Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 24 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Atik Kurniawati
"Tulisan ini berangkat dari issue mengenai guru penggerak yang diinstruksikan oleh Mentri Pendidikan dan Kebudayaan, namun praktiknya kurikulum sangat menekan. Sehingga muncul guru transformatif dalam praktik hidden curriculum yang memberikan kontribusi terhadap pendidikan. Studi-studi sebelumnya membahas stakeholders dalam praktik hidden curriculum sekolah secara terpisah. Sedangkan dalam tulisan ini, peneliti ingin menunjukkan praktik hidden curriculum dan menunjukkan peran seluruh stakeholders sekolah menggunakan kerangka pemikiran Henry Armand Giroux. Penelitian ini merupakan penelitian studi kasus dengan pendekatan kualitatif.
Temuan dalam penelitian ini ialah (1) kurikulum yang berlaku di sekolah Avicenna ialah kurikulum 2013 dengan pengembangan sesuai visi sekolah yaitu berkarakter kepemimpinan, berbasis sains dan teknologi, peduli pada lingkungan dan berprestasi (2) Praktik hidden curriculum dilakukan oleh pengurus yayasan dengan mengubah identitas, dan dilakukan oleh guru untuk mempertahankan identitas lama, terdapat relasi kekuasaan dan ideologi antar stakeholders sekolah (3) Dinamika muncul akibat kontestasi nilai antar stakeholders, karena guru menjalankan perannya sebagai intelektual transformatif dengan melakukan perjuangan untuk mempertahankan nilai (4) Dampaknya, siswa menjadi korban atas kontestasi nilai yang terjadi di sekolah. Penelitian ini memberikan saran bahwa perlunya kepercayaan, pemberdayaan dan public spehere untuk seluruh stakeholders sekolah dalam mendapat pencapaian yang maksimal.

This paper departs from the issue of the teacher instructor instructed by the Minister of Education and Culture, but in practice the curriculum is very pressing. So that transformative teachers emerge in the practice of hidden curriculum which contributes to education. Previous studies discussed stakeholders in the practice of hidden school curriculum separately. Whereas in this paper, researchers want to show the practice of hidden curriculum and show the role of all school stakeholders using the framework of Henry Armand Giroux. This research is a case study research with a qualitative approach.
The findings in this study are (1) the curriculum applicable at Avicenna school is the 2013 curriculum with development in accordance with the school's vision of leadership, science and technology-based, environmental care and achievement (2) The hidden curriculum practice is carried out by the foundation management by changing identity, and is done by teachers to maintain old identities, there are power relations and ideologies between school stakeholders value contestation that occurs in schools. This research suggests that the need for trust, empowerment and public spehere for all school stakeholders to get the maximum achievement.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
T55078
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Namirah Zahra
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas bagaimana kajian spasial pejalan kaki terhadap kontestasi maknajalan dan fungsi ruang jalan dengan melihat konteks ruang jalan di Tanah Abang.Memahami realita kota Jakarta, khususnya Tanah Abang dengan pendekatan messyurbanism, bahwa kondisi kota dan masyarakatnya tidak jauh berbeda dengan kota GlobalSouth dimana salahsatu kararkteristiknya ruang jalan tidak hanya digunakan untukkendaraan tetapi juga fungsi lain yang melibatkan aktor informal. Jalan Jatibaru menjadiruang pertemuan beragam aktor/kepentingan/pengguna diantaranya; pejalan kaki dari/keStasiun Transit Tanah Abang; PKL; mikrolet. Pergerakan barang, orang dan kendaraanmemberikan kontestasi pemaknaan dan fungsi jalan antar pengguna didukung denganmelihat sejarah jalan sebagai ruang sosial dengan beragam aktor menggunakan ruangjalan. Pembahasan mencakup tentang ruang sosial, messy urbanism, traffic evaporation,jalan sebagai ruang publik, persaingan pejalan kaki dan automobile terhadap ruang jalanpublik. Metode yang digunakan diantaranya etnografi spasial, metode pendekatan emik,dan pemetaan ruang dan waktu serta foto untuk menelusuri praktik spasial penggunaterhadap kontestasi makna dan fungsi ruang Jalan Jatibaru melalui pemetaan penggunadan narasi spasial pejalan kaki. Kepentingan/pengguna yang menjadi fokus pemetaanadalah pejalan kaki, mikrolet, PKL, dan pemerintah.

ABSTRACT
This thesis discusses how pedestrian defines contestation meaning of street and itspurpose by experiencing it in Tanah Abang. Understanding the realities of Jakarta,particularly Tanah Abang by using messy urbanism approach, that city and its people arenot distant from Global South cities where one of the characteristics is street space notonly used for the automobile but also another function involve informal actor. Jatibarustreet becomes a meeting space by diverse actors user pedestrian from to Tanah Abangtransit station hawkers mikrolet. The movement of goods, people, and vehicle give themeaning and purpose between street user supported by seeing street history as socialspace with diverse actors are using its space. The discussion over social space, messyurbanism, traffic evaporation, street as public space, contestation between pedestrian andautomobile to a public street. Methods are used through spatial ethnography, emicapproach, space time mapping also taking photos for investigating user rsquo s spatial practiceof contesting meaning and function of Jatibaru street through user mapping andpedestrian rsquo s spatial narrative. The interest of objective observation is pedestrian, mikrolet,hawkers, and government authority."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asep Suryana
"ABSTRAK
Tesis ini mendiskusikan kontestasi ruang sosial, sebagai fenomena sosial kemasyarakatan yang menyumbang signifikan terhadap proses suburbanisasi. Pola kontestasi ruang sosial tersebut bertumpu pada prinsip memanfaatkan segala peluang, sebuah Cara pandang terhadap gejala mobilitas !capital-yang rlifasilitasi oleh proses suburbanisasi---sebagai kesempatan ekonomi (economic opportunity). Kontestasi ruang sosial yang terbentuk pun seirama dengan proses suburbanisasi wilayah tadi terhadap kota induknya, terstruktur secara berjenjang (berposisi terbawah) dalam sistem hirarki ruang sosial kota metropolitan, dan terbangun sebagai produk dialektika antara pasar, negara, dan masyarakat. Jadi, suburban adalah arena sosial ketiga aktor tadi berkontestasi. Proses ini pads akhirnya membentuk struktur ruang sosial suburban dalam kerangka menopang fungsinya terhadap kota metropolitannya itu.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Lokasi penelitian (Citayam) dipilih karena mewakili satu tipe suburbanisasi Jakarta yang bercirikan: (1) penyangga permukiman (bukan penyangga industi), (2) berada di jalur sistem transportasi massal yang murah dan cepat (jaringan kereta listrik Jakarta Bogor), (3) tumbuh begitu cepat pasta krisis ekonomi 1997, (4) dipicu oleh pasar perumahan dalam skala menengah-kecil (bukan seperti Bumi Serpong Damai yang berbentuk pasar rumah dalam skala besar untuk kalangan berpenghasilan atas), (5) bercorak suburban untuk kalangan berpenghasilan menengah dan bawah. Data dikumpulkan melalui penelusuran sumber sekunder maupun penelitian lapangan (field research). Koleksi stastistik milik Badan Pusat Statistik dan pustaka milik Perpustakaan Nasional (dalam kurun 1911-1960-an) menjadi salah satu acuan dalam penelusuran data sekunder. Sementara penelitian lapangan menggunakan teknik pengamatan, wawancara mendalam, dan wawancara sambil lalu. Sejumlah informan kunci diwawancarai. Mereka mewakili pare pemangku kepentingan terkait balk dari kalangan alit penduduk asii, lapis bawah, pedagang sektor informal, dan komuter.
Tesis ini menyimpulkan bahwa suburbanisasi merupakan epifenomena, sebuah gejala yang digerakan oleh proses mobilitas kapital di sekitar kota metropolitan pinggiran. Suburban sendiri terbangun sebagai produk mekanisme pasar rumah yang "diatur" negara. Sebagian besar penghuninya adalah penduduk kota metropolitan yang tidak mampu membeli rumah di hunian pusat kota. Sebagian mereka tergolong berpenghasilan menengah-bawah yang pindah ke suburban karma alasan finansial, disamping juga terdorong oleh alasan yang bersifat suburban dream. Suburban yang dapat dilaju setiap hart pun mereka pilih (karena adanya sistem transportasi massal), mesh dituntut mental juang yang pantang menyerah lantaran fasilitas transportasi massalnya itu jauh dari memadai.
Lokasi riset ini berkategori suburban menengah bawab, bukan hunian strategis, dan tidak dianggap panting oleh memori kolektif aparat Negara. Hal tersebut juga tersumbang oleh fakta bahwa wilayah suburban ini adalah daerah periferi dalam sistem kewilayahan daerah otonom. Dalam kaftan ini, negara abai menyediakan fasilitas publik, karma wilayah suburban ini dianggap tidak memberikan rente kepada dirinya. Pada sisi lain, mesh suburban menengah-bawah ini dibentuk oleh pasar perumahan, penyediaan fasilitas publik oleh pengembang sangat terbatas dan selalu saja berkorelasi dengan kemampuan finansial pars penghuni perumahan. Untuk mengompensasi sangat terbatasnya fasilitas publik tadi, penghuni suburban melakukan apa yang oleh riset ini dikonseptualisasikan sebagai frase penduduk-membangun-suburban (people making suburban). Mereka secara kreatif membangu infrastruktur hunian dan fasilitas umum dengan berpatokan pada prinsip memanfaatkan segala peluang.
Gejala penduduk membangun suburban pun kemudian bergerak ke tahap lebih lanjut, sebagai upaya mengisi celah sosial ekonomi akibat dampak berganda (multiplayer effect) sirkulasi kapital di wilayah ini. Di wilayah sentral suburban yang memiliki tingkat kapasitas tanah yang tinggi, gejala penduduk membangun suburban terjadi secara mendalam dan penuh dinamika. Migran lapis bawah menyerbu wilayah pusat untuk mencari peruntungan di sektor informal. Mereka melakukan kontestasi ruang sosial. Pojok tanah mereka duduld, dan berjualan apa saja agar lake dan meraup keuntungan. Hal yang sama juga dilakukan penduduk asli. Mereka pun melakukan kontestasi ruang sosial dengan mengaktifkan identitas sosial mereka sebagai "orang asli". Pojok perempatan mereka kuasai dan duduld. Sebagiannya mereka ubah menjadi sistem pangkalan ojek yang terorganisir dan bertumpu path ikatan sosial sebagai "orang ash". Dunia hitam pusat perdagangan suburban pun dikuasai sebagian kalangan penduduk asli.
Tampak bahwa prinsip memanfaatkan segala peluang bekerja di batik gejala penduduk membangun suburban. Prinsip ini bertumpu pads anggapan bahwa gejala suburbanisasi dipandang sebagai proses tumbuh dan tersedianya peluang ekonomi, betapapun kecilnya kesempatan ekonomi tersebut. Upaya kreatif pun mereka kedepankan agar dapat menangkap, memanfaatkan, dan meraup peluang ekonomi tadi. Pola pemanfaatan peluang ekonomi ini mereka lakukan secara mandiri, tanpa fasilitasi pemerintah maupun bantuan dart lembaga keuangan formal. Mereka membangun sistem bantuannya secara horisontal melalui pelbagai jaringan sosial yang mereka miliki, seperti mengaktifkan jaringan etnis, modal sosial sesama pekerja sektor informal, atau mengaktifkan ikatan sosial sebagai "orang asli".
Tampak bahwa isu identitas penduduk asli telah menjadi "senjata", agar mereka tetap terlibat secara signifikan dalam proses suburbanisasi. Hal ini adalah bentuk kompensasi psiko-sosial atas rentannya kemampuan individual sebagian besar penduduk asli dalam merespon suburbanisasi. Kompensasi sosial lainnya terlihat dalam berfungsinya organisasi sosial lokal (seperti kelompok preman setempat) dan perangkat kelembagaan resmi lokal (seper(i pemerintah desa) sebagai perisai sosial politik dan ekonomi. Dari sudut pandang negara, pasar, dan masyarakat, upaya berburu surplus tadi mereka lakukan di bawah kerinduan terhadap fungsi kesejahteraan negara. Negara mereka konsepsikan harus hadir dalam upaya meningkatkan taraf kesejahteraan kelompok sosial ini. Dengan kata lain, gejala sekelompok penduduk asli menguasai tanah negara dan berkontestasi ruang sosial dalam rangka meraup surplus, terdorong oleh persepsi fungsi laten negara sebagai lembaga yang hares melindungi taraf hidup layak mereka. Maka, ketika fungsi ideal tadi tidak mereka jumpai, mereka pun menyerobot tanah negara. Perilaku sosial yang secara resmi dikategorikan sebagai tindak ilegal ini, justru terdorong oleh cara pandang mereka terhadap fungsi negara tadi. Pola kontestasi demikian dapat dimaknai sebagai cars paksa untuk menghadirkan fungsi ideal negara, sebuah upaya yang layak dipahami sebagai mencari perlindungan dari tirani pasar (market).

ABSTRAK
This study analyzes contestation of social space as a social phenomenon significantly contributed to the process of urbanization. The pattern of the contestation of social space is based on a principle of making use all the opportunities--a perspective to capital mobilization phenomenon-facilitated by the process of urbanization-as an economic opportunity. The contestation of social space in turn, went along with the process of urbanization of the area, hierarchically structured in the system of metropolitan city, and established as a product of dialectic between market, state and society. Therefore, suburban area is social arena where the three actors are contesting to each other. The process finally formed the structure of suburban social space in the framework of its function to the metropolitan city.
The research methods used in the study are primarily those of qualitative approach: observation, in depth-interviews, collection of statistical data from Badan Pusat Statistik and Perpustakaan Nasional, and case study as its primary data collection method. The locus of research in Citayam was chosen because it represents one type of suburban in Jakarta. To analyze the suburbani cation process and the contestation of social space, informants of the study are stakeholders consisting of the elites of the local residents, low class people, informal sector merchants, and commuters.
This study has found that suburbanization is epiphenomena driven by capital mobility process around sub metropolitan area. Suburban it self is established as product of house market mechanism regulated by the "state". Most of the residents are those who cannot afford to buy house at the center of the city. They also belong to low-income people who move to suburban for financial reason. Suburban residential areas that they can choose are also limited due to the limitation of the mass transport system.
The location of research can be categorized as a low-income residential area which is not consider important by the state due to the fact that this are is a peripheral area in the zoning system of the autonomous municipal government This is why the state does not provide any public facilities to the area. The private company developer that manages the area is also reluctant to provide any public facilities due to the lack of purchasing power of the residents. To compensate for all these shortcomings, the suburban residents take concrete measures which in this study conceptualized as "people making suburban areas". They creatively create residential infrastructure and public facilities based on the principle of making use of all the opportunities.
The phenomenon of people making suburban areas is also moving to the next step, which is an effort to fill the social economy niche generated by the multiplayer effect of the capital circulation in the area. In the central area of suburban, which has the high land capacity, lower class migrants as well as local residents dynamically develop suburban areas. The lower class migrants are looking for financial opportunities in the informal sector, while the local residents activate their social identity as "natives" to maximize economic gains.
It appears that the principle of making use of all the opportunities is operating behind the phenomenon of "people making suburban areas." This principle based on assumption that urbanization is regarded as a process of the development and the availability of economic opportunities, no matter how limited they are. Creative efforts are used by the residents to catch and maximize the economic opportunities, without any facilities from the government or formal financial institutions. They develop their systems horizontally by strengthening social and ethnic networks, and activating their social ties as "natives".
It also appears that the issue of local residents identity has become "the weapon" in order to stay involved significantly in the process of urbanization. However, the active involvements in gaining economic opportunities are due to the non-optimal function of the state. The pattern of the social contestation can be regarded to realize forcefully the ideal function of the state, an effort that should be regarded as to seek protection from the tyranny of the market.
"
2007
T19161
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Seno Gumira Ajidarma, 1958-
Denpasar: Pusat Penerbitan LPPM Institut Seni Indonesia Denpasar, 2017
300 MUDRA 32:3 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Johanes Supriyono
"This paper is an autoethnographic exploration which would like to show that culture is always in the process of constructing those that are present in various track events. Through the exposure of various stages of life and moments of encounters with Others, the author wants to confirm his argument on how culture is an arena of discourses that is continually constructed, in which also involves power relations between Self and Others. Using Abu Lughod?s approach and several contributions from philosophical thinking, the author would like to state that the theoretical journey and life trajectory is a continuity which shows the fundamental argument, that culture is an arena of contestation that is based on power relations between the self and the Other."
2011
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Lugina Setyawati Setiono
"This paper explained the issue of inequality which appears in the process of democratization through the analysis of contestation, negotiation, and the reconstruction of Riau?s identity. Ideally, democratic principles respect equality; however, identity expresses inequality because it defines who is dominant and subordinate in a certain social group through ethnic category and gender identity. It separates the insiders and outsiders with different rights through cultural idioms. Moreover, the identity is not merely applied in the private domain, but also in the public sphere. This paper resulted from research conducted in Riau Province in a periode of decentralization process. The findings shown that In daily practice the collective sentiments manifested in the notion of ?Putra Daerah? may create problems, as this notion is not only used as a social category to define collective boundaries, but also as a strategic tool to control access to political and economic power in Riau. Quoting Worsley, Cultural traits are not absolute or simply intellectual categories, but are invoked to provide identities which legitimize claims to rights. They are strategies or weapons in competitions over scarce social goods Worsley (1994)."
2011
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Faisal S. Hazis
"ABSTRAK
This article traces the major contestations that have taken place in Sabah and Sarawak throughout the 54 years of their independence. The two major areas of contestation are state power and local resources, pitting federal leaders against Sabah and Sarawaks elites. These contestations have forced the federal government to accommodate the local elites, thus ensuring the stability of Barisan Nasional (BN) rule in the East Malaysian states. However, Sabah and Sarawak elites are not homogeneous since they have different degrees of power, agendas, and aspirations. These differences have led to open feuds between the elites, resulting in the collapse of political parties and the formation of new political alignments. Over almost four decades, a great majority of the people in Sabah and Sarawak have acceded to BN rule. However, in the last decade there have been pockets of resistance against the authoritarian rule of BN and the local elites. This article argues that without accountability and a system of checks and balances, the demand for more autonomy by the increasingly vocal Sabah and Sarawak elites will benefit only them and not the general public."
2018
327 SEAS 7:3 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Rakhmat Hidayat
"Studi ini menggunakan critical discourse analysis (CDA) dan menjelaskan konstruksi wacana dominan dalam Kurikulum Sosiologi SMA dan buku pelajaran sosiologi berdasarkan Kurikulum 2006 dan 1984. Wacana dominan tersebut merupakan representasi kekuasaan negara. Kedua, studi ini juga menjelaskan pertarungan simbolik antara BSNP sebagai pemegang otoritas pendidikan pasca diberlakukannya UU No. 20/2003 dan penerbit-penulis.
Kesimpulan studi., bahwa wacana keteraturan sosial menjadi wacana dominan pada kurikulum sosiologi SMA khususnya Kurikulum 2006 dan 1984 sebagaimana menjadi fokus penelitian ini. Bourdieu menyebut itu dengan doxa. Kurikulum 1984 dipilih sebagai teks yang dianalisa sebagai representasi kurikulum produk Orde Baru, Kurikulum 2006 merupakan kurikulum produk pasca Orde Baru tumbang. Keteraturan sosial yang menjadi mainstream pads kurikulum 2006 merupakan upaya menciptakan harrnoni dan social order masyarakat Indonesia pasca Orde Baru tumbang. Harmonisasi ini menjadi representasi kekuasaan pada masyarakat Indonesia yang mengalami berbagai transisi dan perubahan. Keteraturan sosial yang mendorninasi Kurikulum 1984 merupakan upaya legitimasi terhadap praktek-praktek pembangunan yang scat itu sedang mengalami masa kejayaan.
Demi mensukseskan pembangunan seluruh kekuatan masyarakat diharuskan tertib, teratur, harmoni. Dengan kata lain, negara berkepentingan menciptakan keteraturan sosial atas Hama pembangunan yang sedang dijalankan. Pada level ini, diskursus pembangunan menjadi mainstream dalam kurikulum sosiologi produk Orde Baru, khususnya Kurikulum 1984. BSNP menempati posisi obyektif dominan dalam ranah kekuasaan kurikulum, sedangkan penulis-penerbit pada posisi obyektif marjinai. Posisi obyektif tersebut juga mengindikasikan habitus yang berkembang diantara dua agen tersebut. Habitus BSNP adalah otoritas, intelektual dan akademik. Bourdieu percaya bahwa intelektual memiliki kekuasaan simbolik atau otoritas yang cukup di dalam pertarungan wacana. Habitus ini berkontribusi pada berbagai produk wacana yang dihasilkannya. Habitus penulis-penerbit lebih kepada idealisme dan selera pasar. Penerbit-penulis mensinergiskan artikulasi idealisme maupun basis wacana yang dimiliki penulis dengan berbagai pola penyesuaian terhadap tren dan perkembangan pasar.

This study used critical discourse analysis (CDA) and describe the construction of dominant discourse in the curriculum of sociology for senior high school and its references based on curriculum 2006 and 1984. Secondly, this study to explain the symbolic competition between BSNP (National Education Standardization Committee) as the authority holder of national education system after the issue of UU No. 2012003 and publisher-writer.
Reffering to conclusion, that social order has became dominant discourse in the curriculum of Sociology for Senior High School, especially curriculum 2006 and 1984. Bourdieu called it as doxa. Curriculum 1984 was chosen as text to be analyzed as the representation of curriculum produced in Orde Baru era. Then, in the post Orde Baru era, it was substituted with curriculum 2006. Social order which had been the mainstream in curriculum 2006 was a kind of effort to make a harmony and social order after Orde Baru collapsed. This harmonization became a power representation to Indonesian people who were faced to many transitions and changes. Social order which had dominated curriculum 1984 was a kind of legitimating effort on development practices that was in its glory.
All Indonesian people must be in order, well regulated. And kept in harmony support the development plan. At this level, developmentalism discourse becomes the mainstream in the curriculum of sociology produced in Orde Baru era, especially curriculum 1984. The analysis result on capital ownership shows that BSNP holds dominant objective position for curriculum authority and publisher-writer are in marginal position. The objective position also indicates the habitus developing among them. The habitus of BSNP are authority, intellectual, and academic. Bourdieu believed that intellectualism hold adequate symbolic power and authority in the discourse competition. This habitus gives contribution to eac discourse it has produced before. The habitus of publisher-writer is rather to idealism and market oriented. They make a synergy from their idealism or discourse base with some adaptation to trend and market development."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
T24401
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Arif
"Tesis ini bertujuan memahami relasi kuasa di balik kontestasi wacana di harian Kompas dalam memberitakan sengketa pembangunan pabrik semen di Kendeng Utara, Jawa Tengah. Untuk menggali permasalahan tersebut, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif. Pertama-tama dilakukan analisis pembingkaian terhadap berita yang pro dan kontra pembangunan pabrik semen untuk mengetahui pola kontestasi wacana dan aktor-aktornya. Berikutnya, dilakukan kajian etnografi ruang redaksi guna mengetahui relasi kuasanya.
Hasil penelitian menunjukkan Kompas menjadikan kontestasi wacana sebagai mekanisme kontrol atau swasensor atas pemberitaan mereka. Temuan ini melengkapi penelitian-penelitian sebelumnya, bahwa kepemilikan modal di tangan segelintir orang telah berdampak buruk bagi independensi media terkait perannya dalam proses demokratisasi (Nugroho, 2012; Lim, 2011; Tapsell, 2012; dan Haryanto, 2011; Steele, 2011).
Dalam penelitian ini, kuasa ekonomi politik di balik praktik swasensor ini diperkaya dengan dimensi permainan kuasa di antara individu wartawan dan praktik swasensor yang telah menjadi habitus Kompas sejak Orde Baru. Jika dulu swasensor dilakukan dalam rangka menyiasati represi politik penguasa, saat ini hal itu dilakukan demi melayani kepentingan kapital dan kepentingan "raja-raja kecil" yang berkuasa di jajaran redaksi. Tesis ini juga menyertakan diskusi teoritik tentang integrasi pendekatan ekonomi politik kritis dengan kajian budaya media.

This thesis aims to investigate power relations behind the discourse contestation of pro-contra towards cement plant in North Kendeng, Central Java, in Kompas daily. To explore these issues, authors used qualitative research methods. First performed analysis of the framing of the news pros and cons of the cement plant to determine the pattern of contestation discourse and the actors. Next, conducted ethnographic studies to determine power relation in the newsroom.
The results showed Kompas makes contestation discourse as a control mechanism or self-censorship on their journalistic practice. These findings complements previous studies, that the ownership of capital in a few hands have negative impact for the independence of the media related to its role in the democratization process (Nugroho, 2012; Lim, 2011; Tapsell, 2012; and Haryanto, 2011; Steele, 2011).
In this study, the power of political economy behind the practice of self-censorship is enriched with the dimension of the game of power between the journalists as individual and practice of self-censorship that has become habitus Kompas since the New Order. Previously, self-censorship is done in order to survive againts the ruling political repression, now it is done for the sake of serving the interests of capital and interest ?little kings? who ruling the newsroom. This thesis also includes a theoretical discussion about the integration of a political economy approach with the media culture studies.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
T46217
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riena J. Surayuda
"Pusat komunitas adalah ruang publik bagi komunitas untuk melakukan aktivitas
sosial, berinteraksi, rekreasi, dan menyalurkan hobinya yang dalam beberapa kasus
dapat menanggulangi permasalahan sosial. Beberapa kajian membahas aspek fungsional
pusat komunitas dari segi pelayanan sosial karena manfaat fungsionalnya, tetapi
pembahasan mengenai pusat komunitas tidak dapat dilihat dari pelayanan sosial saja.
Tulisan ini melihat pusat komunitas, melalui studi kasus RPTRA Kenanga, Cideng,
Jakarta Pusat, memiliki aspek disfungsional yang menimbulkan eksklusivitas melalui
kontestasi memori kolektif antara Pemerintah dan Masyarakat. Dengan menggunakan
kerangka analisis yang mengacu pada konsep ruang publik dan memori kolektif, tulisan
ini melihat perubahan sebelum adanya pusat komunitas yang berupa kepemilikan privat
dan setelah adanya pusat komunitas yang membentuk memori kolektif baru berupa
kepemilikan publik. Dari studi kasus di RPTRA Kenanga, tulisan ini menunjukkan
bahwa pembentukan memori kolektif baru menyebabkan kontestasi memori kolektif
antara negara (pemerintah provinsi DKI Jakarta)dan masyarakat (warga sekitar RPTRA
Kenanga) yang kemudian menimbulkan eksklusivitas di ruang publik tersebut.
Community center is a public space for the community that has a function for social
activities, such as recreation and interaction, which in particular cases may diminish
social problems. This study want to examines community center as Public Space and its
memory collective to see the relevance of the theory and its significance to urban policy.
The method of this article is qualitative using case study of Children-Friendly Integrated
Public Space-Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) Kenanga, Cideng,
Central Jakarta. This article argues there has been a dysfunctional aspect that results
in exclusiveness through collective memory contestation between the Government and
Local Community. The study find that other than the changes from private property to
public property, the establishment of RPTRA Kenanga creates new collective memory
that has resulted in collective memory contestation between the government of DKI
Jakarta and the local people, which led exclusivity in the public space."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia, Pusat Kajian Sosiologi, LabSosio, 2016
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>