Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
Andari Yurikosari
Abstrak :
Disertasi ini membahas bagaimana campur tangan negara dalam pemutusan hubungan kerja yang mengalami berbagai kebijakan yang berbeda-beda dari suatu kurun waktu tertentu ke kurun waktu yang lain. Penelitian ini menggunakan teori negara kesejahteraan. Tujuan negara kesejahteraan adalah melindungi kaum pekerja dalam rangka mencapai kesejahteraan hidupnya. Baik Undang-undang Dasar Sementara 1950 maupun Undang-undang Dasar 1945 mencantumkan hak para pekerja untuk mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak. Bagaimana Peraturan Perundang-undangan, putusan P4D, P4P dan Pengadilan menerapkan prinsip tersebut ? Kebijaksanaan suatu negara dalam pembangunan bangsa tergantung kepada tahap di mana negara itu berada. Indonesia sebagai negara merdeka sama dengan negara-negara lainnya memulai kemerdekaan dengan tahap mengembangkan persatuan bangsa (unifikasi), yang dilanjutkan dengan tahap industrialisasi. Setelah itu seharusnya Indonesia masuk ke dalam tahap negara kesejahteraan (welfare state). Namun sampai 1998 Indonesia masih menghadapi ancaman retaknya persatuan bangsa, krisis ekonomi yang menciptakan meningkatnya pengangguran, tetapi tetap berkeinginan mensejahterakan rakyat yang didapat dilihat dari lahirnya berbagai undang-undang untuk melindungi pihak yang lemah. Undang-undang itu antara lain: Undang-undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, Undang-undang No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Boleh dikatakan seperti negara-negara berkembang lainnya Indonesia ingin mencapai tiga tahap: unifikasi, industrialisasi dan negara kesejahteraan secara serentak. Tahap pembangunan bangsa mempengaruhi kebijakan negara dalam Pemutusan Hubungan Kerja.
Depok: Universitas Indonesia, 2010
D1509
UI - Disertasi Membership Universitas Indonesia Library
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1989
S7769
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Zainal Arifin
Abstrak :
Agen merupakan lembaga yang dapat berperan
membantu pemasaran barang dan jasa secara efisien dan
berdaya saing tinggi. Di Indonesia sistim pemasaran
melalui agen/distributor berkembang setelah keluarnya
Peraturan Pemerintah Nomor: 36 Tahun 1977 dengan
peraturan pelaksanaannya berupa Keputusan Menteri
Perdagangan Nomor: 382/Kp/XII/77, yang menyebutkan
bahwa perusahaan asing hanya dapat melakukan pemasaran
produksinya ke dalam negeri dengan menunjuk perusahaan
atau perorangan nasional sebagai agen. Agen adalah
perorangan atau badan hukum yang menjadi perantara
dengan diberi kewenangan untuk melakukan perbuatan
hukum tertentu seperti promosi, negosiasi atau
transaksi dengan pihak ketiga atas nama prinsipalnya
dengan mendapat imbalan jasa. Sejalan dengan
perkembangan keagenan tersebut, maka ketentuan
KUHPerdata dirasakan kurang dapat diterapkan sepenuhnya
pada agen, oleh sebab itu pemerintah merasa perlu turut
campur dalam pelaksanaan kegiatan keagenan walaupun
iv
sifatnya baru terbatas pada administratif prosedural
yang berupa penetapan persyaratan dan tata cara
penunjukan agen berdasarkan Keputusan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan baru terbatas pada Agen
Tunggal Pupuk dan Agen Tunggal Kendaraan Bermotor/Alatalat
Berat dan Alat-alat Elektronik. Dengan demikian
pendaftaran keagenan di Departemen Perindustrian dan
Perdagangan ada yang bersifat fakultatif dan imperatif.
Pada dasarnya perjanjian keagenan merupakan hubungan
perdata (persoonli j k) yang ..diatur dalam KUHPerdata
khususnya Pasal 1338, namun dalam masalah keagenan
campur tangan Pemerintah dalam pelaksanaan "azas
kebebasan berkontrak" dimaksudkan antara lain:
negara/pemerintah mempunyai tugas melindungi warganya
dari suatu persaingan di bidang perdagangan, sematamata
untuk menetralisir mekanisme pasar yang dapat
merugikan masyarakat, memberikan kepastian usaha.
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T36350
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Nathania Emily Lysandra
Abstrak :
Fenomena campur tangan asing dalam pemilihan umum sebuah negara bukanlah sebuah fenomana yang baru. Dengan adanya perkembangan teknologi, campur tangan negara asing terhadap sebuah pemilihan umum dapat berlangsung sepenuhnya dalam ranah siber. Sebuah campur tangan asing dalam pemilihan umum dapat melanggar prinsip non-intervensi dalam hukum internasional jika metode campur tangan yang digunakan bersifat koersif. Semakin ada urgensi untuk menerapkan hukum internasional terhadap operasi siber sebuah negara yang memiliki tujuan ikut campur dengan urusan internal negara lain. Sebagaimana telah dinyatakan dalam literatur akademis, seperti laporan UN Group of Governmental Experts (GGE) dan Tallinn Manual 2.0, serta praktik negara-negara: hukum internasional juga berlaku dalam ranah siber dan operasi siber. Campur tangan Rusia dalam pemilihan umum Amerika Serikat tahun 2016 melibatkan berbagai jenis operasi siber, diantaranya operasi peretasan terhadap infrastruktur pemilihan umum dan email, serta operasi pengaruh yang terdiri dari peristiwa doxing dan disinformasi. Adapun melalui penelitian yang telah dilakukan, ditemukan kesimpulan bahwa dugaan campur tangan Rusia belum dapat ditentukan sebagai pelanggaran prinsip non-intervensi dalam hukum internasional. Hal ini dikarenakan belum adanya hukum kebiasaan internasional yang mengutuk kegiatan siber tersebut sebagai pelanggaran hukum internasional, terkecuali adanya manipulasi atau pengubahan tabulasi hasil pemilu. Oleh karena itu, negara-negara perlu menutup kesenjangan dalam konsepsi ruang lingkup prinsip non-intervensi terhadap operasi siber. Perlu adanya kerjasama dan dialog antara negara-negara maupun organisasi internasional untuk memberikan definisi ‘koersi’ dalam prinsip non-intervensi untuk mengisi kesenjangan ini terhadap masa yang mendatang.
......The phenomenon of foreign interference in the general election of a country is not new. With the development of technology, the intervention of foreign countries in a general election can take place entirely in the cyber realm. Foreign interference in an election may violate the principle of non-intervention in international law if the method of interference used is coercive. There is an increasing urgency to apply international law to a country’s cyber operations to interfere with another country’s internal affairs. As stated in the academic literature, such as the reports of the UN Group of Governmental Experts (GGE) and the Tallinn Manual 2.0, as well as the practice of countries: international law also applies in the realm of cyber and cyber operations. Russia's interference in the 2016 US election involved various types of cyber operations, including hacking operations on election infrastructure and email, and influence operations consisting of doxing and disinformation events. This thesis concludes that the alleged Russian interference could not be determined as a violation of the principle of non-intervention in international law, as there no customary international law condemns cyber activities as a violation of international law (except for manipulating or changing the tabulation of election results). Countries must close the gap in the conception of the scope of the principle of non-intervention in cyber operations. There is a need for cooperation and dialogue between countries and international organizations define ‘coercion’ in the principle of non-intervention to fill this gap in the future.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library