Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 51 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dian Oktarina
"Risiko adalah kewajiban memikul kerugian jikalau ada suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang dimaksudkan dalam perjanjian. Klausula force majeure ketika mengatur mengenai hal-hal yang dapat diduga dapat mengandung unsur eksonerasi. Bagaimanakah batasan penggunaan klausula force majeure dalam perjanjian agar tidak bertentangan dengan KUHPer dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK); mengingat kegiatan usaha yang berisiko yang tinggi, dapatkah perusahaan sekuritas membebankan risiko yang lebih lugs dalam klausula force majeure kepada nasabahnya adalah masalah yang diteliti dalam tesis ini.
Metode penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah yuridis normatif, dengan data sekunder, yang dianalisis secara kualitatif. Penelitian ini bersifat deskriptif dan bentuk penelitian preskriptif, menggunakan pendekatan perundang-undangan.
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa unsur eksonerasi balk dalam klausula force majeure maupun dalam klausula baku muncul ketika posisi tawar para pihak tidak seimbang; KUHPer memperbolehkan penggunaan klausula eksonerasi selama tidak bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak; UUPK melarang penggunaan klausula eksonerasi; walaupun karakteristik perusahaan efek adalah dinamis dan penuh risiko, tetapi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal tidak memberikan keistimewaan khusus, sehingga berlaku ketentuan yang umum dalam hal penggunaan klausula eksonerasi maupun klausula force majeure yang mengandung unsur eksonerasi. Perusahaan efek seharusnya mempertimbangkan pengalokasian risiko kepada pihak ketiga sehingga risiko tidak hanya ditanggung nasabah.

Risk is an obligation to bear losses if there's something happen to the object that means to the agreement apart from one of the party mistake. Force majeure clause when arranges matter that could be predict could contain an exoneration element. How is the limit to use force majeure clause in agreement in order not to contradictory KUHPer and Republic of Indonesia Act No. 5 of 1999 concerning Consumer Protection (UUPK); Considering the risky business field, could the security company places the wider risk in the force majeure clause to their customer are the problems that are researched in this thesis.
The research method that is used is juridical normative, with the secondary data, that is analysed qualitatively. This research is descriptive and the form of the research is prescriptive, using the legislation approach.
Based on the research results are found that the exoneration element both in force majeure clause and in standard clause are emerge when the bargaining position of the side does not balance; KUHPer has permitted the use of exoneration clause as long as not compatible with the freedom to make agreement principle; UUPK has banned the use of exoneration clause; although the characteristics of the security company are dynamic and risky, Republic Indonesia Act No. 8 of 1995 concerning Capital Market does not give any special expertise, so the general policy about the use of both exoneration clause and force majeure clause that contains exoneration element are occur to security company. The Security Company ought to consider to allocating the risk to the third party so the risk does not only borne by the customer."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T19238
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hilda
"Skripsi ini membahas sengketa pembatalan suatu perjanjian yang mengandung klausula arbitrase khususnya dalam sengketa pembatalan Perjanjian Jasa Arranger antara PT. Central Investindo melawan Fransiscus Wongso dan Chan Shih Mei, ditinjau dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan putusan-putusan pengadilan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis-normatif dengan hasil deskriptif analitis yang akan menjelaskan bahwa berpegang pada kompetensi absolut arbitrase dan berdasarkan prinsip kompetenz-kompetenz, maka majelis arbitraselah yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili sengketa pembatalan suatu perjanjian yang mengandung klausula arbitrase, dan di lain pihak pengadilan tidak berwenang. Penelitian ini juga menganalisis pandangan hakim pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung yang memeriksa dan mengadili sengketa terkait dengan kompetensi dalam hal pembatalan perjanjian yang mengandung klausula arbitrase.

The focus of this study is the revocation of a contract containing an arbitration clause, specifically in dispute the between PT. Central Investindo v. Fransiscus Wongso and Chan Shih Mei according to the law on arbitration and also court decisions. This study uses a juridical-normative research method with descriptive analytical results which suggests that by upholding the absolute competence of arbitration and based on the principle of kompetenz-kompetenz, then the arbitral tribunal has the authority to rule on disputes regarding the revocation of a contract containing the arbitration clause, and on the other hand, the court of law has no jurisdiction regarding this matter. This study also analyzes the views of the district court, high court and Supreme Court in the case regarding jurisdiction in the revocation of a contract containing an arbitration clause."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S54424
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sportiche, Dominique
London: Routledge, 1998
415 SPO p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Khristine Agustina
"ABSTRACT
Sejak disahkan, masih banyak ketentuan dalam UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) yang diabaikan oleh pelaku usaha. Salah satunya adalah pencantuman klausula baku dalam karcis parkir. Apabila terjadi kehilangan kendaraan yang diparkir, selama ini konsumen menjadi pihak yang selalu dirugikan, karena pelaku usaha penyedia jasa layanan parkir menolak untuk memberikan ganti rugi dengan alasan bahwa hal tersebut merupakan tanggung jawab konsumen sebagaimana klausula yang tercantum dalam karcis parkir. Untuk itulah dilakukan penelitian mengenai perlindungan bagi konsumen pengguna jasa layanan parkir terhadap pengunaan klausula baku dalam karcis parkir berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) di wilayah kota Jakarta untuk menjawab beberapa permasalahan yaitu, bagaimana perlindungan hukum bagi konsumen pengguna jasa layanan parkir terhadap penggunaan klausula baku dalam karcis parkir berdasarkan UU No. 8 Tahun 1999 di Jakarta, jasa layanan parkir yang ada saat ini termasuk dalam perjanjian sewa menyewa atau penitipan, dan apakah Perda No.5 Tahun 1999 tentang Perparkiran bertentangan dengan UUPK. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari penelitian lapangan dengan alat wawancara dan kuesioner, sedangkan data sekunder diperoleh melalui penelitian kepustakaan. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa konsumen pengguna jasa layanan parkir kendaraan bermotor seringkali merasa dirugikan dengan penggunaan klausula baku dalam karcir parkir, karena jika terjadi kehilangan kendaraan yang diparkir, konsumen akan menemui kesulitan untuk menuntut ganti rugi, karena pelaku usaha selalu berdalih bahwa kehilangan kendaraan yang diparkir adalah tanggung jawab konsumen sendiri, sesuai ketentuan dalam karcis parkir, sehingga di sini tidak ada perlindungan hukum bagi konsumen pengguna jasa layanan parkir. Hubungan hukum yang terjadi dalam jasa layanan parkir adalah perjanjian sewa menyewa, karena didalam sewa menyewa terdapat proses pembayaran yang dilakukan oleh konsumen kepada pelaku usaha atas jasa sewa lahan parkir tersebut. Perda DKI Jakarta saat ini masih bertentangan dengan UUPK, dalam hal mengesahkan klausula baku. Kondisi ini perlu dibenahi misalnya dengan mencantumkan hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha dalam karcis parkir, disamping perlunya secara selektif dan efisien dilakukan sosialisasi UUPK di kalangan masyarakat konsumen dan pelaku usaha.

ABSTRACT
Act No. 8/1999 on Consumer Protection (ACP) still contains some provisions disregarded by business people since it was legalized in 1999. One of the disobedient actions is the standard clause inclusion on the parking ticket. So far, if the vehicle parked is missing, consumer becomes the disadvantaged party, because the parking service provider refuses to disburse compensation by the reason that the consumer is also responsible for the safety of his or her vehicle, according to the clause attached on the parking ticket. Considering the background, a research on legal protection for the parking service users against the use of standard clause added on the parking ticket according to the Act No. 8/1999 on Consumer Protection (ACP) in Jakarta City was carried out, to response few questions, how legal protection for the parking service users against standard clause added on the parking ticket according to Act No.8/1999 in Jakarta, the parking service in Jakarta is included in leasing contract or deposited contract, and does jurisdiction laws of Jakarta No.5/ 1999 contradictory with consumer protection. Data in use are primary and secondary data. Primary data are obtained from field research using interview and questionnaire instrument, while secondary data are taken through literature study. The result of the research indicates that consumer as the user of the parking service sometimes to feel a loss with the uses of the standard clause added on the parking ticket, because if the vehicle parked is missing, the consumer will have difficulty to disburse compensation, because the parking service provider always prevaricate that the loss of parked vehicle is become the consumer?s responsibility itself, according to the clause attached on the parking ticket, so there is no legal protection for the consumer as the user of the parking service. The parking service in Jakarta is included in leasing contract, because there is a payment process which done by consumer to the parking service provider. Jurisdiction laws of Jakarta at this time still contradictory with the consumer protection that which in ratification on standard clause. This condition needs to be fixed, such as with inserting the consumer and the parking service provider?s rights and compulsory, beside that it is necessary to socialization the Act Consumer Protection (ACP) in consumer and provider?s society with selective and efficient.
"
2010
T26649
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Shafina Kalia
"Dewasa ini, perkembangan aktivitas bisnis merupakan fenomena yang sangat kompleks karena mencakup berbagai bidang baik hukum, ekonomi, dan politik. Dalam kehidupan bermasyarakat, seringkali dapat dilihat bahwa aktivitas manusia dalam dunia bisnis tidak lepas dari peran Bank selaku pemberi layanan perbankan bagi masyarakat. Salah satu jenis pelayanan jasa Bank adalah kartu kredit. Di dalam pelayanan jasa Bank dibidang kartu kredit ini, terdapat tiga pihak yang terlibat di dalamnya, yakni penerbit kartu (Bank), pemegang kartu dan Merchant. Pihak penerbit kartu kredit pada umumnya telah membuat terlebih dahulu perjanjian secara sepihak anatara penerbit kartu dengan pemegang kartu, yaitu perjanjian keanggotaan kartu kredit yang dibuat dalam bentuk perjanjian baku atau klausula baku. Pengertian klausula baku menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah setiap peraturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Dalam perjanjian baku tersebut, biasanya pihak penerbit kartu kredit mempunyai posisi yang dominan, dimana klausul-klausul yang ada pada umumnya berisikan hal-hal yang memberatkan pihak pemegang kartu kredit, yang dalam hal ini disebut juga sebagai konsumen.Di dalam perjanjian kartu kredit Bank Mandiri, Citibank Dan Standard Chartered Bank sebagai suatu bentuk perjanjian baku, mempunyai suatu ketidakseimbangan yang terlihat dari adanya klausul-klausul eksonerasi (memberatkan) yang tidak adil bagi pemegang kartu kredit, dimana hal tersebut bertentangan dengan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Nowadays, the growth of business activities is a highly complex phenomenon due to it's scope on various fields such as law, economy, and politic. In daily lives, we often encountered that public activities in business is attached to the role of the Bank as the provider of banking services for the public. One of the banking service provided is credit card. In this type of service, there are three parties participated within, those are the publisher of the card (bank), the holder of the card (the customer) and the Merchant. The publisher of credit card generally produced a prior one-sided arrangement between the publisher and the holder of the card, namely the agreement for credit card membership which is produced in a form of standard clause. The definition of standard clause in accordance to the Law No. 8 of 1999 concerning Customer's protection is every regulation or arrangement and stipulations prepared and defined one-sidedly by any business which is written on a document and/ or a binding agreement and compulsory to the customer. In the said agreement, the publisher of the credit card is usually granted with dominant position, whereas the existing clauses generally contain matters which bear responsibilities to the holder of credit card, which in this case is also the customer. In the agreement for credit cards issued by Mandiri Bank, Citibank and Standard Chartered Bank which formed a standard agreement, the author found inequalities as shown from the unfair exoneration clauses for the holder of credit card, and that these clauses contrast to the Civil Law and the Law No. 8 of 1999 concerning Customer's Protection."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
T27861
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dikara
"Dalam suatu perjanjian idealnya setiap pihak memiliki hak dan kewajiban yang seimbang. Pada karcis parkir yang merupakan klausula baku terdapat ketentuan yang menyatakan bahwa "Pihak pengelola parkir tidak bertanggung jawab atas kehilangan dan/atau kerusakan kendaraan". Penggunaan klausula pengalihan tanggung jawab atau klausula eksonerasi ini memiliki implikasi dalam perjanjian. Dimana keseimbangan hak dan/atau kewajiban yang idealnya terdapat dalam suatu perjanjian atau dikenal dengan asas indemnity principle belum dapat tercapai. Sehingga masalah pertanggungjawaban yang dihadapi antara pengelola jasa parkir dengan pemakai jasa parkir sampai saat ini belum terdapat penyelesaiannya. Oleh karena itu pihak asuransi memiliki peluang besar dalam bisnis perparkiran, untuk menyelesaikan masalah siapa yang harus bertanggung jawab antara pengelola jasa parkir dengan pemakai jasa parkir."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16461
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shobi Kurnia
"Tesis ini membahas tentang Putusan KPPU Nomor: 02/KPPU-L/2008 dalam menetapkan sanksi untuk mengubah klausula perjanjian yaitu: Pertama, Apakah sanksi terkait mengubah klausula perjanjian telah sesuai dengan Pasal 47 ayat (2) huruf a Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999, kedua, pertimbangan dari Majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam menetapkan sanksi berupa mengubah suatu klausula perjanjian. Ketiga, bagaimana pelaksanaan dari putusan tersebut terkait dengan eksekusi dari pihak KPPU. Dalam penelitian ini penulis memaparkan dan menganalisa terkait dengan sanksi di dalam Putusan Perkara Nomor: 02/KPPU-L/2008 yang berupa negoisasi ulang dengan tindakan administratif tentang penetapan pembatalan perjanjian sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 47 ayat (2) huruf a dan dikaitkan juga dengan syarat obyektif yang terdapat di dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Hasil penelitian melihat bahwa negoisasi ulang bukan merupakan suatu bentuk tindakan administratif dari pembatalan perjanjian. Pembatalan perjanjian yang dimaksud adalah Perjanjian tersebut batal demi hukum yang mengakibatkan perjanjian tersebut tidak pernah ada.

This thesis discusses the Commission's Decision No. 02 / KPPU-L / 2008 in a set of sanctions to change the treaty clause, namely: First, Do sanctions related change agreement has a clause in accordance with Article 47 paragraph (2) letter a of Law No. 5 of 1999, second, the consideration of the Business Competition Supervisory Commission Council to impose sanctions in the form of a clause to change the agreement. Third, how the implementation of the decisions related to the execution of the Commission. In this study the authors describe and analyze associated with sanction in Case Decision No. 02 / KPPU-L / 2008 in the form of re-negotiate with the administrative action concerning the determination of the cancellation of the agreement as provided for in Article 47 paragraph (2) a and linked also with the objective requirements contained in Article 1320 of the Civil Code. The results of the study to see that re-negotiate is not a form of administrative action of cancellation of the agreement. Cancellation of the agreement in question is the agreement null and void which resulted in the agreement never existed."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T42680
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christine
"ABSTRAK
Nama : ChristineProgram Studi : Magister KenotariatanJudul : Implikasi Klausula Pembebasan Tanggung Jawab Asas Eksonerasi pada Akta NotarisPembimbing : Dr. H. Siti Hajati Hoesin, S.H., M.H., C.N. dan Mohamad Fajri Mekka Putra, S.H., M.Kn.Notaris sebagai pejabat umum membuat akta autentik dengan tanggung jawab jabatan yang besar. Seringkali saat notaris menjalankan tugasnya, dijumpai banyak terjadi permasalahan hukum terhadap akta Notaris baik saat proses pembuatan ataupun saat proses pelaksanaan akta tersebut sehingga menarik Notaris ke jalur hukum. Besarnya tanggung jawab jabatan Notaris, Notaris mencantumkan klausula pembebasan tanggung jawab Notaris sebagai bentuk jaminan perlindungan terhadap Notaris dalam melaksanakan jabatannya membuat akta autentik. Tesis ini membahas implikasi pencantuman klausula pembebasan tanggung jawab yang mengandung asas eksonerasi dalam akta notaris dan dampak hukum pencantuman klausula tersebut terhadap notaris, penghadap dan pihak ketiga dalam akta. Klausula eksonerasi ini diartikan sebagai klausula pengecualian kewajiban atau tanggung jawab dalam suatu perjanjian. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis-normatif dengan tipe penelitian deskriptif-analitis. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dengan alat pengumpulan data yaitu studi kepustakaan dilakukan dengan cara membaca, mempelajari, mengkaji, dan menganalisis berbagai macam peraturan perundang- undangan dan buku. Adapun hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah Notaris boleh mencantumkan klausula pembebasan tanggung jawab dengan persetujuan penghadap serta memenuhi ketentuan-ketentuan Undang-Undang yang berlaku sehingga klausula tersebut mengikat bagi penghadap serta klausula pembebasan tanggung jawab tidak menghapus tanggung jawab notaris apabila Notaris tersebut terbukti benar melakukan kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan tugas jabatannya.

ABSTRACT
Name ChristineStudy Program Master of NotaryTitle The Implications Of The Clause On The Exemption Of Responsibilty The Principle of Exoneration On A Notarial DeedCounsellor Dr. H. Siti Hajati Hoesin, S.H., M.H., C.N. and Mohamad Fajri Mekka Putra, S.H., M.Kn. Notary as a public official to make an authentic deed with a big responsibilities. Often when a notary performs its duties, found many legal issues occur on the deed of Notary either during the process of making or during the process of conducting the deed so as to withdraw the Notary to the legal channels. Due to the size of the responsibilities of the Notary, the Notary public discloses the clause of exemption of the Notary 39 s responsibility as a form of guarantee of protection to Notary in performing his her position of making an authentic deed. This thesis discusses the implication of inclusion of the clause of exemption of responsibility which contains the principle of exoneration in notarial deed and the legal effect of inclusion of clause of exemption of responsibility containing the principle of exoneration to notary, tap and third party in the deed. This exoneration clause is defined as an exception clause of obligation or responsibility in an agreement. The research method used is juridical normative research with descriptive analytical research type. The type of data used in this study is secondary data by means of data collection is literature study done by reading, studying, reviewing, and analyzing various laws and books. As for the results obtained from this study, the Notary may include the clause of exemption of responsibility with the approval of confronting and fulfilling the provisions of the applicable Law so that the clause is binding for the confrontation and clause of the exemption of responsibility does not remove the responsibility of the notary if the Notary is proven to do errors or omissions in performing their duties. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T51074
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mahdiani
"Klausula baku merupakan hal yang lazim digunakan dalam dunia usaha, biasanya klausula baku dibuat secara sepihak dan telah ditentukan terlebih dahulu oleh pelaku usaha sehingga konsumen yang ingin memanfaatkan barang atau jasa tersebut hanya memiliki pilihan menyetujui atau tidak menyetujui hal yang termuat dalam klausula tersebut atau dalam istilah disebut take it or leave it, penggunaan klasula baku dibutuhkan dalam dunia bisnis karena bentuk transaksi seperti ini dinilai mempermudah dalam praktik perdagangan, sewa menyewa, asuransi, jasa sektor keuangan dan berbagai bentuk hubungan hukum lainnya. Namun kemudahan transaksi menggunakan klausula baku sering merugikan konsumen, seperti klausula tambahan yang menyatakan bahwa konsumen harus setuju atau tunduk pada perubahan yang akan ada dikemudian hari, perubahan tersebut tidak diketahui perihalnya bahkan dalam beberapa kasus seringnya perubahan tersebut tidak diberitahukan kepada konsumen, oleh karenanya konsumen merasa dirugikan. Undang-undang perlindungan konsumen menyatakan aturan tambahan dalam klausula baku tersebut merupakan klausula yang dilarang dalam pasal 18 ayat 1 huruf (g), pelaku usaha yang memuat ketentuan mengenai klausula tambahan dalam perjanjian baku tersebut dinyatakan batal demi hukum seperti yang termuat dalam pasal 18 ayat (3) artinya perjanjian tersebut tidak mengikat. Selain itu klausula tambahan tersebut merupakan pelanggaran penerapan asas itikad dan merupakan perbuatan melawan hukum.
Dalam penelitian ini diuraikan mengenai kasus dan putusan yang memuat klausula tambahan tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan studi kepustakaan dengan analisis pendekatan undang-undang atau statute approach. Hasil penelitian ini yakni klausula tambahan tersebut merupakan hal yang dilarang oleh undang-undang perlindungan konsumen dan dinyatakan batal demi hukum seperti yang termuat dalam pasal 18. Konsumen yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen namun hal ini masih kurang melindungi konsumen karena putusan yang dikeluarkan oleh BPSK tersebut tidak dapat dilaksanakan dan beberapa putusan dibatalkan oleh pengadilan, alternatif lainnya konsumen dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri dengan gugatan perbuatan melawan hukum.
......Standard contract is a common practice in business, it is a practice where the contract is made unilaterally by the business actors so that the consumers would not have a choice but to agree with the contract, or it is commonly known with term "take it or leave it". The use of standard clause is important in the business since it is considered to make trade and transaction easier, as well as leasing, insurance, and financial sector services. However, standard clause often harms consumers, such as an additional clauses where the consumers must agree and submit to changes that will occur in the future. In some cases, such changes are not notified to consumers, therefore it inflicts a financial loss to consumers. According to the Consumer Protection Act of Indonesia, the additional rules in the standard clause are prohibited in article 18 (1) (g), business actors that contain provisions regarding additional clauses in the standard clause are declared null and void as contained in Article 18 (3) which means that the agreement is not binding. In addition, the additional clause is also a violation of the application of the Good Faith principle and it is a tort.
In this research described the cases and decisions that contain these additional clauses. This research was conducted by literature study with statute approach analysis. By this research, author draws a conclusion that additional clause is something that is prohibited by Consumer Protection Art of Indonesia and declared null and void as regulated in Article 18, and consumers who feel aggrieved can file a lawsuit to the Consumer Dispute Settlement Agency (BPSK). However, in practice the decision issued by the BPSK can not be implemented and several decisions are canceled by the District Court. The alternative customers can take is to submit a lawsuit to the District Court with a lawsuit against the law or tort."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T52945
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Susi Handayani
"Tesis ini membahas mengenai perjanjian kartu kredit yang sudah dibuatkan dalam bentuk klausula baku oleh pihak Penerbit Kartu. Penggunaan klausula baku tidak dilarang sebagaimana dimaksud dalam UU Perlindungan Konsumen, namun demikian klausula baku seringkali memposisikan nasabah Pemegang kartu kredit selaku konsumen dalam perjanjian kartu kredit pada posisi yang tidak seimbang dan cenderung melindungi kepentingan Penerbit Kartu kredit. Tesis ini mencoba membahas pengaturan tentang klausula baku berikut dampak yang diakibatkan olehnya, serta kerangka perlindungan kepada nasabah Pemegang Kartu.
......This thesis describes the credit card agreements that have been made in the form of the standard clauses from Card Issuer. The use of standard clauses are not prohibited as outlined in the Consumer Protection Act, however, the standard clause is often positioned customer credit card holders as consumers in credit card agreements on an unequal position and between Card Issuer and Card Holder. This thesis tried to explain the regulation of the standard clause impacts caused by it, as well as protection to Card Holder."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26655
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6   >>