Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1982
899.231 IND h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Tati Paramitha
Abstrak :
Perbudakan di Amerika yang terjadi pada masa Antebellum telah merupakan cerita yang stereotip, yaitu adanya kekuasaan majikan kulit putih yang mengeksploitasi tenaga budak terutama di Selatan. Di dalam Bab I, pada latar belakang permasalahan dijelaskan nyanyian rakyat sebagai sarana prates sosial dan sebagai bentuk folklor budak Negro yang merupakan ciri dari kebudayaan folklor Afro-Amerika. Hudak mencari kebebasannya dengan berbagai cara, yaitu dengan menebus diri sendiri, hadiah pembebasan oleh majikan (manumission), memberontak, melalui perkawinan dengan Afro-Amerika bebas atau wanita kulit putih, dan melarikan diri dengan bantuan golongan Abolisionis. Bagi budak yang tidak dapat menggunakan cara-cara tersebut di atas, maka cara yang ditempuh adalah hanya dengan menggugah hati nurani majikan kulit putih. Nyanyian-rakyat (folksong) yang berupa teriakan-teriakan, terdiri dari Marian hollers, shouts, calls, cries dan spiritual, lirik-liriknya menyatakan penderitaan dan harapannya untuk mendapat kebebasan. Selanjutnya Bab. II. menjelaskan mengenai adanya tragedi di Selatan pada masa Antebellum (1776-1866), ditandai dengan semakin kokoh dan suburnya lembaga yang tidak lazim (peculiar institution), sebagai suatu lembaga yang masih mempertahankan sistem perbudakan. Setelah Perang Kermerdekaan Amerika terkenal sebagai bangsa yang memperjuangkan hak azazi manusia, melalui Deklarasi Xemerdekaan (Declaration of Independence) di seluruh dunia. Demikian pula beberapa pasal dalam Konstitusi Amerika (Amandemen ke (1791). Amandemen ke XIII (1865), Amandemen ke-XIV (1868), Amandemen ke XV (1870), sebenarnya telah menghapuskan perbudakan dan menghilangkan diskriminasi terhadap etnik Afro-Amerika di bumi Amerika, ternyata perbudakan tetap ada. Hal ini disebabkan tenaga budak sebagai salah satu faktor produksi yang produktif dan tahan lama dibandingkan dengan tenaga kulit putih. Selain itu, budak dianggap sebagai "harta benda" (property) daripada sebagai "manusia" (person) yang dapat dipindah tangankan secara hukum misalnya dijual. Dalam bab II menjelaskan mengenai perbudakan di Selatan dan organisasi Underground Rail-road telah membantu budak mendapatkan kebebasan dengan Cara melarikan diri. Sedangkan Bab III, menjelaskan arti nyanyian-rakyat (folksong) budak yang terdiri dari beberapa jenis teriakan yang dikenal sebagai hollers, shouts calls, cries dan spiritual untuk berkomunikasi dengan sesama budak dan Tuhan mereka. Semua bentuk nyanyian-rakyat tersebut mewarnai kehidupan budak sehari-hari dalam rangka budak mendambakan kebebasannya. Selain itu nyanyian-rakyat mempunyai fungsi pelipur lara, sarana pendidikan bagi generasi yang lebih muda, pernyataan angan-angan yang terpendam dan sarana protes sosial terhadap kebebasan (freedom) dan persamaan (equality) sebagai nilai-nilai demokrasi yang tercantum di dalam Deklarasi Kemerdekaan dan Konstitusi Amerika. Adapun pada Bab IV, dijelaskan struktur (text) nyanyianrakyat lebih memenuhi persyaratan sebagai balada karena liriknya mempunyai tema yang bebas, menggambarkan cerita kehidupan budak atau sejarah perbudakan, demikian pula bait-baitnya tidak terikat oleh ketentuan tertentu seperti pada bentuk folklor peribahasa atau teka-teki. Sedangkan penyebarannya adalah hubungan (context) dengan masyarakat penerima folklor tersebut, menandakan bahwa nyanyian-rakyat dapat bertahan hidup (survival), karena dipertahankan oleh budak secara turun temurun. Bab V. Merupakan kesimpulan dari isi tesis ini, fokusnya adalah mengenai fungsi nyanyian-rakyat dilihat dari lirikliriknya, ternyata sebagai sarana protes sosial budak atas diskriminasi, segregasi dan penyimpangan dari azas demokrasi.
Depok: Universitas Indonesia, 1996
T5466
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Isti Uga Paralita
Abstrak :
Permainan papan atau board game menjadi salah satu tren yang sedang naik daun di berbagai golongan umur, baik dari anak-anak hingga dewasa. Permainan papan juga memiliki fungsi sebagai salah satu media komunikasi dengan nilai-nilai tertentu yang ingin dikomunikasikan kepada khalayaknya. Five Tribes merupakan salah satu permainan papan yang memiliki latar Timur Tengah, khususnya Arab dimana permainan ini memiliki tema 1001 arabian nights yang dicurigai memiliki nilai atau ideologi orientalisme. Orientalisme sendiri pembentukan “panggung” Timur yang dibuat oleh Barat berdasarkan persepsi atau prasangka bangsa Barat terhadap bangsa Timur. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan bentuk representasi orientalisme dalam struktur pesan kebahasaan pada board game Five Tribes. Metode multimodalitas dengan strategi penelitian semiotika sosial dipilih untuk penelitian ini, dikarenakan media yang dikaji memiliki beragam bentuk atau berbentuk multi modal. Hal ini juga sesuai dengan perspektif semiotika sosial dimana pembuat teks memiliki kemerdekaan untuk mengkomunikasikan makna dalam bentuk apapun. Peneliti melakukan uraian dan kajian pada unit analisis untuk kemudian dianalisis menggunakan semiotika sosial dan kajian representasi. Hal ini dapat dilakukan dengan mengkaji teks tertulis, gambar, dan bidak permainan. Selain itu, penelitian menggunakan paradigma konstruktivis, karena pada prosesnya peneliti mendekatkan diri kepada unit analisis untuk mendalami konstruksi sosial pada unit analisis, ditambah semiotika sosial bersifat lebih kompleks dibandingkan dengan semiotika lain. Penelitian ini menemukan fakta bahwa terdapat struktur pesan kebahasaan yang mengandung nilai orientalisme pada boardgame yang berjudul Five Tribes apabila dilihat dari metafungsi representasi dan komposisional. Pada representasi, unit analisis berupaya menyampaikan konsep tertentu yang dapat dilihat dari simbolisasi eksklusif pada partisipan di dalam unit analisis yang menggambarkan budaya Arab, dan game play yang memperlakukan budak sebagai objek yang dapat dibuang. Permainan ini memiliki target market anak berumur 13-15 tahun, sehingga permainan yang awalnya dianggap menghibur dan ringan mengandung pesan yang tidak netral dan mengandung unsur ketidaksetaraan. Pada aspek komposisional, unit analisis ditampilkan dengan cara yang menonjol dengan atribut posesif yang eksklusif masing-masing, sehingga disimpulkan bahwa pembuat teks secara sengaja menyisipkan nilai orientalisme pada permainan. ...... Board games have become a popular trend among people of all ages, from children to adults. They serve as a means of communication and convey certain values to the audience. Five Tribes is a board game set in the Middle East, particularly in the Arab world, with a theme inspired by the 1001 Arabian Nights, which is suspected to have Orientalist values or ideologies. Orientalism itself is an ideology that carries negative connotations, as it refers to the perception or prejudice of the Western world towards the Eastern world, shaping a "stage" of the East created by the West. Therefore, this study aims to describe the representation of Orientalism in the linguistic message structure of the board game Five Tribes. The research method chosen for this study is multimodality using social semiotics, as the media being analyzed takes various forms or is multimodal. This aligns with the perspective of social semiotics, where text creators have the freedom to communicate meaning in any form. The researcher provides an analysis of the units of analysis, which are then analyzed using social semiotics and representation studies. This can be achieved by examining written texts, images, and game pieces. Additionally, the study adopts constructivism paradigm, as the researcher approaches the units of analysis to delve into the social construction within them and social semiotics is more complex compared to other semiotic approaches. The study reveals that there are linguistic message structures containing Orientalist values in the board game titled Five Tribes, as observed from the representational and compositional metafunctions. In terms of representation, the units of analysis aim to convey specific concepts. This can be seen through the exclusive symbolism of participants within the units of analysis, depicting Arab culture, and the gameplay that treats slaves as disposable objects. The game targets an audience of 13-15-year-old children, so what initially appears as entertaining and light- hearted game content carries negative and harmful connotations. In terms of the compositional aspect, the units of analysis are prominently presented with their respectiveexclusive possessive attributes, leading to the conclusion that the text creator deliberately incorporates Orientalist values into the game.
Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sellin, J. Thorsten
New York : Elsevier, 1976
364.601 SEL s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Sekarningrum
Abstrak :
Sebagai penghubung antara pelabuhan utama, seperti Malaka, Singapura, Ternate, dan Makassar, Gorontalo memainkan peran penting dalam jaringan pelayaran dan perdagangan di wilayah utara Sulawesi. Kondisi ini diperkuat oleh ketersediaan beragam komoditas, terutama emas dan budak. Dua komoditas penting ini telah diekspor, terutama oleh para pedagang Bugis dan Mandar, ke pasar internasional sejak abad XVI. Sayangnya, kajian mengenai perkembangan pelabuhan Gorontalo masih kurang mendapat perhatian dari para sejarawan yang hanya berfokus pada peranan pelabuhan-pelabuhan besar. Tulisan ini melihat arah perkembangan pelabuhan Gorontalo dalam mengekspor emas dan budak pada abad XVIII hingga abad XIX. Dengan menerapkan metode sejarah yang meliputi heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi, tulisan ini memperlihatkan bahwa perkembangan pelabuhan Gorontalo dalam mengekspor emas dan budak mengalami dinamikanya sendiri. Dinamika itu tercermin dari hilangnya akses para pedagang Bugis dan Mandar terhadap perdagangan komoditas emas dan budak di Gorontalo sejak monopoli perdagangan VOC pada abad XVII. Monopoli perdagangan VOC atas komoditas tersebut berujung pada ketidakamanan aktivitas pelayaran-perdagangan di sekitar Gorontalo akibat maraknya perompakan oleh bajak laut dan penyelundupan
Kalimantan Barat : Balai Pelestarian Nilai Budaya , 2023
900 HAN 6:2 (2023)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Erina Jahra Millenia Saputra
Abstrak :
Rou Shi adalah seorang penulis terkemuka, penerjemah, dan tokoh revolusioner. Pada tahun 1930, Rou Shi menulis cerpen “Ibu yang Menjadi Budak (Wèi Núlì De Mǔqīn)”. Cerpen ini menceritakan tentang seorang tokoh Ibu yang disewakan oleh suaminya sendiri sebagai jalan keluar dalam menghadapi kemiskinan keluarganya. Tokoh Ibu disewakan kepada keluarga cendekiawan yang tidak memiliki keturunan, karena istri cendekiawan tidak mengizinkan cendekiawan untuk menikah lagi, maka mereka memutuskan untuk menyewa seorang perempuan untuk mengatasi ketiadaan keturunan dalam keluarganya. Lahirnya anak dalam keluarga menjadi representasi bisa berlanjutnya garis keturunan keluarga cendekiawan tersebut. Dari hasil analisis, bisa terungkap bahwa tokoh Ibu menjadi budak dan tidak bisa mendapat hak-haknya sebagai perempuan karena ia hidup dalam keluarga yang masih terikat tradisi lama dan karena status sosialnya yang rendah. Tokoh Ibu tidak hanya menjadi budak bagi sang suami, tetapi juga menjadi budak bagi perempuan lain dan keluarganya akibat sistem yang umum berlaku pada masyarakat Cina pada masa itu. ......Rou Shi was a prominent writer, translator, and revolutionary figure. In 1930, Rou Shi wrote the short story “A Slave Mother (Wèi Núlì De Mǔqīn)”. This short story tells the story of a mother who is rented by her husband as a way out in facing her family's poverty. The character Mother is rented to a scholar's family who has no children, because the scholar's wife does not allow the scholar to remarry, so they decide to hire a woman to overcome the absence of children in his family. The birth of a child in the family is a representation of the continuation of the lineage of the scholar's family. From the results of the analysis, it can be revealed that Mother becomes a slave and cannot get her rights as a woman because she lives in a family that is still bound by old traditions and because of her low social status. Mother not only became a slave to her husband, but also became a slave to other women and their families due to the system that was common in Chinese society at that time.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library