Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siti Nurbaya
"Persaingan antar media televisi telah mendorong pelaku media untuk berlomba-lomba menciptakan suatu suguhan yang menarik pemirsa untuk tetap berada di posisi yang menguntungkan. Berawal dari kesuksesan sinetron Si Doel Anak Sekolahan inilah yang mengundang hadimya sejumlah pilihan sinetron Betawi dengan tema yang hampir seragam. Salah satunya cerita dan gambaran dari sinetron berlatar belakang kehidupan masyarakat Betawi yang berjudul Kecil kecil Jadi Manten, gambaran Betawi yang identik dengan kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, pinggiran, muncul melalui karakter tokoh yang memang bodoh, "bloon", suka kawin, sangat primitif dan tidak berbudaya serta berdialog dengan bahasa komunikasi yang dangkal. Hubungan sosial yang diungkapkan Iewat sinetron itu sudah menyimpang, kadang tidak lagi mengindahkan norma agama dan etika sosial.
Penelitian ini menggunakan paradigma kritis dan dengan metode kualitatif. Dalam penelitian ini peneliti ingin mengetahui proses produksi budaya yang terjadi dalam sinetron tersebut dan mengungkap alasan yang melatarbelakanginya. Untuk mengetahui proses produksi yang berlangsung dan alasan dibalik proses pembuatannya, maka tehnik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam dengan pihak produksi yang terdiri dari producer, sutradara sinetron kecil kecil jadi manten serta kru-kru yang terlibat secara langsung dalam proses produksi sinetron tersebut termasuk juga di dalamnya kepala unit manager dan beberapa pemain utamanya. Selain itu, wawancara juga dilakukan terhadap budayawan Betawi dan praktisi Betawi untuk mengetahui gambaran dari realitas sosial yang sebenarnya.
Penelitian ini menyimpulkan hasil atas wacana sinetron berlatar belakang budaya Betawi di televisi, memperlihatkan adanya penggambaran budaya Betawi yang termarjinalisasi dalam sinetron tersebut. Terdapat perbedaan persepsi tentang budaya Betawi yang ditampilkan oleh media dalam sebuah sinetron yaitu sinetron kecii kecil jadi manten dengan gambaran masyarakat Betawi yang sebenarnya. Karena tidak hanya terdapat pada masyarakat Betawi saja melainkan stereotype seperti itu juga ada pada masyarakat manapun. Tidak terkecuali masyarakat Jawa, Sumatera atau Madura. Temuan penelitian ini juga menunjukkan bahwa produksi sinetron kecil-kecil jadi manten hanyalah melanggengkan dan mengukuhkan ideologi dominan yang sudah ada yaitu ideologi yang menampilkan realitas imajiner bukan berdasarkan realitas faktual seperti pada kenyataan berdasarkan pada kebenaran. Dapat dikatakan bahwa produksi sinetron ini tidak memiliki keunikan secara substansial tentang nilai-nilai budaya Betawi namun hanya sekedar mencoba menampilkan keunikan setting atau nuansa cerita yang secara kebetulan mengambil nuansa ke-Betawi-an. Hal ini tampak jelas pada dialek para tokohnya dan gaya arsitektur bangunan rumahnya dan kesenian-kesenian yang mewamai jalan ceritanya.
Meski sutradara berupaya keras menjaga rasionalitas alur cerita dengan menampilkan konflik-konflik yang dibuat menjadi seakan-akan wajar dan tidak berlebihan, namun secara keseluruhan tidak ada penggambaran makna dari subtansi nilai-nilai budaya Betawi yang sebenamya. Kondisi ini terjawab dengan melihat pada temuan di lapangan antara lain tidak ada konsep cerita yang diambil berdasarkan riset atau pengamatan mendalam terhadap nilai-nilai budaya Betawi yang sebenamya, pemilihan para pemain yang tidak memiliki standar jelas untuk menampilkan nilai-nilai budaya Betawi. Dan penulis cerita itu sendiri sekaligus merangkap sebagai sutradara bukan orang dengan latar belakang Betawi. Hal ini yang menyebabkan penggambaran tentang budaya dan kehidupan Betawi tidak sesuai dengan realitas seperti yang kebanyakan ada dalam kehidupan masyarakat Betawi yang sebenarnya.
Pada akhirnya, semua ini memperlihatkan bahwa realitas media tidaklah muncul begitu saja, melainkan telah dibentuk melalui interaksi di antara para pelaku produksi yang kemudian dipengaruhi oleh struktur. Relasi-relasi yang terlibat dalam suatu proses produksi yang secara struktural pemilik modal adalah yang paling dominan, tetapi dalam penelitian ini pemilik modal tidak lagi menentukan proses pengambilan keputusan dengan kata lain tidak ada intervensi. Aktorlah yang secara leluasa menetukan performance suatu hasil karya produksi. Di sini yang menjadi dominan adalah persepsi di mana hasil persepsi tersebut akan menampakkan hasil produksi yang termarjinalisasi. Dengan demikian produksi wacana dalam sinetron Betawi kecil-kecil jadi manten yang berlatar belakang historis, sosial, dan ideologi tertentu akan rnmunculkan wacana tertentu pula dan bukan tidak mungkin akan berdampak secara kultural dan ideologis pada pengetahuan pemirsanya."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T22036
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Aldrian Risyad
"Penggunaan bahasa Inggris dalam lirik lagu Indonesia kini bukan lagi hal yang asing untuk ditemui dalam kancah musik Indonesia. Dalam konteks lanskap musik Indonesia kontemporer, sudah banyak lagu yang dirilis oleh musisi Indonesia dengan menggunakan bahasa Inggris pada seluruh bagian lagu. Penulisan yang demikian banyak ditemukan pada musik-musik yang dirilis secara independen di kota besar, seperti Jakarta.  Dengan menggunakan teori praktik yang dicanangkan oleh Bourdieu sebagai kerangka pemikiran, penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan praktik penulisan lagu berbahasa Inggris musisi independen Jakarta melalui penggalian atas pengalaman proses kreatif penulisan lagunya. Penelitian single case study ini menggunakan metode pengumpulan data wawancara mendalam. Penelitian ini menemukan bahwa praktik penulisan lagu berbahasa Inggris musik independen Jakarta dilatarbelakangi oleh habitus penulisan lagu berbahasa Inggris musisi. Habitus penulisan lagu tersebut didasari oleh diposisi berbasis kelas yang berkaitan dengan kepemilikan kapital musisi dan teroperasionalisasi menjadi praktik dalam kancah musik independen Jakarta sebagai arena produksi kultural terbatas. Di balik praktik penulisan lagu berbahasa Inggris, ditemukan juga akan adanya indikasi superioritas bahasa Inggris terhadap bahasa Indonesia.The usage of English language in Indonesian song lyrics are now a familiar practice to be found in Indonesia music scene. In the context of contemporary Indonesia music scene, many songs which were released by Indonesian musicians are written in English in every part of the song. That kind of songwriting were commonly found in musics which was released by independent artists of big cities, including Jakarta. Using Bourdieus practice theory as a frame of mind, this research aims to explain the practice of English songwriting by Jakarta independent musicians through digging into musicians experience regarding their creative songwriting process. This single case study research uses in-depth interview as the data collection method. This study discovers that the practice of English songwriting by Jakarta independent musicians was rooted in their habitus of English songwriting. Musicians songwriting habitus are a set of class-based dispositions which were connected with the accumulated capital that musicians own and were operationalized as practice in Jakarta independent music scene as a field of restricted cultural production. Behind the practice of English songwriting, this study also found indications of English language superiority towards Bahasa."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salemink, Oscar
[Place of publication not identified]: ISEAS/BUFS, 2018
327 SUV 10:2 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Adinda Salsabila Putri Kusumah
"Tulisan ini bertujuan untuk memberikan analisis terkait materialitas digital yang tidak hanya sebagai suatu hasil tetapi sebagai proses berkelanjutan yang terikat dengan dinamika produksi budaya. Dengan mengangkat kampanye komersial pada influencer marketing sebagai kasus dalam penelitian. Melihat bagaimana materialitas digital digunakan pada influencer marketing dan bagaimana proses serta dinamika pada agensi influencer marketing mampu memproduksi budaya melalui materialitas digital tersebut. Penelitian ini, melihat bahwa fitur Instagram sebagai bentuk materialitas digital dari influencer marketing. Materialitas digital membuka ruang untuk manusia pada kehidupan nyata memanfaatkannya dalam memproduksi budaya melalui konjungtur dari materialitas dan sosialisasi melalui habitus. Materialitas digital membentuk normativitas dengan menghadirkan kapasitas manusia untuk menggunakan material-material tersebut ke dalam habitus. Habitus dari penggunaan materialitas digital, didukung dengan adanya field dan capital, digunakan pada industri media yang akhirnya mendorong produksi budaya dari influencer marketing.

This paper analyzes digital materiality which not only as a result but as a continuous process that is tied to the dynamics of cultural production. By raising a commercial campaign on influencer marketing as a case in research, seeing how digital materiality is used in influencer marketing and how the processes and dynamics in influencer marketing agencies can produce culture through digital materiality. This study sees that Instagram features as a form of digital materiality from influencer marketing. Digital materiality opens space for humans in real life to use it in cultural production through the conjuncture of materiality and socialization through habitus. Digital materiality shapes normativity by presenting the human capacity to use these materials into habitus. The habitus of using digital materiality, supported by the presence of fields and capital, is used in the media industry which ultimately encourages the cultural production.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alberta Natasia Adji
"ABSTRACT
9 Summers 10 Autumns (2011) is an autobiographical novel about a young man from a small city of Batu who later succeeds in pursuing his dream by working in the United States. The novel was written based on lwan Setyawan's life story and it was made into a movie by the same title in 2013. Two years later, the movie was adapted into an augmented motion picture hinted illustrative book which combines novel, comic, app, and movie together. This phenomenon of re-transformation of a literary work is said to be the first of its kind in Indonesia and has somewhat contributed to the rising trend of movies adapted into books or comics in Indonesia, such as Assalamualaikum Beijing (2015) and Ada Apa dengan Cinta? (What's Up with Love?) (2016). This study examines lwan Setyawans strategy for achieving legitimacy in the arena of Indonesian literature through his motivational rags-to-riches ideals which are depicted in the book. The discussion is carried out by applying Pierre Bourdieus field of cultural production theory, as well as the sociology of literature approach, in order to highlight the phenomenon of transformation from novel into movie and eventually into an augmented motion picture hinted illustrative book. Later, this study discovered that the phenomenon has changed the image of Indonesian art and literary world. lt proves that such prestigious legitimacy can now be achieved through commercial strategies, making it seem dynamic, but at the same time questionable in its most authentic sense."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2018
907 PJKB 8:1 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmadi Fajar Himawan
"ABSTRACT
Skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan penahbisan praktik guyon saru (gurauan tidak senonoh) dalam arena pertunjukan wayang kulit purwa. Pertunjukan wayang kulit purwa, sebagai salah satu sebagai instrumen penyampaian gagasan alternatif terhadap isu kontemporer, secara paralel telah menormalisasikan  praktik humor yang cenderung melecehkan perempuan. Kajian terdahulu menyatakan bahwa humor jamak digunakan dalam seni pertunjukan Indonesia sebagai penyaluran gagasan alternatif terhadap isu sosial-politik, inovasi pertunjukan, dan sarana pelembagaan/perlawanan terhadap norma berbasis gender. Pesindhen (perempuan penyanyi solo dalam pertunjukan wayang kulit purwa) mengalami objektifikasi seksual dan melakukan berbagai upaya untuk mempertahankan eksistensi profesinya. Skripsi ini berargumen bahwa guyon saru merupakan praktik yang ditahbiskan (consecrated) oleh beberapa aktor dalam arena pertunjukan, termasuk pesindhen, untuk mempertahankan modal ekonomi, sosial, simbolik, dan kultural mereka. Penahbisan guyon saru dalam arena pertunjukan dilatari oleh habitus pengarusutamaan audiens dalam arena. Penahbisan tersebut dikontestasi oleh para aktor lain, termasuk  pesindhen, yang menyingkapi guyon saru sebagai praktik yang tidak sesuai dengan habitus para aktor sebagai orang jawa. Kajian ini menggunakan kerangka teori medan produksi budaya oleh Bourdieu, pendekatan kualitatif, dan studi kasus pada arena pertunjukan wayang kulit purwa di DKI Jakarta.

ABSTRACT
This study aims to explain the consecration of the practice of guyon saru (indecent jokes/gurauan tidak senonoh) in the field of javanese shadow puppet theater (pertunjukan wayang kulit purwa). Javanese shadow puppet theater, as one of the media of alternative ideas towards  contemporary social issues, had normalized the practice of humor which tends to harass women. Previous studies state that humor had been used in Indonesian performing arts as a media of alternative ideas towards socio-political issues, performance innovations, and instrument to institutionalize/resist the gender-based norms. Pesindhen (female solo singer in the javanese shadow puppet theater) experienced sexual objectification and made various efforts to maintain the existence of their profession. This study argues that guyon saru is a practice which has been consecrated by several actors in the field of the javanese shadow puppet theater, including pesindhen, to maintain their economic, social, symbolic and cultural capital. The consecration of guyon saru in the field is based on the habitus of mainstreaming the audience in the field. The consecration has been contested by other actors, including pesindhen, whose revealed guyon saru  as a practice that was not in accordance with the habitus of actors as javanese people (orang jawa). This research uses the field of cultural production theory by Pierre Bourdieu as researchs framework, qualitative approaches, and the field of javanese shadow puppet theater in Jakarta as the case study."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library