Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 21 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jaya Murjaya
Abstrak :
Tujuan dari studi ini adalah menentukan koefisien atenuasi dan persamaan atenuasi kecepatan tanah akibat gempabumi lokal di kawasan Bali. Dengan menggunakan metode D.L. Orphal dan dan J. A. Lahoud, diperoleh 6 persamaan atenuasi amplitudo kecepatan tanah untuk 6 stasiun gempabumi di. kawasan Bali. Koefisien atenuasi terkecil 1,028 dan terbesar 1,453. Persamaan atenuasi amplitude kecepatan tanah untuk 6 stasiun gempa di kawasan Bali adalah: - KELI : Av  = 3,924  10-2  10 0,1676 M  R ‾1,039 - RANI : Av  = 6,006  10-2  10 0,1901  M  R‾1,028 - INGI : Av  =  1,196  10-1  10 0,1678  M  R -1,190 - JEHI : Av  =  1,509  10-1  10 0,1970  M  R-1,453 - RATI : Av  =  8,331  10-1  10 0,0846  M  R -1,324 - THRI : Av  =  1,491  10-1  10 0,1527  M  R -1,195 Dimana Av, M dan R masing-masing rnerupakan Amplitude kecepatan tanah C cm/det 7, Magnitude Lokal C Skala Richter 7 dan Jarak hiposenter gempa ke stasiun pencatat C km 7. Dari persamaan - persamaan atenuasi tersebut diharapkan dapat membantu kepentingan Teknik Kegempaan atau Teknik Sipil dalam perencanaan dan pengembangan bangunan tahan gempa.
The purpose of this study is to determine the attenuation coefficient and its equation of ground velocity caused by local earthquakes in Bali region. Using the method of Orphal-Lahoud, the six attenuation equations of ground velocity were determined from six earthquake's networks in Bali region. The attenuation coefficient was found in the range of 1.028 up to 1.453. The equations of attenuation from six earthquake's networks in Hall region are as follow - KELI : Av  =  3,924  10-2  10 0,1676  M  R ‾1,039 - RANI : Av  =  6,006  10-2  10 0,1901  M  R‾1,028 - INGI : Av  =  1,196  10-1  10 0,1678  M  R -1,190 - JEHI : Av  =  1,509  10-1  10 0,1970  M  R-1,453 - RATI : Av  =  8,331  10-1  10 0,0846  M  R -1,324 - THRI : Av  =  1,491  10-1  10 0,1527  M  R -1,195 where Av, M and R are respectively amplitude of velocity C in centimeters per second ), the local magnitude and focal distance C in kilometers ). The six attenuation equations of ground velocity amplitude were needed for earthquake analysis or civil engineering.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Aalam Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anggilia Stephanie
Abstrak :
ABSTRAK
Sebagai salah satu penyebab terbanyak peningkatan enzim hati, dan sirosis, NAFLD perlu dinilai derajat steatosisnya. Trigliserida sebagai salah satu komponen sindrom metabolik diketahui mempunyai pengaruh terhadap terjadinya nonalcoholic fatty liver disease NAFLD , namun korelasinya dengan derajat steatosis pada pasien NAFLD belum diketahui. Studi ini bertujuan untuk mendapatkan korelasi antara kadar trigliserida dengan nilai Controlled attenuation parameter CAP pada pasien NAFLD, serta mendapatkan nilai titik potong trigliserida yang optimal untuk memprediksi derajat steatosis sedang-berat pada pasien NAFLD. Studi potong lintang dilakukan pada pasien NAFLD dewasa di poliklinik Penyakit Dalam RSCM, yang direkrut secara konsekutif. Pasien dengan sirosis hepatis dieksklusi dari penelitian. Diagnosis NAFLD dilakukan dengan menggunakan USG, sementara derajat steatosis ditentukan dengan metode CAP menggunakan alat Fibroscan. Sampel darah puasa diambil untuk pemeriksaan trigliserida. Korelasi antara kadar trigliserida dengan nilai CAP dianalisis dengan uji Pearson. Sebanyak enam puluh dua subyek, dengan median usia 55 rentang 21 ndash; 78 tahun. Median nilai IMT 26,1 rentang 19-38 kg/m2, lingkar pinggang 96,6 SB: 8,49 cm, kadar trigliserida 160,3 SB: 65,5 mg/dL, kolesterol LDL 147,8 SB: 38,2 mg/dL, kolesterol HDL 48,5 SB:11,1 mg/dL dan nilai CAP 268,5 SB: 46,8 dB/m. Obesitas sentral didapatkan sebanyak 94,8 . Komorbid didapatkan berupa hipertensi 46,8 , DM tipe 2 54,8 , dan sindrom metabolik pada 72,6 . Didapatkan adanya korelasi yang lemah antara TG dengan derajat steatosis r=0,272; p= 0,033 . Dari kurva ROC didapatkan kemampuan TG dalam memprediksi derajat steatosis kurang baik AUC 0,66 IK 95 0,48 ndash; 0,83 , sehingga tidak dilanjutkan untuk mencari titik potong. Didapatkan adanya korelasi lemah antara kadar trigliserida dengan derajat steatosis pada pasien NAFLD. Saat ini kadar trigliserida tunggal tidak dapat digunakan untuk mendeteksi derajat steatosis sedang-berat.ABSTRACT As one of the most common cause of elevated liver enzymes and cirrhosis nowadays, steatosis degree need to be evaluated in NAFLD cases. Triglyceride, one of metabolic syndrome components, is known to be associated with NAFLD. However, correlation between the triglyceride levels and steatosis degree, has not yet understood. This study aim to find correlation between triglyceride level with Controlled Attenuation Parameter CAP value in NAFLD patients, and also gain optimal cut off point of triglyceride for predicting moderate to severe NAFLD. A cross sectional study on adult NAFLD patient in RSCM Internal Medicine Clinic, recruited consecutively in four months. Patients with liver cirrhosis was excluded. Diagnosis of NAFLD using Ultrasound, meanwhile steatosis degree was assessed using CAP in Fibroscan. Blood samples were taken for Triglycerides examination. The correlation between triglyceride levels with CAP values were analyzed by Pearson test. Sixty two NAFLD subjects, with a median age of 55 range 21 78 years. Median value of BMI was 26.1 range 19 38 kg m2, mean for waist circumference, levels of LDL and HDL cholesterol was 96.6 SD 8.49 cm, 147.8 SD 38.2 mg dL, 48.5 SD 11.1 mg dL , respectively. Mean for triglyceride was 160.3 SD 65.5 mg dL, and CAP value 268.5 SD 46.8 dB m. Central obesity found in as many as 94.8 of subject. Comorbidities such as hypertension and type 2 diabetes was found at 46.8 and 54.8 respectively, and metabolic syndrome 72.6 . In this study, we found a weak correlation between triglyceride values and CAP r 0.272 p 0.033 . From the ROC we find the TG capability of predicting steatosis degree was not good enough AUC 0.66, 95 CI 0.48 to 0.83 . Therefore cut off point of TG was not assessed. As a conclusion, there is a weak correlation between triglyceride levels and degree of steatosis in patients with NAFLD. Triglyceride level cannot be used solely for assessment of steatosis degree.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T55689
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Hasyim
Abstrak :
ABSTRACT
Propagasi gelombang radio dapat diartikan sebagai proses perambatan gelombang radio dari pemancar ke penerima. Gelombang ini akan merambat melalui udara bebas menuju antena penerima dan mengalami redaman di sepanjang lintansannya, redaman perangkat dan saluran transmisi, sehingga ketika sampai di antena penerima, energi sinyal sudah sangat lemah. Line of sight (LOS) merupakan salah satu jenis propagasi di mana diantara stasiun pengirim dan stasiun penerima tidak terdapat penghalang. Kendala geografis dan kelengkungan bumi menyebabkan adanya keterbatasan untuk transmisi line of sight, namun masalah ini secara umum dapat dikurangi melalui perencanaan, perhitungan dan penggunaan teknologi tambahan. Dalam perencanaan sistem komunikasi radio, kinerja LOS perlu direncanakan cadangan daya akibat fluktuasi sinyal serta analisis kehandalannya. Sistem radio gelombang mikro digital antar titik yang menggunakan frekuensi 13 GHz dengan modulasi 16 QAM, bit rate 140 MBps,dan noise figure 0,7 dB memerlukan daya pancar -4,488 dBm, fading margin sebesar 85,51 dB dan kehandalannya sebesar 99,9999999%.
Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika,Badan Penelitian dan Pengembangan SDM, Kementerian Komunikasi dan Informatika, 2016
302 BPT 14:2 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Rio Harlan Hartono
Abstrak :
Saat ini aplikasi di bidang audio sudah banyak menggunakan teknologi DSP. Salah satu contoh adalah beralihnya berbagai jenis efek audio dari bentuk analog menjadi efek audio yang berbasis dijital dengan menggunakan prosesor DSP. Hal ini disebabkan karena efek audio yang dirancang dengan bantuan DSP memberikan kelebihan-kelebihan seperti efisiensi perancangan dan fleksibilitas. Efek audio dijital dapat diterapkan secara real time menggunakan DSP Starter Kit TMS320C6713 dengan mengimplementasikan algoritma masing-masing efek tersebut dalam pemrograman bahasa C. Pada skripsi ini, dilakukan perancangan 3 jenis efek audio, yaitu fuzz, echo, dan reverb. Ketiganya menghasilkan karakter output yang berbeda yang dapat dianalisis dengan menggunakan bantuan FFT (Fast Fourier Transform). Analisis menunjukkan bahwa perancangan yang dilakukan telah dapat diimplementasikan pada DSK TMS320C6713 sehingga menghasilkan suatu board yang, dapat berfungsi sebagai efek audio dijital dan bekeria secara real time. Pada tiap jenis efek ditemukan adanya atenuasi yang besarnya berbeda-beda. Selain itu, noise juga muncul dengan intensitas yang tidak signifikan. Pada efek echo dan reverb dilakukan pengukuran besamya waktu delay dan sebagai hasilnya ditemukan bahwa waktu delay berhubungan langsung dengan variabel tertentu pada algoritma. Hubungan ini dinyatakan dalam persamaan matematis yang berbentuk linear.
DSP technology is widely used in many audio applications. One of the examples is the changing of analog audio processing into digital audio processing using the DSP processor. The reason of this changing is that digital audio processing give many advantages compare to analog such as designing efficiency and flexibility. A real time digital audio effect can be developed on DSP Starter Kit by using C algorithm of each effect. In this paper, 3 type of audio effect are developed, which are fuzz, echo, and reverb. These effects produce different output character and several parameters such as attenuation, noise, and delay is analyzed using FFT (Fast Fourier Transform) method. Results show that the audio effect design can be successfully implemented on DSK TMS320C6713. A different value of attenuation (in dB) is founded in each effect and measured by compare the FFT graph between input and output signal. Noise also occur with insignificant intensity and will not disturb when the application running. In echo and reverb effect, the time delay between original signal and reflected signal is measured. As the result, it is founded that the time delay depends on some variable in the effect algorithm. This relationship can be expressed in linear mathematic equation.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2006
S40727
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akmal Hugo Prasetyo
Abstrak :
Skripsi ini mengembangkan simulasi pengaruh atenuasi hujan di skenario suburban tropis pada spektrum frekuensi 26 dan 41 GHz. Pengambilan spektrum frekuensi diambil berdasarkan alokasi frekuensi kerja untuk teknologi 5G-NR. Simulasi dibuat menggunakan simulator NYUSIM dari New York University dan bahasa komputasi matematis. Hasil dari simulasi diolah menggunakan model tersendiri untuk menghasilkan Power Delay Profile dan Outage Capacity. Kami telah melakukan simulasi pada 3 skenario kondisi jarak yang berbeda, yaitu Jarak 100 meter, Jarak 500 meter, dan Jarak 1000 meter. Dalam skenario kondisi jarak 100 meter, Outage Capacity terbesar bernilai 5 Gbps di 41 GHz yang diambil pada titik referensi outage 0.3. Dalam skenario kondisi jarak 500 meter, Outage Capacity terbesar bernilai 2.9 Gbps di 26 GHz yang diambil pada titik referensi outage 0.3. Dalam skenario kondisi jarak 1000 meter, Outage Capacity terbesar bernilai 3.5 Gbps di 26 GHz yang diambil pada titik referensi outage 0.3. Hasil dari simulasi ini mengindikasikan rugi atenuasi dari curah hujan mempengaruhi transmisi gelombang millimeter wave, akan tetapi dibandingkan dengan rugi-rugi lainnya seperti obstruksi gedung dan pepohonan seiring jarak bertambah akan membuatnya menjadi tidak signifikan dalam perhitungan kecepatan data. ......This thesis develops the simulation of rain attenuation in tropic suburban scenario at frequency spectrum of 26 and 41 GHz. Frequency spectrum are decuded by work frequency allocation for 5G-NR technology. The simulation was made by NYUSIM simulator from New York University and numerical computation language. The end result of simulation were processed using owns model to produce Power Delay Profile and Outage Capacity. We have done a simulation on three different distance scenario, namely Distance 100 meter, Distance 500 meter, and Distance 1000 meter. In distance 100 meter scenario, best outage capacity is achieved by 5 Gbps at 41 GHz using outage reference point of 0.3. In distance 500 meter scenario, best outage capacity is achieved by 2.9 Gbps at 26 GHz using outage reference point of 0.3. In distance 1000 meter scenario, best outage capacity is achieved by 3.5 Gbps at 26 GHz using outage reference point of 0.3. The result of this simulation indicates that attenuation from rain losses affect the transmission of millimeter wave, but when compared to other losses e.g. obstruction by building or trees as the distance increases would render it insignificant in peak capacity calculation.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
In millimeter-wave wireless cellular systems like local multipoint dsitribution services (LMDS) rain attenuation is an essential factor of performance degradation.....
IPTEKAB
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
This paper is the result of the rain attenuation research, especially the results of ARIMA modeling of tropical rain attenuation in thr design of 28 GHZ millimeter wave communication system. Data acquasition is done on the link distance of 56.4 meters on Electrical campus ITS Surabaya. Data acquisition was recorded using the device every 1 second. The data obtained are processed using an ARIMA (p,d,q) model. The process aims to obtain a time series model. Validation process in done by comparing the ARIMA model result with measurements and attenuation model of ITU - R P.838-3. From 6 events that obtained in February 2009 concluded that all events can be approached by ARIMA (0,1,1) model. ARIMA (0,1,1) model can be used to generate rain attenuation data.
620 JURTEL 14:2 (2009)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Rangga Nimamulia
Abstrak :
Dalam rekaman data seismik banyak terkandung noise yang membuat gambaran bawah permukaan menjadi tidak baik. Multipel merupakan salah satu jenis noise yang terekam dalam data seismik. Bagaimanapun juga, multipel merupakan masalah yang cukup membuat interpretasi data menjadi tidak akurat. Data sintetik yang digunakan pada tugas akhir ini merupakan data yang memiliki noise multipel yaitu water bottom multiple dan juga reflector multipel. Untuk mengurangi noise ini perlu dilakukan atenuasi mutipel agar hasil stack hanya terdiri dari data-data primary saja. Atenuasi multipel kemudian dilakukan dengan menggunakan dua metode yaitu teknik Surface Related Multiple Elimination (SRME), Radon demultipel serta kombinasi antara keduanya. Hasil stack dari setiap teknik kemudian dibandingkan guna mengetahui teknik mana yang merupakan teknik yang paling baik dan tepat untuk diaplikasikan terhadap data sintetik yang digunakan. ......In seismic data record there are so many noise that can make the view of subsurface become not clear. Multiple was kind of Noises that being in seismic data. However, multiple was one of problem that can make data interpretation become inaccurately. Synthetic data that being used in this final task was a data that has a water bottom multiple and reflector multiple. To reduce this noise, it is important to do multiple attenuation so that the stack result only consists of data only. Multiple attenuation then being done by using Surface Related Multiple Elimination (SRME), Radon demultipel techniques and combination of both methods. Stack Results from each techniques then being compared in order to know which technique was the best and correct techniques to be applicated in its synthetic data.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2010
S29389
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sigit Pramono
Abstrak :

Kota Palu sebagai bagian Provinsi Sulawesi Tengah secara tektonik berada dekat dengan sumber gempa aktif crustal, yaitu sesar segmen Sulawesi Tengah. Sesar tersebut terdiri dari banyak segmen, diantaranya yang sudah dikenal adalah Sesar Besar Palu-Koro memanjang dari utara ke selatan. Di ujung selatan terhubung sesar Matano dan di utara terhubung dengan subduksi Utara Sulawesi (North Sulawesi Subduction) dan Selat Makasar bagian utara. Pembangunan infrastruktur berbasis mitigasi kegempaan di Indonesia merujuk Peraturan Bangunan Tahan Gempa berdasarkan Peta Bahaya Gempabumi SNI 1726 Tahun 2019. Kota Palu dan wilayah sekitar sesar segmen Sulawesi Tengah menjadi wilayah yang perlu dilakukan penelitian dengan mempertimbangkan efek kondisi site lokal. Parameter kondisi lokal meliputi jenis situs tanah, periode dominan tanah metode Horizontal to Vertical Spectral Ratio (HVSR) dan estimasi kedalaman bedrock menggunakan metoda Spatial Autocorrelation (SPAC) menjadi bagian parameter studi karakteristik ground motion di Kota Sulawesi Tengah. Penelitian ini menggunakan parameter gempa magnitudo gempa ML 1,5-6,5. Pengolahan data ground motion menggunakan data hasil observasi sinyal 5 sensor Jaringan Strong motion Nasional BMKG sampling 100Hz, 5 sensor  jaringan strong motion terpasang sementara sampling 100Hz dan 25 sensor Jaringan Array Velocity Broadband dengan sampling 250 Hz. Jaringan khusus array ini hasil kerjasama BMKG dengan ANU (Australian National University) yang dipasang di sekitar Kota Palu dan dekat sesar segmen Sulawesi Tengah dalam durasi 3 bulan. Tujuan dalam studi ini adalah untuk mengkaji karakteristik dan pembangunan model ground motion segmen fault Sulawesi Tengah. Karakteristik ground motion model yang dibangun dikaji dari uji model regional dan lokal dengan katalog gempa utama (independent) dan gempa gabungan foreshock,mainshock dan aftershock (dependent). Hasilnya menunjukkan karakteristik ground motion hasil dependent mempunyai nilai hasil model yang lebih rendah dibandingan independent, fitting model regional menunjukkan hasil bervariasi tingkat kecocokannya terhadap data observasi masing-masing fault yaitu dengan melihat hasil garis korelasi terhadap data observasi dan hasil residualnya. Model tersebut diuji menggunakan data observasi gempa merusak 29 Mei 2017 Mw 6,6 dan gempa merusak 2018 magnitudo 7,4. Hasilnya menunjukkan model GMPE dependent mempunyai nilai estimasi GM-PGA model yang berada pada distribusi data observasi, sedangkan hasil model independent mempunyai tingkat kecocokan berada di atas sebaran data observasi. Sedangkan pengujian GMSA median M=3-4 dan M=4-5 model dependent dan independent terhadap dari data observasi M=3-4 dan M=4-5 di luar data pembangun model, menunjukkan hasil korelasi yang cukup baik terhadap dua model tersebut. Pemahaman kondisi site lokal menjadi sangat penting dan menjadi bagian dalam perhitungan GM-PGA dan dipertimbangkan dalam penentuan nilai estimasi tingkat goncangan dalam bagian desain infrastruktur mitigasi bencana gempa bumi.     

 


Palu City in one major city in Indonesia which has administratively is the part of Central Sulawesi Province. It has the potential to develop the big infrastructure which has to consider mitigation aspect, due to tectonically it has located close to earthquake active source, particularly segments crustal zone of Central Sulawesi. Central Sulawesi fault has the many faults segmentation, it is called The Active Major Fault System of Central Sulawesi, as well known Palu Koro Fault System zone. It was along the north to southward close to Palu Valley. Development of infrastructure with earthquake hazard mitigation accordance to SNI 1726:2019. Local site classification parameters using the dominant period HVSR (Horizontal Vertical Spectral Ratio), estimation deep of engineering bedrock using SPAC method (Spatial Auto Correlation) as well done. The understanding of the local seismic condition and seismotectonic mechanism based on seismicity data are significantly contributing to know earlier the possibility of the amplification, which have related PGA value with the distance. In this study used 5 National Strong motion Network Station of  BMKG in Palu, 25 Array Network Broadband Velocity Temporarily Station of BMKG-ANU and 5 Regional Strong motion Network Temporarily Station along the Palu-Koro fault and short period for the mini regional network. The purpose of this research to study the characteristics of the local ground motion GM-PGA model from multi fault in Central of Sulawesi, with considered the local site effect.  All these parameters contribute to play roles within the form of the GMPE model.The characteristics of ground motion in this research using independent (mainshock)-independent (foreshock, mainshock, aftershock) regional and local earthquake catalog. The result showed characteristics of ground motion dependent has the calculated value is lower than independent, and the regional model showed the fitting variated to micro fault observed data. It can be seen using correlated regression and residuals. Moreover, when compared with two devastating earthquakes, 29th May 2017 Mw 6.6 and Palu earthquake Mw 7.4 showed that the dependent model is fitted well with distribution of observed data, while for the independent model is overestimated. Meanwhile to calibrate GMSA has used Median GMSA for M=3-4 and M=4-5 to GMSA data observed of M=3-4 and M=4-5. The results showed that the well correlated between of Median GMSA to data observed distribution. The Understanding of local seismic is very important to asses the related PGA value with the distance in GM-PGA and GMSA in GMPE. The GMPE model could be used to be considered in detail engineering design process to determine the level of potential shaking when implement development mitigation based.    

Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zerry Aulia
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang dan tujuan: Evaluasi lesi residu/rekuren pada karsinoma nasofaring pasca terapi menggunakan CT scan masih sulit dilakukan karena asimetri nasofaring dapat diakibatkan oleh lesi tumoral maupun non-tumoral. CT scan memiliki nilai atenuasi sebagai parameter objektif untuk membedakan densitas lesi. Pengukuran nilai atenuasi lesi sebelum dan sesudah kontras diharapkan dapat menjadi panduan untuk biopsi atau pemeriksaan radiologik selanjutnya. Metode: Studi ini menggunakan desain potong lintang dengan data sekunder menggunakan uji t-independen terhadap 54 subjek untuk mengetahui perbedaan rerata nilai atenuasi sebelum dan sesudah kontras, kemudian didapatkan nilai titik potong optimal untuk membedakan lesi tumoral dan non-tumoral menggunakan kurva receiver operating characteristics ROC . Hasil: Nilai rerata atenuasi lesi non-tumoral dan lesi tumoral sebelum kontras adalah 45,5 HU dan 51,3 HU p=0,03 , sedangkan pasca kontras adalah 70,1 HU dan 78,1 HU p=0,01 . Titik potong optimal untuk membedakan lesi tumoral dan non-tumoral adalah titik potong nilai atenuasi lesi pasca kontras yaitu 73,5 HU dengan sensitivitas 72,2 , spesifisitas 61,1 , nilai taksir positif 48,1 , dan nilai taksir negatif 81,5 . Kesimpulan: Terdapat perbedaan bermakna antara rerata nilai atenuasi lesi tumoral dan non-tumoral sebelum dan sesudah kontras. Nilai atenuasi lesi nasofaring pasca kontras sebesar ge; 73,5 HU sugestif suatu lesi tumoral sedangkan
ABSTRACT
Background and objective Evaluation of residual recurrent lesions in nasopharyngeal carcinoma after therapy using CT scan is difficult because nasopharyngeal asymmetry can be caused by both tumoral and non tumoral lesions. CT scan has an attenuation value as an objective parameter to distinguish the density of the lesion. Measuring the attenuation value of lesions before and after contrast is expected to be a guide for further biopsy or radiological examination. Method This study used a cross sectional design with secondary data using a t independent test of 54 subjects to determine the difference in mean attenuation value before and after contrast, then obtained an optimal cut off point to distinguish tumoral and non tumoral lesions using receiver operating characteristics ROC curves. Results The mean attenuation value of non tumoral and tumor lesions before contrast were 45.5 HU and 51.3 HU p 0.03 , whereas after contrast was 70.1 HU and 78.1 HU p 0.01 . The optimal cut off point was the after contrast which is 73,5 HU with 72,2 sensitivity, 61,1 specificity, 48,1 positive predictive value, and 81,5 negative predictive value. Conclusions There was a significant difference between average attenuation value of tumoral and non tumoral lesions before and after contrast. The attenuation value of after contrast lesions of ge 73.5 HU were suggestive of a tumoral lesion while
2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>