Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 19 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Indri Lufiyani
"Kejadian disfagia ditemukan lebih dari 50 persen pada pasien stroke di fase akut. Penangan disfagia sering kali tertunda dan berdampak pada ketidakadekuatan pemenuhan kebutuhan dasar seperti dehidrasi bahkan malnutrisi. Selain itu, Pasien stroke dengan disfagia rentan mengalami pneumonitis aspirasi. Sehingga penganan yang cepat difase akut sangat dibutuhkan. Tujuan dari karya tulis ini untuk menganalisis pemberian latihan menelan dengan metode sucking lollipop. Metode yang dilakukan diawali dengan skrining disfagia menggunakan format Massey Bedside Swallowing Screen (MBS) dan penentuan derajat keparahan disfagia dengan The Dysphagia Outcome and Severity Scale (DOSS). Kemudian dilakukan latihan menelan sebanyak sehari satu kali sebelum makan siang dengan durasi 10 menit. Selama tiga hari berturut-turut dilakukan penilaian kekuatan sucking lollipop dengan format Candy Sucking Test (CST). Hasil studi kasus ini ditemukan adanya peningkatan fungsi oral yaitu pergerakan lidah. Penilaian pada hari keempat MBS negatif dan DOSS menjadi normal diet skala 7. Selain itu, tidak terdapat aspirasi saat dilakukan pemberian makan secara bertahap dan pernyataan secara verbal makanan yang tersangkut di tenggorokan, serta tidak ditemukan demam. Untuk itu, pemberian lollipop mampu menjadi salah satu intervensi yang dapat perawat gunakan untuk mempercepat pengembalian kemampuan menelan pada pasien stroke di fase akut.

The incidence of dysphagia is found to be more than 50 percent in stroke patients in the acute phase. Handlers of dysphagia are often delayed and have an impact on the inability to fulfill basic needs such as dehydration and even malnutrition. In addition, stroke patients with susceptible dysphagia experienced aspiration pneumonitis. So fast-paced acute feeding is needed. The purpose of this paper is to analyse the giving of exercises swallowing with the method of sucking lollipop. The methods initiated by screening were dysphagia using the Massey Bedside Swallowing Screen (MBS) and determining the severity of dysphagia with The dysphagia Outcome and Severity Scale (DOSS). Then, practice swallowing as much as a day once before lunch with a duration of 10 minutes. For three consecutive days conducted an assessment of the power sucking lollipop in the format of Candy Sucking Test (CST). The results of this case study found that an increase in oral function was tongue movement. Assessment on the fourth day of MBS is negative and DOSS become a normal diet scale 7. In addition, there are no aspiration during gradual feeding and verbal statements of food stuck in the throat, and no fever is found. For that, giving Lollipop is capable of being one of the interventions that nurses can use to accelerate the return of swallowing ability in stroke patients in the acute phase.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wilson Khodavian
"Latar Belakang: Disfagia adalah gangguan fungsi menelan yang disebabkan oleh gangguan neurologik, non-neurologik, ataupun campuran. Disfagia dapat menyebabkan berbagai komplikasi yang membahayakan kehidupan jika tidak ditangani dengan baik. Profil pasien disfagia baik di Indonesia maupun di negeri lain tidak terdata dengan baik sehingga diperlukan lebih banyak penelitian dalam hal ini guna meningkatkan kualitas dan efisiensi rehabilitasi disfagia di masa yang mendatang. Metode: Penelitian deskriptif retrospektif ini dilakukan di RSCM dengan mendata profil 52 pasien disfagia yang datang ke poli rehabilitasi medik RSCM dari Januari sampai dengan Juni 2023 yang terpilih menggunakan teknik consecutive sampling. Usia, jenis kelamin, fase disfagia, etiologi disfagia, dan derajat disfagia dari subjek terpilih dikumpulkan melalui akses rekam medis masing-masing pasien. Hasil: Subjek berumur 58–67 tahun paling prevalen dengan perbandingan keseluruhan jenis kelamin subjek laki-laki terhadap perempuan sebesar 1.08:1. Seluruh subjek didiagnosis dysphagia orofaringeal dan 84,6% kasus disebabkan oleh etiologi neurologik. Derajat disfagia beragam di antara subjek dengan skor penetration-aspiration scale (PAS) 8 paling prevalen (32,7%). Kesimpulan: Penelitian ini telah mendata profil usia, jenis kelamin, fase disfagia, etiologi disfagia, dan derajat disfagia dari 52 pasien disfagia yang terpilih. Data yang telah terkumpul dan disajikan direkomendasikan untuk dipakai dan dianalisis lebih lanjut oleh penelitian lain di masa mendatang.

Background: Dysphagia is defined as the dysfunction in swallowing which is caused by neurologic, non-neurologic, and other mixed etiologies. Dysphagia can lead to multiple life-threatening complications if proper intervention isn’t given. Profiles of patients with dysphagia aren’t well documented in Indonesia nor in other countries. This calls for more researches to study this topic to increase the quality and efficiency of dysphagia rehabilitation in the future. Methods: A retrospective descriptive study was done at RSCM by collecting the data of 52 patients with dysphagia that visited RSCM’s medical rehabilitation ward from January to June of 2023 chosen with the consecutive sampling technique. Age, gender, dysphagia phase, dysphagia etiology, and dysphagia degree of selected subjects was collected by accessing the their medical records. Results: Subjects aged 58–67 years old were the most prevalent with an overall comparable man to woman ratio of 1.08:1. All subjects were diagnosed with oropharyngeal dysphagia mostly caused by neurologic etiologies (84,6%). Dysphagia degree amongst subjects showed a considerable variety with a penetration-aspiration scale (PAS) score of 8 being the most prevalent (32.7%). Conclusion: This research has documented the age, gender, dysphagia phase, dysphagia etiology, and dysphagia degree profiles of 52 selected dysphagic patients. The data presented is recommended to be used and analysed further in future studies."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Atika Ghassani
"Menelan merupakan mekanisme neurologis dan perilaku kompleks dikontrol oleh otak. Kemampuan menelan memerlukan fungsi kognitif yaitu atensi, memori dan fungsi eksekusi. Disfagia pada stroke disebabkan oleh hilangnya jaringan konektivitas menelan karena berkurangnya aktivasi regio yang terkena dan hemisfer kontralateral. Pada stroke iskemik, lesi otak yang terkena dapat mempengaruhi menelan dan fungsi kognitif. Penurunan fungsi kognitif dapat mempengaruhi fungsi menelan dengan berkurangnya fungsi lipseal, pergerakan otot-otot lidah yang mengakibatkan adnya residu sehingga menjadi disfagia oral. Penelitian ini merupakan studi cross-sectional pada 72 subjek stroke subakut-kronik stroke iskemik. Subjek dengan nilai MoCA <26 akan dilakukan pemeriksaan disfagia dengan FEES (Flexible Endoscopic Evaluation of Swallowing). Hasil penelitian didapatkan 38 subjek dengan disfagia dan 34 orang dengan non-disfagia, dengan rata-rata nilai MoCA INA 23. Domain yang paling terganggu adalah visuospasial/fungsi eksekutif, memori dan atensi. Kesimpulan penelitian ini adalah tidak didapatkan hasil yang signifikan hubungan fungsi kognitif terhadap kejadian disfagia.

Swallowing is a complex neurological and behavioral mechanism controlled by the brain. Swallowing ability requires cognitive function consists attention, memory and execution function. Dysphagia in stroke is caused by loss of swallowing tissue connectivity due to decreased activation of the affected and contralateral hemispheres. In ischemic stroke, the affected brain lesion can simultaneously affect swallowing and cognitive function. Decreased cognitive function can affect swallowing function which decreased lipseal function, impaired movement of the tongue muscles affected residues in the mouth and result in oral phase dysphagia. The research method used was a cross-sectional on 72 subacute-chronic ischemic stroke subjects. Subjects with MoCA INA results <26 will be assessed for their dysphagia using FEES (Flexible Endoscopic Evaluation of Swallowing). Of the 72 subjects with MoCA INA score <26, 38 subjects had dysphagia and 34 Non-dysphagia. The mean value of the MoCA INA was 23. The most impaired of cognitive domains was visuospatial/executive function, memory and attention. There is no significant relationship between cognitive function and the incidence of dysphagia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Dian Aryanti
"Kejadian disfagia ditemukan 19% sampai 81% pada pasien stroke. Perawat merupakan salah satu dari tenaga kesehatan yang memegang peranan penting dalam manajemen disfagia Keterlambatan manajemen disfagia akan mengakibatkan terjadinya komplikasi disfagia. Komplikasi akibat disfagia adalah terjadinya pneumonia, malnutrisi, dehidrasi bahkan kematian. Tujuan dari karya tulis ini adalah untuk menganalisis kegiatan pemberian intervensi oral motor exercise pada Tn. R dengan stroke iskemik yang mengalami paresis NVII sinistra sentral dan paresis NXII sinistra sehingga terganggu dalam proses menelan. Oral motor exercise merupakan latihan pergerakan lidah, bibir, dan rahang. Skrining yang digunakan menggunakan format Massey Bedside Swallowing Screen (MBSS) dan evaluasi intervensi menggunakan format Royal Adelaide Prognostic Index for Dysphagic Stroke (RAPIDS). Latihan oral motor exercise dilakukan sehari sekali dalam 10 menit selama 6 hari. Hasil dari karya ilmiah ini menunjukan adanya peningkatan fungsi menelan yang dinilai dengan Tes RAPIDS (Royal Adelaide Prognostic Index for Dysphagic Stroke). Skor RAPIDS sebelum dilakukan intervensi adalah 79, dan skor RAPIDS setelah dilakukan intervensi menjadi 91. Karya ilmiah ini diharapkan dapat digunakan menjadi salah satu dasar untuk dijadikan panduan dalam pembuatan Standar Prosedur Operasional latihan menelan untuk pasien disfagia oral.

Incidence of dysphagia found 19% to 81% in stroke patients. Nurses are one of the health workers who play an important role in the management of dysphagia. Delay in the management of dysphagia will result in complications of dysphagia such as pneumonia, malnutrition, dehydration and even death. The purpose of this paper to analyze the activities of oral motor exercise intervention in stroke patients in restoring swallowing function. Mr. R with ischemic stroke who has central NVII sinistra paresis and NXII sinistra paresis so that it is disturbed in the swallowing process. Oral motor exercise is an exercise in the movement of the tongue, lips, and jaw used for swallowing exercises. Oral motor exercise is done once a day in 10 minutes for 6 days. Screening used Massey Bedside Swallowing Screen (MBSS) and evaluation of intervention using royal Adelaide Prognostic Index for Dysphagic Stroke (RAPIDS). The results showed an improvement in swallowing function assessed by the RAPIDS Test (Royal Adelaide Prognostic Index for Dysphagic Stroke). The RAPIDS score before the intervention was 79, and the RAPIDS score after the intervention was 91. This paper expected to be used as one of the bases to be used as a guide in the creation of Standard Operating Procedures for swallowing exercises for patients with oral dysphagia."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2021
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dika Jordy Oktananda
"Disfagia adalah gangguan menelan dimana makanan dan cairan tidak dapat masuk kedalam sistem pencernaan bawah yang merupakan salah satu dampak dari stroke iskemik. Latihan menelan terstruktur merupakan salah satu intervensi untuk meningkatkan kekuatan otot lidah, rahang dan mengembalikan fungsi menelan.
Tujuannya yaitu menganalisis penerapan intervensi latihan menelan terstruktur pada pasien stroke yang mengalami disfagia.
Metodenya dengan menerapkan latihan menelan terstruktur pada pasien stroke iskemik yang mengalami disfagia, dilakukan selama 7 hari berturut-turut, sebanyak 5 kali dalam sehari, selama 15 menit setiap latihan, dan 8 hitungan setiap gerakan.
Hasil evaluasi hari ke 7 reflek menelan pasien sudah ada, pasien dapat menjulurkan lidahnya, dan wajah pasien simetris. Hasil dari keefektifan latihan menelan terstruktur ini dapat dijadikan sumber informasi perawat dalam melakukan tindakan keperawatan mandiri untuk mengatasi masalah gangguan menelan pada pasien stroke iskemik.

Dysphagia is a swallowing disorder that causes food and fluids cannot enter the lower digestive system, which is one of the effects of ischemic stroke. Structured swallowing exercise is one of intervention to strengthen tongue muscle, jaw, and restore the swallowing function.
The purpose of this paper is to analyze the application of structured swallowing excercise in stroke patient with dysphagia.
This study used case study method wich applied structured swallowing exercises in ischemic stroke patient who underwent dysphagia, is conducted for 7 consecutive days in 5 times a day, for 15 minutes each exercise, and 8 counts for each movement.
The results of the 7 th day evaluation, the patients swallowing reflex is present; the patient can stick out his tongue; and the facial grimace is symmetric. The results of the effectiveness of structured swallowing exercise can be an information for nurses in implementing independent nursing intervention to solve the problem of swallowing disorders in ischemic stroke patient.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sekar Laras
"Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan alat ukur yang akurat dalam bahasa Indonesia untuk menilai fungsi menelan pasien pasca stroke. FOIS diterjemahkan ke bahasa Indonesia dan diuji kesahihan serta keandalannya. Total 29 subjek dinilai menggunakan FOIS versi bahasa Indonesia dan menjalani VFSS. Kesahihan antar penilai untuk FOIS versi bahasa Indonesia menunjukkan tingkat kesepakatan yang tinggi (κ=0.90). FOIS versi bahasa Indonesia berkorelasi negatif secara signifikan dengan skor PAS dari VFSS (r=−0.702, p<0.001). FOIS versi bahasa Indonesia juga berkorelasi dengan aspirasi dan derajat keparahan aspirasi (p<0.05), tetapi tidak signifikan dengan adanya disfagia. Sensitivitas FOIS versi bahasa Indonesia adalah 0.89 dan spesifisitas adalah 0.72, dengan nilai prediktif positif (PPV) 80.0% dan nilai prediktif negatif (NPV) 84.21%. Secara keseluruhan, FOIS versi Bahasa Indonesia ditemukan memiliki kesahihan dan keandalan yang baik serta sensitivitas dan spesifisitas yang baik dalam menilai proses menelan pada pasien pasca stroke.

This study aimed to create a reliable tool in Indonesian for evaluating oral food and fluid intake in post-stroke patients. The FOIS was translated into Indonesian and tested for validity and reliability. 29 subjects (15 men, 14 women) with ischemic stroke (93.1%) and bleeding stroke (6.9%) participated. The Indonesian FOIS showed high inter-rater reliability (κ=0.90). Criterion validity testing indicated a significant negative correlation between PAS and FOIS scores (r=−0.702, p<0.001). Cross-validation with VFSS results revealed significant correlations with aspiration (p<0.05) but not dysphagia presence. Indonesian FOIS demonstrated 0.89 sensitivity, 0.72 specificity, 80.0% PPV, and 84.21% NPV, indicating good validity and reliability in assessing swallowing safety post-stroke. The Indonesian version of FOIS has good validity and reliability. The Indonesian version of FOIS has good sensitivity and specificity in assessing whether the swallowing process is safe or not in post-stroke patients."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kartika Hajarani
"ABSTRAK
Latar belakang:Bayi laringomalasia primer memiliki komorbiditas yang tinggi akibat silent aspiration. Hingga saat ini, belum diketahui prevalensi disfagia dan data mengenai gambaran fungsi menelan bayi laringomalasia primer. Tujuan penelitian: Mengetahuiprevalensi disfagia dan gambaran fungsi menelanpada bayi laringomalasia primersertamengetahui kesesuaian antara SEES dan FEES.Metode: Penelitiancross-sectional yang bersifat deskriptifdan analitik komparatif terhadap 34subjek bayi laringomalasia primersecara konsekutif di RS Dr. Cipto Mangunkusumoperiode Januari-Maret 2020. Hasil:Prevalensi disfagiapada bayi laringomalasiaprimersebanyak 9 dari 34 subjek (26,5%). Gejala disfagia pada bayi< 6 bulan tersering adalah regurgitasi dan apneasaat menyusu (5/6), sedangkan pada bayi>6 bulan adalah terdengar banyak lendir di tenggorok (3/3). Komorbid terbanyak adalah kelainan genetikdan PRGE(3/9). Komplikasi terseringadalah pneumonia aspirasi (6/9). Pada pemeriksaan awal FEES, kontrol postural terganggu(7/9) merupakantanda yang paling sering ditemukan. Pada pemeriksaan FEES, preswallowing leakagedidapatkan pada konsistensi puree, tim saring, dan tim kasar. Pada pemeriksaan SEES dan FEES, residu, penetrasi,dan aspirasipalingbanyak didapatkan pada konsistensi susu. Silent aspirationdidapatkan pada4 dari 9subjek dengan disfagia. Pemeriksaan SEES memiliki kesesuaian dengan FEES berdasarkanuji McNemarpadaparameter ada tidaknya penetrasi, residu, dan aspirasi.Kesimpulan:Prevalensi disfagia pada bayi laringomalasia primersebanyak 9 dari 34 subjek(26,5%), penetrasi dan aspirasi didapatkan pada konsistensi air dan susuterutama pada bayi< 6 bulan, dan SEES memiliki kesesuaian dengan FEESdalam menilai fungsi menelanberdasarkan parameter ada tidaknya residu, penetrasi, dan aspirasi.

Background:Silent aspiration is oftenunrecognized comorbidity in infants with congenital laryngomalacia with serious medical consequence. However, prevalence of dysphagia and characteristic of dysphagia ininfants with congenital laryngomalacia is still unknown. Aim: To find the prevalence and the overview of swallow function in infants with congenital laryngomalacia and also to know the conformity between SEES and FEES in assessing swallow function. Methods:This is a descriptive cross-sectional and comparative analytic study involving 34 infants with congenital laryngomalacia who came consecutivelytoDr. Cipto Mangunkusumo Hospitalon January-March 2019. Results: The prevalence of dysphagia was 9 out of 34 subjects (26,5%).Dysphagia symptom in infants<6 months was regurgitation and apneawhile bottle/breast feeding (5/6). Meanwhile, in infants>6 monthswaswet sounding voice (3/3). The comorbidities found mostly were geneticanomaly and GERD(3/9). The complication mostly was aspiration pneumonia (6/9). In pre-FESS examination, poor postural controlwas dominant(7/9). In FEES examination, preswallowingleakagewas found in puree, soft steam porridge, and rough steam porridge. In FEES and SEES examination, residue, penetration, and aspirationwas mostly found inthick liquid. Silent aspiration was found in 4 out of 9subjects with dysphagia. SEES has a conformity to FEES based on McNemar test in the presence of residue, penetration, and aspiration. Conclusion: The prevalence of dysphagia in infants with congenital laryngomalaciawas9 out of 34 subjects(26,5%). In FEES examination, penetration,and aspiration were found mostly in thin liquid, <6months of age predominantly.SEES has a conformity to FEES based on presence of residue, penetration, and aspiration in assessing swallow function."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Amalia Febiastuti
"Disfagia adalah kondisi medis yang berkaitan dengan kesulitan menelan. Pasien dengan disfagia tidak bisa minum cairan normal dikarenakan cairan biasa dapat masuk ke paru paru dan menyebabkan pneumonia aspirasi. Penggunaan cairan kental adalah pengobatan yang paling umum. Di bawah pedoman Australia cairan kental dibagi menjadi tiga tingkatan tingkat 150 agak tebal tingkat 400 cukup tebal dan tingkat 900 sangat tebal. Cairan mengental tersedia dalam dua bentuk sias dikonsumsi pre thickened minuman atau sebagai bubuk pengental yang dapat ditambahkan ke dalam minuman apapun hand thickened. Masalah utama dengan cairan kental adalah inkonsistensi dalam viskositas mereka antara cairan dan jenis pengental yang berbeda Juga pedoman untuk pengukuran viskositas fluida menebal sangat subjektif. Oleh karena itu tujuan pengukuran rheologi dilakukan untuk menentukan viskositas air dan susu pre thickened air dan susu menebal menggunakan bubuk pengental membandingkan viskositas thickened water dan thickened milk baik dalam bentuk pre thickened dan hand thickened Selain itu perbandingan viskositas antara bentuk juga diselidiki. Reologi dari seluruh sampel dianalisis menggunakan Rheoscope. Ditemukan bahwa thickened milk memiliki viskositas lebih tinggi dari pada thickened water yang menunjukkan bahwa kandungan cairan memiliki efek pada viskositas. Selanjutnya cairan pre thickened ditemukan memiliki viskositas lebih tinggi dari hand thickened.
Dysphagia is a medical condition related to difficulties with swallowing. Patients with dysphagia cannot drink normal fluids because thin fluids could enters their lungs and cause aspiration pneumonia. Use of thickened fluids are the most common treatment for dysphagia. Under Australian guidelines thickened fluids are divided into three levels level 150 mildly thick level 400 moderately thick and level 900 extremely thick. Thickened fluids are available in two forms ready to serve pre thickened drinks or as powder thickener that can be added into any drink hand thickened. The main issue with thickened fluids is the inconsistency in their viscosity between different fluids and type of thickener. Also the guidelines for measurement of thickened fluid viscosity is very subjective. Therefore objective rheological measurement is performed to determine the viscosity of pre thickened water and milk and water and milk thickened using powder thickener compare the viscosity of thickened water and thickened milk in both pre thickened and hand thickened forms Moreover the comparison of viscosity between forms was also investigated. Rheology of all samples were analysed using Rheoscope. It was found that thickened milk had a higher viscosity than thickened water which indicates that the content of a fluid have an effect on viscosity. Furthermore pre thickened fluids were found to have a higher viscosity than hand thickened fluids. "
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2016
S62539
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasnan Habib
"Latar belakang: Difagia atau gangguan menelan merupakan gejala yang dapat memperburuk morbiditas dan mortalitas pasien yang mengalaminya baik yang bersifat mekanik maupun neurogenik. Keluhan ini sering ditemui pada poli rawat jalan THT RSCM terutama di poli THT divisi Bronkoesofagologi. Sampai saat ini belum ada instrumen yang bersifat patient reported outcome untuk skrining disfagia, sehingga dalam penelitian ini dilakukan adaptasi kuesioner EAT-10 ke bahasa Indonesia. Kuesioner ini dirancang untuk menilai keparahan gejala disfagia yang sudah banyak digunakan di berbagai negara yang sudah diadapatasi ke bahasa masing-masing negara.
Tujuan: Mengetahui validitas dan reliabilitas kuesioner EAT-10 versi bahasa Indonesia serta mengetahui nilai kepositifan EAT-10 versi bahasa Indonesia terhadap pemeriksaan FEES.
Metode: Pasien-pasien dengan gejala disfagia atau gangguan menelan yang terlebih dahulu didiagnosis dengan pemeriksaan FEES yang datang ke poli THT divisi Bronkoesofagologi. Pemeriksaan FEES dengan serat optik lentur untuk melihat kriteria objektif secara struktur anatomi dan gerakan refleks menelan daerah orofaring, kemudian dilakukan anamnesis dan diminta untuk mengisi kuesioner EAT-10 yang sudah diadaptasi ke bahasa Indonesia dengan metode WHO. Uji validitas dilakukan dengan uji korelasi spearman correlation coefficient, dianggap signifikan bila nilai p<0,05. Uji reliabilitas dengan konsistensi internal mencari nilai Cronbach α di atas 0,6 untuk masing-masing dan keseluruhan pertanyaan.
Hasil: Penelitian melibatkan 50 subjek yang memenuhi kriteria inklusi. Kuesioner EAT-10 ini memiliki nilai p dan korelasi yang signifikan (0,00) untuk setiap pertanyaan walaupun pada pertanyaan keenam yaitu “rasa sakit saat menelan” memiliki kekuatan korelasi yang lemah (0,408). Kuesioner ini juga memiliki Cronbach α di atas 0,6 untuk masing-masing pertanyaan (0,9) dan memiliki kepositifan 80% terhadap pemeriksaan FEES.
Kesimpulan: Instrumen EAT-10 versi bahasa Indonesia telah diadaptasi lintas budaya (transcultural), valid dan reliabel sebagai instrumen untuk menilai gejala pada disfagia serta memiliki nilai kepostifan yang baik terhadap pemeriksaan FEES.

Backround: Disphagia or swallowing disorder is a symptom that can exacerbate the morbidity and mortality of patients who experience it, both mechanical and neurogenic type. This complaint is often found in the RSCM ENT outpatient clinic, especially in the ENT polyclinic Bronchoesophagology division. Until now there was no patient reported outcome instrument that used for screening of dysphagia, so in this study an adaptation of the EAT-10 questionnaire to Indonesian version was carried out. This questionnaire is designed to assess the severity of dysphagia symptoms which have been widely used in various countries that have been adapted to the language of each country.
Objective: To determine the validity and reliability of the Indonesian version of the EAT-10 questionnaire and also to determine the positivity value between EAT-10 Indonesian version towards FEES examination.
Methods: Patients with symptoms of dysphagia or swallowing disorders diagnosed by FEES examination who came to the ENT Bronchoesophagology outpatient clinic and has been diagnosed with dysphagia by FEES examination. First of all FEES examination objectively evaluate anatomical structure and swallowing reflex in the oropharynx, then anamnesis was carried out and asked to fill out the EAT-10 questionnaire which had been adapted to Indonesian using the WHO method. The validity test was carried out using the Spearman correlation coefficient test. It was considered significant if the p value <0,05. The reliability test with internal consistency looks for a Cronbach α value above 0,6 for each and all questions.
Results: The study involved 50 subjects who met the inclusion criteria. This EAT-10 questionnaire has a significant p-value (0,00) and correlation for each question even though the sixth question “pain when swallowing” has a weak (0,408) correlation strength. This questionnaire also has a Cronbach α above 0,6 for each question (0,9) and has 80% positivity value towards FEES examination.
Conclusion: The Indonesian version of the EAT-10 instrument has been adapted cross-culturally, is valid and reliable as an instrument for assessing symptoms of dysphagia and also has a good positivity value towards FEES examination
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>