Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yulia Apriati Santi
Abstrak :
Pemilu merupakan sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam pemerintahan negara Republik Indonesia. Untuk menjamin kemurnian pemilu dan tercapainya demokrasi, para pembuat undang-undang telah merumuskan sejumlah perbuatan curang yang memiliki sifat dan bentuk yang spesifik yang dilakukan selama tahapan pemilu sebagai suatu tindak pidana dalam Undang-undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPRD dan DPD. Dalam undang-undang tersebut diatur 26 (dua puluh enam) pasal tindak pidana pemilu yang memuat ketentuan minimal dan ketentuan maksimal ancaman hukuman, dan terdapatnya pidana denda dan/atau pidana penjara yang dapat dijatuhkan secara alternatif kumulatif. Selain itu, Undang-undang No. 12 Tahun 2003 merupakan Undang-undang Pemilu pertama yang mengatur tentang proses beracara dalam menyelesaikan tindak pidana pemilu karena pembuat undang-undang berpikir bahwa pemilu merupakan satu-satunya hak asasi dalam bidang politik bagi sebagian besar warga negara Indonesia. Perumusan tersebut adalah untuk menghindari tidak terselesaikannya perkara tindak pidana pemilu seperti yang banyak terjadi pada pemilu-pemilu sebelumnya. Dalam undangundang tersebut terdapat beberapa kekhususan/penyimpangan dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam hal; pertama, pelaporan karena melibatkan panwaslu sebagai gerbang penyelesaian tindak pidana pemilu; kedua, pembatasan waktu dalam proses beracara (laporan, penyidikan, penuntutan, dan proses peradilan); dan ketiga, adanya pembatasan upaya hukum sehingga Pengadilan Negeri mempunyai kewenangan yang besar sebagai Pengadilan tingkat pertama dan terakhir pada tindak pidana pemilu yang diancam hukuman kurang dari 18 (delapan belas) bulan dan Pengadilan Tinggi sebagai pengadilan tingkat kedua dan terakhir untuk tindak pidana pemilu yang diancan hukuman lebih dari 18 (delapan belas) bulan. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, ketentuan khusus tersebut belum dapat ditegakkan secara baik karena banyak menghadapi benturanbenturan dengan kepentingan masyarakat, hak-hak terdakwa, dan keadilan hukum.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ilmi Amalia
Abstrak :
ABSTRAK
Pemilihan Umum 2004 diwarnai dengan usaha untuk meningkatkan jumlah perempuan di parlemen. Usaha tersebut adalah adanya undang-undang yang mewajibkan partai politik untuk menyediakan kuota 30% dalam daftar calon legislator dan sosialisasi yang gencar untuk meningkatkan kesadaran jender pemilih perempuan. King (2000) pada penelitiannya di Amerika Serikat menyatakan bahwa calon legislator perempuan memiliki peluang lebih besar untuk dipilih oleh perempuan, tetapi jumlah perempuan di parlemen selalu jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah laki-laki. Faktor-faktor yang menyebabkan sedikitnya jumlah perempuan di parlemen, antara lain, adalah ideologi peran jender tradisional pemilih (Karra, dalam Sari 2002) dan rendahnya identifikasi perempuan sebagai kelompok (Zellman, 1978). Faktor lain yang mempengaruhi suara pemilih adalah identifikasi dengan partai politik dan isu politik (Campbell et al., 1960). Penelitian ini bertujuan mengetahui peluang calon legislator perempuan memperoleh dukungan dari pemilih perempuan dibandingkan dengan calon legislator laki-laki; pengaruh ideologi peran jender dan tingkat identifikasi kelompok jender terhadap dukungan terhadap calon legislator perempuan; dan di antara keempat independen variabel, ideologi peran jender, identifikasi dengan kelompok jender, identifikasi dengan partai politik, dan isu politik, yang mana yang dapat menjadi prediktor bagi dukungan pemilih perempuan kepada calon legislator perempuan pada Pemilihan Umum 2004. Permasalahan pada penelitian ini adalah apakah terdapat perbedaan peluang antara calon legislator perempuan dan calon legislator laki-laki untuk dipilih oleh pemilih perempuan; apakah terdapat perbedaan ideologi peran jender antara pemilih perempuan yang memilih calon legislator laki-laki dan pemilih perempuan yang memilih calon legislator perempuan; apakah terdapat perbedaan tingkat identifikasi kelompok jender antara pemilih perempuan yang memilih calon legislator laki-laki dan pemilih perempuan yang memilih calon legislator perempuan; dan manakah di antara keempat variabel independen, ideologi peran jender, identifikasi dengan kelompok jender, identifikasi dengan partai politik, dan isu politik yang dapat menjadi prediktor bagi pemilih perempuan untuk memilih calon legislator perempuan. Untuk menjawab permasalahan itu, digunakan kuesioner yang terdiri dari lima skala yang mengukur setiap variabel independen dan pertanyaan mengenai jenis kelamin calon legislator yang dipilih pada Pemilu 2004. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan peluang antara calon legislator perempuan dan calon legislator laki-laki untuk dipilih oleh pemilih perempuan dan tidak ada perbedaan ideologi peran jender serta identifikasi dengan kelompok jender pada pemilih perempuan yang memilih calon legislator perempuan dan calon legislator laki-laki. Selanjutnya, penelitian ini juga menunjukkan perilaku pemilih perempuan untuk memilih calon legislatif perempuan tidak dapat diprediksi oleh variabel ideologi peran jender, identifikasi dengan kelompok jender, isu politik, dan identifikasi dengan partai politik. Saran untuk penelitian selanjutnya adalah memperbaiki proses pengambilan sampel, memperluas subjek penelitian pada laki-laki, menambahkan variabel lain, seperti stereotip jender dan mengikutsertakan proses kognitif dalam aktivitas memilih.
2004
S3411
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syifa Ulia
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini menganalisa peran yang dijalankan urang-urang lapau, sebagai broker politik dalam memenangkan calon anggota legislatif di pemilihan DPRD Kota Pariaman tahun 2014. Pertanyaan penelitian ini adalah bagaimana peran yang dijalankan oleh urang-urang lapau sebagai broker politik dalam memenangkan calon anggota legislatif di pemilihan legislatif. Penelitian ini berpendapat bahwa urang-urang lapau memiliki peran penting dalam menghubungkan calon anggota legislatif dengan masyarakat (pemilih). Untuk menjawab pertanyaan diatas, penelitian ini menggunakan teori broker politik yang berasal dari Auyero, Komito, dan Zarazaga. Selain itu, penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan studi kasus, dengan cara mengumpulkan data melalui wawancara mendalam dan analisis data sekunder seperti koran, peraturan, dan media publikasi online. Penelitian ini menemukan bahwa terdapat empat peran yang dijalankan oleh urang-urang lapau, sebagai broker politik. Pertama, melakukan pemetaan jaringan dukungan politik. Kedua, menyediakan informasi terkait kondisi masyarakat, peluang dan ancaman politik. Ketiga, memberikan pelayanan kepada masyarakat. Keempat, mempropagandakan calon anggota legislatif. Atas jasa yang diberikan urang-urang lapau kepada calon anggota legislatif, mereka mendapatkan imbalan berupa pekerjaan dan uang. Jadi empat peran tersebut yang membantu calon anggota legislatif memenangkan pemilihan legislatif.
ABSTRACT
This thesis analyzes the role of urang-urang lapau as political brokers in helping legislative candidates to win the seats in 2014 Pariaman legislative election. In particular, this research asks the question of how urang-urang lapau play a role as political brokers in navigating their supported legislative candidates to win the election. This research bassicaly argues that urang-urang lapau plays significant role in mediating legislative candidates and their voters. In order to answer the above question, this research applies the theories of political brokerage as proposed by Auyero, Komito, and Zarazaga. In addition, this thesis employs qualitative and case study method and gathers the data through in-depth interviews and analyses of secondary data such as newspapers, regulations, and media online publication. This research finds that urang-urang lapau play their brokerage roles in four accounts. First, they portray networks of political support. Second, they provide information concerning societal conditions, political opportunities and threats. Third, they provide services to the society. Fourth, they act as hired propagandist for candidates. In exchange of the services by urang-urang lapau to legislative candidates, they receive benefits such as jobs and money. Those are four roles that help legislative candidates won the election.
2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Trisha Ardhia Kirana
Abstrak :
Setelah berlangsungnya pemilu tahun 2019, terdapat gugatan yang diajukan oleh 9 (sembilan) calon legislatif dari Partai Gerindra kepada Partai Gerindra, DPP Partai Gerindra, dan KPU di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan dasar bahwa adanya pelanggaran hak Para Penggugat oleh Para Tergugat sebagaimana yang tertuang dalam Putusan No. 520/Pdt.Sus.Parpol/2019/Pn Jkt.Sel. Para Penggugat mendalilkan bahwa berdasarkan hasil pemilu 2019, perolehan suara Partai Gerindra lebih besar dengan suara caleg tertinggi di masing-masing dapil, maka Partai Gerindra memiliki hak absolut untuk menentukan caleg terpilih dengan mempertimbangkan kualitas kekadera serta rekam jejak pengabdian calon anggota terpilih. Selain itu, Para Penggugat menyatakan bahwa maksud frasa “…suara terbanyak” dalam Pasal 422 UU No. 7 Tahun 2017 hanya termasuk suara Partai Gerindra saja karena suara Partai Gerindra yang memperoleh suara terbanyak. Penelitian ini akan menggunakan metode yuridis normatif dengan melihat kaitannya antara teori dengan praktiknya serta akan membandingan dengan peraturan perundang-undangan di negara Amerika Serikat, Brazil, dan Filipina terkait mekanisme pengisian jabatan bagi wakil rakyat yang diganti sebelum periode jabatannya berakhir. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Majelis Hakim membenarkan dalil Para Penggugat bahwa Partai Gerindra dan DPP Partai Gerindra memiliki kewenangan untuk menentukan anggota legislatif terpilih dengan mempertimbangkan kualitas kekaderan dan rekam jejak Para Penggugat. Padahal, apabila Partai Gerindra memiliki kewenangan tersebut maka tidak sesuainya dengan tujuan dari Sistem Proporsional Terbuka itu sendiri. Dengan demikian, seharusnya Majelis Hakim dalam memberikan pertimbangan seharusnya tetap memperhatikan ketentuan peraturan perundangundang serta teori yang berlaku. ......After the 2019 elections, 9 (nine) legislative candidates from the Gerindra Politic Party filed a lawsuit against the Gerindra Politic Party, DPP of Gerindra Politic Party, and KPU at the South Jakarta District Court on the basis that there were violations of the rights of the Plaintiffs by the Defendants as stated in Decision No. 520 / Pdt.Sus.Parpol / 2019 / Pn Jkt.Sel. The Plaintiffs argued that based on the results of the 2019 election, the Gerindra Party's vote was higher than the highest votes from the legislative candidates in each electoral district, the Gerindra Politic Party has the absolute right to determine the elected candidates by considering the quality of the cadre and track record of dedication of the elected member candidates. Also, the Plaintiffs stated that the meaning of the phrase “… most votes” in Article 422 of Law no. 7 of 2017 only includes the votes of the Gerindra Politic Party because the Gerindra Politic Party votes received the most votes. This research will use the normative juridical method by looking at the relation between theory and practice and will compare it with the laws and regulations in the United States, Brazil, and the Philippines relating to filling positions for representatives who are replaced before their term of office ends. The results of this research indicate that the Panel of Judges confirms the Plaintiff's argument that the Gerindra Politic Party and DPP of Gerindra Politic Party have the authority to determine the elected legislative members by considering the quality of cadre and track records of the Plaintiffs. If the Gerindra Politic Party has this authority, it is not following the purpose of the Open Proportional System. Thus, the Panel of Judges should have considered the provisions of statutory regulations and applicable theories.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rudi Hermanto
Abstrak :
Pendanaan kampanye adalah salah satu faktor penentu kemenangan pada kompetisi Pemilu 2019. Tranparansi dan akuntabilitas laporan dana kampanye sangat menentukan integritas Pemilu di Indonesia. Tulisan ini mengkaji laporan dana kampanye partai politik peserta Pemilu 2019 dengan fokus pada aspek penerimaan dan pengeluaran dana kampanye, serta kepatuhan pada aturan dana kampanye yang berlaku. Melalui metode kualitatif dengan menggunakan data sekunder, berupa Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) dan Laporan Asuransi Independen dari Kantor Akuntan Publik ditemukan bahwa penerimaan dana kampanye partai politik Peserta Pemilu 2019 didominasi oleh sumbangan dari calon legislatif dan pengeluaran terbanyak dana kampanye berasal dari jasa kampanye. Hasil audit memperlihatkan masih adanya ketidaktransparanan dan ketidakpatuhan pada aturan dana kampanye dari mayoritas partai politik. Lemahnya sanksi diduga menjadi salah satu penyebab, disamping regulasi dana kampanye yang belum mengatur batasan sumbangan dana kampanye dari partai politik dan calon legislatif, serta batasan pengeluaran dana kampanye sehingga prinsip kesetaraan dan prinsip keadilan Pemilu tercederai.
Jakarta: KPU, 2020
321 ELE 1:2 (2020)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ali Ashari
Abstrak :
Ditetapkannya PKPU No.20 Tahun 2018 yang mengatur mantan narapidana korupsi, mantan narapidana bandar narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak tidak dapat menjadi caleg pada Pemilu 2019 menuai pro dan kontra. KPU telah meminta kepada partai politik untuk mengganti nama bakal caleg yang merupakan mantan narapidana korupsi, namun masih saja ada parpol yang mencalonkan mantan narapidana korupsi menjadi caleg di tingkat DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Bawaslu, Komisi II DPR dan Kemendagri bersepakat mengembalikan persyaratan caleg ke Pasal 240 Ayat 1 huruf g UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Partai Gerindra sebagai parpol yang kerap menyuarakan anti korupsi, merekrut 22 bakal caleg mantan narapidana korupsi pada Pemilu 2019. Proses rekrutmen oleh Partai Gerindra berlangsung tertutup dan tidak terdapat penelusuran rekam jejak dalam mekanisme rekrutmen caleg tersebut. Terbitnya Putusan Mahkamah Agung kemudian memperbolehkan caleg mantan narapidana korupsi ikut serta pada Pemilu 2019. Penelitian metode kualitatif dengan desain studi kasus ini menggunakan teori rekrutmen partai politik Barbara Geddes (1994), Almond & Powell (1966), Almond & Coleman (1961), dan teori modal Kimberly L Casey, Pierre Bourdieu, Robert D. Putnam. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa Partai Gerindra yang ingin memperoleh banyak suara dan kursi pada Pemilu 2019, cenderung pragmatis dalam merekrut caleg mantan narapidana korupsi yang memiliki modal politik, sosial dan finansial serta populer. Caleg mantan narapidana korupsi memanfaatkan celah hukum, yaitu PKPU No.20 Tahun 2018 yang bertentangan dengan UU Pemilu No.7 Tahun 2017. Partai Gerindra tidak melakukan penelusuran rekam jejak bakal calon anggota legislatif  serta tetap melakukan rekrutmen terhadap mantan narapidana korupsi. Partai Gerindra sudah seharusnya melaksanakan proses demokratisasi sendiri di dalam tubuh mereka sehingga fungsi-fungsi ideal partai politik bisa dijalankan.
With the enactment of PKPU No.20 of 2018 which regulates ex-convicts of corruption, drug trafficking inmates and sexual crimes against children can not be candidates in the 2019 elections reaping pros and cons. KPU has asked political parties to change the names of prospective candidates who are former convicts of corruption, but there are still political parties that nominate ex-convicts of corruption to be candidates at the Provincial and Regency/City DPRD levels. Bawaslu, Commission II of House of Representatives and the Ministry of Home Affairs agreed to return the candidates requirements to Article 240 Paragraph 1 letter g of Law No.7 of 2017 concerning Elections. Gerindra Party as a political party that often voiced anti-corruption, recruiting 22 candidates for former corruption convicts in the 2019 election. The recruitment process by the Gerindra Party was closed and there was no track record in the recruitment mechanism of the candidates. The issuance of the Supreme Courts Decision then allowed candidates for ex-convicts of corruption to take part in the 2019 elections, This qualitative research method with case study design uses the theory of recruitment of political parties Barbara Geddes (1994), Almond & Powell (1966), Almond & Coleman (1961 and the modality theory of Kimberly L. Casey, Pierre Bourdieu, Francis Fukuyama. The findings of this study indicate that the Gerindra Party, which wants to get a lot of votes and seats in the 2019 Election, tend to be pragmatic in recruiting candidates for ex-convicts of corruption who have political, social and financial capital and are popular. Where candidates for ex-convicts of corruption use legal loopholes, namely PKPU No. 20 of 2018 contradicts with the Election Law No. 7 of 2017. The Gerindra Party did not search any track record of prospective legislative candidates and continued to recruit former corruption convicts. The Gerindra Party should have carried out their own democratization processes so that the ideal functions of political parties can be carried out.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
T55372
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lu`Lu Firaudhatil Jannah
Abstrak :
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh isu pragmatisme yang diperbincangkan oleh media massa menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2014. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan manifestasi ajaran pragmatisme yang tampil melalui cara perilaku pragmatis ? dalam pesan politik calon legislator pada pemilu 2014. Subjek penelitian ini adalah para calon anggota legislatif DPRD DKI Jakarta 2014 dari gender, partai dan dapil yang berbeda dan media yang digunakan oleh caleg untuk mengirim pesan politik tersebut kepada masyarakat. Subjek penelitian ini diteliti menggunakan konsep komunikasi politik untuk melihat bagaimana komunikator politik mengirimkan pesan politiknya. Penelitian ini juga menggunakan konsep pragmatisme dan komunikator politik pragmatis untuk melihat apakah para informan merupakan seorang komunikator politik yang pragmatis. Selanjutnya pesan politik yang dikirim caleg sebagai komunikator politik diteliti untuk melihat apakah pesan tersebut merupakan pesan politik pragmatis. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dimana data diperoleh melalui hasil wawancara dan studi dokumentasi yang diteliti menggunakan Analisis semiotika Barthes. Hasil analisis penelitian ini menunjukkan bahwa komunikator politik pragmatis menghasilkan pesan politik pragmatis dalam perpolitikan yang liberal.
This research is motivated by pragmatism issues are discussed by the media ahead of the General Election 2014. This study aims to explain the manifestation of the doctrine of pragmatism that appear through pragmatic behavior ? in the political message legislative candidates in the legislative election 2014. The subjects of this research are legislative candidates city council 2014 from different gender, political party and different constituencies and media used by candidates to send a political message to the public. The subjects studied using the concept of political communication to see how the political communicator to send political messages. This study also uses the concept of pragmatism and pragmatist political communicators. This research is qualitative research. Research data was obtained through interviews and documentation studies that examined use Barthes semiotic analysis. The results of this analysis indicate that pragmatic political communicator produce pragmatic political messages in liberal politics.
Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
T42446
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Haura Atthahara
Abstrak :
Penelitian ini menjelaskan bagaimana kebijakan partai dalam rekrutmen calon legislatif perempuan Partai Keadilan Sejahtera di pemilu DPR RI Tahun 2014 dengan kebijakan partai dalam rekrutmen calon legislatif perempuan di Partai Keadilan Rakyat di Pemilihan Raya Umum Tahun 2013 di Malaysia. Selain itu dalam penelitian ini juga akan menjelaskan bagaimana ideologi partai, sistem organisasi, pola kaderisasi dan partisipasi politik perempuan di struktur pusat kedua partai politik tersebut untuk dijadikan sebagai bahan perbandingan. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Metode kualitatif menempatkan pandangan peneliti terhadap suatu yang diteliti secara subjektif, dalam hal ini bagaimana kebijakan partai dalam rekrutmen caleg perempuan untuk pemilu DPR RI 2014 di Indonesia dan kebijakan partai dalam rekrutmen caleg perempuan PKR untuk Pemilihan Raya 2013 di Malaysia sebagai subjek penelitian. Teknik pengumpulan data menggunakan data primer dan data sekunder. Karena penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, maka data primer yang digunakan adalah wawancara dan data sekunder menggunakan studi dokumen atau literatur. Untuk memahami bagaimana kebijakan internal partai dapat menggunakan pendekatan legal/institutional dari Miriam Budiardjo yang menjelaskan bahwa pendekatan legal/institutional terdiri dari unsur legal maupun unsur institutional dan metode seleksi kandidat menurut Norris menggunakan analisis level makro struktur institusional rekrutmen-sistem politik seperti sistem politik dan proses rekrutmen juga digunakan. Selain itu dimensi utama dari organisasi partai dalam rekrutmen politik dari Susan Scarrow yang merupakan demokrasi internal partai yang meliputi inklusifitas, desentralisasi/sentralisasi dan institusionalisasi partai. Hasil penelitian menunjukan bahwa kebijakan rekrutmen caleg perempuan di PKS sangat dipengaruhi oleh ideologi islam terutama dalam peran domestik perempuan dan harus adanya izin dari suami untuk menjadi caleg dari PKS. Sedangkan kebijakan internal PKR dalam rekrutmen caleg perempuan sangat dipengaruhi oleh peran organisasi sayap Wanita Keadilan dalam menentukan nama-nama calon perempuan. Hal inilah yang tidak ditemukan dalam Bidang Perempuan PKS yang tidak memiliki pengaruh besar dalam rekrutmen caleg perempuan PKS. ......This research explains how Party Policy in Women?s Legastive Recrutment in Prosperous Justice Party (PKS) in General Elections of 2014 and in The People?s Justice Party (PKR) in General Elections 2013 in Malaysia. And also explain how party ideology, organizational systems, patterns of regeneration and political participation of women at the center structure to serve as a comparison. The method of this research is a qualitative approach. Qualitative methods put our view of a studied subjectively, in this case how the PKS's policies in the recruitment of women?s candidates for the House of Representatives election in 2014 in Indonesia and the party's policies in the recruitment of women's candidates of PKR for General Elections 2013 in Malaysia as a research subject. The techniques of data collection are using primary data and secondary data. Because this study used a qualitative approach, the primary data used were interviews and secondary data using documents or literature studies. To understanding how the internal policy of the party can use the approach to a legal or institutional from Miriam Budiardjo who explained that the approach to a legal or institutional comprise elements of legal and elements of institutional and using the methods of selection candidates according to Norris's analysis of macro level institutional structures as political systems and processes recruitment. Besides the main dimensions of the political party organizations in the recruitment of Susan Scarrow who is the party's internal democracy that includes inclusiveness, decentralization or centralization and institutionalization of the party. The results of research showed that the policy of recruiting women's candidates in the PKS is strongly influenced by the ideology of Islam, especially in the domestic role of women and the need of permission from their husbands to be candidates from PKS. Meanwhile, PKR's internal policy in the recruitment of women?s candidates is strongly influenced by the role-wing organization Women of "Wanita Keadilan" in determining the names of womens candidates. This is the unique from PKR that were not found in Sector PKS Women?s of organization as ?Bidang Perempuan? who do not have a great influence in the recruitment of Women's candidates of PKS
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
T45605
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library