Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yansen
"Bruxism adalah serangkaian aktifitas kontraksi otot rahang saat tidur yang bersifat ritmik, singkat, dan kuat, terjadi pada posisi sentris maupun eksentris rahang. Bruxism merupakan salah satu etiologi gangguan sendi temporomandibula (STM), namun bagaimana mekanisme dan hubungannya dengan gejala gangguan STM masih menjadi kontroversi dan belum jelas. Tujuan dari penelitian cross sectional ini adalah untuk mencari hubungan antara bruxism dan nyeri atau kaku STM pada mahasiswa preklinik FKGUI tahun 2007. Penelitian dilakukan di FKGUI, dimulai dari akhir November sampai minggu pertama Desember 2007, melibatkan 128 subyek penelitian yang dipilih berdasarkan random sampling. Subyek diminta menjawab 3 kuesioner yang diadaptasi dari RDC (Research Diagnostic Index), Diagnostic Index dan Oral Parafunction dan data kemudian dianalisa enggunakan uji Fisher.
Hasil penelitian menunjukkan prevalensi bruxism sebesar 15.6%, yang mengalami nyeri atau kaku STM 8.6%, yang sering mengalami kaku sesaat di sekitar STM pada pagi hari saat bangun tidur 3.1%, dan yang jarang 22.7%. Untuk bruxism dan gejala nyeri atau kaku STM, hasil analisis menunjukkan nilai p=0.376 (p>0.05) dengan demikian dapat disimpulkan tidak ada hubungan antara bruxism dan nyeri STM. Hasil analisis hubungan antara bruxism dan kaku sesaat di sekitar STM pada pagi hari saat bangun tidur menunjukkan nilai p=0.498 (p>0.05), sehingga dapat disimpulkan tidak ada hubungan antara bruxism dan kaku sesaat di sekitar STM pada pagi hari saat bangun tidur. Sebagai kesimpulan, dapat dikatakan bahwa tidak ada hubungan antara bruxism dan nyeri atau kaku STM pada mahasiswa preklinik FKGUI tahun 2007.

Bruxism is a sleep-associated series of rhythmic, brief, strong contractions of the jaw muscles occurring in either centric or eccentric jaw position. Bruxism is one of the etiologies of temporomandibular disorder (TMD), but the mechanism and its relationship with TMD symptoms are still controversial and unclear. The purpose of this cross sectional observation is to describe the relationship between bruxism and pain stiffness of TMJ in preclinical dental students of University of Indonesia in 2007. The observation was done from the end of November until the first week of December 2007 at the Faculty of Dentistry, University of Indonesia. One hundred and twenty eight subjects were selected by simple random sampling method and answered three questionnaires adopted from the RDC (Research Diagnostic Criteria), Diagnostic Index and Oral Parafunction. The data was analyzed by Fisher`s test.
The results showed that bruxism prevalence was 15.6%, TMJ pain or stiffness was 8.6%, often experienced jaw stiffness when waking up in the morning was 3.1%, and 22.7% seldom experienced this symptom. Result for testing the relationship between bruxism and TMJ pain or stiffness was p=0.376 (p>0.05), hence we can conclude that there is no relationship between bruxism and TMJ pain or stiffness. Result for testing the relationship between bruxism and jaw stiffness when waking up in the morning was p=0.498 (p>0.05), which means that there is also no relationship between bruxism and jaw stiffness when waking up in the morning. In conclusion, there was no relationship between bruxism and pain or stiffness of TMJ on preclinical dental students of University of Indonesia in 2007."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
S40691
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dony
"Latar belakang: Sleep bruxism merupakan aktifitas parafungsi yang berhubungan dengan keadaan tidur. Salah satu penyebabnya adalah stres (?home stress? dan ?pengaruh home stress terhadap pekerjaan?) pada lingkungan kerja dengan tanggung jawab dan resiko tinggi seperti profesi aircrew pada lingkungan penerbangan. Namun penelitian mengenai stres dan sleep bruxism pada aircrew di Indonesia belum pernah dilakukan.
Tujuan: Menganalisis hubungan antara stres dengan sleep bruxism pada aircrew.
Metode: Subjek terdiri dari 214 aircrew maskapai penerbangan nasional Indonesia. Subjek melakukan pengisian 2 kuesioner yaitu modifikasi Sloan and Cooper?s questionnaire dan kuesioner sleep bruxism. Penelitian ini melalui 2 tahap yaitu pada tahap pertama dilakukan uji validasi dan reliabilitas modifikasi Sloan and Cooper?s questionnaire, kemudian tahap kedua dilakukan uji potong lintang.
Hasil: Uji Mann-Whitney menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna antara ?home stress? dan umur dengan sleep bruxism (p > 0.05). Uji t tidak berpasangan menunjukkan terdapat hubungan bermakna antara ?pengaruh home stress terhadap pekerjaan? dengan sleep bruxism (p < 0.05). Uji Chi-Square tidak menunjukkan hubungan bermakna antara jenis kelamin dan jabatan dengan sleep bruxism (p>0.05).
Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara ?home stress? dan sleep bruxism, namun terdapat hubungan yang bermakna antara ?pengaruh home stress terhadap pekerjaan? dan sleep bruxism pada aircrew.

Background: Sleep bruxism is parafunctional activities that related to sleep condition. One of the etiology is stress (?home stress? and ?effect home stress at work?) at working environment with high risk and responsibility such as aircrew in aviation. However research about stress and sleep bruxism among aircrew inIndonesia has not yet been done.
Objective: To analyze the relationship between stress and sleep bruxism among aircrew.
Methods: 214 subjects are aircrew at national Indonesia airline. Subjects were ask to fill 2 questionnaires i.e. modification of Sloan and Cooper?s questionnaire and sleep bruxism questionnaire. This study was analyzed in 2 steps, the first was to test the validity and reliability of modification Sloan and Cooper's questionnaire, and the second step was cross-sectional design.
Result: Mann-Whitney test showed that there was no significantly difference between ?home stress? and age with sleep bruxism (p > 0.05). Unpaired-t test showed that there was significantly difference between ?effect home stress at work? with sleep bruxism (p < 0.05). Chi-Square test showed that there was no significantly difference between gender and job position with sleep bruxism (p> 0.05).
Conclusion: There was no correlation found between ?home stress? and sleep bruxism, however a correlation found between ?effect home stress at work? with sleep bruxism among aircrew.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stella Lesmana
"Stres adalah sekumpulan reaksi tubuh terhadap stimuli yang mengancam keseimbangan dan dapat terjadi pada orang dewasa maupun anak-anak. Beberapa cara untuk mengukur besarnya stres antara lain melalui pengisian kuesioner dan pengukuran kadar kortisol. Kuesioner Stress in Children didesain untuk mengukur besar stres anak usia 9-12 tahun. Kortisol adalah hormon penanda stres yang bisa didapat melalui saliva. Stres disebutkan sebagai etiologi utama bruxism. Bruxism adalah gerakan involunter berupa menggesekkan atau menggeretakkan gigi dan prevalensinya di anak-anak besar. Penelitian ini bertujuan membandingkan kadar kortisol saliva anak stres yang bruxism dengan non bruxism usia 9-11 tahun.
Desain penelitian analitik deskriptif potong lintang. Untuk mengukur kadar stres digunakan kuesioner Stress in Children yang diisi subyek. Untuk mendiagnosa bruxism digunakan kriteria diagnostik American Academy of Sleep Medicine AASM yang diisi oleh orang tua subyek dan pemeriksaan klinis keausan gigi. Saliva diambil pada setiap subyek sebanyak 5 mL untuk pengukuran kadar kortisol di laboratorium. Analisa statistik dengan uji T menunjukkan adanya perbedaan yang tidak bermakna p 0,05 . Disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna antara anak stres yang bruxism dengan non bruxism sehingga stres bukanlah etiologi utama bruxism dalam kelompok penelitian ini.

Stress defined as a set of body's reactions to stimuli that threaten its equilibrium and can occurs in adults or children. There are some methods to measure stress magnitude for example filling the stress questionnaire or measuring cortisol level. Stress in Children Questionnaire designed to measure stress magnitude in children aged 9 12 years. Cortisol is a stress hormone that can collected from saliva. Stress was suspected as the major cause of bruxism. Bruxism is involuntary excessive grinding or clenching during the nonfunctional movements of the masticatory system and the prevalence in children is high. The aim of the study is to compare salivary cortisol level between bruxism and non bruxism stress children aged 9 11 years.
The study design was analytic descriptive cross sectional. To measure stress level, subjects filled Stress in Children Questionnaire. To diagnose bruxism, questionnaire based on American Academy of Sleep Medicine AASM was filled by subject's parents followed by clinical assestment of tooth wearness. Amount of 5 mL saliva was collected from each subject. Statistical analysis with Independent T Test showed no significant difference between two groups p 0,05 . It was concluded that there is no significant difference between cortisol level of stress children with bruxism and non bruxism, so stress is not the major etiology of bruxism in this population.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Christian Lokita Wijaya
"Latar belakang: Sleep bruxism merupakan aktivitas oromandibular stereotip sewaktu tidur yang ditandai oleh grinding dan clenching gigi. Penderita sleep bruxism umumnya identik dengan adanya nyeri temporomandibular disorder (TMD). Metode: Penelitian potong lintang ini menggunakan 97 subjek terdiri dari 38 orang laki-laki dan 59 orang perempuan, dengan rentang usia 17-55 tahun. Penilaian sleep bruxism dilakukan menggunakan kuesioner oleh American Academy of Sleep Medicine versi Bahasa Indonesia, serta penilaian TMD dilakukan menggunakan indeks diagnostik DC/TMD. Hasil: Terdapat hubungan yang signifikan secara statistik antara sleep bruxism dan TMD. Sleep bruxism, jenis kelamin dan stress emosional menjadi faktor prediktor terhadap TMD. Pada analisis multivariat dengan regresi logistik diketahui bahwa jenis kelamin dan stress emosional berpengaruh terhadap TMD dengan odds ratio (OR) masing-masing sebesar 3,113 dan 4,043, sedangkan sleep bruxism tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap TMD dengan OR sebesar 1,141. Kesimpulan: Sleep bruxism berhubungan dengan TMD, namun memiliki pengaruh yang lebih kecil dibandingkan dengan jenis kelamin dan stress emosional.

Background: Sleep bruxism is a stereotypical oromandibular activity during sleep characterized by grinding and clenching of teeth. Patients with sleep bruxism are generally associated with temporomandibular disorder (TMD) pain. Methods: This cross-sectional study used 97 subjects consisting of 38 male and 59 female, with an age range of 17-55 years. The assessment of sleep bruxism was carried out using Indonesian version of the questionnaire based on the American Academy of Sleep Medicine sleep bruxism questionnaire, and the TMD assessment was carried out using the DC/TMD diagnostic index. Results: There was a statistically significant relationship between sleep bruxism and TMD. Sleep bruxism, gender and emotional stress are predictors of TMD. In multivariate analysis with logistic regression, it was found that gender and emotional stress had an impact on TMD with odds ratio (OR) of 3.113 and 4.043, respectively, while sleep bruxism had no significant impact on TMD with an OR of 1.141. Conclusion: Sleep bruxism is associated with TMD, but has a smaller impact compared to gender and emotional stress."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Indy Labaron
"Latar Belakang: Etiologi temporomandibular disorder (TMD) adalah multifaktor, salah satunya adalah kebiasaan parafungsi yaitu sleep bruxism. Pasien sleep bruxism sering mengalami tanda dan gejala TMD yaitu nyeri dan keterbatasan pembukaan mulut. Oleh karena itu evaluasi deteksi lebar pembukaan mulut digunakan rutin untuk pemeriksaan sendi temporomandibula, namun hubungan sleep bruxism dengan lebar pembukaan mulut ini masih kurang jelas.
Tujuan: Menganalisis reliabilitas dan validitas kuesioner sleep bruxism dan menganalisis apakah terdapat hubungan antara sleep bruxism dengan lebar pembukaan mulut.
Metode: Desain potong lintang. Kuesioner sleep bruxism dievaluasi menggunakan internal consistency reability test dan metode test-retest (ICC value), sedangkan validitas diukur dengan validasi konvergen, dan untuk hubungan antara sleep bruxism dengan lebar pembukaan mulut dilakukan dengan analisa bivariat.
Hasil: Nilai Cronbach's alpha 0.515 menunjukkan konsistensi internal yang cukup baik, dan nilai ICC test-retest > 0.808 sehingga disimpulkan kuesioner adalah reliabel, sedangkan hasil uji validitas dengan uji korelasi koefisien kontingensi adalah berbeda bermakna (p<0.05) dengan nilai korelasi lemah 0.362. Dengan demikian, alat ukur kuesioner sleep bruxism versi Bahasa Indonesia reliabel dan valid. Untuk lebar pembukaan mulut maximum comfortable, tidak ditemukan perbedaan bermakna antara pasien sleep bruxism dengan non sleep bruxism, dan antara pasien sleep bruxism TMD dengan sleep bruxism non TMD (p>0.05), sedangkan lebar pembukaan mulut maximum assisted pada pasien sleep bruxism TMD dan sleep bruxism non TMD terdapat perbedaan bermakna (p<0.05). Berdasarkan jenis kelamin, lebar pembukaan mulut maximum comfortable antara pria dan wanita berbeda bermakna (p<0.05).
Kesimpulan: Kuesioner sleep bruxism dalam bahasa Indonesia reliabel dan valid sehingga dapat digunakan di Indonesia. Tidak terdapat hubungan antara sleep bruxism dengan lebar pembukaan mulut.

Background: The etiology of temporomandibular disorders (TMD) is multifactor, one of them is parafunctional habit, such as sleep bruxism. Patients with sleep bruxism are more likely to experience jaw pain and limitation of jaw movement, than people who do not. Limitation of mouth opening is one of the cardinal signs found in TMD. Therefore, evaluation of maximum mouth opening is used as part of routine function assessment of temporomandibular joint, but the relationship between sleep bruxism and mouth opening is still unclear.
Objective: To analyze the reliability and validity of sleep bruxism questionnaire in Indonesia and also to analyze the relationship between sleep bruxism and mouth opening.
Methodolgy: Cross-sectional design. Sleep bruxism questionnaire was evaluated using internal consistency reability test and test-retest methods (ICC value), while the validity was analyzed by convergent validity. The relationship between sleep bruxism and mouth opening was analyzed with bivariate analysis.
Results: Cronbach's alpha showed moderate result (0.515), and ICC test-retest value was above 0.808, meaning the questionnaire was reliable. Validity analysis using coefficient contingency correlation showed significantly different (p<0.05) and weak correlation value (0.362). Thus, the Indonesian version of sleep bruxism questionnaire was reliable and valid. Relationship between maximum comfortable mouth opening on sleep bruxism and non bruxism, and between sleep bruxism non TMD and sleep bruxism with TMD were not significantly different (p>0.05), but relationship between assisted mouth opening on sleep bruxism non TMD and sleep bruxism with TMD were significantly different (p<0.05). Based on gender, maximum comfortable mouth opening were significantly different between sleep bruxism non TMD and sleep bruxism with TMD (p<0.05).
Conclusion: The Indonesian version of sleep bruxism questionnaire is reliable and valid, and there is no relationship between sleep bruxism and maximum mouth opening.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yanti Yunita
"Latar Belakang: Pilot TNI AU terdiri dari korp tempur, helikopter dan transport merupakan salah satu profesi dengan tingkat stres yang tinggi. Pilot tempur mengalami g-force yang tinggi. Hal ini disebabkan perubahan lingkungan penerbangan meliputi perubahan tekanan udara, suplai oksigen, suhu dan percepatan yang dapat menyebabkan gangguan sendi temporomandibula atau Temporomandibular Disorder (TMD) pada pilot. Penelitian mengenai hubungan stres dengan TMD, serta bruxism sebagai respon terhadap stres dan keausan gigi sebagai akibat bruxism terhadap TMD di pilot TNI AU belum pernah dilakukan di Indonesia.
Tujuan: Menganalisis hubungan antara stres, bruxism dan keausan gigi terhadap TMD pada pilot transport dan tempur TNI AU.
Metode: Penelitian menggunakan desain cross-sectional pada 50 pilot tempur dan 50 pilot transport TNI AU. Setiap subjek dilakukan pemeriksaan klinis menggunakan formulir Axis I DC/TMD untuk menentukan diagnosa TMD dan menggunakan kriteria identik untuk mengukur keausan gigi. Setelah itu setiap subjek mengisi kuesioner bruxism dari American Academy of Sleep Medicine dan kuesioner stres emosional dari indeks etiologi TMD.
Hasil Penelitian: Uji mann-whitney menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna antara stres dengan TMD pada pilot transport (p = 0.018) dan pilot tempur (p = 0.010). Uji mann-whitney menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna antara bruxism dengan TMD pada pilot transport (p = 0.000) dan pilot tempur (p = 0.000). Uji mann-whitney menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna antara keausan gigi dengan TMD pada pilot transport (p = 0.000) dan pilot tempur (p = 0.000).
Kesimpulan: Terdapat hubungan antara stres dengan TMD pada pilot TNI AU baik pilot transpor maupun pilot tempur.

Background: Indonesian Air Force pilots consists of fighter and transport corp are one of the professions with high levels of stress. Fighter pilots experience high g-force. This is due to changes in the aviation environment including changes in barometric pressure, oxygen supply, temperature and acceleration which can cause Temporomandibular Disorder (TMD) on pilot. The study analyzing the association between stress and TMD, as well as bruxism in response to stress and tooth wear as a result of bruxism against TMD in Indonesian Air Force pilots has never been conducted in Indonesia.
Objective: Analyzing the relationship between stress, bruxism and tooth wear with TMD in transport pilots and fighter pilots of Indonesian Air Force.
Method: This cross sectional study assessed the data of 50 transport pilots and 50 fighter pilots of Indonesian Air Force. Subject performed a clinical examination using the Axis I DC/TMD form to determine the diagnosis of TMD and used identical criteria to measure tooth wear. After that each subject fills the bruxism questionnaire from American Academy of Sleep Medicine and emotional stress questionnaire from the TMD etiology index.
Result: Mann-whitney test showed significant differences between stress and TMD in transport pilot (p = 0.018) and fighter pilot (p = 0.010). Mann-whitney test showed significant differences between bruxism with TMD in transport pilot (p = 0.000) and fighter pilot (p = 0.000). Mann-whitney test showed significant differences between tooth wear and TMD in transport pilot (p = 0.000) and fighter pilot (p = 0.000).
Conclusion: Stress was associated with TMD in Indonesian Air Force Pilot both transport pilot and fighter pilot."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yustita Izabel Fierlany
"Bruxism merupakan aktivitas pergerakan otot rahang yang dapat menyebabkan berbagai dampak negatif baik bagi kondisi intraoral maupun ektstraoral. Aktivitas ini memiliki beberapa kemungkinan etiologi, salah satunya adalah gangguan tidur. Penelitian sebelumnya menunjukkan tingginya prevalensi kualitas tidur buruk pada mahasiswa Rumpun Ilmu Kesehatan Universitas Indonesia. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara sleep bruxism dengan kualitas tidur, sleep bruxism dengan jenis kelamin, dan kualitas tidur dengan jenis kelamin pada mahasiswa program sarjana Rumpun Ilmu Kesehatan Universitas Indonesia. Metode: Sebanyak 152 mahasiswa program sarjana Rumpun Ilmu Kesehatan Universitas Indonesia memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Responden mengisi kuesioner secara onlinemelalui google form mengenai Sleep Bruxism Questionnaire dan Pittsburgh Sleep Quality Index. Data dianalisis secara univariat dan bivariat (Chi-Square) menggunakan perangkat lunak Statistical Package for the Social Sciences (SPSS). Hasil Penelitian: Hasil uji Chi-Square menunjukkan tidak ada hubungan antara sleep bruxism dengan kualitas tidur (p=1,00), sleep bruxism dengan jenis kelamin (p=0.525), dan kualitas tidur dengan jenis kelamin(p=0.201). Kesimpulan:Penelitian ini menunjukkan tidak terdapat hubungan antara sleep bruxism dengan kualitas tidur, sleep bruxism dengan jenis kelamin, dan kualitas tidur dengan jenis kelamin pada mahasiswa program sarjana rumpun ilmu kesehatan Universitas Indonesia TA 2022/2023

Bruxism is a jaw muscle activity that can cause various negative impacts on intraoral and extraoral conditions. This activity has several possible etiologies, one of which is sleep disturbance. Previous study has found a high prevalence of poor sleep quality in students of health sciences cluster Universitas Indonesia. Objectives: The aim of this study was to determine the relationship between sleep bruxism and sleep quality, sleep bruxism and gender, and sleep quality and gender among students of the health sciences cluster Universitas Indonesia. Method: A total of 152 students from the health sciences cluster Universitas Indonesia met the inclusion and exclusion criteria. Respondents then filled out online questionnaires via the Google form regarding the Sleep Bruxism Questionnaire and the Pittsburgh Sleep Quality Index. The data were analyzed univariately and bivariately (Chi-Square) using the Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) software. Results: The results of the Chi-Square test showed that there is no relationship between sleep bruxism and sleep quality (p=1.00), sleep bruxism and gender (p=0.525), and sleep quality and gender (p=0.201). Conclusion: This study shows that there is no relationship between sleep bruxism and sleep quality, sleep bruxism and gender, and sleep quality and gender among undergraduate students of the Health Sciences Cluster Program Universitas Indonesia during 2022/2023 academic year. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angelin Yaputri
"Latar Belakang: Banyak faktor risiko yang ditemukan berkaitan dengan bruksisme, faktor sentral, faktor perifer, faktor psikososial, faktor eksogen, dan faktor hereditas. Faktor psikososial seperti stres dan kecemasan, faktor eksogen seperti konsumsi kopi, rokok, alkohol dan faktor herditas merupakan faktor-faktor yang sering diteliti keterkaitannya dengan bruksisme pada mahasiswa. Bruksisme apabila tidak dirawat maka dapat menyebabkan gangguan sendi temporomandibular, gigi aus, dan sakit kepala.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko kejadian bruksisme yang paling banyak ditemukan pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia Program Sarjana angkatan 2019-2022.
Metode: Sebanyak 114 mahasiswa telah setuju untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan desain potong lintang dan menggunakan teknik consecutive sampling. Pengambilan data dilakukan melalui pengisian kuesioner bruksisme yang disusun oleh Winocur et al. (2010) yang dapat mengindikasikan seseorang mengalami possible bruxism, kuesioner perceived stress scale10, kuesioner generalized anxiety disorder-7, kuesioner konsumsi kopi, rokok, alkohol, dan kuesioner faktor hereditas. Kuesioner disebarkan secara daring melalui google form.
Hasil Penelitian: Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 114 mahasiswa, sebanyak 37,7% memiliki bruksisme. Dari 43 responden yang memiliki bruksisme, 74,4% memiliki stres sedang, dan 14,0% memiliki stres berat, 44,2% memiliki kecemasan ringan, 20,9% memiliki kecemasan sedang, dan 11,6% memiliki kecemasan berat, 58,1% mengonsumsi kopi secara ringan, 97,7% tidak pernah mengonsumsi rokok dan 2,3% pernah mengonsumsi rokok, 90,7% tidak mengonsumsi alkohol dan 9,3% mengonsumsi alkohol secara ringan, 55,8% tidak memiliki anggota keluarga dengan bruksisme dan 44,2% memiliki anggota keluarga dengan bruksisme.
Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan bahwa faktor risiko yang sering dikaitkan sebagai penyebab bruksisme, ditemukan pada responden.

Background: There are a lot of risk factors associated to bruxism, namely central factors, peripheral factors, psychosocial factors, exogenous factors, and heredity factors. Psychosocial factors such as stress and anxiety, exogenous factors such as consumption of coffee, cigarettes, alcohol, and heredity factors are factors that are often studied in relation to bruxism in college students. If left untreated, bruxism can cause temporomandibular joint disorders, worn teeth, and headaches.
Objectives: This study aims to determine the risk factors for bruxism that are commonly found in dental students of University of Indonesia class 2019-2022.
Method: A total of 114 students have agreed to participate in this study. This research is descriptive with cross sectional method and using consecutive sampling. Data collection was carried out by filling out a bruxism questionnaire by Winocur et al. (2010), which can indicate someone having possible bruxism, perceived stress scale-10 questionnaire, generalized anxiety disorder-7 questionnaire, coffee consumption, cigarette consumption, alcohol consumption, and genetic factor questionnaire. These questionnaires were distributed online via google form.
Result: The results showed that of the 114 respondents, 37.7% had bruxism, namely 43 respondents. Of the 43 respondents who had bruxism, 74.4% had moderate stress and 14.0% had severe stress, 44.2% had mild anxiety, 20.9% had moderate anxiety, 11.6% had severe anxiety, 58.1 % consume coffee lightly, 97.7% never consume cigarettes and 2.3% have ever consumed cigarettes, 90.7% do not consume alcohol and 9.3% consume alcohol lightly, 55.8% do not have family members with bruxism and 44.2% have family members with bruxism.
Conclusion: This study shows that the risk factors that are often associated as a cause of bruxism are found in the respondents.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library