Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
Hasiholan, Gabrielle Octavian
"Perjanjian Kredit adalah perjanjian pinjaman antara bank dan pelanggan bank To memastikan perjanjian kredit jiwa mereka dapat dilakukan dengan mudah. Perjanjian biasanya terkait dengan jaminan sebagai jaminan, umumnya atas hak tanah dengan Hipotek institusi terikat dengan perjanjian jaminan. Sifat agunan Perjanjian dibangun sebagai perjanjian yang accesoir, dengan konsekuensi hukum serta perjanjian accesoir lainnya. Putusan Mahkamah Agung No. 353K / PDT / 2015 memberikan pembatalan perjanjian kredit dan Hak Tanggungan. Berdasarkan penelitian ini, ditemukan bahwa ini tidak dapat dibenarkan, karena Pembatalan hipotek setuju tidak selalu mengarah pada pembatalan perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok. Perjanjian kredit dilakukan antara bank dan bea cukai, meskipun jaminan kredit diajukan oleh a pihak ketiga. Oleh karena itu, perjanjian ini mengikat pihak yang membuatnya, debitur dan kreditor. Permintaan pembatalan perjanjian kredit tidak dapat diajukan oleh pihak ketiga.
Credit Agreement is a loan agreement between a bank and a bank customer to ensure that their life credit agreement can be done easily. Agreements are usually related to collateral as collateral, generally for land rights with mortgage institutions bound by collateral agreements. The nature of collateral agreements are built as access agreements, with legal consequences and other access agreement. Decision of the Supreme Court No. 353K / PDT / 2015 provides cancellation of credit agreements and Mortgage Rights. Based on this research, it was found that this cannot be justified, because cancellation of a agreed mortgage does not always lead to the cancellation of the credit agreement as the principal agreement. Credit agreement made between a bank and customs, even if a credit guarantee is submitted by a third party. Therefore, this agreement is binding on the parties that made it, the debtor and creditor. Request to cancel the credit agreement cannot be submitted by a third party."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Sinaga, Heru Triatma Jaya
"Pengaturan Keuangan yang sangatlah luas dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang ada saat ini, berakibat pula pada meluasnya penerjemahan kerugian negara itu sendiri. Hal ini mengakibatkan menjadi kesulitan juga dalam menentukan apakah suatu perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Dalam Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi memasukkan kekayaan negara yang dipisahkan sebagai salah satu unsur yang dipenuhi dalam tindak pidana korupsi untuk menilai adanya kerugian negara yang timbul dalam hubungan hukum yang dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara ataupun Daerah. Hal ini tentu bertentangan dengan UU Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN yang menyatakan bahwa BUMN maupun BUMD tunduk pada UU Nomor 40 tahun 2007. Sehingga negara hanya bertanggung jawab sebatas modal yang diberikan yang telah di konversi menjadi saham.Jadi, kekayaan negara dalam BUMN maupun BUMD hanya sebatas saham itu sendiri. Perdebatan mengenai sejauh mana keuangan negara yang dapat dikategorikan sebagai kerugian negara sampai sekarang masih terjadi. Penelitian ini akan melihat sejauh mana kerugian negara dalam dikategorikan sebagai unsur dalam tindak pidana korupsi. Tinjauan analisis didasarkan pada teori transformasi keuangan negara, dan melihat mengenai perbedaan mengenai definsi kerugian negara dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metodologi penelitian normatif, yaitu melakukan analisis pada aturan hukum terkait BUMN, BUMD, keuangan negara, kekayaan negara yang dipisahkan, perjanjian, serta tindak pidana korupsi, merujuk pada Peraturan Perundang-undangan, maupun Peraturan Pemerintah Jadi, data yang akan diperoleh berupa data sekunder (bahan hukum primer dan sekunder). Kesimpulan yang dapat diperoleh dari penelitian ini, adalah : Pertama, Salah satu unsur untuk menentukan ada atau tidaknya suatu perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi adalah kerugian negara yang timbul terhadap keuangan negara, serta kerugian pada BUMN maupun BUMD tidak dapat dikategorikan secara langsung sebagai tindak pidana korupsi. Kedua, kedudukan debitur dalam suatu perjanjian pada dasarnya adalah setara dengan kreditur, dimana debitur dan kreditur memiliki hak dan kewajiban masing-masing yang harus dipenuhi. Ketiga, dalam kasus kredit macet terhadap Bank Papua dan PT. Vitas tidak dapat hanya bertumpu pada kerugian negara semata untuk menyatakan bahwa debitur termasuk dalam tindak pidana korupsi, sehingga tidak dapat dikatakan bahwa adanya tindak pidana korupsi dalam kasus ini.
Financial arrangements that are very broad in a number of current laws and regulations have also resulted in the widespread translation of losses of the state itself. This has caused difficulties in determining whether an act can be categorized as a criminal act of corruption. In Law No.31 of 1999 concerning Corruption Crime, including separated state assets as one of the elements fulfilled in corruption acts to assess the existence of state losses arising in legal relations carried out by State or Regional State-Owned Enterprises. This is certainly contrary to Law Number 19 of 2003 concerning BUMN which states that BUMN and BUMD are subject to Law No. 40 of 2007. So that the state is only responsible as limited as the capital provided which has been converted into shares. So, state wealth in BUMN and BUMD only limited to the stock itself. Debates about the extent to which state finances can be categorized as state losses have still occurred. This study will look at the extent to which state losses are categorized as an element of corruption. The analysis review is based on the theory of state financial transformation, and looks at the differences regarding the definition of state losses in several applicable laws and regulations. The study was conducted using a normative research methodology, namely conducting an analysis of the legal rules relating to BUMN, BUMD, state finance, separated state assets, agreements, as well as corruption, referring to the Laws and Regulations, as well as Government Regulations in the form of secondary data (primary and secondary legal materials). The conclusions that can be obtained from this study are: First, one element to determine whether or not an action can be categorized as a criminal act of corruption is state losses arising from state finances, and losses to BUMN or BUMD cannot be categorized directly as corruption. Second, the position of the debtor in an agreement is basically equivalent to the creditor, where the debtor and creditor have their respective rights and obligations that must be fulfilled. Third, in the case of bad loans to Bank Papua and PT. Vitas cannot only rely on state losses alone to state that debtors are included in corruption, so it cannot be said that there is a criminal act of corruption in this case."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T52444
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Irena Fatma Pratiwi
"Pada dasarnya suatu perjanjian dinyatakan sah apabila telah memenuhi syarat sahnya perjanjian seperti syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan syarat di luar undang-undang. Namun ada beberapa perjanjian yang belum dianggap sah apabila tidak dibuat dalam bentuk akta otentik atau dibuat di hadapan notaris. Umumnya, keharusan dibuatnya akta otentik tersebut dimaksudkan untuk kepentingan pembuktian di pengadilan atau karena adanya syarat bentuk akta otentik untuk perjanjian tertentu, seperti dalam perjanjian hibah dan perjanjian perdamaian, yang jika tidak dipenuhi akan membuat perjanjian tersebut batal. Oleh karena itu, peran dan tanggung jawab notaris dalam membuat akta otentik sehingga sangatlah penting. Notaris yang lalai dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat publik pembuat akta otentik sehingga menimbulkan kerugian bagi para pihak yang bersangkutan dapat dituntut berupa penggantian biaya, ganti rugi dan bunga dan mendapatkan sanksi dari Majelis Pengawas Notaris. Tujuan dari penelitian hukum ini adalah mengetahui bagaimana kekuatan hukum suatu perjanjian yang dibuat di hadapan notaris, mengetahui bagaimana pertanggungjawaban seorang notaris dalam hal suatu perjanjian batal demi hukum dan mengetahui sanksi hukum bagi notaris dalam hal ketidakhati-hatian dalam melakukan pekerjaannya. Penelitian ini menggunakan metode normatif dengan pendekatan undang-undang atau statute approach.
An agreement is basically considered legal if it has meet the legal conditions of agreement as referred in Article 1320 The Book of Civil Code (Burgerlijk Wetboek) and other conditions outside law. But some agreement considered illegal if there is no authentic deed made in front of a notary. The requirement of the authentic deed is generally intended for the importance of evidence/testimony in court or because an authentic deed is the condition for some agreement, as in a peace treaty or a grant agreement, which will make the agreement flawed when not fulfilled. Therefore, notary?s roles and responsibilities in making authentic deed are vital. When a notary failed to perform his/her task as public officials in making authentic deed and create loss to parties concerned, he/she will be charged with expenses incurred, losses and interest to the notary, and obtain sanctions from the Notary Supervisor Assembly. The objective of this law research is to acquaint the force of an agreement made in front of a notary, knowing how A notary account for an agreement which revoked in the name of law and knowing a law sanction for a notary for not being careful enough to his/her work. This research use normative mode with statute approach."
Depok: Universitas Indonesia, 2012
S1573
UI - Skripsi Open Universitas Indonesia Library
Syafa Nissa Amanda
"Perjanjian sekunder atau perjanjian yang dibuat berdasarkan perjanjian induk atau utama harus sejalan dan tidak bertentangan satu sama lain. Suatu perjanjian dikatakan sah apabila memenuhi syarat sah perjanjian yang tertuang dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”). Penelitian ini membahas mengenai bagaimana pengaturan dan penerapan perjanjian kerjasama Bangun Guna Serah dan juga membahas bagaimana kedudukan perjanjian sewa menyewa yang dibuat berdasarkan perjanjian kerjasama Bangun Guna Serah. Penelitian ini menggunakan metode penilitian doktrinal, dengan tipe penelitian eksplanatoris. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, didapatkan simpulan bahwa ketentuan pelaksanaan Bangun Guna Serah atas aset milik pemerintah daerah telah diatur di beberapa ketentuan perundang-undangan, akan tetapi dalam penerapannya masih ditemukan persoalan belum terdapat kewajiban terhadap pemerintah daerah untuk turut terlibat aktif atas pembentukan perjanjian yang dilakukan oleh badan usaha yang mengelola aset milik pemerintah dengan dengan pihak ketiga. Kedudukan perjanjian sewa menyewa antara PT HKM dan PT SPS merupakan perjanjian sekunder yang dibuat berdasarkan perjanjian induk yaitu perjanjian Bangun Guna Serah antara PT HKM dengan Pemerintah Kota Balikpapan, dan telah melanggar syarat objektif dari suatu syarat sah perjanjian dikarenakan adanya keterlampuan jangka waktu perjanjian sewa menyewa dari perjanjian Bangun Guna Serah antara PT HKM dan Pemerintah Kota Balikpapan, sehingga perjanjian batal demi hukum.
Secondary agreements or agreements made based on the main or main agreement must be consistent and not conflict with each other. An agreement is said to be valid if it meets the legal requirements for an agreement as stated in Article 1320 of the Civil Code ("Civil Code"). This research discusses how the Build to Handover cooperation agreement is regulated and implemented and also discusses the position of the rental agreement made based on the Build Operate Transfer cooperation agreement. This research uses a doctrinal research method, with an explanatory research type. Based on the results of the research carried out, it was concluded that the provisions for implementing Build Operate Transfer on assets belonging to regional governments have been regulated in several statutory provisions, however, in its implementation there are still problems where there is no obligation for regional governments to be actively involved in the formation of agreements carried out by the agency. businesses that manage government-owned assets with third parties. The position of the rental agreement between PT HKM and PT SPS is a secondary agreement made based on the main agreement, namely the Build Operate Transfer agreement between PT HKM and the Balikpapan City Government, and has violated the objective conditions of a valid condition of the agreement due to the length of the agreement term of the Build Operate Transfer agreement between PT HKM being exceeded. and the Balikpapan City Government, so that the agreement is null and void."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library