction time (CT) was measured at the right and left atrium using decapolar catheter. Atrial electrogram was measured on its amplitude, duration and number of fragments of the electrogram at 18 sites of the atrium. Results. There were no statistically differences in age and sex among the MS group and the control group. No significant difference in the overall AERP between the MS group and control group, but the MS group had a higher AERP dispersion tha.n the control group . The MS group had a lower conduction time (CT) than the control group and its difference was statistically significant. Most of the sites in the MS group were smaller than the control group. The duration of electrogram of both groups were similar. No double potential and fractionated electrograms were found in both groups. There were no statistical difference in the hemodynamic variables between the MS patients with SR (SR group) and AF group. The AF group had shorter overall AERP than the IS group and the difference was statistically significant- In most sites of the atrium, the voltage of the an-ial electrogram was lower in the AF group compared with the IS group. There was no significant difference in CT between both groups. The voltage of the atrial electrogram in both groups were similar. The overal AERP and the AERP of most sites of the atrium was increased after PTMC. The CT in left atrium not the right was shortened after PTMC. And the voltage of atrial electrogram became higher after PTMC. In addition, beside the above hypothesis tested, there were 2 independent predictors for AF in patients with MS, i.e. the medial-lateral right atrial dimension (OR 1.128 and 95% Cl 1.012 - l.466) and AERP of the low right atrium (OR 0.952, 95% CI 0.907 - L000). Conclusion: Patients with MS have an electrical remodeling due to atrial stretch. Atrial remodeling also occurs when the patients are getting atrial fibrillation. But fortunately these electrophysiological changes will be reversible when PTMC is performed. The electrical remodeling and its reversibility is an intrinsic atrial property, not influenced by the autonomic nervous system. Earlier intervention should he performed to prevent AF for every symptomatic MS patient or asymptomatic with increased medial-lateral right atrial dimension.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
D752
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saxon, Richard
Harlow: Longman, 1994
720.48 SAX a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Gafero Priapalla Rahim
Abstrak :
Pada desain bangunan saat ini, pemakaian ruang terbuka ukuran besar dengan ketinggian ceiling sudah banyak dipakai. Panas dan asap adalah faktor yang membuat kebakaran berbahaya. Menggunakan model eksperimental dengan ukuran 2.4m x 1.6m x 1m, sirkulasi asap saat kebakaran diteliti dalam penelitian ini. Efek penimbunan dan pembuangan asap berkorelasi dengan kepekatan, temperatur, heat release rate dan laju pembuangan massa. Penggunaan sabut kelapa yang dibakar dengan menggunakan kompor berventilasi mekanik dapat menggambarkan kebakaran membara dengan laju produksi asap yang tinggi. Penggunaan massa sabut kelapa sebesar 40, 60 & 80 gr dapat mensimulasikan kondisi penumpukan asap dengan tingkat kepekatan asap yang sangat tinggi hingga 99%. Berdasarkan persamaan physical scale models dengan pendekatan nondimensional, nilai HRR untuk pengujian 40 gr, 60 gr & 80 gr sabut kelapa setara dengan kebakaran pada kursi, sofa dan unit kasur. Pada eksperimen pembuangan asap, semakin banyak sabut kelapa yang digunakan untuk eksperimen, maka akan semakin lama asap terbuang. ......In many building designs nowadays, large open spaces with high ceilings are becoming more common. Heat and smoke are the two things that make a fire hazardous. Using an experimental enclosure model that measures 2.4m x 1.6m x 1m in a Scaled Atrium Compartment, researchers examine smoke circulation during a fire incident in a large space. The effect of smoke filling and clearance correlation on occupancy density, temperature, heat release rate and mass loss observed. The use of coconut fiber that is burned using a mechanically ventilated stove can describe a smoldering fire with a high smoke production rate. The use of coconut coir mass of 40, 60 & 80 grams can simulate smoke filling conditions with a very high level of smoke thickness with an optical density level of up to 99%. Based on the physical scale models with non dimensional similarity, the heat release rate from the 40gr, 60gr, and 80gr of burning coconut fibres is equivalent to the heat release rate gained by burning of cotton chair, polyurethane chair, and mattress. In the smoke clearance experiment, the more coconut fiber used, the longer the smoke will be thrown away.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eko Yuli Prianto
Abstrak :
Latar belakang: Angka morbiditas dan mortalitas meningkat pada pasien fibrilasi atrium (FA) yang mengalami gagal jantung akut. Pada pasien irama sinus, left atrial volume index (LAVI) dan heart rate variability (HRV) merupakan prediktor kuat terjadinya komplikasi kardiovaskular. Penelitian LAVI dan HRV pada pasien FA hingga saat ini belum konklusif. Tujuan: Mengetahui hubungan LAVI dan HRV dengan kejadian gagal jantung akut pada pasien FA Metode: Studi kohort retrospektif dengan populasi terjangkau pasien dewasa FA di Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) 1 Januari 2020 hingga 31 Desember 2021 yang berasal dari registri Optimal INR measures for Indonesians (OPTIMA). Data sekunder LAVI diukur dengan ekokardiografi dan parameter HRV terdiri dari standar deviation of NN intervals (SDNN), root mean square of successive differences (RMSSD), rasio low frequency dan high frequency (LF/HF) diukur menggunakan alat HRV portabel. Pasien diikuti hingga 30 Januari 2023, luaran dinilai dengan melihat catatan medik atau melalui telepon. Hasil: Dilakukan analisis pada 144 sampel. Proporsi kejadian gagal jantung akut sebesar 15,3%. Tidak terdapat hubungan antara SDNN dengan kejadian gagal jantung akut (RR 1,75; IK95% 0,260 – 11,779, p=0,565). Tidak terdapat hubungan antara LF/HF dengan kejadian gagal jantung akut (RR 2,865; IK 95% 0,765 – 10,732, p=0,118). Terdapat hubungan antara LAVI dengan kejadian gagal jantung akut (adjusted RR 2,501; IK 95% 1,003 – 6,236, p=0,049). Diabetes melitus dan hipertensi merupakan faktor perancu pada penelitian ini. Kesimpulan: Peningkatan LAVI berhubungan dengan kejadian gagal jantung akut pada pasien FA. HRV tidak berhubungan dengan kejadian gagal jantung akut pada pasien FA. ......Background Morbidity and mortality rates increase in patients with atrial fibrillation (AF) who experience acute heart failure. In patients with sinus rhythm, left atrial volume index (LAVI) and heart rate variability (HRV) are strong predictors of cardiovascular complications. Research on LAVI and HRV in AF patients has so far not been conclusive. Objectives: To determine the relationship between LAVI and HRV and the incidence of acute heart failure in AF patients. Methods: A retrospective cohort study was conducted with an accessible population of adult AF patients at RSCM from January 1, 2020, to December 31, 2021, originating from the Optimal measures INR for Indonesians (OPTIMA) registry. LAVI was measured by echocardiography, and HRV parameters consist of the standard deviation of NN intervals (SDNN), the root mean square of successive differences (RMSSD), and the ratio of low frequency and high frequency (LF/HF) measured using a portable ECG device. Patients were followed until January 30, 2023, and outcomes were assessed by looking at medical records or by telephone. Result: A total of 144 subjects were analysed. The proportion of acute heart failure is 15.3%. There was no relationship between SDNN and the incidence of acute heart failure (RR 1.75; 95% CI 0.260–11.779, p=0.565). There was no relationship between LF/HF and the incidence of acute heart failure (RR 2.865; 95% CI 0.765–10.732, p=0.118). There is a relationship between LAVI and the incidence of acute heart failure (adjusted RR 2.501; 95% CI 1.003–6.236, p = 0.049). DM and hypertension were confounding factors in this study. Conclusion: The elevation of LAVI is associated with the incidence of acute heart failure in AF patients. HRV is not associated with the incidence of acute heart failure in AF patients.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Husain Haikal
Abstrak :
Latar Belakang : Implantasi Alat Pacu Jantung Permanen APJP terusmengalami peningkatan. Kejadian Fibrilasi Atrium FA pada pasien pascapemasangan APJP dengan pemacuan dasar ventrikel dikarenakan adanyadisfungsi diastolik ventrikel kanan yang diikuti oleh disfungsi diastolik ventrikelkiri dan disinkroni ventrikel karena adanya Blok Berkas Cabang Kiri BBCKi .Kedua hal ini akan mengakibatkan peningkatan tekanan diastolik ventrikel kiridiikuti dengan gangguan pada atrium kiri dan timbul FA. Banyak prediktor yangdapat digunakan untuk menilai kejadian FA namun belum ada penelitian yangmenghubungkan pemeriksaan Elektrokardiogram EKG 12 sadapan yaitu denganinterval QT corrected QTc pacu menggunakan rumus Framingham dengankejadian FA pada pasien dengan APJP. Tujuan : Mengetahui hubungan interval QTc pacu dengan kejadian FA danmenentukan nilai potong dari interval QTc pacu. Metode : Penelitian ini merupakan studi kasus kontrol. Penelitian dilakukan diRumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita RSJPDHK padasubyek yang menjalani pemasangan APJP pemacuan dasar ventrikel pada Januari2013 hingga Agustus 2014. Dilakukan perhitungan interval QTc pacumenggunakan rumus Framingham pada EKG 12 sadapan yang dilakukan satubulan setelah implantasi APJP. Hasil Penelitian : Terdapat 75 subyek yang memenuhi kriteria inklusi dimana 15subjek mengalami FA 20 . Interval QTc pacu menggunakan rumusFramingham berkorelasi baik dengan kejadian FA. Nilai potong dari interval QTcpacu yang didapat adalah ge; 451,5 mdet, dimana nilai potong ini mempunyai risiko4,3 kali lipat kejadian FA. Kesimpulan : Interval QTc pacu menggunakan rumus Framingham dapatdigunakan sebagai prediktor kejadian FA pada pasien yang menggunakan APJPdengan pemacuan dasar ventrikel. ...... Background : Implantation of Permanent Pacemaker PPM increasing in the lastdecades. Atrial fibrillation AF in patient using PPM with right ventricular basepacing developed because of the diastolic dysfunction of the right ventricle thatimpact the left ventricle and also ventricular dissynchrony in left ventricle due toLeft Bundle Branch Block LBBB . This abnormalities will impact to the leftatrial and induced atrial fibrillation. There are many predictors for AF but wehaven't found any study that correlate paced QT corrected paced QTc usingFramingham formula with the the risk of AF in patients implanted doublechamber or single chamber PPM under ventricular based pacing. Aim : To determine the correlation between paced QTc with AF in patientimplanted PPM and determine cutoff value. Methods : This is a case control study that was conducted in NationalCardiovascular Centre Harapan Kita Hospital Jakarta with subjeks implantedPPM using double chamber or single chamber with ventricular based pacing fromJanuary 2013 until August 2014. The calculation of Paced QTc using framinghammethod. Results : There are total 75 subyek in this study, 15 subject developed AF 20 .The Paced QTc using Framingham method was correlated well with AF. Thecutoff value of Paced QTc was ge 451.5 msec and the risk to develop AF was 4.3times. Conclusion : Paced QTc can be used as a predictor of AF in patient with doublechamber or single chamber PPM with ventricular based pacing.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T55634
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
M. Adrin Aefiansyah Putra
Abstrak :
Latar belakang: Defek atrium septal atrium  (DSA) merupakan salah satu penyakit jantung bawaan (PJB) yang sering ditemukan dan 75% diantaranya adalah defek septal atrium sekundum (DSAS). Pasien DSAS akan mengalami hipertensi pulmonal (HP), yang jika defeknya tidak dikoreksi, kondisi ini berlanjut dan menimbulkan penyakit vaskular paru (PVP). Saat ini standar emas diagnosis PVP adalah pemeriksaan invasif katerisasi jantung kanan (KJK) yang mempunyai komplikasi pneumotoraks, aritmia, hematoma, dan episode hipotensi. Ekokardiografi merupakan modalitas yang murah, tersebar luas, dan mudah dikerjakan. Saat ini ekokardiografi dipakai sebagai alternatif noninvasif untuk menilai anatomi dan hemodinamik kardiovaskular pada pasien dengan kelainan jantung struktural. Berbagai studi mendapatkan karakteristik notch pada right ventricular outflow tract (RVOT) berkorelasi baik dengan tekanan rerata arteri pulmonal (TRAP) yang tinggi dan komplians vaskular paru (KVP) yang rendah pada berbagai jenis kategori HP dan kedua hal ini, terutama KVP berhubungan dengan diagnosis PVP. Oleh karena itu, perlu ada studi yang melihat salah satu parameter notch yang mudah didapatkan, yakni time-to-notch untuk mendiagnosis PVP pada pasien DSAS dengan HP. Tujuan: Mengetahui apakah time-to-notch RVOT dapat mendiagnosis PVP pada pasien DSAS dengan HP yang dibandingkan dengan KJK sebagai standar emas. Metode: Dengan consecutive sampling, dilakukan pemeriksaan time-to-notch dengan ekokardiografi transtorakal dalam jarak pemeriksaan 24 jam dengan KJK. Uji vasodilator oksigen (UVO) dilakukan jika hasil rasio resistensi vaskular paru dengan sistemik > 0,33. Diagnosis PVP ditegakkan jika hasil rasio resistensi akhir adalah > 0,33. Dilakukan uji diagnostik dengan cara perhitungan area di bawah kurva dan dihitung nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif (NPP), nilai prediksi negatif (NPN), likelihood ratio (LR), serta analisis reliabilitas. Hasil: Terdapat 89 subyek yang dilakukan analisis dengan 54 subyek dilakukan UVO. Sebanyak 24 subyek didiagnosis PVP dengan KJK. Mayoritas subyek adalah perempuan (85%) dengan median usia 38 tahun. Didapatkan area di bawah kurva sebesar 0,923 untuk time-to-notch terhadap diagnosis PVP. Titik potong <147,5 ms memiliki tingkat sensitivitas 88%, spesifisitas 87%, NPP 72%, NPN 95%, LR (+) 7,11 dan LR (-) 0,14. Kesimpulan: Time-to-notch dapat mendeteksi PVP pada pasien DSAS dengan HP dengan validitas dan reliabilitas yang baik. ......Background: Atrium septal defect (ASD) is one of the congenital heart diseases (CHD) that often found and 75% of them are ostium secundum ASD (OSASD) type. OSASD patients will experience pulmonary hypertension (PH) and if the defect not corrected, this condition persists and causes pulmonary vascular disease (PVD). Gold standard of PVD is right heart catheterization (RHC). It is an invasive procedure which has complications such as pneumothorax, arrhythmia, hematoma, and hypotension. Echocardiography is a cheap modality, widely available, and good reproducibility. Echocardiography is currently used as a non-invasive alternative to assess cardiovascular anatomy and hemodynamics in patients with structural heart disorders. Various studies stated that notch characteristic on the right ventricular outflow tract (RVOT) correlated well with the mean pressure and compliance of the pulmonary artery in different types of PH categories. Pulmonary artery compliance especially, have good correlation to diagnose PVD. Therefore comparing time-to-notch, an easier notch parameter, with RHC in diagnosing PVD as the gold standard is needed. Aim: To assess whether time-to-notch RVOT from transthoracic echocardiography (TTE) can diagnose PVD compared to RHC as the gold standard in OSASD with PH patients. Method: With consecutive sampling, time-to-notch was examined by TTE within 24-hour from RHC. An Oxygen vasodilator test (OVT) was performed when ratio of resistance arterial pulmonary to systemic is > 0.33. PVD was diagnosed if the final resistance ratio is > 0.33. Diagnostic test was carried out to obtain area under curve (AUC). Sensitivity, specificity, positive predictive value (PPV), negative predictive value (NPV), and likelihood ratio (LR) were calculated and a reliability analysis were conducted. Result: We analyzed 89 subjects and OVT was performed in 54 subjects. PVD was diagnosed by RHC in 24 subjects. The majority of subjects were women (85%) with a median age 38 years. AUC was 0.923 for time-to-notch to diagnose PVD. A cut-off point < 147.5 ms has a sensitivity level of 88%, specificity 87%, PPV 72%, NPV 95%, LR (+) 7.11 and LR (-) 0.14 with good realibility. Conclusion: Time-to-notch has a good validity and reliability to detect PVD in OSASD with PH.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Larasati
Abstrak :
Latar Belakang. Pada pasien katup mitral yang disertai fibrilasi atrium (FA), bedah ablasi dapat dilakukan bersamaan dengan bedah katup mitral. Dalam penelitian ini kami melakukan evaluasi keberhasilan jangka pendek terhadap pasien-pasien katup mitral yang dilakukan bedah ablasi FA di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita Jakarta. Kami mempunyai hipotesis bahwa indeks volume atrium kiri pra-bedah dan pasca-bedah berhubungan dengan keberhasilan bedah ablasi FA jangka pendek. Metodologi. Merupakan studi retrospektif. Semua pasien yang dilakukan bedah ablasi bersamaan dengan koreksi katup mitral dengan kriteria standard pada periode bulan Maret 2012-Januari 2015 dimasukkan dalam penelitian ini. Data pasien diambil dari catatan medik rumahsakit, termasuk data klinis, EKG, laboratorium, echocardiografi sebelum dan sesudah bedah ablasi. Evaluasi keberhasilan jangka pendek dilihat ada tidaknya FA selama masa hospitalisasi sampai 1 bulan pasca-bedah. Hasil. Selama periode penelitian, sebanyak 46 pasien ikut dalam penelitian ini {laki-laki 19 (41,3%) dan wanita 27 (58,7%)}.Rerata umur 42,7 ± 9,6 tahun. Lima orang meninggal segera setelah bedah ablasi (8,7%). Tiga puluh pasien tetap dalam irama sinus pada akhir bulan pertama sesudah tindakan bedah (65,2%). Rerata indeks volume atrium kiri pra-bedah pada pasien yang tetap dalam irama sinus pada akhir bulan pertama lebih kecil dibanding dengan yang tetap dalam irama FA, tetapi secara statistik tidak bermakna (156,83 ± 84,3 vs 189,4 ± 92 ml/m2, p=0,256). Rerata indeks volume atrium kiri pasca-bedah pada kelompok pasien yang tetap dalam irama sinus lebih kecil dibanding dengan pasien dalam irama FA pada akhir bulan pertama ( 95,2 ± 55,4 vs 126 ± 43,9 ml/m2, p=0,029) secara statistik berbeda bermakna. . Sembilan belas pasien menggunakan obat penyekat beta (41,3%) ternyata 3 pasien menjadi FA (15,8%) sedang yang tidak menggunakan obat penyekat beta (27 pasien, 58,7%) ternyata 13 pasien (48%) yang secara statistik bermakna (p=0,023). Analisis multivariat dengan menggunakan analisis regresi logistik menunjukkan bahwa indeks volume atrium kiri pasca-bedah adalah berpengaruh terhadap kejadian FA jangka pendek yang secara statistik bermakna (OR 1,02 (IK 95% 1,001-1,04, p=0,043)). Demikian pula penggunaan obat penyekat beta (OR 0,02 (IK 95% 0,001-0,364, p=0,008)). Kesimpulan. Angka keberhasilan jangka pendek bedah ablasi FA pada pasien katup mitral adalah 65,2 %. Indeks volume atrium kiri pasca bedah berpengaruh terhadap keberhasilan jangka pendek bedah ablasi FA. Temuan tambahan lain dalam penelitian ini yaitu penggunaan penyekat beta pasca bedah berpengaruh terhadap keberhasilan jangka pendek bedah ablasi FA. ......Background. Surgical ablation is commonly done in patients with chronic atrial fibrillation (AF) undergo mitral valve surgery. This study was designed to identify the relationship between pre-operative and post-operative left atrial volume indices (LAVi) and short term success of restoration sinus rhythm after surgical AF ablation concomitant with mitral valve surgery. Methods. Data were collected retrospectively from our hospital medical record . These included electrocardiograms, laboratory, echocardiography before and after surgical ablation in all patients. Each patient was evaluated at the outpatient hospital clinic. The AF recurence was evaluated from the ECG recording within 1 month after surgery. Left atrial volume was calculated using modified Simpson's method. Volume was corrected by surface area. Results: From March 2012 through January 2015, there were 46 patients who underwent surgical AF ablation concomitant with mitral valve surgery. The mean age was 42.7 ± 9,6 year-old. {males were 19 (41.3%) and females were 27 (58.7%)} Early mortality was found in 5 patients (8.7%). Sinus rhythm (SR) was restored and maintained within first month in 30 patients (65.2%) of the 46 patients. The pre-operative LAVi was smaller in patients who was successfully restored in SR compared with those who was unsuccessfully restored in sinus rhythm, but statistically insignificant (156.83 ± 84.3 vs 189.4 ± 92 ml/m2, p=0.256). However, post-operative LAVi was smaller and statistically significant in those patients who was successfully restored in SR compared with those who was unsuccessfully restored in SR (95.2 ± 55.4 vs 126 ± 43.9 ml/m2, p=0,029). Multivariate analysis using logistic regression analysis showed post-operative LAVi (OR was 1.02 (CI 95% 1.001-1.04, p=0.043) and beta blocker usage early post hospitalization (OR was 0.02 (CI 95% 0.001-0.364, p=0.008) were independent predictor of maintaining SR after surgical AF ablation concomitant with mitral valve surgery. Conclusions: Short term success rate of the surgical AF ablation in patients with chronic AF and concomitant mitral valve surgery was 65,2%. Post-operative LAVi and post operative beta blocker therapy was independent predictor of maintaining SR after surgical AF ablation concomitant with mitral valve surgery.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fandi Ahmad
Abstrak :
Latar Belakang : Penyakit jantung katup khususnya katup mitral dengan etiologirematik sering berakhir dengan fibrilasi atrium FA. Stenosis mitral SM maupun regurgitasi mitral RM, ditambah dengan fibrosis atrium pada prosesrematik menyebabkan terjadinya remodeling struktural dan remodeling elektrisyang diduga berperan dalam timbulnya FA. Bedah reduksi atrium kiri pada pasienFA yang menjalani operasi katup mitral, merupakan prosedur yang relatifsederhana, tidak memakan waktu operasi yang lama, dan relatif murah yangdiduga memiliki pengaruh terhadap konversi irama. Tujuan : Menilai pengaruh bedah reduksi atrium kiri terhadap konversi iramajangka pendek dan jangka panjang pada pasien fibrilasi atrium dengan penyakitkatup mitral rematik yang menjalani pembedahan. Metode : Telah dilakukan studi kohort retrospektif pada pasien fibrilasi atriumdengan penyakit katup mitral rematik yang menjalani operasi katup mitral selamaperiode Mei 2012 sampai dengan Mei 2016 di RS Jantung dan Pembuluh DarahHarapan Kita. Tindakan bedah reduksi atrium kiri dalam hal ini menjadi variabelindependen yang diperkirakan memiliki pengaruh terhadap konversi irama padapasien fibrilasi atrium dengan penyakit katup mitral rematik. Variabel dependenpada penelitian ini adalah konversi irama, yang dinilai melalui pengamatan jangkapendek dan jangka panjang. Hasil : Total sampel penelitian ini adalah 257 sampel, terdiri dari 131 orang yangmenjalani bedah reduksi dan 126 orang tanpa bedah reduksi. Pada kelompokbedah reduksi, didapatkan 42 subjek 32,1 yang mengalami konversi iramajangka pendek dan 37 subjek 28,2 yang mengalami konversi irama jangkapanjang. Dari hasil analisis multivariat, variabel yang bermakna terhadap konversiirama jangka pendek yaitu bedah reduksi atrium kiri dengan OR 0,56 IK 95 0,31 ndash; 0,98 dan nilai p=0,044 serta penggunaan penyekat beta dengan OR 0,56 IK 95 0,31 ndash; 0,99 dan nilai p=0,047. Sementara variabel yang bermaknaterhadap konversi irama jangka panjang yaitu bedah reduksi atrium kiri denganOR 0,51 IK 95 0,28 ndash; 0,94 dan nilai p=0,031, penggunaan penyekat betadengan OR 0,53 IK 95 0,28 ndash; 0,98 dan nilai p=0,042, dan indeks volumeatrium kiri prabedah le;146 ml/m2 dengan OR 0,47 IK 95 0,26 ndash; 0,87 dan nilaip=0,017. Kesimpulan : Bedah reduksi atrium kiri memiliki pengaruh terhadap konversiirama jangka pendek maupun jangka panjang pada pasien fibrilasi atrium denganpenyakit katup mitral rematik yang menjalani pembedahan. ......Background : Valvular heart disease, especially rheumatic mitral valve diseaseoften coexists with atrial fibrillation AF. Mitral stenosis MS and mitralregurgitation MR with atrial fibrosis because of rheumatic process, resulting instructural remodeling and electrical remodeling of left atrium which contribute foroccurence of AF. Left atrial reduction surgery with mitral valve correction issimple procedure, takes relatively short operation time, and quite inexpensive asan alternative treatment for AF in rheumatic mitral valve disease. Objective : Assessing the effect of left atrial reduction for short term and longterm rhythm conversion of AF in rheumatic mitral valve disease. Method : We conducted a retrospective cohort study in atrial fibrillation patientswith rheumatic mitral valve disease who underwent mitral valve surgery duringthe period of May 2012 until May 2016 in the National Cardiovascular Center Harapan Kita. Left atrial reduction surgery became an independent variable whichexpected to have an influence on the rhythm conversion. The dependent variablewas the conversion of rhythm which was assessed through the observation in ashort term and long term. Result : There were 257 subjects in this study, consisting of 131 subjects in theleft atrial reduction group and 126 subjects in the non left atrial reduction group.In left atrial reduction group, there were 42 subjects 32,1 with sinus rhythm inshort term observation and 37 subjects 28,2 with sinus rhythm during longterm observation. From multivariat analysis, the significant variable for the shortterm rhythm conversion were left atrial reduction with OR 0,56 CI 95 0,31 ndash 0,98 and p 0,044 and also beta blocker therapy with OR 0,56 CI 95 0,31 ndash 0,99 and p 0,047. While the significant variable for rhythm conversion in longterm were left atrial reduction with OR 0,51 CI 95 0,28 ndash 0,94 and p 0,031,beta blocker therapy with OR 0,53 CI 95 0,28 ndash 0,98 and p 0,042, and alsopre operation left atrial volume index le 146 ml m2 with OR 0,47 CI 95 0,26 ndash 0,87 and p 0,017. Conclusion : Left atrial reduction has an effect for short term and long termrhythm conversion of AF in rheumatic mitral valve disease.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T55635
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>