Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yolanda Asri Putri Perdani
"ABSTRAK
Pembebasan para budak yang dilakukan oleh Cornelis Chastelein menjadi sejarah penting bagi kota Depok. Hubungan baiknya dengan para budak yang ia pekerjakan, membuat Chastelein memiliki rencana masa depan untuk para budaknya yang ia cantumkan dalam surat wasiatnya. Dua prinsip utama yang menjadi rencana Chastelein terhadap para budaknya. Pertama, memberikan perubahan status dari budak menjadi orang bebas yang menjadi pemeluk agama Kristen, dan kedua, memberikan bekal sebagai modal hidup mereka di kemudian hari dalam bentuk kepemilikian sebagian hartanya yang berupa tanah. Penelitian ini membahas asal-usul penamaan dua belas marga Belanda Depok. Hal-hal tersebut akan dikaji melalui metode penelitian sejarah serta studi pustaka dengan meninjau melalui artikel-artikel serta penelitian sebelumnya yang memiliki keterkaitan dengan sejarah kota Depok. Hasil penelitian menunjukan bahwa nama-nama marga Belanda Depok berasal dari Al-Kitab dan beberapa marga lainnya mempertahankan nama dari tempat mereka berasal.

ABSTRACT
The release of slaves by Cornelis Chastelein became an important history for the city of Depok. His good relationship with the slaves thats he employed, made Chastelein have some future plans for the slaves thats he listed in his testament. The two main principles that became Chastelein s plans for his slaves. First, giving a change in status from slaves to free people who become Christians, and second, providing provisions as their future capital in the form of ownership for some of their property in the form of land. This research will discuss the origin of naming twelve surnames Dutch Depok. These things will be reviewed through historical research methods and literature studies by reviewing through previous articles and research that have relevance to the history of Depok city. The research results show that the surnames Dutch Depok comes from the Bible and several other surnames maintain the name of the place they came from."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Amanda Uma Zahra
"Cornelis Chastelein membeli tanah di daerah Depok dan mempekerjakan budak yang ia merdekakan untuk membentuk kehidupan komunitas sosial yang berpemerintahan mandiri. Sepeninggal Cornelis Chastelein, harta kekayaannya diwarisi sepenuhnya oleh para pengikutnya. Melalui pewarisan ini kemudian budaya Depok mulai berkembang. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkap proses terbentuknya Kaum Depok, budaya yang mereka anut, serta identitas yang melekat pada mereka dalam periode 1913-1945. Metodologi yang dipakai pada studi berikut ialah metodologi historis, terbagi dalam empat tahap, ialah Heuristik, Kritik Sumber, Interpretasi, serta Historiografi. Data yang dipakai pada studi berikut ialah sumber primer, seperti arsip, dokumen foto, dan surat-surat pribadi Cornelis Chastelein, serta sumber sekunder, seperti buku-buku sejarah, artikel jurnal, dan penelitian sebelumnya. Penelitian isi menunjukkan bahwa pembentukan kota Depok tidak terlepas dari peran Cornelis Chastelein yang tidak hanya memperkenalkan agama Kristen Protestan tetapi juga mewariskan kekayaannya, gaya hidup Belanda, dan tradisi khas yang hingga sekarang ini masihlah kerap dilaksanakan oleh pengikutnya. Kelompok ini terus berkembang, mempertahankan gaya hidup ala Cornelis Chastelein, sehingga dikenal dengan julukan Belanda Depok.

Cornelis Chastelein bought land in the Depok area and employed slaves whom he emancipated to form a self-governing social community. After Cornelis Chastelein's passing, his wealth was fully inherited by his followers. Through this inheritance, Depok culture began to develop. This research aims to uncover the process of the formation of the Depok community, the culture they adhere to, and the identity inherent in them during the period 1913-1945. The method used in this research is the historical method, divided into four steps: Heuristics, Source Criticism, Interpretation, and Historiography. A literature review approach is used to gather data. The data used in this research includes primary sources, such as archives, photographic documents, and personal letters of Cornelis Chastelein, as well as secondary sources, such as history books, journal articles, and previous research. The research findings show that the formation of the city of Depok was significantly influenced by Cornelis Chastelein, who not only introduced the Protestant Christian religion but also bequeathed his wealth, Dutch lifestyle, and distinctive traditions that are still often practiced by his followers today. This group continues to evolve, maintaining the lifestyle of Cornelis Chastelein, and has become known as the Belanda Depok."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Edison, F. Thomas
"Komunitas Kristen Depok asli asal-mulanya adalah para pekerja di bidang pertanian dari seorang Belanda yang bernama Cornelis Chastelein. Mereka berasal dari berbagai suku bangsa di Indonesia, seperti dari Bali, Makassar, Jawa, Batavia (Betawi), dan lain-lain. Mereka ini membentuk sebuah kelompok masyarakat di Depok dan merupakan sebuah komunitas yang mula-mula bersifat eksklusif Komunitas ini mempunyai pengalaman yang unik dan tidak ditemukan di tempat lain di Indonesia. Perjalanan hidup komunitas ini mengalami masa menyenangkan dan tenteram sebelum perang kemerdekaan karena kedekatan mereka dengan orang-orang Belanda; masa sukar dan hampir punah pada masa perang mempertahankan kemerdekaan karena dianggap penghianat bangsa dan memihak penjajah; masa prihatin dan dilematis pada masa kemerdekaan karena latar belakang sejarahnya.
Terbentuknya komunitas ini adalah jasa seorang warga negara Belanda keturunan Perancis bernama Cornelis Chastelein yang memberi wasiat yang isinya menghibahkan semua lahan dan sebagian besar kekayaannya kepada para pekerjanya (budaknya) yang mau memeluk agama Kristen Protestan (Hoegenot) Dari sekitar dua ratus orang budak itu, ada seratus dua puluh orang yang mau memeluk agama Kristen Protestan. Mereka ini dibagi dalam dua belas kelompok dan diberi nama marga sebagai berikut : Banos (baca : Bakas), Jacob, Joseph, Jonathans, Laurens, Loan, Leander, Samuel, Soedira, Isakh, Tholense, dan Zadokh.
Mereka mulai menghuni wilayah Depok sejak tahun 1696 dan mulai mewarisi lahan pertanian di Depok sejak tahun 1714. Dalam kurun waktu hampir tiga ratus tahun komunitas ini menghuni wilayah Depok dan telah mengalami pergaulan sosial dengan komunitas-komunitas lain di seldtarnya sehingga terjadi proses perubahan dan kontinyuitas (change and contimdy) dalam kebudayaan mereka. Pada mulanya mereka semua memeluk agama Kristen Protestan dan beribadat di GPIB Immanuel Depok, kini sudah ada yang beribadat di luar gereja GPIB, misalnya di gereja Katolik, gereja Masehi Advent Hari Ketujuh, (Gereja Pantekosta, bahkan karena perkawinan ada yang purdah agama. Mata pencaharian komunitas ini dahulu semua di bidang pertanian, kini hampir tidak ada lagi. Mereka bekerja di bidang industri, perusahaan swasta, dan ada yang menjadi wiraswasta. Ada juga yang bekerja di sektor-sektor informal. Bahasa Belanda yang menjadi ciri khas mereka, kini sudah sangat berkurang intensitasnya dan diganti dengan bahasa Indonesia. Perkawinan yang dahulu bersifat endogarni, kini sudah bersifat eksogami. Kesenian telah berubah dari gamelan dan musik keroncong menjadi paduan suara di gereja menggunakan piano dan gitar.
Namun ada usaha-usaha untuk memperkokoh eksistensi komunitas ini, terutama lima puluh tahun terakhir ini, untuk melaksanakan wasiat Cornelis Chastelein. Usaha itu adalah mendirikan Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein yang bertugas mengelola semua aset yang ditinggalkan oleh Cornelis Chastelein untuk kesejahteraan anggota-anggotanya. Komunitas ini juga tetap terpelihara melalui lembaga gereja yaitu GPID Immanuel Depok. Pads kedua lembaga inilah diletakkan harapan kelangsungan hidup komunitas ini sampai waktu yang lama di masa yang akan datang.
Karena pengalaman sejarah, komunitas ini pernah mengalami hidup dalam keadaan apatis terhadap lingkungannya dan merasa frustrasi karena tidak dapat lagi mengembalikan kejayaan masa lampaunya, dan mengalami dilema identitas, bahkan dapat dikatakan mengalami krisis identitas, terutama pada generasi tua. Sedangkan pada generasi mudanya juga masih trauma atas sejarah masa lalu nenek-moyang dan orang-tua mereka. Namun keadaan apatis dan frustrasi masa lalu itu tidak lagi dialami oleh komunitas ini pada masa kini. Sudan tumbuh kesadaran bahwa mereka adalah memiliki Depok dan juga hams berperan dalam pembangunan Depok."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T1632
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muchammad Syawaludin Ilham
"Kantor Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein atau eks rumah pastori merupakan bukti karya kebudayaan dan wujud pencapaian karya arsitektural yang unik, khas, dan langka, mengandung nilai arkeologis dan sejarah pada masa kolonial. Salah satu cara untuk memperkuat hubungan antara masyarakat dan warisan budaya adalah melalui pemanfaatan, dimana cagar budaya diusahakan agar memiliki nilai dan manfaat yang konkret bagi masyarakat. Namun pada studi kasus objek penelitian ini, pengelola sekaligus sebagai pemilik bangunan tidak serta merta menerapkan prinsip pemanfaatan yang berdaya guna untuk masyarakat luas sebagaimana hal ini disebutkan dalam Undang-Undang Cagar Budaya. Metode yang dipakai pada kajian riset berikut umumnya dilakukan lewat tiga proses, yaitu pengumpulan, pengolahan, dan penafsiran data. Untuk menguraikan pemanfaatan bangunan saat ini, penelitian ini didasarkan pada data yang didapatkan ketika datang langsung ke lapangan. Selain itu, data yang didapatkan tersebut ditunjang dengan data wawancara terhadap tokoh terkait. Bersumber UU Cagar Budaya No.11/2010, pengelola sekaligus pemilik bangunan Kantor Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein tidak secara maksimal memanfaatkan bangunannya demi urusan keagamaan, kebudayaan, sosial, ilmu pengetahuan, pendidikan, serta teknologi. Meskipun begitu, pengelola pada hal tersebut memiliki rencana untuk memaksimalkan pemanfaatan bangunan untuk kepentingan pariwisata sekaligus pengetahuan, yakni dimanfaatkan sebagai museum. Maka dari itu, penelitian ini memperoleh kesimpulan bahwa bentuk pemanfaatan bangunan Kantor Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein sampai dengan saat ini selain sebagai sarana perkantoran adalah untuk kepentingan pariwisata dan pengetahuan. Pemanfaatan terhadap objek penelitian ini didapatkan belum mengerahkan peran serta masyarakat secara luas. Namun pada satu sisi, bangunan Kantor Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein ini dalam pemanfaatannya sudah berlandaskan pada kaidah pelestarian.

The Cornelis Chastelein Institute Foundation Office or former manse is evidence of cultural work and a form of achievement of unique, ditstinctive and rare architectural, containing archaeological and historical value during the colonial period. One way to streghthen the relationship between society an cultural heritage is through utilization, where cultural heritage is sought to have concrete value and benefits for society. However, within the case consider of this investigate protest, the director as well as the proprietor of the building does not fundamentally apply the guideline of viable utilize for the wider community as expressed within the Social Legacy Law. The method used for this research study is generally carried out trough three processes, namely data collection, processing, and interpretation. To decipher the current use of buildings, this study is based on data obtained when it comes directly to the field. In addition, the data obtained is supported by interview data on related figures. Based on Cultural Heritage Law no.11 of 2010, the manager and owner of the Cornelis Chastelein Foundation Office building does not optimally utilize the building for religious, social, cultural, educational, scientific and technological purposes. Even so, the manager in this case has a plan to maximize the use of buildings for tourism as well as knowledge, which is used as a museum. Therefore, this aim concluded that the form of use of the Cornelis Chastelein Foundation Office building until now other than as office facilities is for the benefit of tourism and knowledge. The use of this research object has not mobilized the participation of the community at large. But on the one hand, the Cornelis Chastelein Foundation Office building in its use is based on the principles of preservation."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library