Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muthia Putri Nadhifa
"Coresidence merupakan proses tinggal bersama yang dilakukan sebuah keluarga berbeda generasi. Proses tinggal bersama ini dilakukan adanya karena dorongan faktor-faktor yang mempengaruhinya yaitu, Life Course Theory, personal well-being, faktor ekonomi, dan faktor demografi. Coresidence yang dibahas pada tulisan ini terbatas pada hubungan darah orang tua dengan anaknya. Dalam tinggal bersama, ada pola yang terbentuk karena adanya hubungan pertukaran antar penghuni rumah tinggal. Hubungan pertukaran antar penghuni, aktivitas sehari-hari penghuni dan faktor coresidence membentuk pengaturan ruang di rumah tinggal tiap rumah tangga berbeda. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui coresidence serta seperti apa praktinya dilakukan dan apa implikasi spasial terhadap rumah tinggal pelakunya.

Coresidence is a dwelling process done by multi-generational families. The urge to do this process is caused by several factors, such as Life Course Theory, personal well- being, economic factor, and demographic factor. Coresidence in this writing is restricted by the parent and adult children's blood relations. There are coresidence patterns created because of inhabitant exchange relationships inside the house. Exchange relationships, daily activities, and coresidence factors form space arrangements inside each coresident house different from others. The purpose of this writing is to understand coresidence and its practice as well as its spatial implication inside parent and adult children's houses."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Emmeline Bianca Pujiaji
"Di Indonesia, hubungan antargenerasi antara orang tua dan anak-anak mereka adalah pengaturan kehidupan yang umum karena penting bagi anak-anak untuk mengabdi kepada orang tua. Meski begitu, tidak ada gambaran yang jelas untuk menunjukkan hubungan antara kesejahteraan psikologis orang tua dan kualitas hubungan orangtua-anak dalam konteks kesopanan. Penelitian ini bertujuan untuk menguji korelasi antara kesejahteraan psikologis dan kualitas hubungan melalui perspektif konflik-solidaritas pada orang tua yang tinggal bersama anak-anak mereka. Kuesioner diberikan kepada sampel 61 pasang tua-tua dan anak-anak mereka yang tinggal bersama. Timbangan yang digunakan meliputi versi pendek dari Ryff (1989) Psychological Well-Being Scale (PWBS) yang berisi 18 item, dan Skala Solidaritas-Konflik Silverstein, Gans, Lowenstein, Giarusso, dan Bengtson (2010) yang mengukur dua dimensi: solidaritas dan konflik yang mempengaruhi. Dimensi solidaritas lain diukur dengan pertanyaan laporan diri tentang interaksi mingguan, dukungan keuangan, perjanjian nilai, dan persepsi tanggung jawab.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada korelasi positif yang signifikan antara kesejahteraan psikologis dan solidaritas afektif lansia (r = 0,246, p <0,05); dan korelasi negatif yang signifikan antara kesejahteraan psikologis dan konflik lanjut usia (r = -0,300, p <0,01). Penatua akan memiliki kesejahteraan psikologis yang lebih baik ketika mereka lebih dekat dengan anak-anak mereka. Jika tidak, kesejahteraan psikologis akan lebih buruk jika ada lebih banyak konflik dalam hubungan mereka. Konflik memiliki peran yang lebih besar untuk menentukan kualitas kesejahteraan psikologis daripada solidaritas. Oleh karena itu, konflik dalam hubungan orang tua-anak harus diminimalkan sehingga hubungan cinta akan lebih bermanfaat dalam meningkatkan kesejahteraan psikologis lansia.

In Indonesia, intergenerational relationships between parents and their children are a common life arrangement because it is important for children to serve their parents. However, there is no clear picture to show the relationship between psychological well-being of parents and the quality of parent-child relationships in the context of politeness. This study aims to examine the correlation between psychological well-being and relationship quality through the perspective of conflict-solidarity in parents who live with their children. The questionnaire was given to a sample of 61 pairs of elders and their children who lived together. Scales used include a short version of Ryff (1989) Psychological Well-Being Scale (PWBS) that contains 18 items, and the Solidarity-Conflict Scale of Silverstein, Gans, Lowenstein, Giarusso, and Bengtson (2010) which measure two dimensions: solidarity and conflict which influence. Another dimension of solidarity is measured by self-report questions about weekly interactions, financial support, value agreements, and perceptions of responsibility.
The results showed that there was a significant positive correlation between psychological well-being and affective solidarity of the elderly (r = 0.246, p <0.05); and a significant negative correlation between psychological well-being and elderly conflict (r = -0,300, p <0.01). Elders will have better psychological well-being when they are closer to their children. If not, psychological well-being will be worse if there is more conflict in their relationship. Conflict has a greater role to determine the quality of psychological well-being than solidarity. Therefore, conflicts in parent-child relationships must be minimized so that love relationships will be more beneficial in improving the psychological well-being of the elderly.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amalia Hayatunnisa
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dukungan sosial terhadap perilaku sehat lansia yang tinggal bersama anak. Diketahui bahwa sebagian besar lansia di Indonesia tinggal bersama anaknya. Tinggal bersama anak merupakan salah satu contoh dari pengaturan tempat tinggal living arrangement bagi lansia. Untuk mengukur kedua variabel dalam penelitian, yaitu dukungan sosial dan perilaku sehat, peneliti menggunakan alat ukur mengenai dukungan sosial yang telah diadaptasi oleh Gupta dan alat ukur perilaku sehat yang telah dikembangkan oleh tim penelitian perilaku sehat mahasiswa UI. Dukungan sosial terdiri dari tiga dimensi yaitu dimensi informasi, dimensi nyata atau langsung, dan dimensi emosional. Teknik analisis multiple regression dilakukan untuk mengetahui pengaruh ketiga dimensi dukungan sosial terhadap perilaku sehat. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 102 lansia yang tinggal bersama anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada dimensi dukungan informasi diperoleh t 102 = 0,13 dengannilai p=0,901, pada dimensi dukungan nyata atau langsung diperoleh pada t 102 = 0,92 dengannilai p=0,36, dan pada dimensi dukungan emosional diperoleh t 102 = 0,39 dengannilai p=0,699. Berdasarkan hasil tersebutdapat disimpulkan bahwaketiga dimensi dukungan sosial yang diberikan oleh anak tidak dapat memengaruhi perilaku sehat lansia yang tinggal bersama anak.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dukungan sosial terhadap perilaku sehat lansia yang tinggal bersama anak. Diketahui bahwa sebagian besar lansia di Indonesia tinggal bersama anaknya. Tinggal bersama anak merupakan salah satu contoh dari pengaturan tempat tinggal living arrangement bagi lansia. Untuk mengukur kedua variabel dalam penelitian, yaitu dukungan sosial dan perilaku sehat, peneliti menggunakan alat ukur mengenai dukungan sosial yang telah diadaptasi oleh Gupta dan alat ukur perilaku sehat yang telah dikembangkan oleh tim penelitian perilaku sehat mahasiswa UI. Dukungan sosial terdiri dari tiga dimensi yaitu dimensi informasi, dimensi nyata atau langsung, dan dimensi emosional. Teknik analisis multiple regression dilakukan untuk mengetahui pengaruh ketiga dimensi dukungan sosial terhadap perilaku sehat. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 102 lansia yang tinggal bersama anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada dimensi dukungan informasi diperoleh t 102 = 0,13 dengannilai p=0,901, pada dimensi dukungan nyata atau langsung diperoleh pada t 102 = 0,92 dengannilai p=0,36, dan pada dimensi dukungan emosional diperoleh t 102 = 0,39 dengannilai p=0,699. Berdasarkan hasil tersebutdapat disimpulkan bahwaketiga dimensi dukungan sosial yang diberikan oleh anak tidak dapat memengaruhi perilaku sehat lansia yang tinggal bersama anak.

The purpose of this study is to examine the effect of social support on health behavior among older people coresidence living. It is known that most older people in Indonesia live with their children. Living with children is one of living arrangements for older people. To assess both variables in this study, which are social support and health behavior, the researcher use an instrument of social support that has been adapted by Gupta and an instrument of health behavior developed by the UI student health behavior research team. Social support consists of three dimension informational, tangible, and emotional. Multiple regression analysis is conducted to determine the effect. The sample of this study is 102 older people coresidence living. The result of this study found that on the informational support obtained t 102 0,13 with p 0,901, on the tangible support obtained t 102 0,92 with p 0,36, and on the emotional support dimension obtained t 102 0.39 with p 0,699. Based on these results, it can be concluded that the three dimension of social support cannot be effect the health behavior among older people in coresidence living."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2017
S67734
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pranindiska Nurlistyo Naistana
"Hidup bersama orang tua atau mertua adalah hal yang umum di Indonesia dan memengaruhi partisipasi kerja perempuan yang cenderung lebih banyak terlibat dalam pekerjaan rumah tangga dan perawatan dibandingkan laki-laki. Kehadiran orang tua/mertua di rumah tangga memberikan spillover dan crowding out effect pada partisipasi kerja perempuan menikah. Fenomena ini dapat dijelaskan melalui Teori Produksi Rumah Tangga Becker. Penelitian ini menggunakan data Susenas Tahun 2022, dan metode logistik biner serta multinomial logistik, menemukan bahwa hidup bersama orang tua/mertua meningkatkan peluang perempuan menikah untuk bekerja, bekerja di sektor formal, dan memiliki jam kerja yang panjang. Namun, hidup bersama orang tua/mertua yang membutuhkan perawatan menurunkan peluang bekerja, bekerja di sektor formal, dan mengurangi jam kerja mereka.

Living with parents or in-laws is common in Indonesia and affects women's labor force participation, as women tend to be more involved in household chores and caregiving compared to men. The presence of parents/in-laws in the household creates spillover and crowding out effects on the labor force participation of married women. This phenomenon can be explained through Becker's Household Production Theory. Using data from the 2022 Susenas and employing binary logistic and multinomial logistic methods, this study finds that living with parents/in-laws increases the likelihood of married women working, working in the formal sector, and having excessive working hours. However, living with parents/in-laws who require care decreases the likelihood of working, working in the formal sector, and reduces their working hours."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library