Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
Farid Gaban
Jakarta: Misbah, 2006
297.09 FAR a
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Jakarta: LIPI Press, 2008
297.4 BUD
Buku Teks Universitas Indonesia Library
M. J. Akbar
New Delhi: Roli Books, 2002
297.72 AKB s
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Wijaya
Abstrak :
Situasi konflik dalam aliran keagamaan (Islam) di Indonesia pada umumnya digolongkan pada pertentangan antara kelompok pembaharu (moderns) dan kelompok lama (tradisionalis). Meskipun sesungguhnya penggolongan tersebut tidaklah begitu tepat untuk melihat situasi konflik berbagai aliran keagamaan karena sesungguhnya kelompok pembaharu sendiri bukanlah jaminan untuk terus berjalannya suatu pembaharuan dalam arti yang sebenarnya. Tetapi setidaknya penggolongan seperti ini akan lebih mendekatkan penggambaran kondisi konflik dan ketegangan antar aliran keagamaan. Di Indonesia sejak dahulu kondisi ini diwakili oleh Muhammadiyah sebagai kelompok modernis dan Nahdatul Ulama (NU) sebagai kelompok tradisional (C. Geertz : 1960).
Dalam perspektif Bergerian (1997:107), munculnya gerakan keagamaan merupakan sebagai bentuk konsekwensi logis dari transformasi pola-pola keagamaan berupa berubahnya definisi tentang realitas, dari kerangka sakral kepada kerangka rasional. Dengan kata lain definisi religius tentang kenyataan dalam berbagai sektor kehidupan bukan lagi satu-satunya definisi. Namun dengan kerangka rasional manusia dihadapkan kepada suatu bentuk pluralitas nilai, norma, makna dan simbol-simbol. Yang menjadi persoalan adalah transformasi pola-pola keagamaan ini sering menimbulkan konflik sosial baik dalam bentuk nyata maupun latent.
Pada kasus Umat Islam di Kelurahan Sungai Buah Palembang gerakan keagamaan di daerah tersebut yang dipelopori oleh KH. Nashir Abdullah pada awalnya, dimotivasi oleh "Spirit" untuk pemumian ajaran agama (Islam) dan unsur-unsur tahayul, bid'ah dan khurafat. Kemudian permasalahan tersebut meluas dan melebar ke arah yang lebih substansial, seperti : puasa boleh merokok, wanita haid (menstruasi) atau nifas tetap wajib puasa dan lain sebagainya. Dari satu perbedaan kepada perbedaan lainnya mengakibatkan "ketegangan" dan munculnya kelompok sosial keagamaan yang baru dalam masyarakat setempat. "Ketegangan" (konflik latent) tersebut di satu sisi dilandasi oleh upaya untuk merekonstruksi dan memurnikan ajaran agama. Di sisi lain juga dilandasi oleh upaya untuk mempertahankan landasan kepercayaan dan penafsiran serta hegemoni kelompok dari masing-masing kelompok keagamaan (sekte) yang bersangkutan.
Gerakan keagamaan itu pun secara terselubung membuat umat Islam di Kelurahan Sungai Buah terbagi menjadi tiga kelompok yang meliputi :
1. Kelompok modern yaitu kelompok yang sepenuhnya mengikuti ajaran KH. Nashir Abdullah, H. Achlawi dan diteruskan oleh Nasaruddin.
2. Kelompok yang berupaya memodifikasi ajarannya dengan mengadakan `sintesa' antara ajaran agama yang dipahami secara turun menurun dan tradisional dengan kritik kelompok H. Achlawy dan kawan-kawan.
3. Kelompok yang tetap komitmen terhadap ajaran leluhur atau pendahulu-pendahulunya tanpa peduli kritik dan kecaman dari kelompok H. Nashir Abdullah. Abdullah dan kawan-kawan. Bagi mereka Syirik, Bid'ah dan Khurafat bukanlah persoalan. Yang penting adalah bagaimana hubungan mereka dengan Tuhannya.
Ketiga kelompok keagamaan ini memiliki karakter dan pola-pola rites yang khas serta berbeda satu sama lainnya. Dimana masing-masing kelompok tersebut mengklaim bahwa kelompok merekalah yang paling benar.
Dengan menggunakan metode penelitian kwalitatif serta menggali data dengan melakukan wawancara secara mendalam dan melakukan observasi baik secara partisipatif maupun non partisipatif. Dapat diungkap bahwa masing-masing sekte selain mempunyai pola ritual yang berbeda satu sama lain, juga mengembangkan "Stereotype" dan "Prejudice" antara satu sekte dengan sekte lainnya maupun kepada penganut agama lainnya.
Pendekatan teori fungsional yang menyatakan bahwa agama di dalam masyarakat memiliki dua fungsi yang meliputi fungsi integrasi (pemersatu) dan fungsi disintegrasi (pemecah) bukan saja berlaku pada kelompok masyarakat yang berbeda agama tetapi juga ternyata berlaku bagi kelompok keagamaan yang beragama sama. Dengan demikian pada umat Islam di Kelurahan Sungai Buah Palembang, munculnya gerakan keagamaan (sekte) bukan saja menyebabkan perubahan sosial dari bidang material berupa semakin banyaknya rumah ibadah yang dibangun oleh masing-masing kelompok, juga perubahan dalam aspek non material berupa modifikasi terhadap aspek perilaku keagamaan, pola ritus dan institusi keagamaan dari umat Islam di Kelurahan Sungai Buah Palembang.
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T9711
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Fathurin Zen
Abstrak :
Munculnya pemerintahan Habibie pada pertengahan tahun 1998 mengakibatkan terpencarnya pusat-pusat kekuatan politik massa yang selama orde Soeharto terpusat hanya pada Golkar. Kondisi yang mirip tahun 1950-an ini telah meneguhkan ingatan kita akan munculnya kekuatan-kekuatan yang berbasis pada paham "primordialisme". Salah satu kekuatan massa Islam yang selama ini eksis adalah warga NU (nahdhiyin).
Kesepakatan para ulama NU pada tahun 1984 di Situbondo untuk mengembalikan organisasi ini kepada "khittah 1926" yang menyatakan bahwa NU bukanlah organisasi politik dan sekaligus mempersilahkan warganya untuk bersikap netral dan bebas masuk ke partai politik manapun membuat warga NU `kebingungan' untuk menyalurkan aspirasi politik pada Pemilu demokratis tahun 1999 yang telah dirancang oleh Pemerintahan Habibie.
Atas dasar itulah, beberapa pengurus PBNU dan para politisi NU yang selama ini dipinggirkan oleh PPP, seperti Matori Abdul Jalil, dengan dukungan Abdurrahaman Wahid yang saat itu menjabat Ketua Umum PBNU mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Partai ini merupakan jendela' (window) yang digunakan oleh para elit politik NU yang memiliki keinginan untuk menjawab kehendak warganya di satu sisi disamping keinginan mereka sendiri untuk terjun langsung ke dalam kancah perpolitikan Indonesia. Munculnya PKB yang mewakili kelompok Islam tradisionalis dan secara historis sangat `dekat' dengan kelompok nasionalis sekuler, membuat golongan Islam modernis terpaksa mengencangkan barisan dengan membentuk "poros tengah".
Pertentangan dan manuver politik antara ketiga kelompok kekuatan massa - kaum nasionalis, tradisionalis, dan modernis - melawan kekuatan lama Partai Golkar dalam perebutan kekuasaan telah menjadikan peristiwa ini sebagai komoditas politik para peliput berita. Mereka melakukan liputan dan suguhan berita-berita mengenai hal itu berdasarkan sudut pandang dan kepentingan masing-masing.
Tesis ini menganalisis berita-berita mengenai NU dari empat surat kabar (Republika, Duta Masyarakat Baru, Kompas, dan Media Indonesia) tentang komunikasi dan konflik politik yang dilakukan tokoh NU - terutama Gus Dur -- dan para tokoh dari ketiga kekuatan lainnya dalam perebutan kekuasaan menjelang SU MPR 1999. Ada empat item berita yang diambil dari masing-masing surat kabar tersebut (jumlah seluruhnya 16 item berita). Dua berita mewakili komunikasi dan persuasi politik, yakni berita tentang Istighotsah dan Doa Politik Warga MI dan Pertemuan Ciganjur sebagai Persuasi Politik. Sedangkan dua berita lainnya mewakili konflik politik yakni berita tentang wacana Kepemimpinan Wanita dalam Perspektif Islam dan konflik Perebutan Sisa Kursi hasil Stambuss Accord pada Pemilu 1999.
Perspektif konstruksionisme Berger yang dipakai dalam memandang berita-berita mengenai NU dengan framing analysis model Pan dan Kosicki diharapkan mampu melihat "realitas simbolik" tentang `pergulatan politik' diatas yang secara tidak langsung juga akan berpengaruh bagi pencitraan masing-masing organisasi yang dibawahinya. Tentu saja pilihan angle berita dan penggalan kalimat yang sengaja dikemas oleh media sangat ditentukan oleh gagasan para wartawan, praktek-praktek wacana dan terutama ideologi organisasi media itu sendiri. Ideologi pada tesis ini diartikan sebagai sekumpulan sistem ide dalam pengertiannya yang juga termasuk pengertian yang oleh Gramsci disebut `ideology organic' yang bersifat historis dan diperlukan dalam kondisi sosial tertentu. Kuatriya `hegemoni ideologi' media dominan dalam menciptakan realitas simbolik mengakibatkan munculnya `hegemoni tandingan' (counter hegemony) yang memberikan ruang publik bagi kelompok atau media yang dirugikan dan dipinggirkan untuk memberikan `konsep tandingan' sebagai alternatif ideology. Dengan demikian, realitas social yang dikonstruksi tidak bersifat tunggal melainkan muncul sebagai "realitas yang beragam" (multiple reality).
2001
T10455
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library