Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Abstrak :
Cultural approach to national integrity in Indonesia; of a symposium papers
Depok : PPKB-LPUI , 2001
305.895 98 PER
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Adi Wibowo
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1995
S5545
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Riyani
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1995
S8029
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Centre for Strategic and International Studies, 2003
320 ANC
Majalah, Jurnal, Buletin  Universitas Indonesia Library
cover
M. Iqbal Djajadi
Abstrak :
ABSTRAK


Tesis ini pada dasarnya merupakan suatu studi yang bertujuan untuk mengembangkan

pengukuran mengenai kondisi integrasi. Dengan menggunakan aksi kekerasan kolektif sebagai fokus pengamatan, dan Indonesia sebagai kasus, tesis ini memperoleh temuan-temuan teoritik dan empirik sebagai berikut.

Integrasi adalah suatu konsep derivasi dari struktur sosial. Bila struktur sosial merujuk kepada pola hubungan di antara unit-unit sosial yang membentuknya; maka integrasi merujuk kepada derajat kekuatan hubungan di antara unit-unit tersebut.

Ada berbagai rasa untuk mengukur kekuatan hubungan di antara unit-unit yang

terdapat dalam struktur sosial. Namun dengan menggunakan perspektif keteraturan

sosial, studi ini memusatkan perhatian kepada aksi-aksi kekerasan kolektif. Asumsinya adalah semakin rendah tingkat aksi kekerasan kolektif, semakin tinggi tingkat keteraturan sosial atau integrasinya. Demikian pula sebaliknya.

Secara konseptual, integrasi setidaknya memiliki dua dimensi: integrasi nasional dan integrasi sosial. Dimensi pertama merujuk kepada kekuatan hubungan di antara negara dan masyarakat, sedangkan dimensi kedua merujuk kepada kekuatan hubungan di antara unit-unit dalam masyarakat itu sendiri.

Kategori integrasi terentang antara kuat hingga lemah. Dalam rentang tersebut, kategori yang paling ekstrim memang adalah disintegrasi. Yakni, pemisahan antara unit-unit sosial yang terlibat. Namun di antara dua kategori ekstrim --integrasi kuat dan disintegrasi-- masih terdapat kategori lainnya: malintegrasi. Berbeda dengan istilah pertama yang merujuk kepada penolakan bahkan pemisahan, istilah yang disebut terakhir lebih merujuk kepada adanya. gangguan hubungan di antara unit-unit. Berdasarkan itu, studi ini kemudian mengembangkan tipologi: malintegrasi tipe A (kerusuhan), tipe B (penjarahan dan perusakan), dan tipe C (tawuran).

Dengan memanfaatkan data sekunder dari berbagai sumber, penelaahan menunjukkan bahwa Indonesia selama periode 1946 hingga April 1999 mengalami peningkatan aksi kekerasan kolektif. Dan puncak aksi tersebut terjadi pada masa periode Orde Reformasi. Namun berbeda dengan anggapan umum, kerusuhan sebenarnya cenderung terus menurun; aksi-aksi kekerasan kolektif lainnya yang justru meningkat. Di antaranya adalah penjarahan, perusakan, tawuran, dan pertempuran etnik. Mengikuti konsepsi sebelumnya, studi ini memiliki kerangka pemikiran tersendiri dalam menggunakan aksi-aksi kekerasan kolektif sebagai indikator integrasi.

Berdasarkan suatu rumus sederhana yang menyatakan bahwa integrasi nasional sama dengan satu dikurangi aksi separatis (sebagai indikator disintegrasi nasional); serta integrasi sosietal sebagai satu dikurangi pertempuran primordial (sebagai indikator disintegrasi sosietal); kerusuhan, penjarahan, perusakan dan tawuran (sebagai indikatorindikator malintegrasi), maka studi ini memperoleh kesimpulan sebagai berikut.

Studi berkesimpulan bahwa, hingga batas keberlakuan data yang dikumpulkan, sebenarnya kondisi integrasi nasional Indonesia masih tinggi. Berdasarkan periode

pemerintahan, hingga batas tertentu dapat dikatakan bahwa integrasi nasional di masa Habibie dan Soeharto cenderung lebih tinggi ketimbang masa Soekarno. Hal yang memperihatinkan adalah justru kondisi integrasi sosietal. Ada kecenderungan bahwa kondisi integrasi sosietal Indonesia tidak pernah mencapai tingkat paling optimal. Bahkan berdasarkan perkembangan periode, terlihat bahwa tingkat integrasi sosietal di masa Habibie yang baru berlangsung sekitar setahun ini berada pada titik yang paling rendah dibanding masa Soeharto dan Soekarno.

Secara umum tesis ini juga menyimpulkan bahwa sebenarnya kita tidak perlu mencemaskan kondisi disintegrasi nasional. Karena sebenarnya fenomena ini tidak selalu berjalan penuh kekerasan. Hal yang harus ditakuti adalah fenomena disintegrasi sosietal, dan komplikasinya ke arah disintegrasi nasional. Hal inilah yang sebenarnya terjadi di semenanjung Balkan yang menghancurkan Yugoslavia.

Namun terlepas dari berbagai temuan empirik di atas, tesis ini masih memerlukan sejumlah penyempurnaan di masa mendatang. Dari segi alat ukur, ia perlu memasukkan aspek kuantitatif kerugian jiwa dan material sebagai indikator substantif. Sedangkan dari segi ketersediaan data, ia perlu memasuk berbagai data lainnya yang lebih lengkap dan relevan.
1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ari Yudha Nofri
Abstrak :
Tesis ini membahas tentang hasil pelaksanaan kebijakan UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua yang selama k'1lrun waktu 9 tahun ini ternyata masih beium memberikan perbalkan di daiarn segi kehidupan masyarakat Papua Sehingga muncul keinginan dari masyarakat untuk menolak kebijakan tersebut dan rnenuntut untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beragarn penyebab munculnya keinginan untuk memisahkan dlrJ tersebut salah satunya karena masyarakat menganggap bahwa pemerintah pusat belum rnampu mensejahterakan rakyat Papua. PeneHtian ini adalah pene1itian kualitatif dengan desain deskriptif analitis dan penelitian intelijen stratejik. Hasil penclitian ini menyarankan kepada pemerintah pusat bahwa ketldakpuasan masyarakat Papua terhadap pelaksanaan Otonomi Khusus dapat mengancam integrasi nasionaL Keinginan untuk memisahkan diri tersebut muncul dari sebagi akibat dari adanya konflik-kontlik internal, hubungan antara pusat dan daerah yang tidak harmonis, kontllk pemekaran serta adanya dukungan dari dunia internasionaL Oleh karena itu perlu dilakukan perubahan pendekatan dari pemerintah terhadap masyarakat Papua yaitu dengan pendekatan budaya dan komunikasi konstruktif yang intensip antara pemerintah dan masyarakat Papua serta peningkatan pelaksanaan lTlJ Otonomi Khusus. ......This thesis discusses the results of the impfementation on Special Autonomy Regulation on Papua No. 2112001, that during 9 years of its implementation, was still not provide improvements in terms of the life of the people of Papua Then came the desire from the community to reject this policy and demanded to secede from The Republic of Indonesia. Various causes triggered the desire for secession ofPapuans, for example Papuans assume that the central government has not been able to prosper the people of Papua. The study was a qualitative research design with descriptive analysis and strategic intelligence research. The results of this study suggest to the central government that the public dissatisfaction towards the implementation of the Papua Special Autonomy Act could threaten national integration. The desire to separate themselves arise as a result of the existence of internal conflicts, the relationship between central and local governments weren't harmonious, region expansion conflict in Papua and the support from the international community. Therefore it is necessary to change the approach of government toward the people of Papua. Using cultural approach, intensive constructive communication between the government and people of Papua and enhancing the implementation of the Special Autonomy Act
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2010
T33465
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Vemmy Richard
Abstrak :
Tesis ini membahas tentang ancaman separatis yang ditimbulkan Oleh Gerakan Papua Merdeka terhadap kedaulatan NKRI. Keticlakpuasan yang dirasakan oleh masyarakat Papua sejak paska penjajahan Belanda menimbulkan keinginan untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beragam pcnycbab munculnya keinginan untuk memisahkan diri tersebut, salah satu yang utama karena masyarakal Papua menganggap bahwa pemerinlah pusat bclum mampu menycjahtcrakan rakyat Papua. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain dcskriptif analitis dan penelitian intelijen stratejik. Hasil penelitian ini menyarankan kepacla pcmcrintah pusat bahwa ketidakpuasan masyarakat Papua dapat mcngancam stabilitas dan kedaulatan NKRI. Keinginan untuk memisahkan diri tersebut muncul sebagai akibat dari adanya ketidakpuasan, marjinalisasi budaya dan sosial, ekplorasi SDA, pelanggaran HAM serta adanya dukungan dari dunia intcmasional. Oleh karena itu pemerintah perlu menerapkan stratcgi kebijakan yang tepat untuk mengeliminir Gcrakan Papua Merdeka. ......This thesis discusses about separatist threat posed by Papua Freedom Movement against sovereignty ot`NKRI. Dissatisfaction felt by the people of Papua from Dutch colonial post raises a desire to secede from The Republic of Indonesia. Various causes emerge of the desire to secede, one of the main because of the Papuan people assume that the central govemment has not been able to provide welfare for the Papuans. This study was a qualitative research with descriptive analysis design and strategic intelligence research. The results of this study suggest to the central government that the dissatisfaction of the Papuans could threaten the stability and sovereignty of the Republic of Indonesia. The desire for secession is emerging as a result of dissatisfaction, social and cultural marginalization, exploration of natural resources, human rights violations and the support from the intemational community. Therefore, govemment needs to implement appropriate policy strategies to eliminate the Papua Freedom Movement.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2011
T33381
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Usman Pelly
Abstrak :
This article explores the roots of riots that have occurred in several cities and places in Indonesia, the author assumes that the accumulative and chronic social - economic gap shrouded by the ethnic and religious factors, underlined the occurrence of riots in the early Indonesian reformation era (May 1995). The differences in gaining access to economic resources, as well as the discriminative policies of the New Order Regime, created a social-economic gap between the ethnic groups in Indonesia. While some groups had privileges and easy access to economic resources, other did not. As a consequence, some groups were subject to oppression and marginalized. The potential for conflict increased structurally as marginal groups used ethnicity and religious attributes in framing the social-economic gap between them and the advantage groups. From the functionalist viewpoints, ethnicity can be seen as an easy way to heighten solidarity among people. The riots could be legitimated by using cared religious symbols. The author argues that the conflict among ethnic groups increased as a 'cultural protest' to the government's discriminative policy. The conflict does not represent the people's desire to return to their 'tribal' culture
1999
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Purwaningsih
Abstrak :
Kesadaran bela negara merupakan satu hal yang esensial dan harus dimiliki oleh setiap warga negara, sebagai wujud penunaian hak dan kewajibannya dalam upaya bela negara. Kesadaran ini menjadi modal sekaligus kekuatan bangsa, dalam rangka menjaga keutuhan, kedaulatan serta kelangsungan hidup bangsa dan negara Indonesia. Harus disadari pula bahwa integrasi pada dasarnya merupakan proses panjang dan sulit, yang artinya bahwa integrasi merupakan suatu proses uji coba secara terus menerus, berdasarkan suatu keberhasilan menuju keberhasilan berikutnya. Berkaitan dengan kedua hal tersebut, maka pembinaan kesadaran bela negara sebagai sebuah upaya untuk mewujudkan warga negara Indonesia yang mengerti, menghayati serta yakin untuk menunaikan hak dan kewajibannya dalam upaya bela negara, merupakan upaya yang harus terus menerus dilakukan guna menjaga keutuhan dan kelangsungan hidup bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mengetahui dan mengkaji kecenderungan persepsi masyarakat, birokrat dan aparat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam tentang kesadaran bela negara merupakan masalah yang penting untuk dilakukan. Karena kesamaan persepsi dan sinergi diantara ketiga komponen tersebut akan menentukan tingkat keberhasilan pembinaan kesadaran bela negara di Nanggroe Aceh Darussalam. Mengingat upaya tersebut memang membutuhkan koordinasi instansional yang erat, agar dalam jalur dan fungsinya dapat memberikan kontribusi yang optimal. Begitupun dengan pengkajian tentang metode yang digunakan dalam upaya tersebut di masa depan, merupakan salah satu faktor yang menentukan bagi keberhasilan pembinaan kesadaran bela negara di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai salah satu upaya mencegah terjadinya disintegrasi bangsa. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif-analitis, yang didukung data yang diperoleh dari hasil kuesioner yang dibagikan kepada masyarakat (alumni pembinaan kesadaran bela negara), birokrat dan aparat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, serta hasil wawancara, pengamatan langsung dan dokumentasi dari berbagai instansi terkait. Analisis hasil perhitungan dan pengolahan jawaban responden disusun dalam matriks berpasangan antar kriteria dan sub kriteria yang berpengaruh, dengan menggunakan teknik Analytical Hierarchy Process (AHP) dari Thomas L. Saaty. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam rangka mencegah terjadinya disintegrasi bangsa, harus ada terlebih dahulu kesamaan persepsi tentang kesadaran bela negara di lingkungan masyarakat, serta birokrat dan aparat yang berperan dalam menunjang keberhasilan pembinaan kesadaran bela negara. Persepsi masyarakat, birokrat dan aparat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam tentang bela negara sesungguhnya konsisten dengan konsep yang telah ada, bahwa kesadaran bela negara merupakan sikap dan perilaku warga negara yang dilandasi oleh kecintaannya kepada tanah air Indonesia, yang didukung oleh keyakinan pada Pancasila sebagai ideologi negara, kesadaran berbangsa dan bernegara serta kerelaan berkorban untuk bangsa dan negara. Sedangkan metode yang efektif digunakan dalam pembinaan ini di masa depan adalah melalui pendidikan, baik pendidikan formal, non formal maupun informal.
The awareness to defend state is very essential and should be possessed by every citizen, as a manifestation of the realization of our rights and obligations in the effort to defend state. This awareness becomes an asset and strength of nations for safeguarding the integrity, sovereignty, and sustainability of the nation and the state of Indonesia. We also have to realize that integration basically constitutes a complex and long process, it means that integration constitutes a continuous test case process, from one success to another success. Related to both of aspect, management of the awareness to defend state as an effort to create Indonesian citizens who understand, are involved and convinced to carry out their tights and obligations in effort to defend state, constitutes an effort which should be made continually in safeguard the integrity and sustainability of the nation and the Unitary State of the Republic of Indonesia. Knowing and studying the tendency of the community perception, bureaucrat and the apparatus in Province of Nanggroe Aceh Darussalam about the awareness to defend state are important task to do. The similarity perception and synergy among the three components will determine the rate of success in management of the awareness to defend state in Nanggroe Aceh Darussalam. Considering that the effort requires coordination among agencies in order that they can offer optimal contribution. Likewise, the study on used methods for this effort in the future is one of determine factors for the successful of management of awareness to defend state in Province of Nanggroe Aceh Darussalam as one of effort to prevent nation's disintegration. This research using descriptive and analytical approach which is supported by the data that gathered from questionnaire to society (the alumni of awareness to defend state management), bureaucrats and apparatus in Province of Nanggroe Aceh Darussalam, and also from interview, direct observation and documentation from various related institutions. Calculating analysis processing from respondents are arranged in coupled matrix between influencing criteria and sub criteria with using Analytical Hierarchy Process (AHP) technique from Thomas L Saaty The finding of this research indicate that in order to prevent nation's disintegration, previously there should have the same perception about awareness to defend state in the community, also the bureaucrats and apparatus that play an important role to support the management of awareness to defend state. The perception of the community, bureaucrats and the apparatus in Province of Nanggroe Aceh Darussalam about defend state is actually consistent with existing concepts, that awareness to defend state is the behavior and attitude of the citizens based on their love of Indonesian fatherland, that supported by the belief in the Five Principles (Pancasila) as the state ideology, awareness to live together as a nation and a state, and also the willingness to sacrifice for nation and state. An effective method to be used for management of the awareness in the future is through education, in formal, nonformal and informal education.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15050
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Iqbal Djajadi
Abstrak :
ABSTRAK
Tesis ini pada dasarnya merupakan suatu studi yang bertujuan untuk mengembangkan pengukuran mengenai kondisi integrasi. Dengan menggunakan aksi kekerasan ko1ektif sebagal fokus pengamatan, dan Indonesia sebagai kasus, tesis ini memperoleh temuan- temuan teoritik dan empirik sebagai berikut

Integrasi adalah suatu konsep derivasi dari struktur sosial. Bila struktur sosial merujuk kepada pola hubungan di antara unit-unit sosial yang membentuknya~ rnaka integrasi merujuk kepada derajat kekuatan hubungan di antara unit-unit tersebut

Ada berbagai cara untuk mengukur kekuatan hubungan di antara unit-unit yang terdapat dalam struktur sosial. Narnun dengan menggunakan perspektif keteraturan sosial, studi ini memusatkan perhatian kepada aksi.aksi kekerasan kolektif Asumsinya adalah semakin rendah tingkat aksi kekerasan semalkin tinggi tingkat keteraturan sosial atau integrasinya, Dernikian pula sebaliknya.

Secara konseptual, integrasi setidaknya memiHki dua dimensi: integrasi nasional dan integrasi sosietaL Dimensi pertama merujuk kepada kek:uatan hubungan di antara negara dan masyarakat, sedangkan dimensi kedua merujuk kepada kekuatan hubungan di antara unit-unit dalam masyarakat itu sendiri.

Kategori integrasi terentang antara kuat hingga lemah. Dalam rentang tersehut, kategori yang paling ekstrim memang adalah disintegrasL Yakni, pemisahan antara unit- unit sosial yang terlibat Namun di antara dua kategori ekstrim --integrasi kuat dan disintegrasi masih terdapat kategori lairnya: maiintegrasi Berbeda dengan istilah pcrtama yang merujuk kepada penolakan bahkan pemisahan. istilah yang disebut terakhir lebih merujuk kepada adanya gangguan hubungan di antara unit-unit. Berdasarkan itu, studi ini kemudian mengembangkan tipologi: malintegrasi tipe A (kerusuhan), tipe B (penjarahan dan perusakan), dan tipe C (tawuran).

Dengan memanfaa!kan data sekunder dari berbagal sumber~ penelaahan menunjukkan bahwa Indonesia selama periode 1946 hingga April 1999 mengalami peningkatan aksi kekerasan kolektif. Dan puncak aksl tersebut terjadi pada masa periode Orde Reformasi. Namun berbeda dengan anggapan umum. kerusuhan sebenamya cenderung terus menurun; aksi-aksi kekerasan kolektiflainnya yang justru meningkat. Di antaranya adalah penjarahan. perusakan, tawuran. dan pertempuran etnik. Mengikuti konsepsi sebelumnya. studi ini memiliki kerangka pemikiran tersendiri dalam menggunakan aksi~aksi kekerasan koiektif sebagai indikator integrasi.

Berdasarkan suatu rumus sederhana yang menyatakan hahwa integrasi nasional sama dengan satu dikurangi aksi separatis (sebagai indikator disintegrasi nasional); serta integrasi sosietal sebagai satu dikurangf pertempuran primordial (sebagai indikator disintegrasi sosietal); kerusuhan, penjarahan, perusakan dan 1awuran (sebagai indikatorindikator malintegrasi), maka studi ini memperoleh kesimpulan sebagai berikut.

Studi berkesimpulan bahwa, hingga batas keberlakuan data yang dikumpulkan, sebenarnya kondisi integrasi nasional Indonesia masih tinggi. Berdasarkan periode pemerintahan, hingga batas tertentu dapat dikatakan bahwa integrasi nasional di masa Habibie dan Soeharto cenderung lebih tinggi ketimbang masa Soekamo. Hal yang memperihatinkan adaiah justru kondisi integrasi sosietal. Ada kecenderungan bahwa kondisi integrasi sosietallndonesia tidak pernah mencapai tingkat paling optimal. Bahkan berdasarkan perkembangan periode, terlihat bahwa tingkat integrasi sosietal di masa Habibie yang baru beriangsung sekJtar setahun ini berada pada titik yang paling rendah dibanding masa Soeharto dan Soekamo.

Secara umum tesis ini juga menyimpulkan bahwa sebenarnya kita tidak periu mencemaskan kondisi disintegrasi nasional. Karena sebenamya fenomena ini tidak selalu berjalan penuh kekerasan. Hal yang hams ditakuti adalah fenomena disintegrasi sosietal, dan komplikasinya ke arah disintegrasi nasional. Hal inilah yang sebenamya tetjadi di semenanjung Balkan yang menghancurkan Yugoslavia.

Narnun terlepas dari berbagai temuan empirik di atas, tesis ini masih memerlukan sejumlah penyempumaan di masa mendatang. Dari segi alat ukur. ia p.erlu memasukkan aspek kuantitatif kerugian jiwa dan material sebagai indikator substantif. Sedangkan dari segi ketersediaan data, ia perlu memasuk berbagai data laiTlllya yang lebib lengkap dan relevan.
1999
T32797
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>