Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 59 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hosea, Fransiscus Nikodemus
"Penyakit jantung koroner merupakan salah satu penyebab kematian terbanyak, yang dapat dialami oleh baik laki-laki ataupun perempuan. Salah satu tata laksana yang dapat dilakukan untuk kondisi ini adalah Coronary Artery Bypass Graft (CABG). Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara lama rawat, jumlah pembuluh arteri koroner yang tersumbat, dan hipertensi terhadap kematian pasien CABG di Rumah Sakit Pusat Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita. Desain penelitian yang dipilih adalah restrospective cohort. Data penelitian ini diperoleh dari rekam medik pasien yang tercatat di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita. Data pada penelitian ini melibatkan 66 subjek penelitian. Data yang dikumpulkan kemudian diuji dengan Chi-square dan Fisher untuk menentukan nilai probabilitas (p).Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara mortalitas dengan lama rawat (RR=1,57 IK95%=0,60-4,08 p=0,35), jumlah pembuluh arteri koroner yang tersumbat (RR=0,90 IK95%=0,25-3,27 p=1,00), dan riwayat hipertensi (RR=1,59 IK95%=0,41-6,21 p=0,72). Faktor lama rawat, jumlah pembuluh darah arteri koroner yang tersumbat, dan riwayat hipertensi tidak memiliki hubungan yang bermakna terhadap mortalitas subjek penelitian dalam waktu 6 tahun pasca tindakan coronary artery bypass graft.

Coronary artery disease is one of the most common cause of death, that can be found both in men and women. This condition can be treated with some surgical intervention such as Coronary Artery Bypass Graft (CABG). The purpose of this study is to determine the association between length of stay, the number of diseased coronary artery vessel, and hypertension with mortality in post-CABG patients after 6 years in National Cardiovascular Center Harapan Kita. This study uses retrospective cohort as its design. Data used in this study involving 66 subjects. The data is then tested using Chi-square and Fisher to see the value of probability (p).Based on data analysis, it is found that there is no significant association between mortality with length of stay (RR=1.57 95%CI=0,60-4,08 p=0.346), the number of diseased coronary artery vessel (RR=0.90 95%CI=0.25- 3.27 p=1.000), and hypertension (RR=1.59 95%CI=0.41-6.21 p=0.716). Length of stay, the number of diseased coronary artery vessel, and hypertension are not associated with the mortality of post-coronary artery bypass graft patients after 6 years.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yunani
"ABSTRAK
Coronary Artery Bypass Grafting (CABG) merupakan prosedur pembedahan revaskularisasi yang digunakan untuk memperbaiki dan meningkatkan aliran darah ke jantung. Masalah paling umum yang timbul pada pasien pasca CABG adalah nyeri pasca CABG/Post CABG pain (PCP). Latihan peregangan otot pernafasan merupakan suatu latihan untuk memelihara dan mengembangkan fleksibilitas atau kelenturan otot pernafasan dan dapat mengurangi nyeri. Beberapa jenis latihan untuk mengurangi nyeri telah banyak diidentifikasi seperti latihan aerobik dan anaerobik, namun hanya sedikit penelitian yang telah mengkaji keefektifan latihan peregangan otot dan latihan nafas dalam pada pasien CABG khususnya terhadap nyeri. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi keefektifan latihan peregangan otot pernafasan terhadap penurunan nyeri pada pasien pasca coronary artery bypass grafting di rumah sakit jantung dan pembuluh darah Harapan Kita Jakarta. Penelitian quasi experiment ini menggunakan sampel 30 responden, masing-masing 15 responden untuk kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Instrumen yang digunakan untuk mengukur nyeri adalah visual analog scale (VAS) dengan kombinasi numeric pain scale dengan skala 1-10. Pengumpulan data dilakukan sendiri oleh peneliti dan data yang diperoleh dianalisa secara univariat, bivariat dan general linear model (GLM) menggunakan t test, anova, korelasi dan GLM repeated measures. Hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan yang bermakna antara tingkat nyeri sebelum dan sesudah latihan peregangan otot pernafasan pada kelompok intervensi dan kontrol (p=0.018, α=0.05). Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi layanan keperawatan dan perkembangan ilmu keperawatan dalam menggunakan latihan peregangan otot sebagai salah satu terapi modalitas keperawatan untuk mengurangi nyeri. Direkomendasikan untuk penelitian lanjut tentang latihan ini pada pasien pasca bedah kardiotorak lainnya.

ABSTRACT
Coronary Artery Bypass Grafting (CABG) is a revascularization surgery procedure which is done to repair and improve the blood circulation to heart. The most common problem encountered by patient during post CABG is Post CABG pain (PCP. Respiratory muscle stretching exercise is an exercise to maintain and develop flexibility of respiratory muscle and gon reduce pain. Some kinds of exercise to reduce pain have been identified such as aerobic and anaerobic exercises, though only a few researches which have studied the effectiveness of muscle stretching exercises and deep breathing for CABG patients especially towards pain. The purpose of this research is to identify the effectiveness of respiratory muscle stretching towards the decrease of pain on patients post coronary artery bypass grafting in Harapan Kita Cardiovascular Hospital Jakarta. This Quasi Experimental research used the sample of 30 respondents, each 15 respondent for intervention and control groups. Instrument used to measure pain is visual analog scale (VAS) by the combination of numeric pain scale at 1-10. Collection of the data was carried out by the researcher herself and the collected data was analyzed in univariate, bivariate, and general linear model (GLM) by using i test, anova, correlation and general linear model (GLM) repeated measures. The result of the research shows that there was a significant difference between the degree of pain before and after the respiratory muscle exercises on the intervention and control group (p=0.018, a 0.05). This research is expected to be beneficial for nursing service and development of nursing science in using muscle stretching exercises as one of the nursing modality therapy in reducing pain. It is also recommended for the further research about this kind of exercise for the other cardiothorac post surgery patients."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2008
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Toni Mustahsani Aprami
"Profit lipid yang abnormal merupakan faktor risiko mayor untuk penyakit jantung koroner (PJK) dan beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan adanya hubungan dengan gangguan pertumbuhan prenatal (BBLR) atau postnatal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya risiko mempunyai profil lipid yang abnormal pada individu dengan gangguan pertumbuhan prenatal. Penelilian dilakukan pada populasi kohort di Kecamatan Tanjungsari Kabupaten Sumedang Sawa Barat yang lahir tahun 1988-1990. Kriteria BBLR berdasarkan pada bayi lahir > 37 minggu dengan berat badan lahir 2700 gram. Kriteria inklusi, BBLR dan non-BBLR dengan pertumbuhan postnatal sampai usia 36 bulan adekuat, mempunyai catatan lengkap BB lahir, TB lahir sampai usia 36 bulan dan catatan BB, TB pada usia 12-14 tahun, bersedia ikut dalam penelitian.
Setelah dilakukan pemeriksaan profil lipid, validitas data dan stratifikasi, dari 871 orang subyek yang diteliti, hanya 229 yang memenuhi kriteria yang telah ditentukan. Ditentukan sebanyak 105 subyek penelitian melalui simple random yang mengalami dislipidemia dimasukkan kedalam kelompok kasus, untuk kelompok kontrol, diambil jumlah yang sama dengan matching. Untuk membandingkan data-data antara kedua kelompok dipakai uji student t-test, sedangkan menjawab masalah utama yaitu besarnya risiko mengalami dislipidemia digunakan perhitungan odds ratio dengan menggunakan table 2x2.
Hasi penelitian karakteristek umum kedua kelompok (umur, jenis kelamin, berat badan dan tinggi bada) tidak ada perbedaan bermakna p<0,05. Tidak ada perbedaan yang bermakna kadar kolesterol total dan kolesterol LDL remaja dengan BBLR dibandingkan remaja yang non BBLR, p>0,05. Radar trigliserida lebih tingi bermakna pada remaja dengan BBLR dibandingkan dengan remaja non BBLR, p=0,00004, sedangkan kadar kolesterol HDL lebih rendah bermakna pads remaja dengan BBLR dibandingkan remaja non-BBLR, p=0,00004.. Pada remaja dengan BBLR mempunyai risiko lebih besar untuk teijadi dislipidemia dibandingkan remaja non BBLR dengan odds ratio 3,26 95%CI 1,77-6,02; p=0,00003.
Kesimpulan : Remaja dengan gangguan pertumbuhan prenatal mempunyai risiko lebih besar untuk terjadi dislipidemia.

Abnormal lipid profile is an independent risk factor for coronary artery disease. Some studies have shown that small for gestational age (SGA) was associated with abnormal plasma lipid profile in adolescent and adulthood. This study was conducted to asses whether SGA children are more prone to have abnormal plasma lipid profile.
This study was performed to cohort population in Kecamatan Tanjungsari Kabupaten Sumedang-West Java who was born between 1988-1990. The criteria of SGA are term infants, gestational age of > 37 weeks, birth weight : 2700 grams and birth length 45-50 centimeters. Appropriate gestational age (AGA) are term infants, gestational age > 37 weeks; birth weight > 2700 grams and birth length > 47 centimeters. Inclusion criteria were SGA and AGA with postnatal growth up to 36 months adequately, complete birth weight and birth length records up to 36 months as well and birth weight and birth length during 12-14 years of age, willing to accompany in this study.
After lipid profile examination was performed, validity and stratification data of 871 subjects, 229 subjects were complied with including criteria. With the simple random, I05 subjects of dislipidemia were decided as the case group and the same number of control group were included as matching. The significance of differences between two groups was examined using student t -test and Mann Whitney. A p level of 0.05 was considered statistically significant.
There were no differences in general characteristic of both group (age, gender, birth length) p>0.05. No significant differences between total cholesterol and LDL cholesterol levels in subject with SGA compared with AGA, p>0 05. Triglyceride level was higher found significant in subject SGA compared with AGA, p=0.00004, however the HDL cholesterol level have a significant more less in subject SGA compared with AGA, p=0.00004. Subject with SGA have an increase risk to develop of dislipidaemia compare with subject AGA, odds ratio of 3.26, 95%CI 1.77-6.O2;p=0.00003.
Conclusion :
Subject with prenatal growth retardation have an increase risk for dislipidaemia in adult life.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18179
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Hafiz Aini
"Latar Belakang: Derajat kompleksitas lesi koroner yang berat merupakan prediktor mortalitas dan Major Adverse Cardiovascular Event (MACE) serta penentuan revaskularisasi pada penyakit jantung koroner (PJK). Fragmented QRS (fQRS) dinilai sebagai penanda iskemia atau cedera miokardium PJK. Hubungan fQRS dan derajat kompleksitas lesi koroner perlu diteliti lebih lanjut pada pasien PJK di Indonesia.
Tujuan: Mengetahui hubungan fQRS dan derajat kompleksitas lesi koroner pada pasien penyakit jantung koroner.
Metode: Penelitian potong lintang di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, mengambil data sekunder pada 172 pasien jantung koroner yang menjalani percutaneous coronary intervention (PCI) di Cath Lab pada bulan Januari-Juni 2018 secara total sampling. Pasien dibagi berdasarkan adanya tidaknya fQRS. Data demografi, klinis, dan deajat kompleksitas (skor Gensini) diteliti. Hubungan antara adanya fQRS dan derajat kompleksitas lesi koroner dianalisis dengan uji kesesuaian.
Hasil: Sembilan puluh empat (54,6%) subjek terdapat gambaran fQRS. Pada analisis didapatkan hubungan antara fQRS dengan kategori skor Gensini ringan-sedang dan ringan-berat dengan kesesuaian baik (kappa 0,721 dan 0,820; p <0,001). Hubungan dengan kesesuaian yang baik juga didapatkan antara fQRS dan PJK signifikan (kappa 0,670; p <0,001) serta fQRS dan PJK multivessel (kappa 0,787; p <0,001).
Simpulan: Terdapat hubungan fragmented QRS complexes dan derajat kompleksitas lesi koroner pada pasien penyakit jantung koroner.

Background. The severity of coronary artery lesion is used as a predictor of mortality, major adverse cardiovascular event, and revascularization in coronary artery disease (CAD). Fragmented QRS complex (fQRS) as a novel marker of myocardial ischemia/scar in patients with coronary artery disease. The relationship between the two in Indonesia should be studied further.
Purpose. To determine the relationship between fQRS and the severity of coronary lesion in coronary artery disease.
Methods. A cross sectional study was conducted at Cipto Mangunkusumo Hospital. Secondary data were taken from 172 patients with CAD who underwent percutaneous coronary intervention (PCI) from January-June 2018 with total sampling. Patients were divided based on the existence of fQRS. Demographic, clinical, and severity of coronary artery lesion (Gensini score) characteristics were studied. Data were analysed using Cohens kappa agreement test.
Results. fQRS was present in 94 subjects (54.6%). Bivariate analysis showed a significant difference between fQRS with mild-moderate Gensini score as well as mild-severe Gensini score (kappa 0,721 and 0,820; p<0,001), fQRS with significant CAD (kappa 0.670; p<0,001), and fQRS with multivessel CAD (kappa 0.787; p<0,001).
Conclusion. There is a significant relationship between fQRS and the degree of severity of coronary lesion in coronary artery disease patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ketut Holifah
"Penyakit Coronary Artery Disease (CAD) merupakan penyebab utama kematian dan meningkatnya angka Disability Adjusted Life Years (DALYs) pada populasi global. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh telenursing berbasis website aplikasi dalam meningkatkan kualitas hidup pasien coronary artery disease post percutaneuos intervention. Desain penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan desain quasi eksperimen pre post dengan grup kontrol yaitu memberikan perlakuan atau intervensi pada subyek penelitian kemudian efek perlakuan tersebut diukur dan dianalisis. Analisis data menggunakan uji Wilcoxon dan Mann Whitney dikarenakan data tidak berdistribusi secara normal. Perbedaan sebelum dan sesudah pemberian telenursing website aplikasi pada kelompok intervensi mendapatkan hasil terjadi peningkatan kualitas hidup secara total dan setiap domain. Begitu pula pada kelompok kontrol didapatkan secara total terjadi peningkatan kualitas hidup namun jika dilihat masing masing domain tidak terjadi peningkatan. Hasil sesudah intervensi antar kelompok mendapatkan nilai p-value <0.05. dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan kualitas hidup yang signifikan antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi, Dimana pada kelompok intervensi terjadi peningkatan kualitas hidup pada pasien CAD post PCI.

Coronary Artery Disease (CAD) is the main cause of death and increasing rates of Disability Adjusted Life Years (DALYs) in the global population. This study aims to identify the influence of application website-based telenursing in improving the quality of life of coronary artery disease patients post percutaneous intervention. The design of this research is quantitative research using a pre-post quasi-experimental design with a control group, namely providing treatment or intervention to research subjects and then the effects of the treatment are measured and analyzed. Data analysis used the Wilcoxon and Mann Whitney tests because the data was not normally distributed. The difference before and after providing the telenursing website application in the intervention group resulted in an increase in quality of life in total and in each domain. Likewise, in the control group, it was found that in total there was an increase in quality of life, but if we looked at each domain there was no improvement. The results after intervention between groups obtained a p-value <0.05. From these results it can be concluded that there is a significant difference in quality of life between the control group and the intervention group, where in the intervention group there was an increase in quality of life in CAD patients post PCI."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Ginanjar
"The purpose of this case repots are to evaluate the role of ST elevation in aVR lead and to make analysis between both cases. There are some atypical electrocardiogram (ECG) presentations which need prompt management in patient with ischemic clinical manifestation such as ST elevation in aVR lead. In this case study, we report a 68-year old woman with chief symptoms of shortness of breath and chest discomfort. She was diagnosed with cardiogenic shock, with Killip class IV, and TIMI score of 8. The second case is a 57-year-old man with typical chest pain at rest which could not be relieved with nitrate treatment. He was diagnosed with ST elevation in inferior and aVR lead, and occlusion in left circumflex artery (LCX). Both patients underwent primary percutaneous coronary intervention (PPCI). Subsequently, both cases presented remarkable clinical improvements and improved ST elevation myocardial infarction (STEMI) in aVR lead.

Laporan kasus ini bertujuan menilai peran ST elevasi di lead aVR dan manifestasi perbedaannya diantara dua kasus. Ada beberapa tanda elektrokardiogram (EKG) yang tidak khas yang membutuhkan manjemen segera pada pasien dengan manifestasi klinis iskemia seperti elevasi ST di sadapan aVR. Pada laporan ini kami, menyajikan seorang wanita, 68 tahun mengalami sesak napas dan tidak nyaman di dada, dan diagnosis syok kardiogenik dan edema paru, elevasi ST di anterior luas dan sadapan aVR, dan oklusi left artery descendent (LAD) dan left circumflex artery (LCX) dengan killip 4 dan skor thrombolysis in myocardial infarction (TIMI) 8. Kasus kedua, seorang pria, 57 tahun mengeluh nyeri dada khas saat istirahat, 2 jam sebelum ke RS. Tidak hilang dengan nitrat. elevasi ST di sadapan inferior dan aVR, dan oklusi di LCX. Kedua pasien dilakukan primary percutaneous coronary intervention (PPCI) dan mengalami perbaikan kondisi serta perbaikan ST elevation in Myocardial infarction (STEMI) di sadapan aVR."
Jakarta: Interna Publishing, 2017
610 UI-IJIM 49:4 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Diah
"Background: Adiponectin, an adipocyte-secreted hormone involved in energy homeostasis, has broad anti-inflammatory, antioxidant, and endothelium- and myocardial-protective effects, together with a potentially positive regulatory function in coronary microcirculation. Although the physiological role of adiponectin has not yet been fully elucidated, it may well be involved in the regulation of many of the inflammatory processes or lipid metabolisms that contribute to atherosclerosis. In this study we investigate the plasma concentration of adiponectin in patients with coronary artery disease (CAD), those with coronary slow flow (CSF) and in healthy subjects.
Methods: this study was conducted according to a cross-sectional design involving 30 CAD, 30 CSF, and 30 healthy subjects. These subjects were sourced from the Dr. Zainoel Abidin Center Hospital, Banda Aceh, Indonesia, between December 2017 and February 2018. The plasma concentration of adiponectin was measured using enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) according to the manufacturer’s specifications. Results: there were statistically significant differences at p<0.001 between the CAD, CSF, and healthy-subject groups in terms of age, sex, systolic blood pressure, total cholesterol, triglycerides, and creatinine. Mean plasma concentrations of adiponectin in patients with CAD were significantly lower than in patients with CSF and in healthy subjects (CAD: 3.40 (0.87) μg/ml; CSF: 4.58 (2.32) μg/ml; healthy subjects: 5.65 (4.87) μg/ml; P<0.001).
Conclusion: the findings suggest that low plasma adiponectin concentration is associated with atherosclerosis. Plasma concentrations of adiponectin may be related to the pathophysiology role of cardiovascular disease in both CAD and CSF patients.

Latar belakang: Adiponektin, hormon yang disekresikan oleh adiposit yang berperan pada homeostasis energi dan memiliki efek antiinflamasi, antioksidan, endothelium serta efek protektif terhadap endotelium dan miokard dengan fungsi regulasi yang positif terhadap mikrosirkulasi koroner. Meskipun secara fisiologis peran adiponektin masih belum diketahui secara pasti,namun adiponektin berperan pada proses inflamasi atau metabolisme lipid, yang berkontribusi terhadapa proses aterosklerosis. Pada studi ini, kami melakukan evaluasi kadar konsentrasi adiponektin pada pasien CAD, aliran darah lambat dan subjek sehat.
Metode: penelitian ini dilakukan dengan design cross-sectional yang melibatkan 30 pasien CAD, 30 pasien SCF dan 30 pasien subjek sehat dari Desember 2017-Februari 2018 di RSUD dr. Zainoel Abidin, Banda Aceh, Indonesia. Kadar plasma adiponektin di ukur dengan menggunakan alat immunosorbent enzyme-linked (ELISA) sesuai dengan spesifikasi alat.
Hasil: terdapat hasil yang signifikan bermakna secara statistik di antara subjek CAD, SCF dan subjek sehat dalam hal usia, jenis kelamin, tekanan darah sistolik, kolesterol total, trigliserida dan kreatinin dengan p<0,001. Rerata kadar konsentrasi adiponektin pada pasien CAD secara signifikan menunjukkan nilainy yang lebih rendah dibandingkan pasien dengan SCF dan subjek sehat (CAD 3,40 (0,87) μg/ml; SCF 4,58 (2,32) μg/ml; subyek sehat 5,65 (4,87) μg/ml; P<0,001).
Kesimpulan: penelitian ini menunjukkan kadar plasma adiponektin yang rendah merupakan molekul penting yang berhubungan dengan aterosklerosis. Kadar plasma adiponektin mungkin berhubungan dengan peran terjadinya patofisiologi dari penyakit kardiovaskular baik pasien CAD dan CSF
"
Jakarta: University of Indonesia. Faculty of Medicine, 2019
610 UI-IJIM 51:4 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Simbolon, Rafles Partogi Hadameon
"Latar belakang: Mesin cardiopulmonary bypass (CPB) yang digunakan untuk operasi conventional coronary artery bypass graft (CCABG) meningkatkan risiko terjadinya gangguan fungsi ginjal pascaoperasi. Teknik operasi off-pump coronary artery bypass (OPCAB) tidak menggunakan mesin CPB, sehingga diharapkan dapat menurunkan kejadian acute kidney injury (AKI) pascaoperasi. Gangguan fungsi ginjal pascaoperasi dapat berkomplikasi menjadi penyakit ginjal kronik dan bahkan meningkatkan mortalitas.
Tujuan: Membandingkan gangguan fungsi ginjal pascaoperasi OPCAB dan CCABG dengan menilai peningkatan kreatinin serum, derajat AKI, dan kebutuhan hemodialisis pascaoperasi.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode penelitian kohort retrospektif yang dilakukan dengan menganalisis data rekam medis pasien di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita tahun 2019 – 2021. Data kreatinin serum pascaoperasi diambil pada waktu 24 jam dan 48 jam pascaoperasi, kemudian hasilnya dibandingkan di antara kedua kelompok. Derajat AKI pascaoperasi dan kebutuhan hemodialisis pascaoperasi yang terjadi di antara kedua kelompok juga dibandingkan.
Hasil: . Kelompok pasien OPCAB (n = 277) dan CCABG (n = 770) memiliki data demografis yang tidak berbeda bermakna. Kelompok OPCAB memiliki nilai median kreatinin serum pascaoperasi yang lebih rendah pada waktu 24 jam (1,04 mg/dL vs 1,20 mg/dL; p <0,05) dan 48 jam pascaoperasi (1,12 mg/dL vs 1,21 mg/dL; p<0,05). Kejadian AKI pascaoperasi pada semua stadium dan kebutuhan hemodialisis pascaoperasi juga lebih rendah secara bermakna pada kelompok OPCAB.
Kesimpulan: Teknik operasi OPCAB menghasilkan kreatinin serum dan derajat AKI lebih rendah serta kebutuhan hemodialisis pascaoperasi yang lebih sedikit dibandingkan dengan CCABG.

Background: Cardiopulmonary bypass (CPB) machine, that is used in conventional coronary artery bypass graft (CCABG), increases the risk of postoperative renal dysfunction. Off-pump coronary artery bypass technique does not utilize the CPB machine, therefore is expected to decrease postoperative acute kidney injury (AKI) incidents. Postoperative renal dysfunction can complicate into chronic kidney disease and even increases mortality risk.
Purpose: To compare the postoperative renal dysfunction after OPCAB and CCABG by evaluating the increase of creatinine serum, AKI, and postoperative hemodialysis.
Methods: For this retrospective cohort study, we analyzed the data from patient’s medical record in National Cardiovascular Center Harapan Kita from 2019 to 2021. The patients in OPCAB group (n=277) and CCABG group (n=770) had similar demographic characteristics. Postoperative creatinine serum was measured at 24 hours and 48 hours postoperative, then the results were compared between the two groups. Postoperative AKI and hemodialysis were also compared.
Results: The OPCAB group had lower median value of postoperative creatinine serum at 24 hours (1.04 mg/dL vs 1.20 mg/dL; p <0.05) and 48 hours postoperation. (1.12 mg/dL vs 1.21 mg/dL; p<0.05). All stages of postoperative AKI and hemodialysis were also lower significantly in the OPCAB group.
Conclusion: OPCAB technique resulted in lower postoperative creatinine serum, AKI rates, and less hemodialysis neeeds compared with CCABG technique .
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stella Aprilia
"Latar belakang: Hubungan antara HbA1c dengan kejadian mortalitas dan morbiditas pada pasien diabetes yang menjalani CABG telah dijelaskan dalam banyak penelitian sebelumnya. Namun, peran HbA1c pada populasi pasien non-diabetes dengan PJK yang menjalani BPAK belum pernah dilakukan, khususnya di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah kadar HbA1c praoperasi memiliki hubungan dan dapat memprediksi keluaran awal pascaoperasi setelah BPAK pada pasien non-diabetes dengan penyakit arteri koroner. Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif pada pasien non-diabetes dengan penyakit jantung koroner yang menjalani BPAK sejak Januari 2022 hingga Desember 2023 di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita. Kemudian, data kadar HbA1c praoperasi serta keluaran pascaoperasi yaitu mortalitas intrahospital dan morbiditas pascaoperasi seperti durasi penggunaan ventilator mekanik, lama rawat inap di ICU, lama rawat inap di rumah sakit, Major Adverse Cardiovascular Event (MACE), dan infeksi luka operasi diambil dari rekam medis pasien. Data variabel kontinu dinilai dengan menggunakan uji T atau uji Mann-Whitney U, sedangkan data nominal dinilai menggunakan uji Chi square atau Fischer. Analisis multivariat akan dilakukan lebih lanjut untuk hasil yang signifikan. Hasil: Sebanyak 391 subjek memenuhi kriteria dalam penelitian ini. Usia rata-rata subjek adalah 58,69 ± 8,29 tahun. Subjek dengan prediabetes (n = 268) memiliki perbedaan yang signifikan  secara statistik dalam median durasi ventilator dibandingkan dengan kelompok HbA1c normal (p = 0,009). Namun, tidak didapatkan hubungan yang signifikan antara HbA1c praoperasi dengan mortalitas intrarawat, lama rawat inap di ICU, lama rawat inap di rumah sakit, kejadian MACE, dan infeksi luka operasi pascaoperasi. Simpulan: Tidak terdapat hubungan antara HbA1c praoperasi pada pasien non-diabetes dengan PJK yang telah menjalani BPAK dengan mortalitas intrarawat, lama rawat inap di ICU, lama rawat inap di rumah sakit, kejadian MACE, dan infeksi luka operasi pascaoperasi. Pasien HbA1c normal praoperasi diasosiasikan signifikan secara statistik mempunyai durasi ventilasi mekanik yang lebih pendek dibandingkan pada pasien prediabetes dengan PJK yang telah menjalani BPAK.

Background: The association between HbA1c with mortality and morbidity events in diabetic patients undergoing CABG have been explained in many previous studies. However, the predictive value of this in the non-diabetic patient population has not received sufficient attention, especially in Indonesia. This study investigated whether the pre-operative HbA1c level had an association and could predict early post-operative outcomes after CABG in non-diabetic patients with coronary artery disease. Methods: This retrospective cohort study involved non-diabetic patients with coronary artery disease who underwent CABG from January 2022 until December 2023 at National Cardiovascular Center Harapan Kita. Pre-operative HbA1c level and post-operative incidence of intrahospital mortality and morbidities such as mechanical ventilator duration, length of ICU stay, length of hospital stay, major adverse cardiovascular event (MACE), and sternal wound infections were collected. Continuous variable is assessed using T test or Mann- Whitney U test. Nominal data are assessed using Chi square or Fischer test. Multivariate analysis will be conducted further for significant results. Results: Three hundred-ninety-one subjects were involved in this study. The mean age of all subjects was 58.69 ± 8.29 years. Subjects with pre-diabetes (n = 268) have statistically significant difference in median ventilator duration compared to normal HbA1c group (p = 0.009). However, there was no significant association between pre-operative HbA1c and early post-operative intrahospital mortality, length of ICU stay, length of hospital stay, major adverse cardiovascular event (MACE), and sternal wound infections in this population. Conclusion: Pre-operative glycated hemoglobin level is not associated with early mortality, length of ICU stay, length of hospital stay and MACE. However, there is statistically significant lower mechanical ventilator duration in normal HbA1c compared to pre-diabetic patients with CAD who have undergone CABG."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rini Pramesti
"Pendahuluan : Disfungsi endotel merupakan awal timbutnya aterosklerosis yang pada kondisi lanjut akan menychabkan penyakit jantung koroner (PJK). Teh hijau dilaporkan mampu memperbaiki disfungsi endotel karena kandungan katekin yang ada di dalamnya. Penelitian menunjukkan teh hijau mampu meningkatkan produksi prostasiklin pada kultur sel aorta babi.
Tujuan penelitian : Untuk mcmbuktikan hahwa pemberian teh hijau sekali minum dapat memberi efek terhadap peningkatan produksi 6-ketoprostaglandin Fl-a sebagai metabolic prostasiklin dan penurunan kadar tromboksan B2 sebagai metabolit tromboksan A2 pada penderita PJK.
Metode : Penelitian dilakukan pada 25 penderita yang terhukti PJK dari pemeriksaan angiografi koroner. Sampel dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok 1 mendapat teh hijau terlebih dahulu dan Kelompok l1 mendapat plasebolair putih terlebih dahulu. Setelah masa wash-Put selama 1 minggu, dilakukan cross-over. Dihitung kadar 6-ketoprostaglandin Fl-a sebagai metabolit prostasiklin don tromboksan B2 sebagai metabolit tromboksan A2 sebelum dan sesudah pemberian teh hijau dan plasebo. Dllakukan pemeriksaan kadar 6-ketoprostaglandin Fl-a dan tromboksan B2 pada 20 orang sehat usia 18-25 tabula sebagai acuan nilai normal.
Hasil : Didapatkan peningkatan kadar 6-ketoprostaglandin Fl-a yang bermakna pada kedua kelompok. Pada kelompok I sebeiuni pemberian tab hijau kadar 6-ketoprostaglandin Fl -a 5.126 (2.808-6.237) menjadi 6.575 (4.788-7.638) ng/ml (p= 0.012). Pada kelompok plasebo tidak didapatkan peningkatan yang bermakna (p= 0.328). Pada kelompok II kadar 6-ketoprostaglandin Fl-ct sebelum teh hijau 6.044 (2.804-11.693) menjadi 7.212 (4.028-11.175) ng/ml (p= 0.011). Pada plasebo tidak didapatkan peningkatan yang bermakna (p= 0.325). Pada pemeriksaan kadar tromboksan B2 tidak didapatkan penurunan yang bermakna balk pada kelompok I maupun pada kelompok II. Pada kelompok I sebelum pemberian teh hijau 0.472 (0.122-0.630) menjadi 0.092 (0.056-0.135) ng/ml (p= 0.68). Pada kelompok l1 sebelum pemberian teh hijau 0.1 11 (0.029-0.630) meningkat menjadi 0.660 (0.018-0.958) ng/ml (p= 0.055). Hadar 6-ketoprostaglandin F1-u pada penderita PJK lehih rendah secara bermakna dibanding orang sehat (p<0.001). Pada pemeriksaan kadar tromboksan B2 pada penderita PJK lehih rendah secara bermakna dibanding prang sehat (p<0.001)
Kesimpulan : pemberian teh hijau sekali minum mampu meningkatkan produksi 6-ketoprostaglandin Fl-a yang merupakan metabolit aktif prostasiklin pada penderita penyakit jantung koroner, akan tctapi tidak memberikan efek penurunan kadar tromboksan B2 yang merupakan metabolit aktiFdari tromboksan A2.

Introduction : Endothelial dysfunction is an early process of atherosclerosis that in long term will cause coronary artery disease. Green tea has been reported to improve endothelial function because of catechin substance in green tea. Study had showed that green tea could increase the prostacyclin production in bovine aorta cell culture.
Objective :To gain evidence that one time consuming of green tea may increase 6-ketoprostaglandin Fl-a production as a metabolite of prostacyclin and decrease thromboxane B2 production as a metabolite of thromboxane A2 in coronary artery disease patients.
Method : Study has been conducted to 25 patients proven to have coronary artery disease by coronary angiography. Sample was grouped into two groups. Groups I firstly receive green tea and Group II firstly receive placebo (mineral water). After washout period for one week, sample was being cross-overed. The level of 6-ketoprostaglandin Fl-a as a metabolite of prostacyclin and thromboxane B2 as a metabolite of thromboxane A2 were measured before and after green tea and water consumption. We also measure the level of 6-ketoprostaglandin Fl -a and thromboxane B2 in 20 healthy persons aged 18 -25 years old as a normal value.
Result : There were significant increasing level of 6-ketoprostaglandin Fl-a of both groups. In Group I, the level of 6-ketoprostaglandin Fl-a before green tea consumption was 5.126(2.808-6.237) and raised up to 6.575(4.788-7.638) ng/ml(p= 0.012). Meanwhile in placebo group there were no significant increase level of 6-ketoprostaglandin Fl-a (p= 0.328). In group II the level of 6-ketoprostaglandin Fl-a before green tea consumption was 6.044(2.804-11.693) and raised up to 7.212(4.028-11.175) ng/ml (p= 0.011). As for placebo group, there were no significant increase level of 6-ketoprostaglandin F l -a (p= 0.325). Thromboxane B2 measurement result shows no significant decrease both in group I and group H. In group I, thromboxan B2 level before green tea consumption was 0.472(0.122-0.630) and raised up to 0.092(0.056-0_l35) ng/ml(p= 0.68). As for group H, thromboxane B2 level before green tea consumption was 0.111(0.029-0.630) and raised up to 0.660(0.018-0.958) ng/ml (p= 0.055). The level of 6-ketoprostaglandin Fl-a in coronary artery disease patients was significantly bellow healthy persons (p<0.001). The level of thromboxane B2 in coronary atery disease patients were also significantly bellows healthy persons (p<0.001).
Conclusion : One time green tea consumption can increase 6-ketoprostaglandin Fl-a production as an active metabolite of prostacyclin in coronary artery disease patients but does not decrease thromboxan B2 level, an active metabolite of thromboxan A2.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6   >>