Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 20 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Cicilia Alda Violetta
Abstrak :
Dalam proses penyebarluasan dan partisipasi masyarakat, belum benar-benar melibatkan Penyandang Disabilitas. Hal ini terkait pembuatan Peraturan Perundang-Undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011. Pengesahan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menuai pro dan kontra. Kritik terhadap Undang-Undang ini menyasar pada aspek formil dan materiil. Selain soal substansi yang kontroversial dan penggunaan perspektif yang tidak seimbang dalam memandang permasalahan dan merumuskan solusi, minimnya pelibatan publik, terkhusus golongan masyarakat Penyandang Disabilitas juga menjadi sasaran kritik atas proses pembentukan Undang-Undang ini. Proses penyebarluasan dan keikutsertaan partisipasi masyarakat seharusnya merata kepada setiap kelompok, termasuk kelompok Penyandang Disabilitas di dalamnya. Hal ini dikarenakan, sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan penerapan prinsip-prinsip Convention on the Rights of Person with Disabilities, berbicara mengenai pemenuhan hak-hak Penyandang Disabilitas dalam proses penyebarluasan dan partisipasi masyarakat pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Konvensi ini sendiri merupakan konvensi yang memuat kedaulatan atas penyandang disabilitas guna menunjukkan kesunggukan atas perlindungan terhadap hak mereka, memastikan semua penyandang disabilitas dapat menikmati semua hak dasar manusia dan kebebasan yang fundamental. ......Regarding the dissemination and public participation process, Persons with Disabilities have not been involved. It is related to the making of Legislation, which includes the stages of planning, preparation, discussion, ratification or stipulation, and promulgation as stipulated in Law No. 12 of 2011. The ratification of Law Number 11 of 2020 on Job Creation has drawn pros and cons. Criticism of this law targets the formal and material aspects. Apart from the controversial substance and the use of unbalanced perspectives in looking at problems and formulating solutions, the lack of public involvement, especially for people with disabilities, has also become a target of criticism for forming this Law. The process of dissemination and participation of public participation should be evenly distributed to every group, including people with disabilities. It is because, under the mandate of Law No. 12 of 201 concerning the Formation of Legislation and the application of the principles of the Convention on the Rights of Persons with Disabilities, it talks about the fulfillment of the rights of Persons with Disabilities in the process of dissemination and public participation in the formation of Law No. 11 of 2020 concerning Job Creation. This convention contains sovereignty over persons with disabilities to show seriousness about protecting their rights, ensuring that all persons with disabilities can enjoy all basic human rights and fundamental freedoms.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmanandita Sulastri
Abstrak :
Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis permasalahan pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2  Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja sebagai tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020.  Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang pengujian formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang menyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai tidak melakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan diucapkan. Pengujian undang-undang merupakan proses yang saling berkesinambungan dalam prinsip checks and balances. Uji formil yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi merupakan kontrol terhadap proses pembentukan hukum yang menjadi kewenangan kekuasaan bidang legislasi oleh lembaga yudisial, yaitu upaya kontrol terhadap pembentukan hukum dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Uji formil Undang-Undang merupakan proses pemeriksaan yang dilakukan terhadap prosedur keabsahan pembentukan Undang-Undang. Proses itu dilakukan atas permohonan yang diajukan masyarakat ke Mahkamah Konstitusi terhadap suatu Undang-Undang yang dianggap menyalahi peraturan pembentukannya. Penelitian ini menganalisis terkait putusan uji formil nomor 91/PUU-XVIII/2020 terhadap pembentukan Perpu Cipta Kerja dan implikasi yang terjadi atas pembentukan Perpu tersebut sebagai tindak lanjut dari putusan Mahkamah Konstitusi. ......This research was conducted with the aim of analyzing the problem of forming Government Regulations in Lieu of Law Number 2 of 2022 concerning Job Creation as a follow-up to the Constitutional Court decision Number 91/PUU-XVIII/2020. Constitutional Court Decision Number 91/PUU-XVIII/2020 concerning formal review of Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation which declared it conditionally unconstitutional as long as it was not interpreted, did not make improvements within 2 years of the decision being pronounced. Review of laws is a mutually continuous process based on the principle of checks and balances. The formal test carried out by the Constitutional Court is controlling the process of law formation which is the authority of legislative power by the judiciary, namely efforts to control the formation of laws in the Indonesian constitutional system. Formal testing of a law is an examination process carried out on the procedures for the validity of the formation of a law. This process is carried out based on requests from the public to the Constitutional Court regarding a law that is deemed to violate the rules for its creation. Tihs research analyzed namely those related to the formal test decision number 91/PUU-XVIII/2020, the implications and implementation of the Constitutional Court Decision concerning establishment of the Job Creation Perpu and the implications that occured for the formation of the job Creation Perpu as an action continued the decision of the Constitutional Court.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anisah Marwah Nabilah
Abstrak :

Dalam pelaksanaan proses Sertifikasi Halal, terdapat beberapa hal yang menjadi keluhan bagi para UMKM ialah hal yang terkait dengan biaya, rumitnya proses Sertifikasi Halal, dan lamanya waktu audit untuk sebuah produk. Saat ini pemerintah membentuk suatu rancangan undang-undang yakni RUU Cipta Kerja. Rancangan Undang-Undang ini mengubah beberapa pasal dalam Undang-Undang Jaminan Produk Halal (JPH) dengan tujuan untuk menyederhanakan proses sertifikasi halal. Beberapa pasal yang diubah adalah pasal-pasal yang terkait dengan biaya sertifikasi halal untuk pelaku UMKM, ketentuan mengenai sanksi, serta optimalisasi peran beberapa lembaga di dalam proses sertifikasi halal. Penelitian ini memiliki tujuan untuk menganalisis pengaruh RUU Cipta Kerja Omnibus Law dalam upaya untuk mengoptimalisasikan Sertifikasi Halal di Indonesia. Dalam hal ini, penelitian yang dilakukan merupakan suatu penelitian yang berbentuk yuridis – normatif yakni dengan melakukan penelaahan terhadap bahan hukum primer, sekunder, maupun tersier guna menjawab permasalahan yang merupakan permasalahan inti dari penelitian. Berdasarkan penelitian, dengan adanya rencana perubahan beberapa pasal yang terkait dengan Proses Sertifikasi Halal pada RUU Cipta Kerja Omnibus Law dipandang dapat menjadi upaya untuk melakukan optimalisasi terhadap proses Sertifkasi Halal di Indonesia. Namun, tak hanya memiliki kelebihan berupa upaya optimalisasi, nyatanya terdapat pula dampak kekurangan dari adanya RUU Cipta Kerja Omnibus Law.

 


In Halal Certification process, there are several things that become complaints for MSMEs that are related to costs, the complexity of the Halal Certification process, and time audits. At present, the government is processing a new regulation, namely The Omnibus Working Copyright Bill.This draft law amends several articles in the Halal Product Guarantee Act with the aim of simplifying the halal certification process. Some of the amended articles are articles related to the cost of halal certification for MSME actors, provisions on sanctions, and optimization of the role of several institutions in the halal certification process. This research aims to analyze the influence The Omnibus Working Copyright Bill in an effort to optimize the Halal Certification process. In this case, the research conducted is a research consisting of juridical - normative research by conducting a review of primary, secondary, and tertiary legal materials in order to answer the questions that are at the core of the research. Therefore, with the plan to amend several articles related to the Halal Certification Process in The Omnibus Working Copyright Bill, the related Act can be an effort to optimize the Halal Certification process in Indonesia. In this case, not only advantages, The Omnibus Working Copyright Bill can also bring disadvantages.

 

Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hartini Retnaningsih
Abstrak :
RUU Cipta Kerja (RUU Ciptaker yang merupakan omnibus law) mendapat banyak kritik akibat keresahan pekerja yang khawatir akan kehilangan atau berkurang kesejahteraannya. Tulisan ini mengkaji masalah kesejahteraan pekerja dalam kaitannya dengan RUU Cipta Kerja. Dalam hal ini perlu pembahasan yang cermat terkait kesejahteraan pekerja. Diharapkan UU Cipta Kerja nantinya dapat memberikan kemudahan usaha dan membuka peluang yang luas bagi investasi, namun tanpa mengabaikan kesejahteraan pekerja. Alasannya, pekerja adalah aset vital bagi perusahaan, karena tanpa adanya pekerja yang handal dan produktif maka perusahaan tidak akan mampu menghasilkan produk berupa barang dan atau jasa yang berkualitas. Terkait kesejahteraan pekerja, ada beberapa hal yang layak diperhatikan dalam pembahasan RUU Ciptaker yaitu: 1)Upah; 2)Pesangon; 3)Outsourcing; 4)Tenaga Kerja Asing (TKA); 5) Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek). Pembahasan RUU Ciptaker perlu melibatkan semua stakeholder terkait termasuk pekerja. Kesejahteraan pekerja menjadi hal penting yang perlu dicermati, agar UU Ciptaker nantinya dapat menjadi payung hukum bagi investasi usaha yang sehat serta dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Diharapkan kesejahteraan pekerja akan menjadi bagian penting dari pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional.
Jakarta: Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI, 2020
320 PAR 2:1 (2020)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Dwiki Alfajri
Abstrak :
Kebijakan royalti 0% pada perusahaan batubara yang melakukan hilirisasi diharapkan dapat membantu meningkatkan Pendapatan Negara untuk kesejahteraan rakyat, sesuai dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Namun, kebijakan ini juga berpotensi menyebabkan eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam dan akan berpengaruh pada sektor lainnya. Oleh karena itu, penelitian dilakukan untuk mengkaji perkembangan regulasi mengenai hilirisasi sebelum Undang-Undang Cipta Kerja diterbitkan, pelaksanaan hilirisasi, dan implikasi kebijakan royalti 0% pada pengusaha batubara yang melakukan hilirisasi. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian doktrinal. Penelitian ini mengkaji data sekunder yang diperoleh melalui penelusuran literatur atau studi kepustakaan terkait isu isu yang diteliti. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan hilirisasi belum menyeluruh dilakukan oleh pelaku usaha pertambangan. Kebijakan royalti 0% bertujuan mendorong pelaku usaha untuk melakukan hilirisasi, namun juga berdampak negatif pada penerimaan negara, pemanfaatan sumber daya alam, dan ketahanan energi nasional. Namun, di sisi positif, kebijakan ini mendorong transisi energi, meningkatkan nilai tambah batubara, dan menciptakan lapangan pekerjaan. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk mempertimbangkan semua dampak baik positif maupun negatif dalam merumuskan kebijakan royalti tambang batubara, demi keseimbangan dan memperhatikan kepentingan jangka pendek dan jangka panjang bagi negara, masyarakat, dan lingkungan. ......The 0% royalty policy for downstream coal companies is expected to help increase State Revenue for the welfare of the people, in accordance with Article 33 paragraph (3) of the 1945 Constitution. However, this policy also has the potential to cause massive exploitation of natural resources and will affect other sectors. Therefore, research was conducted to examine the development of regulations regarding downstream before the Job Creation Law was issued, the implementation of downstream, and the implications of the 0% royalty policy for coal entrepreneurs who carry out downstreaming. In this research, the writer uses doctrinal research method. This study examines secondary data obtained through literature searches or literature studies related to the issues studied. The results of the study indicate that the implementation of downstream mining has not been comprehensively carried out by mining business actors. The 0% royalty policy aims to encourage business actors to downstream, but it also has a negative impact on state revenues, utilization of natural resources, and national energy security. However, on the positive side, this policy encourages the energy transition, increases the added value of coal, and creates jobs. Therefore, it is important for the government to consider all impacts, both positive and negative, in formulating a coal mining royalty policy, for the sake of balance and taking into account short-term and long-term interests for the state, society and the environment.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silaban, Dame Maria
Abstrak :
Terdapat paradoks antara perlindungan lingkungan hidup dengan iuran produksi (royalti) batubara 0% (nol persen) dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Adanya aspek resiko kerusakan lingkungan yang harus diperhitungkan Negara pada kegiatan pertambangan batubara maka sebagian dari royalti seharusnya dapat dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat termasuk salah satunya untuk mengembalikan fungsi lingkungan yang terdampak kegiatan pertambangan batubara. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, royalti batubara bukan ditambah melainkan dikurangi, padahal ada biaya pemulihan lingkungan (public compensation) yang harus dipertimbangkan atas terganggunya aspek ekologi pada kegiatan pertambangan batubara, yaitu kerusakan lingkungan dan ekosistem akibat aktivitas penambangan batubara. Seharusnya Negara dalam menentukan nilai royalti batubara mempertimbangkan aspek ekologi tersebut yang mana sebagian dari royalti tersebut dapat dipergunakan untuk mengembalikan fungsi lingkungan dan pemulihan (restorasi) ekosistem termasuk rehabilitasi lingkungan yang terdampak. ......There is a paradox between environmental protection with 0% (zero percent) coal production fee (royalty) in Law No.11 of 2020 regarding Job Creation. The risk existence of environmental damage that must be taken into account by the State in coal mining activities, then part of the royalties should be used as much as possible for the prosperity of the people, including to restore environmental functions affected by coal mining activities. In Law No.11 of 2020 regarding Job Creation, coal royalties are not increased but even reduced, even though there are environmental restoration costs (public compensation) that must be considered for effecting the ecological aspects of coal mining activities, namely environmental and ecosystem damage due to coal mining activities. The State should in determining the value of coal royalties consider the ecological aspects in which part of the royalties can be used to restore environmental functions and ecosystem restoration (restoration), including rehabilitation of the affected environment.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indar Dewi
Abstrak :
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta kerja) mengatur beberapa perubahan diantaranya dalam hal penataan ruang. UU yang diusung dengan metode Omnibus Law ini dilakukan sebagai upaya penyederhanaan regulasi yang terlalu panjang dan berbelit. Pemerintah bermaksud memangkas sejumlah aturan yang terlalu banyak (hyper regulation) dan saling tumpang tindih dalam implementasinya. Dalam hal perubahan paradigma penataan ruang pasca UU cipta kerja, terobosan yang dicanangkan berorientasi dalam memudahkan investasi serta efisiensi pemanfaatan ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan sehingga akan berdampak pada penciptaan lapangan kerja. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif yang menggunakan data sekunder sebagai data utama berupa peraturan perundang-undangan dan literatur lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perubahan paradigma penataan ruang  pasca berlakunya UU Cipta Kerja. Adapun hasil penelitian ini bahwa peraturan Penataan Ruang dalam UU Cipta Kerja bisa dikatakan telah mengakomodasi penyelenggaraan tata ruang yang ideal bahwasanya paradigma baru dalam UU Cipta Kerja bisa dikatakan cukup signifikan. Hal ini dikarenakan UU Cipta Kerja mampu menyederhanakan aturan-aturan yang saling tumpang tindih serta mengupayakan percepatan dalam proses yang cenderung lama dan berbelit. Perencanaan penataan ruang juga telah menjadi rujukan atau pedoman dalam hal perizinan, yakni melalui Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR). Dengan Demikian perlu adanya sinergi yang baik antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, maupun masyarakat selaku objek dari hukum itu sendiri. ......Act Number 11 of 2020 concerning Job Creation (UU Cipta Kerja) regulates several changes including spatial planning. The act, which carried by using the Omnibus Law method, was carried out as an effort to simplify regulations that were too long and convoluted. The government intends to cut a number of regulations that are too excesive (hyper regulation) and overlap in their implementation. In terms of changing the spatial planning paradigm after the UU Cipta Kerja, the proposed breakthrough is oriented towards facilitating investment and efficient use of safe, comfortable, productive, and sustainable space that will have an impact on job creation. This research is a normative juridical research that uses secondary data as the main data in the form of legislation and other literature. This study aims to analyze the paradigm shift in spatial planning after the enactment of the Job Creation act. The results of this study indicate that the Spatial Planning regulations in the Job Creation act can be said to have accommodated the ideal spatial arrangement that the new paradigm in the Job Creation act is quite significant. This is because the Job Creation act is able to simplify overlapping rules and strive for acceleration in processes that tend to be long. Spatial planning has also become a reference or guideline in terms of licensing, namely through the Suitability of Spatial Utilization Activities (KKPR). Thus, it is necessary to have a good synergy between the Central Government, Regional Government, and the community as the object of the law itself.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfiansyah
Abstrak :
Pemerintah desa memiliki peran yang sangat vital dalam proses pembangunan nasional karena dari lingkup desa pembangunan dapat dimulai. Untuk mendukung pembangunan desa, maka desa diberikan kewenangan untuk mendirikan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). BUMDes sebagai badan usaha dilingkungan desa diharapkan dapat meningkatkan perekonomian desa dan mensejahterakan masyarakat desa. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) tidak menyebutkan secara tegas bentuk badan usaha dari BUMDes sehingga menimbulkan berbagai permasalahan mengenai bentuk badan usaha dan pendirian BUMDes di desa-desa tak terkecuali dialami oleh BUMDes Cipayung yang didirikan oleh Pemerintah Desa Cipayung. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) merubah beberapa pasal dalam UU Desa diantaranya mengenai BUMDes. Dalam UU Cipta Kerja disebutkan secata tegas BUMDes sebagai badan hukum. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui status keuangan BUMDes berdasarkan hukum keuangan publik dan mengetahui status BUMDes Cipayung berdasarkan UU Desa serta implikasi atas berlakunya UU Cipta Kerja. Metode penelitian yang digunakan yaitu yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder. Berdasarkan data yang di peroleh dan di analisa dapat disimpulkan status keuangan BUMDes termasuk ke dalam hukum keuangan publik yang terpisah dari keuangan pemerintah desa dan dengan berlakunya UU Cipta Kerja maka BUMDes sebagai badan hukum telah diakui secara resmi oleh peraturan perundang-undangan. ......The village government has a very vital role in the national development process because, from the scope of the village, development can be started. To support village development, villages are given the authority to establish Village-Owned Enterprises (BUMDes). BUMDes as a business entity in the village environment is expected to improve the village economy and prosper the village community. Law Number 6 of 2014 concerning Villages (Village Law) that does not explicitly state the form of business entity from BUMDes causing various problems regarding the form of business entities and the establishment of BUMDes in villages, including the Cipayung BUMDes which was established by the Village Government of Cipayung. Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation (Job Creation Law) changes several articles in the Village Law, including those regarding BUMDes. In the Job Creation Law, it is clearly stated that BUMDes is a legal entity. This study aims to determine the financial status of BUMDes based on public finance law and determine the status of Cipayung BUMDes based on the Village Law and the implications of the enactment of the Job Creation Law. The research method used is a normative juridical method using secondary data. Based on the data obtained and analyzed, it can be concluded that the financial status of BUMDes is included in public finances that is separate from village government finances, and with the enactment of the Job Creation Law, BUMDes as a legal entity has been officially recognized by rules of laws.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Weltri Febrian Bakara
Abstrak :
Studi ini bertujuan untuk melihat strategi pembingkaian dan diskursus publik pada gerakan mahasiswa Universitas Indonesia (UI) terkait menolak RUU Cipta Kerja. Gerakan tersebut dibangun oleh aliansi mahasiswa atas sebagian kontribusi buruh dan jaringan masyarakat sipil. Meskipun dipandang memiliki kompetensi akademik sebagai sumber kekuatannya, gerakan tidak serta merta muncul dari kesadaran subjektif individu mahasiswa, melainkan mobilisasi yang diorganisir oleh aktivis mahasiswa. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif yang berfokus pada pembingkaian diagnostik, prognostik, dan motivasional serta diskursus dengan pengumpulan data melalui wawancara mendalam, studi literatur, dan observasi daring. Hasil penelitian menunjukkan gerakan mahasiswa UI menggunakan tiga jenis strategi pembingkaian, yaitu diagnostik yang menggambarkan sasaran lawan dan memacu kesadaran masyarakat terhadap ketidakadilan, prognostik yang membantu akses edukasi dan komunikasi terkait isu RUU Cipta Kerja, dan motivasional yang mendorong partisipasi individu dalam upaya perubahan sosial. Meskipun demikian, pergerakan mahasiswa UI masih bergantung pada kekuatan yang terinstitusionalisasi, yakni Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), sehingga animo pengawalan isu meredup ketika BEM tidak aktif mengingat pengaruh ideologi gerakan moral yang mengakar. Selain itu, penelitian ini menunjukkan bahwa perhatian terhadap masalah formil dalam RUU Cipta Kerja tampak menghasilkan diskursus-diskursus baru, seperti persoalan material RUU Cipta Kerja, represi aparat dalam aksi-aksi protes, serta praktik lain dengan efek kuasa didalamnya. ......This study aims to see framing strategies and public discourse on the University of Indonesia student movement related to rejecting the Job Creation Bill. The movement was built by a student alliance on part of the contributions of workers and civil society networks. Although seen as having academic competence as a source of strength, the University of Indonesia student movement does not necessarily arise from individual subjective awareness but rather formed by organized mobilization initiated by student activists. This research utilized a descriptive qualitative approach, focusing on diagnostic, prognostic, and motivational framing, as well as discourse analysis, with data collected through in-depth interviews, literature study, and online observations. The results of the study show that the UI student movement uses three types of framing strategies, namely diagnostics which describes opposing targets and spurs public awareness of injustice, prognostic which helps access education and communication related to the Job Creation Bill issue and motivational that encourages individual participation in social change efforts. Nonetheless, the UI student movement still depends on institutionalized forces, namely the Student Executive Body (BEM), so the interest in overseeing the issue dimmed when BEM was inactive referred to the influence of the deep-rooted moral movement ideology. In addition, this research shows that attention to formal issues in the Job Creation Bill generates new discourses, such as material issues in the Job Creation Bill, apparatus repression in protest actions, and other practices with the effect of power in it.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Raehan Anis Fadila
Abstrak :
Diskursus mengenai jumlah pendiri koperasi kembali bergulir setelah diinisiasikannya Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dibahas mengenai jumlah minimum pendiri koperasi yang hanya mensyaraktan didirikan oleh 3 orang saja. Hal ini tentunya menimbulkan berbagai perdebatan di kalangan pegiat koperasi. Pada tahun 2020, terbitlah UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja di mana terdapat pengaturan mengenai jumlah pendiri koperasi primer yang turun menjadi 9 orang saja. Metode penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah yuridis-normatif. Rumusan masalah dari skripsi ini ialah sejarah perkembangan pengaturan mengenai jumlah pendiri dan keanggotaan koperasi di Indonesia sejak jaman kolonial dan perbandingan mengenai pengaturan jumlah pendiri dan keanggotaan koperasi antara Indonesia, Britania Raya, dan Singapura. Simpulan pertama dari skripsi ini ialah bahwa pada pengaturan perkoperasian di Indonesia pada jaman kolonial belum diatur mengenai jumlah pendiri. Perihal keanggotaan, untuk pengaturan yang berlaku bagi pribumi telah sesuai dengan asas dan prinsip koperasi, sementara itu untuk pengaturan yang berlaku bagi non pribumi terdapat pengaturan yang belum sesuai dengan asas dan prinsip koperasi. Untuk pengaturan setelah jaman kolonial telah diatur mengenai jumlah pendiri di mana pada awalnya diatur 25 orang lalu turun menjadi 20 orang, dan terakhir menjadi 9 orang saja. Perihal keanggotaan, UU No. 14 tahun 1965 tidak sesuai dengan asas dan prinsip koperasi, selain dari pada UU tersebut telah sesuai dengan asas dan prinsip koperasi. Simpulan kedua dari penelitian ini ialah pengaturan mengenai jumlah pendiri di Britania Raya berdasarkan Cooperative Act 2014 yakni 3 orang saja. Mengenai kualifikasi keanggotaannya yakni usia kurang dari 18 tahun dapat menjadi anggota kecuali diatur lain oleh aturan internal koperasi. Sementara itu, di Singapura berdasarkan CSA 2009 jumlah pendirinya yakni 5 orang dan kualifikasi keanggotaannya yakni minimum usianya 16 tahun. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan kepada pemerintah untuk membentuk UU Perkoperasian yang baru agar sesuai dengan perkembangan jaman. ......The discourse on the number of cooperative founders started again after the initiation of the Job Creation Bill. In the discussion of the Job Creation Bill, it was discussed the minimum number of cooperative founders which only required 3 people to be founded. This of course has led to various debates among cooperative activists. In 2020, Law no. 11 of 2020 concerning Job Creation, where there is a regulation regarding the number of founders of primary cooperatives which decreases to only 9 people. The research method in writing this thesis is juridicalnormative. The formulation of the problem of this thesis is the history of the development of arrangements regarding the number of cooperative founders and memberships in Indonesia since the colonial era and the comparison of the arrangement of the number of founders and membership of cooperatives between Indonesia, Great Britain and Singapore. The first conclusion of this thesis is that in the regulation of cooperatives in Indonesia during the colonial era, the number of founders had not been regulated. Regarding membership, the arrangements that apply to natives are in accordance with the principles and principles of cooperatives, meanwhile for the arrangements that apply to non-natives there are arrangements that are not in accordance with the principles and principles of cooperatives. In the post-colonial era, the number of founders was arranged, which initially set 25 people, then decreased to 20 people, and finally only 9 people. Regarding membership, Law no. 14 of 1965 is not in accordance with the principles and principles of cooperatives, apart from the law, it is in accordance with the principles and principles of cooperatives. The second conclusion from this research is the regulation regarding the number of founders in the United Kingdom based on the Cooperative Act 2014, which is only 3 people. Regarding membership qualifications, namely those under 18 years of age can become members unless otherwise regulated by the cooperative's internal rules. Meanwhile, in Singapore based on CSA 2009 the number of founders is 5 people and the minimum qualification for membership is 16 years. This research is expected to provide information and input to the government to form a new Cooperative Law to suit the times.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>