Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Constantia Huinny Asaloei
Abstrak :
ABSTRAK
Besarnya produksi sampah di wilayah komersil dan industri serta masalah krisis energi merupakan masalah penting di Kota Depok. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik dan potensi produksi gas metan berbagai jenis sampah dalam aplikasinya pada teknologi digester anaerobik. Parameter seperti TS,VS, C/N, COD, BOD, lignin diujikan untuk mengetahui karakteristik sampah sedangkan pengujian BMP dilakukan selama 33 hari pada suhu 350C untuk mengetahui potensi produksi gas metan. Hasil penelitian menunjukkan sampah ampas tahu dan rumen sapi memiliki produksi gas metan tertinggi sebesar 77,3 ml dan 73,8 ml dengan parameter VS (97,3%; 85,1%) yang disesuaikan dengan kadar lignin dan parameter COD (11.267 mg/L ; 58.911 mg/L) sebagai parameter kunci. Produksi gas metan yang tinggi juga dipengaruhi oleh jumlah bakteri metanogen seperti pada rumen sapi. Sementara sampel kotoran kambing dan sampah pasar memiliki produksi gas metan terrendah (21,2 ml ; 12,6 ml) akibat parameter VS yang rendah (65,9%; 89,1%), nilai COD tinggi (86.516 mg/L; 14.727 mg/L) serta inhibitor lignin sebesar 62,0%VS dan 21,1%VS. Akumulasi VFA, lignin dan TAN menjadi inhibitor dalam dekomposisi bahan organik. Hasil laju dekomposisi bahan organik akan lebih detail jika dilakukan pengujian parameter VS, COD dan C/N di awal dan akhir prosedur BMP serta penentuan S/I yang sesuai.
ABSTRACT
Increasing organic wastes in commercial and industrial area and also energy deficiency issues are important concerns in Depok. This research is conducted to know the characteristics and methane production of different solid wastes for anaerobic digester technology. TS,VS,C/N, COD,BOD and lignin parameter are examined to obtain solid wastes characteristics meanwhile BMP experiment is conducted for 33 days in 35oC to obtain methane production potential of different solid wastes. Result showed that tofu waste and cow rumen produced the highest methane volume; 77,3 ml and 73,8 ml with VS (97,3%; 85,1%) associated with lignin content and COD value (11.267 mg/L ; 58.911 mg/L) as the key parameter. Higher methane production is influence by methanogens as in cow rumen. While goat manure and market waste showed the lowest methane production (21,2 ml; 12,6 ml) which caused by low VS (65,9%; 89,1%), high COD value (86.516 mg/L; 14.727 mg/L) and lignin as inhibitor (62,0%VS and 21,1%VS). VFA, lignin and TAN accumulation became inhibitor in organic decomposition. Organic decomposition rate will be detailed if VS, COD and C/N parameters are measured in the beginning and end of BMP procedure with precise ratio S/I.
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2015
S59797
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Contamination of petroleum waste has endangered the environment yet its processing technology is not effective and efficient. It is becaused that by petroleum waste is difficult to be degraded by bacteria due to many complex bonding compounds contained in this oil water.
620 SCI 37:1 (2014)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Elzavira Felaza
Abstrak :
ABSTRAK
Pengunaan pewarna alami dalam industri batik merupakan langkah preventif yang diambil untuk mengurangi pencemaran lingkungan. Pewarna alami digunakan untuk mengganti pewarna sintetik, seperti naphtol dan indigosol yang memiliki COD dengan kisaran 10.000-20.000 mg/L. Meskipun solusi tersebut telah dilakukan, namun air limbah batik tersebut masih melebihi baku mutu Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No.5/2014. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan solusi produksi bersih, khususnya subsitusi material dan modifikasi proses guna meningkatkan biodegradability. Implementasi dilakukan sebanyak enam kali di lokasi studi. Proses penelitian meliputi uji awal karakteristik pewarna alami dan air limbah, substitusi input mordanting serta pencucian dan modifikasi proses. Pewarna alami di lokasi studi memiliki BOD 203-975 mg/L, COD 1.316-2.453 mg/L dan BOD/COD 0,1-0,4. Berdasarkan uji statistik dengan tingkat siginifikansi 95% opsi produksi bersih tidak memberikan pengaruh signifikan pada penurunan BOD, COD, BOD/COD dan warna. Hasil implementasi opsi produksi bersih adalah BOD senilai 99-450 mg/L, COD 402-1.102 mg/L, TSS 104-540 mg/L dan warna 291-2.408 Pt-Co. BOD/COD hasil implementasi adalah 0,2-0,4. Oleh karena itu, teknologi pengolahan air limbah diperlukan dan unit yang didesain untuk debit air limbah 0,09 m3/hari adalah anaerobic baffled reactor berukuran 0,6 m x 0,45 m x 0,5 m, dengan HRT 36,4 jam dan SRT 6 hari. hr> ABSTRACT
Utilization of natural dye in batik industry is a preventive solution taken to avoid environmental problems. Natural dyes is used to substitute synthetic dyes, naphtol and indigosol which has COD 10.000-20.000 mg/L. Although the solution has been taken, the wastewater quality still exceed the limits stated on Regulation of the Minister of the Environment No.5/2014. The research aim is to generate cleaner production solution, specifically material substitution and process modification to increase biodegradability. The implementation is conducted six times. The research process is pre-assessment of natural dye and batik wastewater, implementation of material substitution in mordanting, washing material and process modification. Natural dyes used has BOD of 203-975 mg/L, COD 1.316-2.453 mg/L and BOD/COD 0,1-0,4. Through statistical analysis with 95% level of confidence, the results show no significant changes to BOD, COD, BOD/COD as well as colour reduction. The results of options implemented is BOD value of 99-450 mg/L, COD 402-1.102 mg/L, TSS 105-540 mg/L, colour 291-2.408 Pt-Co and BOD/COD 0,2-0,4. Hence, wastewater treatment is needed and unit designed for wastewater flow of 0,09 m3/day is anaerobic baffled reactor with the size of 0,6 m x 0,45 m x 0,5 m, HRT of 36,4 hour and SRT of 6 days.
2015
S59769
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rendy
Abstrak :
ABSTRAK
Residu unit pengolahan instalasi perlu diolah untuk dapat dilakukan pemanfaatan atau pembuangan secara langsung yang sudah aman. Kondisi residu/lumpur yang stabil mutlak diperlukan untuk menjamin tidak terjadi kontaminasi lingkungan. Metode dalam mengukur kestabilan yang dapat digunakan adalah pengukuran nilai indeks respirometri, baik secara statis (SRI) maupun dinamis (DRI). Indikator stabilitas respirometri mengukur oksigen yang diperlukan dalam mengurai bahan organik biodegradable. Tujuan penelitian ini adalah mengindentifikasi karakterististik dan menganalisis kestabilan sampel lumur dari beberapa instalasi pengolahan, pengolahan bahan organik, dan limbah industri berdasarkan pendekatan kadar air, volatile solids, rasio C/N, nilai SRI dan DRI serta rekomendasi pengolahan lanjutan lumpur yang tidak stabil. Hasil pengujian menunjukkan sampel IPAL Muara Baru dan IPAL PT Toyota memiliki salah satu nilai SRI tertinggi, yaitu 76,621 mgO2g-1OM-1h-1 dan 16,332 mgO2g-1OM-1h-1. Pengolahan lanjutan menggunakan pengomposan keranjang Takakura selama 14 hari dengan bulking agent cangkang kelapa. Hasil akhir pengomposan menunjukkan adanya penurunan nilai SRI dan DRI pada sampel lumpur IPAL Muara Baru dan IPAL PT Toyota dengan persentase pengurangan lebih dari 95%.
ABSTRACT
The residue of the installation processing unit needs to be processed in order to be able to directly utilize or dispose of it safely. Stable residual/sludge condition are absolutely necessary to ensure no environmental contamination occurs. The mthod of measuring stability that can be used is the measurement of respirometry index value, both statilyc (SRI) and dynamicly (DRI). The stability indicators of resprometry measure the oxygen needed in breaking down biodegradable organic matters. The purpose of this study is to identify the characteristics and analyze the stability sample of sludge/digestat from several processing plant, processing organic matter, and instrial waste based on water content approach, volatile solids, C/N ratio, SRI and DRI values and recommendations for continued processing of unstable sludge/mud/digestat. The test result showed samples of Muara Baru WWTP and PT Toyota WWTP had one of the highes SRI values, namely 76,621 mgO2g-1OM-1h-1 and 16,332 mgO2g-1OM-1h-1. Further processing uses composting of Takakura baskets for 14 days with coconut shell bulking agents. The final result of composting showed a descrease in the value of SRI and DRI in Muara Baru WWTP and PT Toyota WTP with a percentage reduction of more than 95%.
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
This book presents a thorough discussion of the physics, biology, chemistry and medicinal science behind a new and important area of materials science and engineering: polymer nanocomposites. The tremendous opportunities of polymer nanocomposites in the biomedical field arise from their multitude of applications and their ability to satisfy the vastly different functional requirements for each of these applications. In the biomedical field, a polymer nanocomposite system must meet certain design and functional criteria, including biocompatibility, biodegradability, mechanical properties, and, in some cases, aesthetic demands.
Switzerland: Springer Nature, 2019
e20509372
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Setyo Sarwanto Moersidik
Abstrak :
Oil-Spill Dispersant (OSD) reduces interfacial tensions of oil and water turning oil spill into droplets that makes crude oil easier to be degraded by hydrocarbonoclastic bacteria such as Pseudomonas aeruginosa. The purpose of this study is to assess the effect of dispersant utilization (solvent-based and water-based) related its performance efficiency in the presence of Pseudomonas aeruginosa. The research was carrried out in laboratory, varying Dispersant-Oil Ratio (DOR) into 3 levels (1:8, 1:20, 1:25) and carbon source adaptation into 3 levels (0%, 1%, 2%). The total number of samples prepared was 84, consist of 21 samples without Pseudomonas aeruginosa addition and 63 samples with Pseudomonas aeruginosa addition. Total petroleum hydrocarbon (TPH) is measured using gravimetric method to determine the biodegradation of crude oil. Also measured are pH of samples with Pseudomonas aeruginosa addition and COD (Chemical Oxygen Demand) value of samples with dispersants. Data were evaluated using ANOVA. The result shows Pseudomonas aeruginosa has the ability to degrades crude oil despite the presence of dispersant, whereas the use of water-based dispersant showed better biodegradation ability than solvent-based OSD usage. Dispersant effectiveness of solvent-based and water-based is 33% and biodegradation by Pseudomonas aeruginosa achieved 25% in 72 hours.
Depok: Faculty of Engineering, Universitas Indonesia, 2013
UI-IJTECH 4:3 (2013)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Umi Sapta Rini
Abstrak :
Pertumbuhan penduduk memberi dampak ikutan, antara lain meningkatnya kebutuhan dasar manusia dan konsumsi di segala bidang, termasuk air dan bahan pembersih. Air merupakan sumberdaya yang amat penting bagi kehidupan semua species. Namun terhadap sumberdaya penting ini manusia masih belum berupaya maksimal untuk melindunginya. Salah satu bukti adalah, kadar surfaktan di perairan Jakarta telah melampaui baku mutu yang diperkenankan, yaitu 1,45 mg/L dengan baku mutu 1,0 mg/L (Prokasih 1999/2000). Dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan terbukti bahwa beberapa produk deterjen sintetis menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Di Indonesia produk ini telah digunakan hingga ke pelosok wilayah, sehingga dampaknya pun akan meluas. Pola pemilihan produk ini yang tidak didasari pengetahuan serta pola penggunaan yang berlebihan, akan menimbulkan dampak yang menjadi semakin berat. Beberapa surfaktan yang merupakan bahan aktif produk deterjen dapat dengan mudah terbiodegradasi, yang dikenal sebagai alkilat lunak seperti linear alkil benzen sulfonat (LAS). Namun ada yang sulit terbiodegradasi yang dikenal sebagai alkilat keras seperti alkil benzen sulfonat dengan rantai cabang (ABS). Saat ini alkilat keras masih diproduksi dalam jumlah lebih besar dad alkilat lunak sebagai bahan baku produk deterjen di Indonesia. Sebetulnya beberapa peraturan untuk produksi dan distribusi produk deterjen telah berlaku, tetapi peraturan-peraturan tersebut kurang dipahami, baik oleh petugas penegak hukum, produsen maupun konsumen. Kondisi ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: bila dilihat dari hirarki peraturan yang berlaku di Indonesia, peraturan-peraturan tersebut bersifat lokal sehingga kedudukannya lemah; tidak disosialisasikan kepada instansi yang terkait, koordinasi yang lemah dari berbagai instansi untuk bersama-sama memikirkan masalah lingkungan, tidak memahami ilmu lingkungan, pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan yang kurang efektif, memberi toleransi kepada pelanggar, dan lain-lain. Kondisi ini membawa konsumen pada situasi tidak dapat menentukan pilihan manakah produk yang ramah lingkungan, karena penandaan produk tidak memberikan informasi yang cukup. Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan, maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut: 1. Belum diketahui secara pasti apakah produk deterjen yang beredar di Jakarta mudah atau sulit terbiodegradasi. 2. Belum diketahui secara pasti apakah penandaan produk deterjen yang beredar di Jakarta telah memenuhi peraturan yang berlaku. 3. Belum diketahui secara pasti apakah petugas/pejabat yang menangani pendaftaran produk dalam rangka memberikan ijin edar telah memahami peraturannya, melaksanakan peraturannya dan bagaimana sikapnya terhadap peraturan tersebut. Dari beberapa permasalahan yang telah dirumuskan, maka penelitian ini bertujuan untuk memastikan kondisi-kondisi yang saat ini berlangsung, yaitu: 1. Untuk mengetahui apakah produk deterjen yang beredar di pasaran Jakarta dapat dengan mudah terbiodegradasi. 2. Untuk mengetahui kesesuaian antara penandaan produk deterjen dengan peraturan yang berlaku. 3. Untuk mengetahui apakah para petugas/pejabat penilai pemberi ijin edar mempunyai pemahaman terhadap peraturan-peraturan tentang produk deterjen, bagaimana melaksanakan peraturan tersebut dan bagaimana sikap terhadap peraturan tersebut. Hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Deterjen yang beredar di pasaran Jakarta dengan label 'ramah lingkungan' atau 'menggunakan bahan aktif LAS' atau tanpa menyebutkan bahan aktifnya sama sekali, masih sulit terbiodegradasi (biodegradabilitasnya kurang dari 80%) 2. Penandaan produk deterjen tidak sesuai dengan peraturan mengenai Penandaan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT) dan tidak memberikan informasi yang memadai bagi konsumen. 3. Petugas/pejabat Pemerintah yang menangani pendaftaran produk dalam rangka memberikan ijin edar kurang memahami peraturan-peraturan yang menyangkut produk deterjen yang berhubungan dengan pelestarian fungsi lingkungan. Penelitian ini dikhususkan terhadap deterjen bubuk karena paling banyak digunakan. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan survei lapangan dan uji laboratorium. Parameter dalam penelitian ini adalah peraturan-peraturan yang menyangkut produksi dan distribusi produk deterjen , produk deterjen , dan pered aran produk deterjen. Sampel diambil dari pasar swalayan di Jakarta. Dari 21 merek yang beredar dilakukan pengamatan terhadap penandaan, sedang uji biodegradabilitas dilakukan terhadap 11 merek. Penentuan 11 merek ini berdasarkan pada pengamatan pendahuluan terhadap penandaan, yaitu yang menyatakan produknya mengandung bahan aktif surfaktan yang dapat terbiodegradasi dan yang tidak menyatakan bahan aktifnya sama sekali. Analisis biodegradabilitas dilakukan oleh Laboratorium Pusat Penelitian Kimia, Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia di Bandung. Wawancara mendalam dengan kuesioner dilakukan terhadap petugas/pejabat pemerintah yang menangani ijin edar. Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Tidak satu pun dari 11 merek deterjen bubuk yang dianalisis memenuhi persyaratan biodegradabilitas yang disebutkan dalam Standard Nasional Indonesia, yaitu harus lebih besar dari 80%. Bila merujuk kepada Crites & Tehobanoglous dalam Small and Desentralized Waste Management System (McGraw Hill, 1998) yang menyebutkan bahwa bahan dapat mudah terbiodegradasi bila 50% dapat terurai secara biologis, maka 27% (3 dari 11) merek yang beredar dapat mudah terbiodegradasi. 2. Hanya 2 dari 21 (9,5%) merek mengikuti peraturan penandaan dengan benar. Sedangkan sebagian besar produk deterjen tidak mengikuti peraturan yang diberlakukan oleh departemen yang menangani peredaran produk jenis ini dengan berbagai tingkat pelanggaran petugas/pejabat yang bertanggung jawab dalam pemberian ijin edar produk tidak mengetahui adanya Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 391 Tahun 1977 tentang Larangan Penggunaan Alkilat (Alkylate) Keras (Hard Type) sebagai Bahan Baku dalam Pembuatan Detergent atau Hasil Industri Bahan Pembersih Lainnya yang Sejenis. Dalam penilaiannya tidak memperhatikan peraturan-peraturan mengenai pelestarian fungsi lingkungan, meskipun produk yang diberi ijin edar akan memberi dampak pada lingkungan. Berdasarkan hasil penelitian, dapat diajukan beberapa saran sebagai berikut: 1. Membuat peraturan atau meningkatkan status peraturan yang bersifat lokal (Kep.Gubemur DKI No. 391 dan 420 Tahun 1977), menjadi berlaku secara nasional. Untuk itu dapat dilakukan dengan memasukkan alkilat keras ke dalam daftar bahan berbahaya pada Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun. 2. Mensosialisasikan peraturan-peraturan tersebut kepada pihak terkait, seperti pihak memberi ijin edar produk deterjen, pengawas peredaran deterjen, produsen bahan baku dan produk deterjen serta Lembaga Swadaya Masyarakat seperti Yayasan Lembaga Konsumen (YLKI). 3. Meningkatkan koordinasi pelaksanaan peraturan dan pengawasannya dengan semua pihak terkait, seperti Kementenan Lingkungan Hidup, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Departemen Kesehatan, Badan Pengawasan Obat dan Makanan dan Pemerintah Daerah. 4. Kementerian Lingkungan Hidup agar menjadi bagian dalam pemberian ijin edar produk deterjen dengan memberikan sertifikat ramah lingkungan. 5. Produsen agar menerapkan produksi bersih: a. Menggunakan bahan baku yang kurang atau tidak mencemari, seperti LAS, mencari alternatif sebagai pengganti fosfat, tidak menggunakan bahan tambahan secara berlebihan. b. Melakukan pemantauan terhadap seluruh daur hidup produk deterjen. c. Mentaati peraturan yang menyangkut produksi dan peredaran deterjen dan memberi informasi kepada konsumen mengenai produk yang dihasilkannya dengan benar. d. Menampilkan ikian produknya dengan tujuan mendidik konsumen agar memilih produk deterjen yang ramah lingkungan. 6. Pemerintah memberikan subsidi atau pembebasan pajak bagi produsen bahan baku bahan baku surfaktan maupun produk deterjen yang menggunakan bahan ramah lingkungan dan tegas-tegas melarang penggunaan alkilat keras atau mengenakan pajak berganda bagi yang menggunakan bahan ini. 7. Melindungi perairan dan pencemaran limbah deterjen, dengan jalan: a. Bagi institusi yang membuang air limbahnya ke perairan harus mengolahnya dan harus memenuhi baku mutu. b. Tidak membuang air limbah rumah tangga langsung ke perairan. Pemukiman agar mempunyai unit pengolah limbah rumah tangga. c. Mencegah terjadinya reaksi sinergistik yang mungkin terjadi pada beberapa bahan pencemar sehingga akan dihasilkan cemaran yang lebih beracun. 8. Perorangan dan atau rumah tangga agar memperhatikan pemilihan produk deterjen tidak berlebihan dalam menggunakannya. 9. Menggunakan sumberdaya air dengan cara yang bijaksana dan seefisien mungkin. Daftar Kepustakaan: 50 (1977-2003)
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T11378
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library