Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Tiyana Sigi Pertiwi
Abstrak :
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan hukum internasional untuk keselamatan penerbangan sipil terhadap bahan dan barang berbahaya dalam pesawat udara beserta metode penerapannya dalam tingkat internasional dan nasional. Metode penelitian yang digunakan bersifat yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder, diantaranya peraturan perundang-undangan dan buku. Kesimpulan yang diambil dari skripsi ini yaitu keselamatan bahan dan barang berbahaya di udara secara umum diatur oleh Annex 18 Konvensi Chicago 1944 yang harus ditaati oleh semua negara anggota ICAO. Dalam perkara ini, hukum yang digunakan adalah hukum nasional negara anggota ICAO, yaitu Amerika Serikat, yang telah mengadopsi ketentuan Annex 18 Konvensi Chicago ke dalam undang-undangnya, yaitu USC 49.
This thesis aims to learn how international law governs civil aviation safety measures on dangerous goods that are carried onboard an aircraft and its methods of implementations, both internationally and nationally. This research is conducted in normative juridical sense using secondary data, such as legislation, textbooks, and journals. The conclusion of this thesis is that civil aviation safety on dangerous goods carried onboard aircraft is generally governed by Annex 18 Chicago Convention 1944 in which it must be complied with by all members of ICAO. According to the case of United States v. SabreTech, the governing law used in court is the national law of the respective ICAO members, which is in this case United States of America’s national law, USC 49. This certain law has previously adopted standards contained in Annex 18 Chicago Convention.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S45483
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Citra Yuda Nur F.
Abstrak :
Skripsi ini membahas pengaturan mengenai penumpang indisipliner di dalam tiga instrumen hukum internasional, yaitu Konvensi Tokyo 1963, Annex 17 Konvensi Chicago 1944, dan peraturan yang dikeluarkan oleh ICAO, ICAO Guidance Material on the Legal Aspects of Unruly/Disruptive Passengers, serta penerapannya di dalam praktik legislasi nasional negara Amerika Serikat, Inggris, dan Indonesia dengan mengambil beberapa studi kasus. Melalui perbandingan penerapan hukum terhadap beberapa studi kasus penumpang indisipliner di ketiga negara tersebut, diharapkan dapat ditemukan praktik terbaik (best practices) dalam hal penanganan penumpang indisipliner dalam penerbangan sipil internasional. Penelitian dalam skripsi ini dilaksanakan dalam bentuk penelitian hukum yuridis-normatif. Hasil penelitian menyarankan agar otoritas penyelenggara penerbangan sipil, dalam hal ini Direktorat Jenderal Kementerian Perhubungan Republik Indonesia dapat menyusun suatu prosedur khusus untuk menangani penumpang indisipliner dalam dunia penerbangan sipil di Indonesia.
This thesis discusses the regulation on unruly/disruptive passengers in three instruments of international law, namely the Tokyo Convention 1963, Annex 17 of the Chicago Convention of 1944, and the regulations issued by ICAO, ICAO Guidance Material on the Legal Aspects of Unruly/Disruptive Passengers, as well as its application in national legislation practices in three countries, United States, United Kingdom, and Indonesia, by comparing several case studies. Through the comparison of the application of the law to the unruly/disruptive passengers based on the case studies in those three countries, it’s expected to find best practices in terms of handling the unruly/disruptive passengers in the international civil aviation. This thesis research method is conducted in the form of juridicalnormative legal research. The result of this thesis suggests the Indonesia national civil aviation authority, in this case the Directorate General of Civil Aviation of the Ministry of Transport of the Republic of Indonesia, establish a special procedure in terms of handling the unruly/disruptive passengers in Indonesia.
Universitas Indonesia, 2014
S53668
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rhahadian Bima Saputra
Abstrak :
ABSTRAK
Industri penerbangan sipil di Indonesia telah dinominasikan oleh beberapa lembaga survei sebagai industri dengan tingkat keselamatan terendah di dunia. Banyaknya kecelakaan penerbangan sipil di Indonesia disebabkan oleh sistem manajemen keselamatan yang buruk. Menurut Maintenance Error Decision Aid (MEDA), saat ini, 80% kecelakaan penerbangan disebabkan oleh kesalahan manusia (pilot, pengontrol lalu lintas udara, mekanik, dll). Hasil ini berbeda dibandingkan dengan tahun-tahun awal industri penerbangan yang 80% kecelakaan disebabkan oleh kegagalan mesin. Oleh karena itu, kita harus menemukan metode yang paling tepat untuk menganalisis kecelakaan penerbangan untuk mencegah terulangnya hal itu. Penerbangan sipil berjadwal di Indonesia hampir mewakili semua penerbangan sipil karena masih belum umumnya industri general aviation di Indonesia. Oleh karena itu, penelitian ini mengusulkan model analisis dan investigasi kecelakaan yang dimodifikasi berdasarkan swiss cheese model untuk mengidentifikasi faktor manusia dan organisasi yang terkait dalam kecelakaan penerbangan sipil berjadwal. Model ini akan terdiri dari kategori dan subkategori yang dikembangkan oleh model sebab-akibat yang dikombinasikan dengan hukum dan peraturan yang berlaku serta praktik sistem manajemen keselamatan di industri penerbangan sipil berjadwal di Indonesia. Model yang diusulkan diharapkan dapat menganalisis kecelakaan penerbangan sipil terjadwal dengan lebih baik dan jelas serta membantu manajemen untuk mengambil tindakan keselamatan yang diperlukan untuk mencegah terulangnya kecelakaan.
ABSTRACT
Civil aviation industry in Indonesia has been nominated by some survey institutes to be the lowest in safety rating in the world. This is caused by poor safety management system which lead to many civil aviation accidents in Indonesia. According to Maintenance Error Decision Aid (MEDA), nowadays, 80% of aviation accident are due to human error (pilots, air traffic controllers, mechanics, etc). This result differ compared to the early years of the aviation industry which is 80% of accident are caused by machine failure. Therefore, we have to find the most appropriate method to analyze an aviation accident in order to prevent its reccurence. In Indonesia, scheduled civil aviation almost represent all civil aviation in the country. Therefore, This research proposed a modified accident analysis and investigation model based on swiss cheese model to identify the human and organizational factors involved in scheduled civil aviation accidents. The model will be consist of categories and subcategories which is developed by classic ancient causation models combined with the laws and regulation in Indonesia and a safety management system practices in the scheduled civil aviation industry. The proposed model is expected to be able to analyze scheduled civil aviation accident better and clearer and help the management to take a safety action needed to prevent the recurence of accidents.
2019
T54249
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zarra Aziza
Abstrak :
Campur tangan negara dalam penyelenggaraan keselamatan penerbangan sipil dimaktubkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Negara mempunyai kewajiban untuk menyediakan pelayanan kesehatan sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar NRI, termasuk kesehatan penerbangan. Sebelum terbang, sebagaimana telah diatur dalam Civil Aviation Safety Regulations (CASR) 121.535 (a) dan (b) dan CASR 135.537, pilot in command, co-pilot, awak kabin, dan flight engineer wajib untuk dilakukan pengecekan kesehatannya sebelum terbang. Hal ini disebut dengan pre-flight medical check. Namun, kejadian berupa penerbangan yang terganggu akibat kesehatan pilot yang kurang baik kerap kali terjadi. Penulis melakukan penelitian untuk menganalisis penerapan kewajiban tersebut di bandar udara terbesar di Indonesia, Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Metode penelitian yang digunakan dalam melakukan penelitian ini adalah metode penelitian yuridis-normatif, dengan hasil bahwa penerapan Civil Aviation Safety Regulations (CASR) mengenai kewajiban pre-flight medical check pada operator penerbangan sipil di Bandara Soekarno Hatta sudah dijalankan pada sebagian maskapai, walaupun tidak semua maskapai mempunyai fasilitas kesehatan sendiri berupa unit kesehatan penerbangan. Terdapat beberapa peraturan yang menyebabkan kurang jelasnya pembebanan tanggung jawab atas kewajiban tersebut. Tidak ada pula peraturan yang mengatur mengenai sanksi terhadap operator penerbangan yang tidak melaksanakan ketentuan-ketentuan ini. Maskapai-maskapai yang masih lalai dalam mematuhi peraturan pre-flight medical check harus segera melaksanakannya. Kementerian Perhubungan dan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia harus membuat aturan yang lebih jelas mengenai pre-flight medical check serta pengadaan fasilitas kesehatan penerbangan, sehingga tidak menimbulkan ambiguitas mengenai pihak mana yang harus hadir dalam penyediaan upaya pelayanan kesehatan tersebut. ......Indonesia State intervention in the enforcement of civil aviation safety is stipulated in various laws and regulations. The state has an obligation to provide health services as mandated by the Constitution, including aviation health. Before flying, as stipulated in Civil Aviation Safety Regulations (CASR) 121.535 (a) and (b) and CASR 135.537, pilots in command, co-pilots, cabin crew and flight engineers are required to have their health checked before flying. This is called “pre-flight medical check”. However, incidents in the form of disrupted flights due to poor pilot health often occur. The author conducted research to analyze the implementation of these obligations at the largest airport in Indonesia, Soekarno-Hatta International Airport. The research method used in conducting this research is the juridical-normative research method, with the result that the implementation of the Civil Aviation Safety Regulations (CASR) regarding the obligation of pre-flight medical check on civil aviation operators at Soekarno Hatta Airport has been carried out on some airlines, although not all airlines have their own health facilities in the form of an aviation health unit. There are several regulations that cause the imposition of responsibility for these obligations is unclear. There are also no regulations governing sanctions against airline operators who do not implement these provisions. Airlines that are still negligent in complying with the pre-flight medical check regulations must immediately carry it out. The Ministry of Transportation and The Ministry of Health Republic of Indonesia must make clearer rules regarding pre-flight medical checks and the procurement of aviation health facilities, so as not to cause ambiguity about which parties should be present in providing these health service efforts.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Almer Theda Alana
Abstrak :
Pada prinsipnya, ICJ hanya memiliki yurisdiksi asli, di mana ICJ bertindak sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir. Namun, beberapa perjanjian internasional ICAO memberikan yurisdiksi banding kepada ICJ, di mana ICJ bertindak sebagai pengadilan tingkat banding dari Dewan ICAO. Adapun ICJ telah menjatuhkan tiga putusan sebagai pengadilan tingkat banding dari Dewan ICAO. Walaupun demikian, instrumen hukum ICJ dan ICAO serta praktik ICJ dalam putusan-putusannya tidak memberikan landasan yang komprehensif mengenai yurisdiksi banding ICJ. Oleh karena itu, penelitian ini menganalisis (1) dasar hukum dan ruang lingkup yurisdiksi ICJ sebagai pengadilan tingkat banding dari Dewan ICAO berdasarkan instrumen hukum ICJ dan ICAO; (2) praktik penerapan yurisdiksi ICJ sebagai pengadilan tingkat banding dari Dewan ICAO dalam Kasus ICAO 1972; dan (3) konsistensi praktik penerapan yurisdiksi ICJ sebagai pengadilan tingkat banding dari Dewan ICAO dalam Kasus ICAO 2020. Melalui penelitian dengan metode yuridis normatif dan pendekatan kualitatif, dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, Pasal 84 Konvensi Chicago, Pasal II(2) IASTA, serta Pasal 36(1) dan 37 Statuta ICJ menjadi dasar hukum yurisdiksi ICJ sebagai pengadilan tingkat banding dari Dewan ICAO; tetapi instrumen hukum ICJ dan ICAO tidak mengatur secara spesifik mengenai ruang lingkup yurisdiksi tersebut. Kedua, praktik ICJ dalam Kasus ICAO 1972 memperjelas ruang lingkup yurisdiksi bandingnya—terutama mengenai jenis putusan yang dapat diajukan banding, yakni meliputi bukan hanya putusan Dewan ICAO atas merits, tetapi juga atas yurisdiksi; serta ruang lingkup peninjauan yang diterapkan pada persidangan banding, yakni standar peninjauan de novo. Ketiga, praktik ICJ dalam Kasus ICAO 2020 konsisten dengan praktiknya dalam Kasus ICAO 1972; dan semakin memperjelas ruang lingkup yurisdiksi banding ICJ—terutama memperjelas bahwa standar peninjauan de novo diterapkan bukan hanya terhadap pertanyaan hukum, tetapi juga terhadap pertanyaan fakta. ......In principle, the ICJ only has an original jurisdiction, wherein it acts as a court of first and last instance. However, several ICAO treaties provide the ICJ with an appellate jurisdiction, wherein it acts as a court of appeal from the ICAO Council. The ICJ has rendered three judgments as a court of appeal from the ICAO Council. Nevertheless, the legal instruments of the ICJ and ICAO as well as the ICJ’s practice in its judgments do not provide a comprehensive basis regarding the ICJ’s appellate jurisdiction. Therefore, this study analyzes (1) the legal basis and scope of the ICJ’s jurisdiction as a court of appeal from the ICAO Council based on the legal instruments of the ICJ and ICAO; (2) the practice in applying the ICJ’s jurisdiction as a court of appeal from the ICAO Council in the 1972 ICAO Case; and (3) the consistency of the practice in applying the ICJ’s jurisdiction as a court of appeal from the ICAO Council in the 2020 ICAO Case. Through research using normative juridical method and qualitative approach, the following conclusions can be drawn. First, Article 84 of the Chicago Convention, Article II(2) of the IASTA, as well as Articles 36(1) and 37 of the ICJ Statute constitute the legal basis of the ICJ’s jurisdiction as a court of appeal from the ICAO Council; but the legal instruments of the ICJ and ICAO do not specifically regulate the scope of that jurisdiction. Second, the ICJ’s practice in the 1972 ICAO Case clarifies the scope of its appellate jurisdiction—particularly regarding the types of decisions that are subject to appeal, which include not only the ICAO Council’s decisions on the merits, but also on jurisdiction; and the scope of review that applies in appellate proceedings, namely a de novo standard of review. Third, the ICJ’s practice in the 2020 ICAO Case is consistent with its practice in the 1972 ICAO Case; and further clarifies the scope of the ICJ’s appellate jurisdiction—particularly by clarifying that a de novo standard of review is applied not only to questions of law, but also to questions of fact.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Larasati Harryndra Utami
Abstrak :
ABSTRAK
Laporan magang ini bertujuan untuk menganalisis perlakuan akuntansi terhadap Piutang PNBP atas Pelayanan Jasa Navigasi Penerbangan PJNP pada Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. Analisis dilakukan pada periode Semester I Tahun Anggaran 2017. PJNP dibagi menjadi dua, yaitu 1 pelayanan jasa navigasi dengan pendelegasian ruang udara Indonesia tertentu kepada negara lain, yang diwakili oleh debitur Civil Aviation Authority of Singapore CAAS dan 2 pelayanan jasa navigasi yang dilakukan oleh debitur AirNav Indonesia. Kesimpulan laporan magang ini adalah Piutang PNBP atas PJNP masih memiliki permasalahan dan belum berjalan secara optimal sesuai dengan penerapan akuntansi piutang berbasis akrual. Hal tersebut terutama terjadi pada tahapan pengakuan dan pencatatan, yang berdampak pada belum andalnya nilai yang disajikan dalam laporan keuangan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. Rekomendasi atas temuan tersebut berupa melakukan lobi kepada ICAO agar dilakukan pengambil-alihan Flight Information Region FIR untuk wilayah udara Sektor A oleh Pemerintah Indonesia, memperbaharui beberapa ketetapan dan peraturan terkait penetapan Piutang PNBP debitur CAAS dan AirNav Indonesia, serta pembuatan aplikasi terintegrasi antara pihak Direktorat Jenderal Perhubungan Udara dengan pihak terkait.
ABSTRACT
This internship report aims to analyze the accounting treatment of non tax state receivable for air navigation services at Directorate General of Civil Aviation. The analysis is conducted during the first semester of 2017. Those air navigation services are divided into two, which are 1 an air navigation services by delegation of certain airspace of Indonesia to other countries, represented by Civil Aviation Authority of Singapore CAAS as a debtor and 2 an air navigation service represented by AirNav Indonesia as a debtor. The conclusion of this internship report is non tax state receivables for air navigation services still has problems and have not been complied with the accrual based receivables accounting. This is especially true in the recognition and recording stages, which have an impact on the unfavorable value presented in the financial statements of the Directorate General of Civil Aviation. The recommendation of the findings are to lobby the ICAO for takeover the Flight Information Region FIR at Sector A airspace by the Government of Indonesia, update some provisions and regulations about the determination of non tax state receivable for debtor CAAS and AirNav Indonesia, as well as making integrated applications between the Directorate General of Civil Aviation with related parties.
2017
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library