Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Maipe Aprianti
Abstrak :
Latar Belakang : Fungsi Kognitif meliputi fungsi pemusatan perhatian, bahasa, daya ingat, motorik serta fungsi eksekutif fungsi perencanaan, pengorganisasian, pelaksannaan dan pemantauan . Postoperative Cognitive Dysfunction POCD didefinisikan sebagai gangguan fungsi kognitif yang baru muncul setelah prosedur pembedahan. POCD pascabedah jantung terbuka yang menggunakan teknologi pintas jantung paru CPB merupakan sekuele yang secara teoritis sering terjadi. Belum ada penelitian POCD serta faktor-faktor yang mempengaruhinya di Indonesia sehingga penelitian ini dirasakan perlu dilakukanTujuan : Mengetahui kekerapan terjadinya penurunan fungsi kognitif pada subjek yang menjalani bedah jantung terbuka di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.Metode : Penelitian ini adalah penelitian kohort prospektif. Dilakukan penilaian fungsi kognitif terhadap 60 pasien yang menjalani operasi bedah jantung terbuka dengan menggunakan test neuropsikologik. Hasil data pra dan pascabedah akan dibandingkan. Fungsi kognitif dikatakan turun bila terdapat penurunan 20 pada salah satu alat uji. Kriteria penerimaan adalah usia >18 tahun yang menjalani operasi bedah jantung di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, dapat berbahasa Indonesia, membaca dan menulis, bersedia menjadi subjek penelitian. Hasil penelitian diolah dengan uji bivariat dan analisis regresi logistic.Hasil : Penurunan fungsi kognitif terjadi pada 40,7 subjek yang menjalani operasi jantung terbuka dengan menggunakan teknologi pintas jantung-paru. Faktor usia merupakan faktor yang berpengaruh melalui analisis bivariat dan regresi logistik p 0,001 .Kesimpulan : Terjadi penurunan fungsi kognitif pada subjek yang menjalani bedah jantung terbuka di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo yang dipengaruhi oleh usia, namun tidak dipengaruhi tingkat pendidikan, diabetes melitus, lama CPB dan klem silang.Kata Kunci : POCD, cardiopulmonary bypass, operasi bedah jantung terbuka
Background Cognitive functions include the function of attention, language, memory, motoric and executive functions planning, organizing, and monitoring . Postoperative Cognitive Dysfunction POCD is defined as a cognitive dysfunction that arises after a surgical procedure. POCD after open heart surgery with cardiopulmonary bypass CPB is frequent theoretically. There was no research on POCD and the factors that influence it in Indonesia so that this research was necessary to be done.Purpose To know the frequency of POCD in subjects underwent open heart surgery at Dr. Cipto Mangunkusumo and the factors that influence it.Methods This study was a prospective cohort study. Cognitive function assessment was performed in 60 patients underwent open heart surgery by using neuropsychological tests. Pre and postoperative data were compared. Cognitive decline was defined if there was a 20 decrease in cognitive function in at least one of the tests. Inclusion criteria were age 18 years old who underwent open heart surgery at Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, could speak Indonesian language, were able to read and write, and were willing to become the subject of the research. The result of this research was analyzed by bivariate test and logistic regression analysis.Results POCD occured in 40.7 of subjects who underwent open heart surgery using cardiopulmonary bypass. Age was the only influential factor through bivariate test and logistic regression analysis p 0.001 .Conclusion POCD occured in subjects who underwent open heart surgery at Dr. Cipto Mangunkusumo which was influenced by age, but not by education level, diabetes, CPB and cross clamp time.Keywords POCD, cardiopulmonary bypass, open heart surgery.
Depok: Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Michael Caesario
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang : Dialisis peritoneal (DP) merupakan modalitas terapi pengganti ginjal utama pada pasien bayi yang menjalani operasi jantung kongenital. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi DP pascaoperasi serta menilai pengaruh karakteristik lama penggunaan mesin pintas jantung paru, kompleksitas operasi, usia, dan berat badan terhadap kejadian dialisis peritoneal pascaoperasi pada pasien bayi yang menjalani operasi jantung kongenital dengan mesin pintas jantung paru. Metode : Dilakukan suatu studi cross sectional pada pasien bayi yang menjalani operasi koreksi penyakit jantung kongenital di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita dalam periode 1 Januari hingga 31 Desember 2018. Analisis statistik dilakukan pada faktor lama penggunaan mesin pintas jantung paru, kompleksitas operasi menurut kategori Risk Adjustment for Congenital Heart Surgery, usia, dan berat badan untuk menilai pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap kejadian DP pascaoperasi. Hasil : Sebanyak 181 pasien dilibatkan sebagai sampel penelitian. DP pascaoperasi dilakukan pada 13 (7,2%) pasien. Kelompok pasien yang menjalani DP memiliki median lama penggunaan mesin pintas jantung paru yang lebih tinggi (155 (44 - 213) vs 95,5 (13 - 279) menit; p = 0,008), rerata usia yang lebih muda (53 ± 54,79 vs 162 ± 88,59 hari; p < 0,001), serta median berat badan yang lebih rendah (3,6 (2,8 -4,5) vs 4,65 (2,6 - 11) kg; p < 0,001). Sebaran kompleksitas operasi antar kelompok yang tidak dilakukan DP dan kelompok yang dilakukan DP tidak berbeda bermakna (p = 0,11). hanya faktor lama penggunaan mesin pintas jantung paru > 90 menit yang secara bermakna memengaruhi kejadian DP (rasio odds 5,244 (1,128 - 24,382); p 0,02). Simpulan : Prevalensi DP pascaoperasi adalah 7,2 %. Kelompok pasien yang menjalani DP pascaoperasi memiliki usia yang lebih muda, berat badan yang lebih rendah, dan lama penggunaan mesin pintas jantung paru yang lebih lama dibanding kelompok pasien yang tidak menjalani DP pascaoperasi. Penggunaan mesin pintas jantung paru > 90 menit memengaruhi kejadian DP pascaoperasi secara bermakna.
ABSTRACT
Introduction: Peritoneal dialysis (PD) is the method of choice for renal replacement therapy in babies underwent congenital heart surgery. This study aimed to asses the prevalence of postoperative PD and to examine the influence of cardiopulmonary bypasss (CPB) time, surgical complexity, age, and body weight to the occurence of postoperative PD among babies underwent congenital heart surgery with CPB. Method: a cross sectional study was done on babies underwent congenital heart surgery in National Cardiovascular Center Harapan Kita from January 1st until December 31st 2018. Statistical analysis was done to CPB time, surgical complexity as classified according to Risk Adjusment for Congenital Heart Surgery categories, age, and body weight in order to asses the influence of those factors to the occurence of postoperative PD. Results: one hundred and eighty one patients were included in the study. Postoperative PD was done in 13 (7,2%) patients. Postoperative PD group showed longer median CPB time (155 (44 - 213) vs 95,5 (13 - 279) minutes; p = 0,008), younger mean age (53 ± 54,79 vs 162 ± 88,59 days; p < 0,001), and lower median body weight (3,6 (2,8 -4,5) vs 4,65 (2,6 - 11) kg; p < 0,001). Distribution of surgical complexity between postoperative PD group and no postoperative PD group was not differ significantly (p = 0,11). Only CPB time > 90 minutes that significantly affect the occurence of postoperative PD (odds ratio 5,244 (1,128 - 24,382); p 0,02). Conclusion: The prevalenve of postoperative PD was 7,2%. Patients underwent postoperative PD tend to be younger, had lower body weight, and had longer CPB time compared to those who did not underwent postoperative PD. CPB time > 90 minutes significantly affect the occurence of postoperative CPB.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58875
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Tatang Puspanjono
Abstrak :
ABSTRAK
Pada operasi koreksi penyakit jantung bawaan PJB dengan teknik pintas jantung paru PJP , proses sindrom respons inflamasi sistemik SRIS sering menjadi penyulit pascaoperasi. Disfungsi mitokondria pada SRIS diawali dengan pelepasan mediator inflamasi TNF-. Dampak cedera neurologis pascabedah belum dapat dihindari. Biomarker Brain derived protein S100B dapat digunakan sebagai penanda hipoksia serebral akibat disfungsi mikrosirkulasi dan mitokondria pada operasi PJB. Pemantauan keadaan hipoksia serebral diperlukan karena kejadian awal defisit neurologis sering tidak menimbulkan manifestasi klinis. Near infrared spectroscopy NIRS merupakan salah satu alat yang dapat memantau penghantaran oksigen ke otak dengan mengukur saturasi oksigen serebral SctO 2 . Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi peran S100B, sTNFR-1, laktat, saturasi vena cava superior dan saturasi oksigen serebral sebagai prediktor kejadian defisit neurologis pada operasi koreksi PJB. Penelitian ini bersifat kohort propsektif. Kriteria inklusi adalah pasien anak dengan PJB usia 1 bulan minus;6 tahun yang menjalani operasi koreksi. Kriteria eksklusi adalah pasien anak dengan sindrom Down, dengan arteri koroner tunggal, dan yang orang tuanya menolak berpartisipasi dalam penelitian. Dalam analisis, subjek dibagi menjadi 2 kelompok yakni kelompok 1 mengalami defisit neurologis dan kelompok 2 tidak mengalami defisit neurologis . Semua subjek dipantau selama perawatan di ICU, dan tetap diikuti sampai keluar rumah sakit. Pemeriksaan darah dilakukan dalam tiga kali pemantauan: pra-operasi, akhir PJP, dan 4 jam pasca-PJP. Monitoring NIRS dilakukan selama 24 jam pascabedah di ICU. Selama periode Maret 2015 minus;Oktober 2015, didapatkan 51 pasien yang diteliti. Terdapat perbedaan proporsi yang bermakna antara konsentrasi S100B, sTNFR-1, laktat, dan NIRS AUC 20 baseline saturasi serebral pasien PJB pascabedah koreksi dengan PJP pada kelompok berdasarkan defisit neurologis. Parameter tersebut dapat dipakai sebagai model prediktor kejadian defisit neurologis pascabedah jantung dengan PJP. Nilai S100B, sTNFR-1, laktat, dan nilai NIRS AUC 20 dari baseline saturasi serebral dapat digunakan sebagai prediktor kejadian defisit neurologis pascabedah pada operasi PJB dengan mesin PJP.
In congenital heart disease CHD surgery using cardiopulmonary bypass CPB machine, systemic inflammation response syndrome SIRS process often causes post-operation complication. Mitochondria dysfunction in SRIS starts with the release of inflammation mediator TNF-? and sTNFR-1. Neurological injury after pediatric congenital heart surgery still cannot be avoided. Study about brain derived protein S100B as a biomarker for cerebral hypoxia caused by microcirculation and mitochondria disfunction as SRIS consequence in PJP in pediatric CHD surgery has yet to be conducted. Observation to find cerebral hypoxia is needed because the early stages of cerebral hypoxia often not show any symptoms. NIRS is one of the tools for observing oxygen delivery to the brain by measuring the cerebral oxygen saturation SctO 2 . In Indonesia, NIRS is still not common to be used and there are no studies about it yet. This study aimed to evaluate the role of S100B, sTNFR-1, lactate, saturation of superior vena cava and cerebral saturation as the predictor of neurological deficiency incidence on correction of CHD. This was a prospective cohort research. Inclusion criteria were children with CHD aged 1 month minus;6 years old who underwent corrective operation. Exclusion criterias were children with Down syndrome, with single coronary artery, and whose parents declined to participate in this study. In analysis, subjects were divided into 2 groups; group 1 with neurological deficit and group 2 without neurological deficit. All subjects were observed closely while they were in ICU, observed until they discharge from hospital. Blood examination were done 3 times: before surgery, after CPB, and 4 hours after CPB. Monitoring of NIRS was done during 24 hours after surgery in ICU. During March minus;October 2015, there were 51 patients included. There are significant difference for value of S100B, STNFR-1, lactate, and NIRS AUC 20 baseline of cerebral saturation between groups based on neurological deficit occurrence. Those parameters could be used as predictor of neurologic deficiency incidence post operation using CPB in CHD children. In CHD patients who underwent corrective operation with CPB, S100B value, sTNFR1, lactate, and AUC 20 baseline of cerebral saturation could be used as predictor of neurologic deficit after corrective operation.
2016
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anasthasia Devina Sutedja
Abstrak :
Acute Kidney Injury (AKI) pada anak dengan penyakit jantung bawaan mencakup 5-33% dari seluruh pasien anak yang melalui bedah jantung terbuka, dengan dampak yang signifikan terhadap kualitas hidup dan luaran pasien. Salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian AKI adalah durasi penggunaan mesin pintas jantung paru. Penelitian metode kohort retrospektif dilakukan terhadap 122 pasien dengan durasi panjang dan 73 pasien dengan durasi pendek pasca bedah jantung terbuka di PJT RSUPN Cipto Mangunkusumo. Data rekam medis yang dianalisis menunjukkan bahwa terdapat kemaknaan (p<0,05) hubungan antara durasi CPB dengan AKI dengan OR 2,95. Kesimpulan penelitian adalah durasi CPB >60 menit merupakan faktor risiko terjadinya AKI pasca bedah jantung terbuka. ......Acute kidney injury (AKI) in children with congenital heart disease consists of 5-33% pediatric patients who went through open heart injury, with significant impact on the quality of life and outcome of the patient. One of the factors affecting the incidence of AKI is the duration of cardiopulmonary bypass machine. Retrospective cohort study was done on 122 patients with bypass duration >60 minute and 73 patients with bypass duration <60 minute after open heart surgery in PJT RSUPN Cipto Mangunkusumo. Analysis of medical records shown that there was a significant difference (p<0,05) between the duration of cardiopulmonary bypass with the incidence of AKI with OR of 2,95. It was concluded that duration of bypass >60 minutes was a risk factor of post open heart surgery AKI.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Julia Fitriany
Abstrak :
Latar belakang: Sepsis pascabedah jantung terbuka merupakan kondisi yang jarang terjadi tetapi memiliki mortalitas yang cukup tinggi. Gejala sepsis yang muncul pascabedah seringkali sulit dibedakan dengan kondisi inflamasi sistemik sehingga menimbulkan keterlambatan dalam menegakkan diagnosis maupun overtreatment pada pasien. Presepsin merupakan salah satu penanda sepsis yang mulai banyak digunakan terutama pada populasi dewasa. Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran presepsin dalam menegakkan diagnosis sepsis pascabedah jantung terbuka pada anak. Tujuan: Untuk menguji performa diagnostik presepsin sebagai penanda sepsis pada anak pascabedahjantung terbuka dibandingkan dengan prokalsitonin (PCT). Metode: Studi potong lintang terhadap 49 pasien anak pascabedah jantung terbuka yang dirawat di RSCM. Penelitian ini mencari nilai batas optimal presepsin untuk mendiagnosis sepsis pascabedah jantung terbuka pada anak yaitu pada hari pertama dan ketiga pascabedah, kemudian membandingkannya dengan prokalsitonin. Analisis kurva ROC dikerjakan untuk menentukan nilai batas optimal presepsin. Hasil: Kadar presepsin hari pertama (T1) dan ketiga (T3) lebih tinggi pada subyek dengan sepsis daripada subyek yang tidak sepsis (median 415 pg/mL vs. 141,5 pg/mL pada hari pertama dan 624 pg/mL vs. 75,9 pg/mL pada hari ke tiga). Titik potong presepsin pada T1 dengan nilai 404 pg/mL memiliki performa untuk mendiagnosis sepsis dengan AUC 0,752 sedangkan presepsin T3 dengan nilai 203,5 pg/mL dengan AUC 0,945 yang lebih baik dibandingkan T1. Simpulan: Presepsin dapat dijadikan suatu modalitas untuk memberikan nilai tambah dan pertimbangan bagi klinisi untuk menegakkan diagnosis sepsis pada pasien anak pascabedah jantung terbuka. ......Background: Postoperative open-heart sepsis is a rare condition but has a fairly high mortality. Symptoms of sepsis that appear postoperatively are often difficult to distinguish from systemic inflammatory conditions, causing delays in establishing diagnosis and overtreatment in patients. Presepsin is one of the markers of sepsis that is starting to be widely used, especially in the adult population. This study is to identify the role of presepsin for diagnosing sepsis in post open-heart surgery in pediatric population. Aim: To perform diagnostic test of presepsin as sepsis screening markers compares to procalcitonin (PCT) in post open-heart surgery. Methods: Cross-sectional study of 49 postoperative open-heart pediatric patients treated at RSCM. This study looked for optimal cut-off values of presepsin for diagnosing open-heart postoperative sepsis in children on the first and third postoperative days, then compared it with procalcitonin. ROC curve analysis is performed to determine the optimal limit value of presepsin. Result: First (T1) and third day (T3) PSP levels were higher in subjects with sepsis than non- sepsis (median 415 pg/mL vs. 141.5 pg/mL on first day and 624 pg/mL vs. 75.9 pg/mL on third day). ). T1 presepsin cut off 404 pg/ml had AUC of 0.772, while T3 presepsin cut off 203.5 og/ml had better AUC of 0.945. T3 is better for diagnosing sepsis. Conclusion: Presepsin can be used as a modality to provide added value and consideration for clinicians to establish the diagnosis of sepsis in pediatric patients after open-heart surgery.
2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Ramadantie
Abstrak :
Tujuan: Kegagalan dalam ekstubasi pascaoperasi pintas pembuluh darah jantung dapat mempengaruhi morbiditas dan kematian pasien. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat faktor risiko (intraoperasi) kegagalan ekstubasi kurang dari sama dengan 24 jam pascaoperasi pintas pembuluh darah jantung. Metode: Studi kohort retrospektif pada 315 pasien yang di operasi pintas pembuluh darah koroner jantung/ coronary artery bypass graft (CABG) yang dirawat di Ruangan Intensif Jantung RSUPN Dr. Ciptomangunkusumo dari Januari 2016 hingga Juni 2020. Pengamatan pasien selama 24 jam pascaoperasi (keluaran: ekstubasi) dengan titik potong variabel independen yaitu penggunaan mesin cardiopulmonary bypass (CPB) adalah 107 menit dan klem silang aorta adalah 84 menit. Hasil: Analisis multivariat dengan cox regresi menemukan gabungan pemakaian CPB > 107 menit dan klem silang aorta > 84 menit merupakan faktor kegagalan ekstubasi < 24 jam pascaoperasi CABG (HR 0,6; IK 95% 0,52-0,9; p-value 0,017;). Selain itu faktor preoperasi, yaitu gagal jantung NYHA III-IV (HR 0,44; IK 95% 0,23-0,85, p-value 0,015), fraksi ejeksi <40% (HR 0,58; IK 95% 0,4-0,82; p-value 0,002), pasien dengan riwayat merokok (HR 0,73; IK 95% 0,56-0,97; p-value 0,03), Gangguan fungsi ginjal (HR 0,73; ; IK 95% 0,5-0,9; p-value 0,03) merupakan faktor risiko kegagalan ekstubasi < 24 jam pascaoperasi CABG. Kesimpulan: Gabungan pemakaian mesin CPB dan klem aorta yang lama menyebabkan kegagalan ekstubasi kurang dari sama dengan 24 jam pascaoperasi CABG. ......Objective: Extubation Failure after Coronary Artery Bypass Graft (CABG) surgery can adversely affect patient morbidity and mortality. The aim this study is to see the intraoperative risk factor for extubation failure less than or equal to 24 hours postoperation CABG. Methode: A retrospective cohort of 315 patients who underwent CABG surgery treated in the Intensive Cardiac Care RSUPN Dr. Ciptomangunkusumo within January 2016 until June 2020. Patient observation for 24 hours after CABG surgery (outcome: ekstubation), the cut of point for cardiopulmonary bypass machine (CPB) use is 107 minutes and the aortic cross clamp is 84 minutes. Results: Multivariat analysis with cox regresion found that the use of CPB > 107 minutes and aortic cross clamp > 84 minutes is the risk factor for extubation failure less than or equal to 24 hours after CABG surgery (HR 0,6; 95% CI 0,52-0,9; p-value 0,017). In addition, preoperation risk factor, congestive heart failure NYHA III-IV (HR 0,44; 95% CI 0,23-0,85; p-value 0,015), ejection fraction < 40% (HR 0,58; 95% CI 0,4-0,82; p-value 0,002), patient with smoking history (HR 0,73; 95% CI 0,56-0,97; p-value 0,03), impaired kidney function (HR 0,73; 95% CI 0,5-0,9; p-value 0,03) is a risk factor for extubation failure less than or equal to 24 hours after CABG surgery. Conclusion: Combination using CPB machine and aortic cross clamp for long duration causes extubation failure less than or equal to 24 hours after CABG surgery.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suprohaita
Abstrak :
Latar belakang: Penurunan curah jantung merupakan masalah yang penting dalam penatalaksanaan pasca-bedah jantung terbuka karena penurunan curah jantung ini meningkatkan morbiditas dan mortalitas pasien. Modalitas untuk pemantauan curah jantung bergeser dari invasif ke non-invasif. Alat ultrasonic cardiac output monitor (USCOM) dan ekokardiografi menjadi alat baru yang non-invasif. Bila dibandingkan dengan alat ekokardiografi yang membutuhkan keahlian khusus, alat USCOM dapat dijadikan alat pengukuran indeks curah jantung alternatif secara intermiten oleh tenaga medis terlatih. Tujuan: Untuk mengetahui kesesuaian hasil pengukuran indeks curah jantung dengan alat USCOM dibandingkan ekokardiografi pada anak pasca-bedah jantung terbuka dengan pintasan jantung paru. Metode: Studi potong lintang (cross sectional) pada anak pasca-bedah jantung terbuka dengan PJP dengan metode pengukuran simultan indeks curah jantung dengan alat USCOM dan ekokardiografi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, dari bulan Juni-Juli 2014. Hasil: Tiga belas pasien yang menjalani bedah jantung terbuka berhasil diukur dengan alat USCOM dan ekokardiografi secara simultan. Subyek terdiri atas 8 laki-laki dan 5 perempuan dengan median usia 3 tahun (1-12 tahun). Median berat badan, tinggi badan, dan luas permukaan tubuh berturut-turut 11 kg (5,5-29 kg), 82 cm (63-133 cm), dan 0,53 m2 (0,32- 0,98 m2). Diagnosis terbanyak berturut-turut adalah tetralogi Fallot (5 subyek), defek septum ventrikel (3 subyek), dan DORV (2 subyek). Pada analisis Bland-Altman indeks curah jantung yang diukur dengan alat USCOM dibandingkan ekokardiografi didapatkan perbedaan rerata sebesar 0,115 L/menit/m2 (IK95% -0,536 hingga 0,766) dan batas kesesuaian -3,616 hingga 3,846 L/menit/m2. Hasil tambahan penelitian ini berupa perbedaan rerata indeks isi sekuncup 0,03 mL/m2 (IK95% -5,002 hingga 5,065) dan batas kesesuaian -28,822 hingga 28,885 mL/m2. Perbedaan rerata diameter LVOT -0,017 cm (IK95% -0,098 hingga 0,064) dan batas kesesuaian -0,285 hingga 0,251 cm. Perbedaan rerata nilai VTI didapatkan sebesar -2,991 cm (IK95% -4,670 hingga -1,311) dan batas kesesuaian -12,616 hingga 6,635 cm. Kesimpulan: Pengukuran indeks curah jantung dengan alat USCOM dibandingkan ekokardiografi pada anak pasca-bedah jantung terbuka dengan PJP didapatkan perbedaan rerata kedua pengukuran kecil dan batas kesesuaian 95% yang lebar. Pada pengukuran indeks curah jantung yang makin rendah, perbedaan atau selisih rerata semakin kecil dan memiliki kesesuaiannya lebih baik.
Background: Low cardiac output is important problem in post-open heart surgery management because this condition increase morbidity and mortality. Modality of cardiac output monitoring shifted from invasive to non-invasive. Ultrasonic cardiac output monitor (USCOM) and echocardiography are new non-invasive tools. Echocardiography needs special skill, but USCOM can used by trained user because of fast learning curve of skill. Objectives: To determine the agreement of cardiac index measurement by USCOM and echocardiography in children after open heart surgery with cardiopulmonary bypass. Methods: Cross sectional study using simultaneous measurement of cardiac index by USCOM and echocardiography on post-open heart surgery patient in Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta, from Juni-Juli 2014. Results: Thirteen post-open heart surgery of pediatric patient were enrolled (8 male and 5 female, median of age 3 years old (1-12 years old). Median of body weight, height, and body surface area respectively were 11 kg (5,5-29 kg), 82 cm (63-133 cm), dan 0,53 m2 (0,32-0,98 m2). Diagnosis of patient were tetralogi Fallot (5 subject), ventricular septal defect (3 subject), dan double outlet right ventricle (2 subject). This study using Bland-Altman analysis of cardiac index measurement by USCOM and echocardiography. Mean bias was 0,115 L/minute/m2 (95%CI -0,536 to 0,766) and limit of agreement was -3,616 to 3,846 L/minute/m2. Secondary outcome of this study was mean bias of stroke volume index 0,03 mL/m2 (95%CI -5,002 to 5,065) and limit of agreement was -28,822 to 28,885 mL/m2. Mean bias of LVOT diameter was -0,017 cm (95%CI -0,098 to 0,064) and limit of agreement was -0,285 to 0,251 cm. Mean bias of VTI was -2,991 cm (95%CI -4,670 to -1,311) and limit of agreement -12,616 to 6,635 cm. Conclusion: Cardiac index measurement by USCOM and echocardiography in children after open heart surgery has narrow mean bias and wide limit of agreement. Mean bias was narrower and good agreement in patient with low cardiac index.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library